Beranda / Romansa / Penjara Cinta CEO Dingin / Bab 08: Bisikan kota

Share

Bab 08: Bisikan kota

Penulis: Bon Johnham
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-16 13:35:35

Malam itu, jamuan makan malam resmi di ballroom hotel dipenuhi wajah-wajah elit. Para pebisnis, politisi, bahkan selebritas. Lampu kristal bergemerlap, musik klasik mengalun lembut. Namun di balik semua kemewahan, ada bisikan-bisikan menusuk.

“Pernikahan ini terlalu cepat.”

“Blackwood tidak pernah terlihat bersama perempuan sebelumnya—aneh, bukan?”

“Mungkin hanya cara menutupi sesuatu.”

Emily merasakan tatapan-tatapan itu, seperti jarum menusuk kulitnya.

Ketika ia hendak mengambil segelas champagne, sebuah suara lirih terdengar di dekatnya. Seorang pria paruh baya, rival bisnis lama keluarga Blackwood, mendekat dengan senyum penuh sindiran.

“Nyonya Blackwood, suatu kehormatan bertemu denganmu. Semoga permainan Alexander tidak melarutkan dirimu.”

Emily menegang. Sebelum sempat menjawab, Alex muncul di sisinya, meraih pinggangnya dengan posesif. Tatapannya menusuk pria itu.

“Permainan?” Alex mengulang kata itu dengan nada rendah yang mengancam. “Kalau aku bermain, maka satu-satunya yang kalah adalah mereka yang mencoba melawan.”

Pria itu terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis dan mundur.

Emily menoleh ke Alex, suaranya hampir berbisik. “Kenapa kau selalu harus menakut-nakuti semua orang?”

Alex menunduk, bibirnya hampir menyentuh telinganya. “Karena kalau aku tidak menakuti mereka, mereka akan mencoba mengambilmu dariku.”

Emily merinding. Ada bagian dari dirinya yang ingin marah, ingin berteriak kalau ia bukan properti. Tapi bagian lain… bagian yang lemah… justru merasa aman dalam genggaman Alex.

Malam semakin larut. Setelah jamuan, mereka kembali ke suite hotel. Emily berjalan lebih dulu, tumit sepatunya terdengar di lantai marmer. Ia bisa merasakan tatapan Alex di punggungnya, tajam, tak pernah lepas.

Di dalam kamar, ia melepas kalung mutiara dari lehernya dengan tangan gemetar. Saat itu, Alex menghampiri dari belakang. Tangannya menyentuh pundak Emily, lalu turun perlahan ke lengan.

“Kau masih terlihat tertekan,” katanya pelan.

Emily menoleh, matanya berkilat. “Bagaimana aku tidak tertekan? Aku harus bersandiwara untuk terlihat bahagia.”

Alex mendekat hingga jarak mereka hanya sejengkal. “Akan kupastikan kedepannya kau tidak perlu bersandiwara untuk terlihat bahagia dalam pernikahan ini.”

Emily membuka mulut hendak membalas, tapi Alex menekannya dengan ciuman cepat, panas, dan mendominasi. Tangannya mencengkeram pinggangnya, menahannya erat.

Emily terhuyung, detak jantungnya melonjak. Ia mendorong dada Alex, tapi cengkeraman itu semakin erat.

“Alex…” suaranya terputus, napasnya tersengal.

Alex menunduk, bibirnya nyaris menyentuh telinga Emily. “Aku tidak akan pernah melepaskanmu.”

Emily menutup mata, jantungnya berpacu. Ia tahu, malam itu tidak akan berakhir hanya dengan kata-kata.

Keesokan paginya, sinar matahari menembus tirai tipis suite hotel. Emily membuka mata dengan berat. Semalaman, ia hanya bisa tidur dengan gelisah, bayangan wajah-wajah yang berbisik di ballroom terus menghantuinya.

Di meja samping ranjang, ponselnya kembali bergetar. Dengan ragu, ia meraih dan membuka layar.

Breaking News:

“Alexander Blackwood, menikah untuk menyelamatkan perusahaan Carter?”

“Bisakah Emily Carter menaklukkan pria yang dikenal dingin dan tanpa hati?”

