LOGINCermin besar di ruang rias memantulkan sosok seorang pengantin wanita dengan gaun putih sempurna. Namun, senyum bahagia yang seharusnya ada di wajah itu tidak pernah muncul. Emily menatap dirinya lama, seakan menunggu bayangan lain yang lebih jujur keluar dari balik pantulan. Yang terlihat hanyalah sepasang mata lelah, bibir yang dipaksa tersenyum, dan bahu yang tegang menahan beban.
Hari ini seharusnya hari terindah dalam hidup seorang wanita. Tapi bagi Emily, ini hari yang terasa seperti vonis. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Aku harus kuat. Demi Papa, demi Mama, demi perusahaan. Aku bisa melakukannya. Kata-kata itu ia ulangi berkali-kali di kepalanya, meski hatinya terus berontak. Tangannya menyentuh permukaan dingin meja rias, mencari pegangan. Dan tiba-tiba, bayangan masa lalu menyeruak begitu saja—kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. SMA. Hari-hari ketika dunia terasa lebih sederhana. Ketika Alex bukan “Alexander Blackwood sang CEO dingin”, tapi hanya Alex: sahabatnya, penggila basket yang suka mencuri bekal makan siang Emily, yang selalu mengantarnya pulang meski rumah mereka berlawanan arah. Emily ingat jelas, bagaimana Alex dulu selalu duduk di sampingnya di perpustakaan. Ia pura-pura belajar, padahal hanya ingin mengganggu Emily dengan menggambar wajahnya di buku catatan. Kadang ia menatapnya lama, lalu tersenyum kecil—senyum yang membuat jantung Emily berdetak lebih cepat, meski tak pernah ia akui. “Emily…” suara itu terngiang di telinganya, suara Alex remaja yang begitu tulus. “…aku menyukaimu.” Itu bukan sekali. Alex mengaku berkali-kali. Selalu dengan cara yang berbeda—di lapangan basket setelah latihan, di bawah pohon tua halaman sekolah, bahkan saat hujan deras ketika mereka berteduh berdua. Tapi jawaban Emily selalu sama. “Aku tidak bisa bersamamu, Alex.” Kalimat sederhana itu, ambigu, penuh makna yang tak pernah dijelaskan. Karena sebenarnya Emily sendiri tak tahu harus bilang apa. Ia masih SMA, pikirannya terlalu kacau. Alex berbeda—terlalu populer, terlalu kaya, terlalu semua. Dan Emily takut. Bagi Alex, kalimat itu bagai palu godam. Anak orang kaya yang terbiasa mendapatkan apa pun yang ia mau, terbiasa melihat dunia menunduk padanya. Hanya Emily yang tak pernah tunduk, hanya Emily yang berani berkata “tidak”. Dan itulah yang paling melukainya. Suatu malam, setelah penolakan terakhir, Alex membawa kabur mobil sport milik ayahnya. Marah, frustrasi, hatinya berantakan. Emily tahu kabar itu keesokan harinya: mobil ringsek, api membakar jalan, dan seseorang meninggal. Supir keluarga yang setia menemani Alex… atau menurut beberapa kabar, sepupu jauh yang selama ini jadi pengawal pribadinya. Alex selamat. Luka fisik bisa sembuh. Tapi luka batin itu tidak pernah tertutup. Rasa bersalah menempel di setiap tarikan napasnya. Dalam pikirannya, semua kembali pada satu akar: penolakan Emily. Kalau saja ia tidak marah, kalau saja ia tidak ditolak, mungkin orang itu tidak akan mati. Emily menutup mata, menggigit bibir. Bayangan Alex remaja yang tersenyum lembut bercampur dengan wajah dingin pria yang kini menunggunya di altar. Alex… yang mana dirimu yang sebenarnya? Tiba-tiba, suara pintu terbuka memutus lamunannya. Emily terlonjak, menoleh cepat. Alexander berdiri di ambang pintu. Setelan