Beranda / Romansa / Penjara Cinta CEO Dingin / Bab 07: Bayangan di balik janji

Share

Bab 07: Bayangan di balik janji

Penulis: Bon Johnham
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-16 13:34:17

Sinar matahari menembus tirai hotel, menyapu perlahan kamar suite tempat mereka menginap setelah resepsi semalam. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuhnya masih letih—bukan hanya karena pesta panjang, tapi juga karena malam intens yang ia lewati bersama Alex.

Suara napas tenang terdengar di sebelahnya. Alexander terbaring di samping, dada bidangnya naik turun perlahan, wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Emily terdiam sejenak, menatapnya lama.

Tangannya, hampir tanpa sadar, terulur. Jemarinya menyentuh perlahan garis rahang yang dulu sangat ia kenal—wajah yang dulu penuh tawa hangat saat masih di SMA. Kenangan itu menyeruak begitu saja: Alex remaja, tersenyum cerah, bercanda bahwa suatu hari ia akan menikahi Emily. Dulu, Emily hanya menertawakannya, menganggap itu omong kosong.

Sekarang… mereka benar-benar menikah. Tapi bukan dengan cara yang ia bayangkan.

Air mata tipis nyaris muncul di sudut matanya. “Alex… kau benar-benar menepati janjimu,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. “Tapi kenapa dengan cara seperti ini?”

Tiba-tiba, jemari hangat melingkari pergelangan tangannya. Emily terkejut—mata abu-abu itu sudah terbuka, menatapnya tajam dari jarak begitu dekat.

“Jangan sentuh aku dengan ragu, Emily.” Suaranya berat, serak karena baru bangun, tapi penuh kuasa. “Kalau kau ingin menyentuhku… lakukan dengan sepenuh hati.”

Emily buru-buru menarik tangannya, wajahnya panas. “Aku… aku hanya—”

Alex menyeringai tipis, lalu mencekal jemarinya lebih erat, membawanya kembali ke wajahnya. “Kau masih sama seperti dulu. Selalu menolak, selalu berpura-pura tidak peduli. Tapi lihat sekarang.” Ia menatapnya tajam, seolah menembus pikirannya. “Aku menepati janji itu. Kau istriku.”

Emily berusaha melawan genggamannya. “Tapi ini bukan pernikahan yang kuinginkan, Alex.”

Sorot mata Alex mengeras. “Tidak penting bagaimana kau menginginkannya. Yang penting… aku mendapatkannya. Aku mendapat kamu.”

Hening menegangkan menggantung di udara. Emily terjebak—antara kilas balik hangat tentang Alex yang dulu, dan obsesi dingin dari Alex yang sekarang. Dadanya berdegup kencang, bingung apakah ia harus marah, takut, atau… diam-diam tergerak.

tok tok tok

Ketukan di pintu memecah suasana. Emily buru-buru menarik selimut, sementara Alex berguling malas dari ranjang.

Seorang pelayan masuk, membungkuk sopan. “Selamat pagi, Tuan dan Nyonya Blackwood. Sarapan telah disiapkan. Dan ini…” ia meletakkan koran pagi di meja. “Saya pikir Anda ingin melihatnya.”

Alex hanya mengangguk singkat. Setelah pelayan keluar, Emily meraih koran itu lebih dulu, matanya langsung tertumbuk pada halaman depan.

Judul besar terpampang jelas:

“Skandal Pernikahan Palsu: Demi Kursi Ketua Dewan Dagang Internasional, Blackwood Nikahi Putri Mantan Ketua yang Hampir Bangkrut Karena Hutang — Motif Ambisius Bongkar Citra “Pria Tangguh”

Emily membuka lipatan koran yang dibawa pelayan. Matanya segera tertumbuk pada huruf besar yang menohok:

“Skandal Pernikahan Palsu: Blackwood Nikahi Putri Carter Demi Ambisi?”

Alisnya berkerut. Ia membaca cepat, tapi tidak sampai tuntas. Tubuhnya kaku, wajahnya kaget—namun ia tidak menunjukkan lebih dari itu. Emily menutup koran itu pelan, lalu mengangkat pandangan pada Alexander.