“Sumber anonim: pernikahan ini hanya kontrak.”

Emily menatap layar ponselnya yang penuh dengan notifikasi. Judul besar itu menusuk matanya: “Pernikahan Kontrak Alexander Blackwood—Kesepakatan Rahasia dengan Keluarga Carter?”

Tangannya bergetar. Kata kontrak seperti belati yang menembus dadanya. Ia ingin menutup ponsel itu, tapi jemarinya justru semakin kaku. Suara desas-desus dari televisi hotel yang masih menyala menambah sesak. Siang menjelang sore, cahaya jingga menembus tirai tipis, membuat ruangan tampak hangat sekaligus menyesakkan.

Tiba-tiba, ponsel itu dirampas dari tangannya. Emily tersentak. Alex berdiri di samping ranjang, rambut hitamnya berantakan seolah baru bangun, tapi sorot matanya tajam.

“Berhenti membaca sampah ini,” ucapnya dingin. Ia meletakkan ponsel di meja, lalu meraih rokok dari sakunya, menyalakannya dengan gerakan santai. Asap pertama melingkar di udara, bercampur dengan aroma kamar hotel yang terlalu steril.

Emily menelan ludah. “Alex, kau tidak marah mereka menyebut ini pernikahan kontrak?”

Alih-alih menjawab, Alex menatapnya lama, kemudian tertawa pendek—suara rendah yang lebih mirip ejekan. “Marah? Untuk apa?”

Emily menegang. “Mereka menyentil egomu. Mereka mengatamu lemah.”

Alex menghembuskan asap ke arah balkon terbuka, seakan tak peduli. Tapi tatapan matanya tetap menusuk. “Tidak seharusnya kau yang marah, Emily?”

Pertanyaan itu membuat Emily terdiam. Ia menunduk, menatap jemarinya sendiri. Dalam hatinya, rasa marah memang bergejolak. Kalau benar semua ini hanya soal kontrak, berarti ia hanyalah pion. Pion keluarga Carter untuk melunasi hutang. Pion Alex untuk memuaskan ambisinya. Ia mempertanyakan harga dirinya—apakah dirinya hanya barang yang bisa ditukar begitu saja?

Keheningan menggantung beberapa detik. Di luar, matahari sore mulai tenggelam, memantulkan cahaya oranye di gedung-gedung kaca. Emily memejamkan mata sebentar, berusaha meredam perasaan campur aduk.

Tiba-tiba suara Alex terdengar lagi, lebih tajam. “Matthew.” Ia berbicara pada ponselnya yang kini sudah di telinganya. “Aku tidak peduli caranya. Hapus semua artikel itu dari internet dalam satu jam. Bayar siapa pun yang perlu dibayar. Tutup mulut mereka.”

Emily mendongak, menatapnya tak percaya. Nada suaranya terdengar seolah Alex baru saja memerintahkan perang.

Alex memutus panggilan, lalu berbalik menghadapnya. “Puas?” tanyanya singkat.

Emily bangkit dari ranjang, suaranya bergetar tapi penuh amarah. “Kau pikir itu menyelesaikan apa pun? Kau hanya membungkam mereka, bukan menjawab.”

“Tidak semua hal butuh jawaban,” balas Alex dingin. Ia mendekat, langkah kakinya mantap di karpet tebal. “Yang penting, mereka tahu siapa yang berkuasa.”

Emily merasa dadanya semakin sesak. Matahari sore kini sepenuhnya masuk, menyinari separuh wajah Alex—membuatnya terlihat sekaligus anggun dan berbahaya.

“Jadi aku ini apa, Alex?” suara Emily pecah. “Pion yang kau beli dari keluargaku? Barang yang kau pamerkan di depan dunia?”

Alex berhenti tepat di depannya, menunduk, lalu meraih dagu Emily dengan kasar. “Jangan pernah merendahkan dirimu sendiri begitu.”

Emily bergetar, bukan karena kata-katanya, tapi karena sorot mata yang seakan menelanjangi hatinya.

“Kau bukan barang. Kau… milikku,” bisik Alex, begitu dekat hingga napasnya terasa di wajah Emily.

