LOGINMobil hitam mewah melaju dengan kecepatan stabil di jalanan kota yang mulai dipenuhi hiruk pikuk pagi. Dari luar, kendaraan itu tampak gagah, berkilau seperti simbol kemenangan. Namun di dalamnya, suasana jauh berbeda.
Emily duduk kaku di kursi belakang, tangannya mencengkeram erat buket mawar putih hingga batangnya nyaris patah. Jantungnya berdegup tak beraturan, seolah tubuhnya tahu bahwa ia sedang digiring menuju takdir yang tidak ia pilih. Nafasnya berat, tertahan di tenggorokan, dan setiap kali ia mencoba menarik udara, rasanya seperti ada batu yang menekan dadanya. Di sampingnya, Alexander duduk tegap dengan sikap santai, seolah ini hanyalah perjalanan singkat menuju sebuah acara rutin. Jas hitamnya jatuh sempurna di tubuh tegapnya, wajahnya dingin tapi penuh kepastian. Seakan seluruh dunia sudah ia atur untuk tunduk pada kehendaknya. Senyum tipis muncul di bibir pria itu saat matanya melirik sekilas ke arah Emily. “Kau terlihat tegang,” ucapnya datar, hampir terdengar seperti ejekan. “Kupikir kau tidak menginginkan pernikahan ini.” Emily menoleh, menatapnya dengan mata bergetar. Suaranya pelan, tapi tegas. “Dan aku masih tidak menginginkannya.” Alex hanya mendengus, suara rendah yang singkat, namun cukup untuk membuat Emily ingin menutup telinganya. Ia tidak merespons lebih jauh. Tidak ada argumen, tidak ada protes—seolah-olah kalimat Emily hanyalah gumaman tanpa arti. Sepanjang sisa perjalanan, mereka terdiam. Hanya deru mesin dan detak jantung Emily yang mengisi ruang hening. --- Katedral St. Augustine menjulang megah di kejauhan, puncaknya seakan menusuk langit biru. Pilar-pilar marmer putih berdiri angkuh, kaca patri memantulkan cahaya matahari, menciptakan kilauan berwarna-warni yang menari di lantai pelataran. Deretan mobil tamu sudah memenuhi area parkir, para undangan berbalut gaun indah dan jas mewah berjalan masuk dengan langkah anggun. Suara bisik-bisik penuh rasa ingin tahu terdengar di mana-mana. Alexander Blackwood menikah. Itu topik utama hari ini, dan seluruh kota tampaknya hadir untuk menyaksikannya. Emily keluar dari mobil dengan langkah pelan, gaun putih panjangnya menyapu lantai marmer. Cahaya matahari mengenai renda halus gaun itu, membuatnya tampak berkilau bagai perhiasan hidup. Tapi bagi Emily, gaun itu terasa seperti rantai yang menahan kebebasannya. Ayahnya sudah menunggu di pintu masuk katedral, wajahnya tampak penuh kebanggaan sekaligus kelelahan. Ia menyodorkan lengannya, dan Emily menyambutnya dengan tangan gemetar. “Semua akan baik-baik saja, Nak,” bisik ayahnya, meski suaranya terdengar lebih seperti doa daripada keyakinan. Musik organ mulai bergema. Langkah Emily bergema di lantai marmer, gaunnya bergesekan dengan setiap gerakan, menciptakan suara lembut yang terdengar nyaring di telinganya. Semua mata menoleh. Tatapan kagum, cemburu, penasaran, hingga sinis, bercampur jadi satu. Senyum-senyum penuh basa-basi menghiasi wajah para undangan, sementara kilatan kamera menangkap setiap detail. Di ujung altar, Alexander sudah menunggu. Tegap, percaya diri, matanya hanya tertuju pada Emily. Ketika ayahnya menyerahkan Emily ke tangan Alex, jemari pria itu langsung menggenggamnya dengan mantap, seakan memastikan tidak ada ruang bagi Emily untuk mundur. Bisikan hangat meluncur dari bibir Alex, hanya untuk Emily. “Tersenyumlah. Atau orang-orang akan berpikir pernikahan