jas hitam membalut tubuhnya sempurna, auranya mendominasi ruangan seketika. Tatapannya tajam, menusuk, tapi di dalamnya ada sesuatu yang lain—sesuatu yang mengingatkan Emily pada Alex masa lalu. “Cantik sekali,” katanya pelan, suaranya dalam. “Kau terlihat… seperti mimpi yang akhirnya jadi nyata.” Emily tercekat. Ia ingin membalas sinis, ingin menolak kehangatan dalam kata-kata itu, tapi tubuhnya membeku. Dalam sekejap, Alex sudah melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Jarak mereka menyempit dengan cepat, hingga Emily bisa merasakan hangat napasnya. “A–Alex, jangan di sini. Mereka bisa—” Bibirnya terhenti karena bibir Alex menempel di miliknya. Ciuman itu menghantamnya seperti badai. Keras, menuntut, penuh obsesi. Tangan Alex mencengkeram pinggangnya, menariknya lebih dekat, membuat Emily kehilangan keseimbangan. Emily berusaha mendorong, tapi tubuhnya goyah. Setiap tarikan napasnya terseret dalam ciuman itu, membuat pikirannya kabur. Bagian dari dirinya menolak, tapi bagian lain… menyerah. “Alex… jangan…” bisiknya di sela napas, tapi Alex hanya menanggapi dengan ciuman yang makin dalam. Ketukan keras di pintu membuat mereka berdua terhentak. “Waktunya sudah hampir tiba! Siap-siap, Nona Emily!” suara panik terdengar dari luar. Emily langsung mendorong Alex dengan sisa tenaga. Napasnya tersengal, wajahnya merah padam. “Kau gila…” Alex tersenyum miring, matanya berkilat gelap. “Mungkin. Tapi hanya padamu, Emily.” Emily berbalik, punggungnya bersandar pada meja rias, mencoba mengatur napas. Tubuhnya masih bergetar, bukan hanya karena ciuman barusan, tapi juga karena tatapan Alex yang begitu… berbahaya. Alex melangkah mendekat lagi, menundukkan wajahnya hingga sejajar dengannya. Jemarinya menyusuri pipi Emily, lembut tapi mengekang. “Kau selalu menolak, selalu kabur. Tapi lihat dirimu sekarang, Emily. Kau tetap kembali padaku.” “Aku tidak punya pilihan,” Emily berbisik, suaranya nyaris pecah. Alex menggeleng, senyum samar terulas di bibirnya. “Tidak. Selalu ada pilihan. Kau hanya terlalu takut untuk mengakuinya.” Kata-kata itu menusuk, membuat Emily terdiam. Ia ingin membantah, tapi hatinya tahu ada kebenaran di sana. Alex menunduk, kembali mencium bibirnya, kali ini lebih pelan—bukan badai, tapi kobaran api yang membakar perlahan. Tangan Emily mengepal, mencoba menahan gejolak di dalam dirinya. “Alex…” ia berusaha memanggil, suaranya parau. “Kenapa aku? Dari semua wanita, kenapa harus aku?” Alex berhenti, menatapnya dalam. Mata gelap itu berkilau dengan sesuatu yang sulit diartikan. “Karena hanya kau yang berani mengatakan tidak padaku. Hanya kau yang tidak bisa kumiliki… sampai sekarang.” Emily membeku. Kata-kata itu terdengar seperti pengakuan, sekaligus kutukan. Ketukan kedua di pintu menggelegar, lebih keras. “Nona Emily! Sudah saatnya, ayo cepat!” Emily menoleh ke arah pintu, panik. Alex masih berdiri dekat, wajahnya tanpa ragu, tatapannya penuh keyakinan. “Alex, lepaskan aku,” katanya dengan suara bergetar. Pria itu menatapnya lama, lalu perlahan menarik diri. Namun sebelum benar-benar mundur, ia menempelkan bibirnya di telinga Emily, berbisik pelan. “Ini baru permulaan. Setelah hari ini, tidak ada lagi alasan untukmu menolak.” Emily merasakan bulu kuduknya berdiri. Kata-kata itu terdengar seperti janji… atau ancaman. Alex