Emily menepis tangannya, mundur beberapa langkah. Hatinya diliputi campuran sedih dan marah. Ruangan sore itu terasa semakin sempit, seolah dinding hotel mendekat menekannya. Ia ingin berteriak, ingin kabur, tapi kakinya seakan terikat.

“Kau tidak mengerti, Alex,” ucapnya pelan tapi tajam. “Aku bukan milik siapa pun. Tidak juga milikmu.”

Alex menatapnya lama, lalu tersenyum samar—senyum yang justru membuat Emily merinding. “Kau boleh berkata begitu seribu kali, Emily. Tapi pada akhirnya, kau tetap ada di sini, di sisiku. Dan dunia akan selalu melihatmu begitu.”

Emily memejamkan mata, menahan air mata yang hampir pecah. Suara kota yang ramai di luar jendela terasa jauh, seolah hanya ada mereka berdua terperangkap di ruangan itu—dalam kontrak tak terlihat yang lebih kuat daripada kertas apa pun.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 09: Rumah baru, ancaman baru.

    Pagi itu, kota terasa lebih lengang dari biasanya. Langit masih diselimuti kabut tipis saat Alexander menutup laptopnya. Jari-jarinya yang panjang menekan nomor Matthew di ponselnya, suara rendahnya terdengar tegas ketika koneksi tersambung.“Sudah siap?” tanya Alex singkat.“Sudah, Tuan. Semua perabotan sudah ditempatkan sesuai instruksi Anda. Petugas kebersihan dan keamanan juga sudah standby,” jawab Matthew dengan nada profesional.Alex mengangguk kecil, meski Matthew jelas tak bisa melihat. “Baik. Pastikan semuanya lengkap. Aku tidak ingin ada hal yang terlupakan.”Begitu menutup panggilan, ia menoleh ke arah Emily yang masih duduk di sofa, menatap jendela kamar hotel suite mereka dengan tatapan kosong. Perempuan itu terlihat begitu tenang, tapi Alex sudah hafal—di balik wajah datarnya, pikirannya pasti penuh riuh.“Kita pindah hari ini,” kata Alex tanpa basa-basi.Emily menoleh, sedikit mengernyit. “Pindah? Ke mana?”“Ke rumahku. Atau lebih tepatnya—rumah kita.”Emily terdiam. Ka

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 08: Bisikan kota

    Malam itu, jamuan makan malam resmi di ballroom hotel dipenuhi wajah-wajah elit. Para pebisnis, politisi, bahkan selebritas. Lampu kristal bergemerlap, musik klasik mengalun lembut. Namun di balik semua kemewahan, ada bisikan-bisikan menusuk. “Pernikahan ini terlalu cepat.” “Blackwood tidak pernah terlihat bersama perempuan sebelumnya—aneh, bukan?” “Mungkin hanya cara menutupi sesuatu.” Emily merasakan tatapan-tatapan itu, seperti jarum menusuk kulitnya. Ketika ia hendak mengambil segelas champagne, sebuah suara lirih terdengar di dekatnya. Seorang pria paruh baya, rival bisnis lama keluarga Blackwood, mendekat dengan senyum penuh sindiran. “Nyonya Blackwood, suatu kehormatan bertemu denganmu. Semoga permainan Alexander tidak melarutkan dirimu.” Emily menegang. Sebelum sempat menjawab, Alex muncul di sisinya, meraih pinggangnya dengan posesif. Tatapannya menusuk pria itu. “Permainan?” Alex mengulang kata itu dengan nada rendah yang mengancam. “Kalau aku bermain, maka satu-satu

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 07: Bayangan di balik janji