ini adalah paksaan.” Emily menahan napas, matanya menatap tajam. “Memangnya bukan begitu?” Alex menunduk sedikit, suaranya lebih rendah. “Setidaknya, biarkan mereka percaya bahwa kita bahagia. Ada banyak kamera yang menyorot.” Emily terpaksa menarik sudut bibirnya, menciptakan senyum yang bahkan dirinya tahu tampak palsu. Tapi bagi para tamu, itu cukup. Pendeta mulai membacakan doa, suara beratnya memenuhi ruang megah itu. Kata-kata tentang cinta, kesetiaan, dan janji abadi mengalun indah, namun tak masuk ke telinga Emily. Ia hanya mendengar gema hatinya sendiri. Pikirannya melayang, kembali ke masa lalu—ke halaman sekolah yang sederhana, jauh dari megahnya katedral ini. “Kalau suatu hari kita menikah, aku tidak akan membiarkanmu menangis, Emily.” Suara Alex muda masih jelas di telinganya, penuh semangat dan keyakinan. “Dasar bodoh, siapa juga yang mau menikah denganmu.” Emily ingat ia menertawakannya saat itu, menganggapnya candaan. Ia tidak pernah menyadari betapa seriusnya Alex. Sekarang, berdiri di sini, Emily merasa dirinya dihantui oleh janji yang dulu ia anggap main-main. “Emily?” Suara Alex memotong lamunannya. Ia menoleh, mendapati mata hitam itu menatap tajam. “Pendeta menunggumu,” bisiknya. Emily tersentak, pipinya memanas. “Maaf,” katanya cepat, kali ini pada sang pendeta. Pendeta tersenyum sabar, lalu mengulang ikrar pernikahan. Dengan suara bergetar, Emily mengucapkannya. Kata-kata itu seperti belenggu, setiap suku kata menjeratnya lebih dalam. “… mulai saat ini, Alexander Blackwood dan Emily Carter resmi sebagai sepasang suami istri.” Suara pendeta menggema di seluruh ruangan, seakan menandai akhir dari satu babak dan awal dari babak baru yang lebih gelap. Tepuk tangan meriah pecah dari para tamu. Sorak-sorai, senyum, kamera berkilatan tak henti. Semua orang tampak puas bisa menjadi saksi peristiwa yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya: Alexander Blackwood, pria dingin yang selalu menolak hadir di pesta sosial mana pun, akhirnya menikah. Emily menunduk sedikit, mencoba menyembunyikan rasa perih yang mencabik dadanya. Tapi Alex, dengan sikap khasnya, langsung mengangkat dagu istrinya dengan jemarinya. “Sekarang bagian yang semua orang tunggu,” bisiknya dengan nada licik, suaranya nyaris membuat darah Emily berdesir. Sebelum Emily sempat menghindar, bibir Alex sudah menempel di bibirnya. Ciuman itu bukan sekadar formalitas. Bukan ciuman sopan yang biasanya ditampilkan dalam pernikahan. Alex menekan bibirnya dalam-dalam, seolah ingin menandai Emily di hadapan seluruh dunia. Jemarinya mengunci pinggang Emily, menarik tubuh ramping itu lebih dekat, membuat gaun putihnya bergoyang halus. Suara tepuk tangan berubah jadi riuh rendah, beberapa tamu bahkan bersorak. Namun, bagi Emily, dunia seakan berhenti berputar. Bibir Alex panas, menuntut, mendesak dengan cara yang membuatnya sulit bernapas. Lidahnya menelusup, memaksa Emily membuka mulut, membuat darahnya berdesir campur aduk antara amarah dan rasa asing yang ia benci akui. Emily berusaha mendorong dada Alex, tapi genggamannya terlalu kuat. Pria itu bahkan sempat menyunggingkan senyum di tengah ciuman mereka, seolah ia tahu Emily terjebak. Akhirnya, Alex menarik diri perlahan, tapi masih menempelkan dahinya di dahi Emily. Suaranya rendah, hanya terdengar olehnya. “Mulai sekarang, kau milikku. Jangan pernah lupakan