berbalik, membuka pintu dengan tenang, seakan tidak terjadi apa-apa. Di luar, panitia langsung menyambut dengan wajah lega. Emily tetap berdiri di tempatnya, jantungnya berdegup tak terkendali. Ia menatap pantulan dirinya di cermin sekali lagi. Gaun putih, riasan sempurna, tapi mata yang penuh kebingungan. Bayangan masa lalu masih menghantui—Alex yang manis, Alex yang keras kepala, Alex yang hancur karena penolakannya. Dan kini, Alex yang kembali untuk mengikatnya selamanya. Emily menutup mata, menahan air mata yang hampir jatuh. Tuhan, tolong beri aku kekuatan. Karena aku takut sekali…Pagi itu, kota terasa lebih lengang dari biasanya. Langit masih diselimuti kabut tipis saat Alexander menutup laptopnya. Jari-jarinya yang panjang menekan nomor Matthew di ponselnya, suara rendahnya terdengar tegas ketika koneksi tersambung.“Sudah siap?” tanya Alex singkat.“Sudah, Tuan. Semua perabotan sudah ditempatkan sesuai instruksi Anda. Petugas kebersihan dan keamanan juga sudah standby,” jawab Matthew dengan nada profesional.Alex mengangguk kecil, meski Matthew jelas tak bisa melihat. “Baik. Pastikan semuanya lengkap. Aku tidak ingin ada hal yang terlupakan.”Begitu menutup panggilan, ia menoleh ke arah Emily yang masih duduk di sofa, menatap jendela kamar hotel suite mereka dengan tatapan kosong. Perempuan itu terlihat begitu tenang, tapi Alex sudah hafal—di balik wajah datarnya, pikirannya pasti penuh riuh.“Kita pindah hari ini,” kata Alex tanpa basa-basi.Emily menoleh, sedikit mengernyit. “Pindah? Ke mana?”“Ke rumahku. Atau lebih tepatnya—rumah kita.”Emily terdiam. Ka
Malam itu, jamuan makan malam resmi di ballroom hotel dipenuhi wajah-wajah elit. Para pebisnis, politisi, bahkan selebritas. Lampu kristal bergemerlap, musik klasik mengalun lembut. Namun di balik semua kemewahan, ada bisikan-bisikan menusuk. “Pernikahan ini terlalu cepat.” “Blackwood tidak pernah terlihat bersama perempuan sebelumnya—aneh, bukan?” “Mungkin hanya cara menutupi sesuatu.” Emily merasakan tatapan-tatapan itu, seperti jarum menusuk kulitnya. Ketika ia hendak mengambil segelas champagne, sebuah suara lirih terdengar di dekatnya. Seorang pria paruh baya, rival bisnis lama keluarga Blackwood, mendekat dengan senyum penuh sindiran. “Nyonya Blackwood, suatu kehormatan bertemu denganmu. Semoga permainan Alexander tidak melarutkan dirimu.” Emily menegang. Sebelum sempat menjawab, Alex muncul di sisinya, meraih pinggangnya dengan posesif. Tatapannya menusuk pria itu. “Permainan?” Alex mengulang kata itu dengan nada rendah yang mengancam. “Kalau aku bermain, maka satu-satu
Sinar matahari menembus tirai hotel, menyapu perlahan kamar suite tempat mereka menginap setelah resepsi semalam. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuhnya masih letih—bukan hanya karena pesta panjang, tapi juga karena malam intens yang ia lewati bersama Alex. Suara napas tenang terdengar di sebelahnya. Alexander terbaring di samping, dada bidangnya naik turun perlahan, wajahnya tampak begitu damai dalam tidur. Emily terdiam sejenak, menatapnya lama. Tangannya, hampir tanpa sadar, terulur. Jemarinya menyentuh perlahan garis rahang yang dulu sangat ia kenal—wajah yang dulu penuh tawa hangat saat masih di SMA. Kenangan itu menyeruak begitu saja: Alex remaja, tersenyum cerah, bercanda bahwa suatu hari ia akan menikahi Emily. Dulu, Emily hanya menertawakannya, menganggap itu omong kosong. Sekarang… mereka benar-benar menikah. Tapi bukan dengan cara yang ia bayangkan. Air mata tipis nyaris muncul di sudut matanya. “Alex… kau benar-benar menepati janjimu,” bisiknya lirih, nya