“Kau sudah melihatnya, bukan?” suaranya datar.

Alex berdiri di balkon, menyalakan rokok dengan gerakan santai. “Ya.”

Emily mengembuskan napas panjang, lalu melemparkan koran itu kembali ke meja dengan sedikit keras. “Kau tidak marah?”

Asap rokok keluar dari bibir Alex, sorot matanya tetap tenang. “Kenapa aku harus marah?”

Emily menatapnya lama, rahangnya mengeras. “Karena mereka menyentil egomu. Mereka mengataimu lemah, Alex.”

Untuk sesaat, ruangan terasa hening. Hanya terdengar suara jam di dinding dan dengung samar lalu lintas kota.

Alex menoleh, alisnya sedikit terangkat, seakan heran. “Tidakkah seharusnya kau yang marah?”

Emily tercekat. Bibirnya ingin bergerak, tapi tak ada kata keluar. Ia menunduk, menggenggam gaun tidurnya erat di pangkuan. Karena, benar—di dalam hatinya, ada amarah.

Jika berita itu benar, berarti ia hanyalah pion dua arah.

Pion orang tuanya untuk melunasi hutang.

Pion Alexander untuk memenuhi obsesi dan ambisinya.

Harga dirinya… apakah sama sekali tidak berarti? Apakah ia hanya barang yang bisa dipertukarkan di meja tawar-menawar?

Emily mengangkat wajahnya lagi, menatap Alex yang kembali mengisap rokok dengan santai, seolah dunia hanya permainan baginya. Dadanya terasa sesak.

Emily duduk di meja makan suite, mencoba menyembunyikan kegelisahannya dengan menyesap kopi. Namun, bayangan headline koran tadi masih menari-nari di pikirannya. Perutnya terasa mual, meski makanan terhidang begitu mewah: roti hangat, telur dadar lembut, daging asap yang masih mengepul.

Emily masih bisa merasakan sisa aroma asap rokok dari balkon ketika ia menurunkan koran yang tadi sempat ia baca. Hatinya masih berat, tapi wajahnya ia jaga tetap datar.

Alexander masuk ke ruang makan, kemeja hitamnya rapi, wajahnya sama sekali tak menunjukkan reaksi atas headline yang memenuhi halaman depan media. Ia hanya menaruh ponselnya di meja, lalu duduk.

“Kenapa wajahmu murung pagi ini?” tanyanya tenang, sembari meraih sendok.

Emily tertegun sebentar, lalu buru-buru menunduk. “Tidak apa-apa,” jawabnya singkat.

Alexander tidak menekan. Ia hanya melanjutkan sarapannya dengan tenang, seperti tak ingin tahu lebih jauh.

Emily menatapnya sekilas. Ada sesuatu yang mengganjal. Dulu, saat mereka masih SMA, Alexander selalu kalang kabut tiap kali ia murung. Ia akan melakukan hal konyol apa pun hanya demi membuatnya tertawa lagi. Tapi sekarang? Alexander benar-benar berubah. Ia bahkan tidak tertarik untuk menggali perasaannya.

Emily tersenyum miris, menunduk lagi, menyembunyikan hatinya yang remuk.

Keheningan itu dipotong suara ponsel di meja. Alexander menggeser kursinya, meraih ponsel, lalu mengangkatnya.

“Ya?” suaranya dingin.

Itu suara asistennya di seberang. Emily tak bisa mendengar jelas, tapi nada Alexander cukup memberi gambaran.

“Aku tahu,” jawab Alexander, singkat. “Tidak perlu dihapus. Biarkan saja.”

Sekilas ia melirik Emily, lalu kembali menatap meja.

“Ya, headline negatif itu hanya sampah. Tidak penting.”

Suara dari seberang terdengar lagi. Alexander mengernyit.

“Perjamuan besar di ballroom Hotel Livia?” ia mengulang, suaranya merendah. “Mendadak sekali.”

Asistennya menjelaskan bahwa ia juga baru mendapat undangan resmi.

Alexander diam sejenak, lalu berkata datar, “Baik. Aku mengerti.”