itu.” Emily terengah, matanya memerah bukan karena bahagia, tapi karena terperangkap. Ia membenci dirinya karena tubuhnya sempat goyah, sempat memberi respon samar yang tidak ia inginkan. Pesta berlanjut. Musik orkestra menggema, tamu-tamu berdansa, gelas-gelas sampanye beradu. Dari luar, pernikahan itu tampak sempurna. Senyum palsu dipajang, kata-kata manis diucapkan, dan dunia percaya pada kebahagiaan mereka. Emily berdiri di sisi Alex, bibirnya masih terasa perih oleh ciuman barusan. Sesekali ia menyunggingkan senyum untuk kamera, tapi di dalam kepalanya, suara Alex muda terus berputar. “Aku janji tidak akan pernah membuatmu menangis.” Janji yang ternyata hancur di altar hari ini.Pagi itu, kota terasa lebih lengang dari biasanya. Langit masih diselimuti kabut tipis saat Alexander menutup laptopnya. Jari-jarinya yang panjang menekan nomor Matthew di ponselnya, suara rendahnya terdengar tegas ketika koneksi tersambung.“Sudah siap?” tanya Alex singkat.“Sudah, Tuan. Semua perabotan sudah ditempatkan sesuai instruksi Anda. Petugas kebersihan dan keamanan juga sudah standby,” jawab Matthew dengan nada profesional.Alex mengangguk kecil, meski Matthew jelas tak bisa melihat. “Baik. Pastikan semuanya lengkap. Aku tidak ingin ada hal yang terlupakan.”Begitu menutup panggilan, ia menoleh ke arah Emily yang masih duduk di sofa, menatap jendela kamar hotel suite mereka dengan tatapan kosong. Perempuan itu terlihat begitu tenang, tapi Alex sudah hafal—di balik wajah datarnya, pikirannya pasti penuh riuh.“Kita pindah hari ini,” kata Alex tanpa basa-basi.Emily menoleh, sedikit mengernyit. “Pindah? Ke mana?”“Ke rumahku. Atau lebih tepatnya—rumah kita.”Emily terdiam. Ka
Malam itu, jamuan makan malam resmi di ballroom hotel dipenuhi wajah-wajah elit. Para pebisnis, politisi, bahkan selebritas. Lampu kristal bergemerlap, musik klasik mengalun lembut. Namun di balik semua kemewahan, ada bisikan-bisikan menusuk. “Pernikahan ini terlalu cepat.” “Blackwood tidak pernah terlihat bersama perempuan sebelumnya—aneh, bukan?” “Mungkin hanya cara menutupi sesuatu.” Emily merasakan tatapan-tatapan itu, seperti jarum menusuk kulitnya. Ketika ia hendak mengambil segelas champagne, sebuah suara lirih terdengar di dekatnya. Seorang pria paruh baya, rival bisnis lama keluarga Blackwood, mendekat dengan senyum penuh sindiran. “Nyonya Blackwood, suatu kehormatan bertemu denganmu. Semoga permainan Alexander tidak melarutkan dirimu.” Emily menegang. Sebelum sempat menjawab, Alex muncul di sisinya, meraih pinggangnya dengan posesif. Tatapannya menusuk pria itu. “Permainan?” Alex mengulang kata itu dengan nada rendah yang mengancam. “Kalau aku bermain, maka satu-satu
Sinar matahari menembus tirai hotel, menyapu perlahan kamar suite tempat mereka menginap setelah resepsi semalam. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuhnya masih letih—bukan hanya karena pesta panjang, tapi juga karena malam intens yang ia lewati bersama Alex. Suara napas tenang terdengar di sebelahnya. Alexander terbaring di samping, dada bidangnya naik turun perlahan, wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Emily terdiam sejenak, menatapnya lama. Tangannya, hampir tanpa sadar, terulur. Jemarinya menyentuh perlahan garis rahang yang dulu sangat ia kenal—wajah yang dulu penuh tawa hangat saat masih di SMA. Kenangan itu menyeruak begitu saja: Alex remaja, tersenyum cerah, bercanda bahwa suatu hari ia akan menikahi Emily. Dulu, Emily hanya menertawakannya, menganggap itu omong kosong. Sekarang… mereka benar-benar menikah. Tapi bukan dengan cara yang ia bayangkan. Air mata tipis nyaris muncul di sudut matanya. “Alex… kau benar-benar menepati janjimu,” bisiknya lirih, nya