Suara lonceng katedral masih menggema di telinga Emily saat ia melangkah keluar, menggandeng lengan Alex yang berdiri menjulang di sampingnya. Hujan kelopak mawar putih berjatuhan dari tangan para tamu undangan yang berjejer di depan pintu besar katedral. Senyum mereka merekah, kamera-kamera berkilat, sorak sorai ucapan selamat terdengar ke segala penjuru. Emily tersenyum tipis, kaku. Dalam hatinya, ia hanya ingin kabur. Gaun pengantin putih gading yang indah itu terasa seperti belenggu, setiap langkahnya seolah berat. Alex, di sisi lain, tampak tenang, bahkan terlalu tenang. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi genggaman tangannya di lengan Emily terlalu erat—seakan mengingatkan bahwa ia tidak akan pernah membiarkan Emily pergi. Sebuah mobil limousine hitam sudah menunggu di depan katedral. Sopir membukakan pintu, dan para tamu masih menyoraki keduanya seperti pasangan bahagia. Emily melangkah masuk lebih dulu, diikuti Alex. Begitu pintu tertutup, sorak sorai di luar langsung mere
Mobil hitam mewah melaju dengan kecepatan stabil di jalanan kota yang mulai dipenuhi hiruk pikuk pagi. Dari luar, kendaraan itu tampak gagah, berkilau seperti simbol kemenangan. Namun di dalamnya, suasana jauh berbeda. Emily duduk kaku di kursi belakang, tangannya mencengkeram erat buket mawar putih hingga batangnya nyaris patah. Jantungnya berdegup tak beraturan, seolah tubuhnya tahu bahwa ia sedang digiring menuju takdir yang tidak ia pilih. Nafasnya berat, tertahan di tenggorokan, dan setiap kali ia mencoba menarik udara, rasanya seperti ada batu yang menekan dadanya. Di sampingnya, Alexander duduk tegap dengan sikap santai, seolah ini hanyalah perjalanan singkat menuju sebuah acara rutin. Jas hitamnya jatuh sempurna di tubuh tegapnya, wajahnya dingin tapi penuh kepastian. Seakan seluruh dunia sudah ia atur untuk tunduk pada kehendaknya. Senyum tipis muncul di bibir pria itu saat matanya melirik sekilas ke arah Emily. “Kau terlihat tegang,” ucapnya datar, hampir terdengar seperti
Cermin besar di ruang rias memantulkan sosok seorang pengantin wanita dengan gaun putih sempurna. Namun, senyum bahagia yang seharusnya ada di wajah itu tidak pernah muncul. Emily menatap dirinya lama, seakan menunggu bayangan lain yang lebih jujur keluar dari balik pantulan. Yang terlihat hanyalah sepasang mata lelah, bibir yang dipaksa tersenyum, dan bahu yang tegang menahan beban. Hari ini seharusnya hari terindah dalam hidup seorang wanita. Tapi bagi Emily, ini hari yang terasa seperti vonis. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Aku harus kuat. Demi Papa, demi Mama, demi perusahaan. Aku bisa melakukannya. Kata-kata itu ia ulangi berkali-kali di kepalanya, meski hatinya terus berontak. Tangannya menyentuh permukaan dingin meja rias, mencari pegangan. Dan tiba-tiba, bayangan masa lalu menyeruak begitu saja—kenangan yang tak pernah benar-benar hilang. SMA. Hari-hari ketika dunia terasa lebih sederhana. Ketika Alex bukan “Alexander Blackwood sang CEO dingin”, tapi