Ia menutup telepon.

Emily yang sejak tadi memperhatikan akhirnya membuka suara. “Ada apa?”

Alexander menoleh, ekspresinya sulit terbaca. “Malam ini kau ikut denganku.”

“Ke mana?” Emily spontan bertanya.

“Jangan banyak tanya,” balas Alexander singkat. Ia bangkit dari kursinya, merapikan jasnya.

Namun, sebelum benar-benar pergi, ia berhenti di sisi Emily. Menunduk sedikit, suaranya rendah tapi sarat tekanan.

“Buat dirimu terlihat betulan mencintaiku. Aku berharap banyak padamu, Emily.”

Emily membeku. Kata-kata itu menghantam dadanya. Jadi benar, pikirnya. Selama ini ia hanyalah pion—dan bukan sekadar asumsi yang ia takutkan.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 09: Rumah baru, ancaman baru.

    Pagi itu, kota terasa lebih lengang dari biasanya. Langit masih diselimuti kabut tipis saat Alexander menutup laptopnya. Jari-jarinya yang panjang menekan nomor Matthew di ponselnya, suara rendahnya terdengar tegas ketika koneksi tersambung.“Sudah siap?” tanya Alex singkat.“Sudah, Tuan. Semua perabotan sudah ditempatkan sesuai instruksi Anda. Petugas kebersihan dan keamanan juga sudah standby,” jawab Matthew dengan nada profesional.Alex mengangguk kecil, meski Matthew jelas tak bisa melihat. “Baik. Pastikan semuanya lengkap. Aku tidak ingin ada hal yang terlupakan.”Begitu menutup panggilan, ia menoleh ke arah Emily yang masih duduk di sofa, menatap jendela kamar hotel suite mereka dengan tatapan kosong. Perempuan itu terlihat begitu tenang, tapi Alex sudah hafal—di balik wajah datarnya, pikirannya pasti penuh riuh.“Kita pindah hari ini,” kata Alex tanpa basa-basi.Emily menoleh, sedikit mengernyit. “Pindah? Ke mana?”“Ke rumahku. Atau lebih tepatnya—rumah kita.”Emily terdiam. Ka

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 08: Bisikan kota

    Malam itu, jamuan makan malam resmi di ballroom hotel dipenuhi wajah-wajah elit. Para pebisnis, politisi, bahkan selebritas. Lampu kristal bergemerlap, musik klasik mengalun lembut. Namun di balik semua kemewahan, ada bisikan-bisikan menusuk. “Pernikahan ini terlalu cepat.” “Blackwood tidak pernah terlihat bersama perempuan sebelumnya—aneh, bukan?” “Mungkin hanya cara menutupi sesuatu.” Emily merasakan tatapan-tatapan itu, seperti jarum menusuk kulitnya. Ketika ia hendak mengambil segelas champagne, sebuah suara lirih terdengar di dekatnya. Seorang pria paruh baya, rival bisnis lama keluarga Blackwood, mendekat dengan senyum penuh sindiran. “Nyonya Blackwood, suatu kehormatan bertemu denganmu. Semoga permainan Alexander tidak melarutkan dirimu.” Emily menegang. Sebelum sempat menjawab, Alex muncul di sisinya, meraih pinggangnya dengan posesif. Tatapannya menusuk pria itu. “Permainan?” Alex mengulang kata itu dengan nada rendah yang mengancam. “Kalau aku bermain, maka satu-satu

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 07: Bayangan di balik janji

    Sinar matahari menembus tirai hotel, menyapu perlahan kamar suite tempat mereka menginap setelah resepsi semalam. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuhnya masih letih—bukan hanya karena pesta panjang, tapi juga karena malam intens yang ia lewati bersama Alex. Suara napas tenang terdengar di sebelahnya. Alexander terbaring di samping, dada bidangnya naik turun perlahan, wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Emily terdiam sejenak, menatapnya lama. Tangannya, hampir tanpa sadar, terulur. Jemarinya menyentuh perlahan garis rahang yang dulu sangat ia kenal—wajah yang dulu penuh tawa hangat saat masih di SMA. Kenangan itu menyeruak begitu saja: Alex remaja, tersenyum cerah, bercanda bahwa suatu hari ia akan menikahi Emily. Dulu, Emily hanya menertawakannya, menganggap itu omong kosong. Sekarang… mereka benar-benar menikah. Tapi bukan dengan cara yang ia bayangkan. Air mata tipis nyaris muncul di sudut matanya. “Alex… kau benar-benar menepati janjimu,” bisiknya lirih, nya