Suara lonceng katedral masih menggema di telinga Emily saat ia melangkah keluar, menggandeng lengan Alex yang berdiri menjulang di sampingnya. Hujan kelopak mawar putih berjatuhan dari tangan para tamu undangan yang berjejer di depan pintu besar katedral. Senyum mereka merekah, kamera-kamera berkilat, sorak sorai ucapan selamat terdengar ke segala penjuru. Emily tersenyum tipis, kaku. Dalam hatinya, ia hanya ingin kabur. Gaun pengantin putih gading yang indah itu terasa seperti belenggu, setiap langkahnya seolah berat. Alex, di sisi lain, tampak tenang, bahkan terlalu tenang. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi genggaman tangannya di lengan Emily terlalu erat—seakan mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah membiarkan Emily pergi. Sebuah mobil limousine hitam sudah menunggu di depan katedral. Sopir membukakan pintu, dan para tamu masih menyoraki keduanya seperti pasangan bahagia. Emily melangkah masuk lebih dulu, diikuti Alex. Begitu pintu tertutup, sorak sorai di luar langsung mere
Mobil hitam mewah melaju dengan kecepatan stabil di jalanan kota yang mulai dipenuhi hiruk pikuk pagi. Dari luar, kendaraan itu tampak gagah, berkilau seperti simbol kemenangan. Namun di dalamnya, suasana jauh berbeda. Emily duduk kaku di kursi belakang, tangannya mencengkeram erat buket mawar putih hingga batangnya nyaris patah. Jantungnya berdegup tak beraturan, seolah tubuhnya tahu bahwa ia sedang digiring menuju takdir yang tidak ia pilih. Nafasnya berat, tertahan di tenggorokan, dan setiap kali ia mencoba menarik udara, rasanya seperti ada batu yang menekan dadanya. Di sampingnya, Alexander duduk tegap dengan sikap santai, seolah ini hanyalah perjalanan singkat menuju sebuah acara rutin. Jas hitamnya jatuh sempurna di tubuh tegapnya, wajahnya dingin tapi penuh kepastian. Seakan seluruh dunia sudah ia atur untuk tunduk pada kehendaknya. Senyum tipis muncul di bibir pria itu saat matanya melirik sekilas ke arah Emily. “Kau terlihat tegang,” ucapnya datar, hampir terdengar seperti
Cermin besar di ruang rias memantulkan sosok seorang pengantin wanita dengan gaun putih sempurna. Namun, senyum bahagia yang seharusnya ada di wajah itu tidak pernah muncul. Emily menatap dirinya lama, seakan menunggu bayangan lain yang lebih jujur keluar dari balik pantulan. Yang terlihat hanyalah sepasang mata lelah, bibir yang dipaksa tersenyum, dan bahu yang tegang menahan beban. Hari ini seharusnya hari terindah dalam hidup seorang wanita. Tapi bagi Emily, ini hari yang terasa seperti vonis. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Aku harus kuat. Demi Papa, demi Mama, demi perusahaan. Aku bisa melakukannya. Kata-kata itu ia ulangi berkali-kali di kepalanya, meski hatinya terus berontak. Tangannya menyentuh permukaan dingin meja rias, mencari pegangan. Dan tiba-tiba, bayangan masa lalu menyeruak begitu saja—kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. SMA. Hari-hari ketika dunia terasa lebih sederhana. Ketika Alex bukan “Alexander Blackwood sang CEO dingin”, tapi