    Sinar matahari menembus tirai hotel, menyapu perlahan kamar suite tempat mereka menginap setelah resepsi semalam. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuhnya masih letih—bukan hanya karena pesta panjang, tapi juga karena malam intens yang ia lewati bersama Alex. Suara napas tenang terdengar di sebelahnya. Alexander terbaring di samping, dada bidangnya naik turun perlahan, wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Emily terdiam sejenak, menatapnya lama. Tangannya, hampir tanpa sadar, terulur. Jemarinya menyentuh perlahan garis rahang yang dulu sangat ia kenal—wajah yang dulu penuh tawa hangat saat masih di SMA. Kenangan itu menyeruak begitu saja: Alex remaja, tersenyum cerah, bercanda bahwa suatu hari ia akan menikahi Emily. Dulu, Emily hanya menertawakannya, menganggap itu omong kosong. Sekarang… mereka benar-benar menikah. Tapi bukan dengan cara yang ia bayangkan. Air mata tipis nyaris muncul di sudut matanya. “Alex… kau benar-benar menepati janjimu,” bisiknya lirih, nya

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 06: Hanya Tuhan Yang Bisa Bantu

    Suara lonceng katedral masih menggema di telinga Emily saat ia melangkah keluar, menggandeng lengan Alex yang berdiri menjulang di sampingnya. Hujan kelopak mawar putih berjatuhan dari tangan para tamu undangan yang berjejer di depan pintu besar katedral. Senyum mereka merekah, kamera-kamera berkilat, sorak sorai ucapan selamat terdengar ke segala penjuru. Emily tersenyum tipis, kaku. Dalam hatinya, ia hanya ingin kabur. Gaun pengantin putih gading yang indah itu terasa seperti belenggu, setiap langkahnya seolah berat. Alex, di sisi lain, tampak tenang, bahkan terlalu tenang. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi genggaman tangannya di lengan Emily terlalu erat—seakan mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah membiarkan Emily pergi. Sebuah mobil limousine hitam sudah menunggu di depan katedral. Sopir membukakan pintu, dan para tamu masih menyoraki keduanya seperti pasangan bahagia. Emily melangkah masuk lebih dulu, diikuti Alex. Begitu pintu tertutup, sorak sorai di luar langsung mere

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 05: Janji-Janji yang terucap

    Mobil hitam mewah melaju dengan kecepatan stabil di jalanan kota yang mulai dipenuhi hiruk pikuk pagi. Dari luar, kendaraan itu tampak gagah, berkilau seperti simbol kemenangan. Namun di dalamnya, suasana jauh berbeda. Emily duduk kaku di kursi belakang, tangannya mencengkeram erat buket mawar putih hingga batangnya nyaris patah. Jantungnya berdegup tak beraturan, seolah tubuhnya tahu bahwa ia sedang digiring menuju takdir yang tidak ia pilih. Nafasnya berat, tertahan di tenggorokan, dan setiap kali ia mencoba menarik udara, rasanya seperti ada batu yang menekan dadanya. Di sampingnya, Alexander duduk tegap dengan sikap santai, seolah ini hanyalah perjalanan singkat menuju sebuah acara rutin. Jas hitamnya jatuh sempurna di tubuh tegapnya, wajahnya dingin tapi penuh kepastian. Seakan seluruh dunia sudah ia atur untuk tunduk pada kehendaknya. Senyum tipis muncul di bibir pria itu saat matanya melirik sekilas ke arah Emily. “Kau terlihat tegang,” ucapnya datar, hampir terdengar seperti

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 04: Bayangan Masa Lalu

    Cermin besar di ruang rias memantulkan sosok seorang pengantin wanita dengan gaun putih sempurna. Namun, senyum bahagia yang seharusnya ada di wajah itu tidak pernah muncul. Emily menatap dirinya lama, seakan menunggu bayangan lain yang lebih jujur keluar dari balik pantulan. Yang terlihat hanyalah sepasang mata lelah, bibir yang dipaksa tersenyum, dan bahu yang tegang menahan beban. Hari ini seharusnya hari terindah dalam hidup seorang wanita. Tapi bagi Emily, ini hari yang terasa seperti vonis. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Aku harus kuat. Demi Papa, demi Mama, demi perusahaan. Aku bisa melakukannya. Kata-kata itu ia ulangi berkali-kali di kepalanya, meski hatinya terus berontak. Tangannya menyentuh permukaan dingin meja rias, mencari pegangan. Dan tiba-tiba, bayangan masa lalu menyeruak begitu saja—kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. SMA. Hari-hari ketika dunia terasa lebih sederhana. Ketika Alex bukan “Alexander Blackwood sang CEO dingin”, tapi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status