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 06: Hanya Tuhan Yang Bisa Bantu

    Suara lonceng katedral masih menggema di telinga Emily saat ia melangkah keluar, menggandeng lengan Alex yang berdiri menjulang di sampingnya. Hujan kelopak mawar putih berjatuhan dari tangan para tamu undangan yang berjejer di depan pintu besar katedral. Senyum mereka merekah, kamera-kamera berkilat, sorak sorai ucapan selamat terdengar ke segala penjuru. Emily tersenyum tipis, kaku. Dalam hatinya, ia hanya ingin kabur. Gaun pengantin putih gading yang indah itu terasa seperti belenggu, setiap langkahnya seolah berat. Alex, di sisi lain, tampak tenang, bahkan terlalu tenang. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi genggaman tangannya di lengan Emily terlalu erat—seakan mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah membiarkan Emily pergi. Sebuah mobil limousine hitam sudah menunggu di depan katedral. Sopir membukakan pintu, dan para tamu masih menyoraki keduanya seperti pasangan bahagia. Emily melangkah masuk lebih dulu, diikuti Alex. Begitu pintu tertutup, sorak sorai di luar langsung mere

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 05: Janji-Janji yang terucap

    Mobil hitam mewah melaju dengan kecepatan stabil di jalanan kota yang mulai dipenuhi hiruk pikuk pagi. Dari luar, kendaraan itu tampak gagah, berkilau seperti simbol kemenangan. Namun di dalamnya, suasana jauh berbeda. Emily duduk kaku di kursi belakang, tangannya mencengkeram erat buket mawar putih hingga batangnya nyaris patah. Jantungnya berdegup tak beraturan, seolah tubuhnya tahu bahwa ia sedang digiring menuju takdir yang tidak ia pilih. Nafasnya berat, tertahan di tenggorokan, dan setiap kali ia mencoba menarik udara, rasanya seperti ada batu yang menekan dadanya. Di sampingnya, Alexander duduk tegap dengan sikap santai, seolah ini hanyalah perjalanan singkat menuju sebuah acara rutin. Jas hitamnya jatuh sempurna di tubuh tegapnya, wajahnya dingin tapi penuh kepastian. Seakan seluruh dunia sudah ia atur untuk tunduk pada kehendaknya. Senyum tipis muncul di bibir pria itu saat matanya melirik sekilas ke arah Emily. “Kau terlihat tegang,” ucapnya datar, hampir terdengar seperti

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 04: Bayangan Masa Lalu

    Cermin besar di ruang rias memantulkan sosok seorang pengantin wanita dengan gaun putih sempurna. Namun, senyum bahagia yang seharusnya ada di wajah itu tidak pernah muncul. Emily menatap dirinya lama, seakan menunggu bayangan lain yang lebih jujur keluar dari balik pantulan. Yang terlihat hanyalah sepasang mata lelah, bibir yang dipaksa tersenyum, dan bahu yang tegang menahan beban. Hari ini seharusnya hari terindah dalam hidup seorang wanita. Tapi bagi Emily, ini hari yang terasa seperti vonis. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Aku harus kuat. Demi Papa, demi Mama, demi perusahaan. Aku bisa melakukannya. Kata-kata itu ia ulangi berkali-kali di kepalanya, meski hatinya terus berontak. Tangannya menyentuh permukaan dingin meja rias, mencari pegangan. Dan tiba-tiba, bayangan masa lalu menyeruak begitu saja—kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. SMA. Hari-hari ketika dunia terasa lebih sederhana. Ketika Alex bukan “Alexander Blackwood sang CEO dingin”, tapi

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status