Home / Romansa / Penjara Cinta CEO Dingin / Bab 04: Bayangan Masa Lalu

Share

Bab 04: Bayangan Masa Lalu

Author: Bon Johnham
last update Last Updated: 2025-09-01 13:39:00

Emily menatap wanita di depannya dengan ngeri. Nama itu—Victoria Hale—bergaung di kepalanya seperti gema yang tak berhenti. Mantan tunangan Alexander.

Ia tak pernah mendengar Alexander menyebut nama itu. Tidak sekali pun dalam seluruh percakapan dingin mereka sejak kontrak pernikahan ditandatangani. Alexander seolah tak memiliki masa lalu, tak memiliki kehidupan sebelum kekuasaan dan obsesi. Dan kini, di depan matanya, masa lalu itu berdiri dengan senyum getir.

Emily menelan ludah. “Kenapa… kenapa kau di sini?” suaranya serak, hampir berbisik.

Victoria melangkah masuk tanpa diundang, gerakannya penuh percaya diri. “Karena kau berhak tahu siapa sebenarnya pria yang akan kau nikahi besok.”

Kata-kata itu menusuk Emily. Ia menutup pintu dengan tangan gemetar, lalu menatap tamunya dengan tatapan penuh waspada. “Apa maksudmu?”

Victoria duduk di kursi dekat jendela, menyilangkan kaki. Gerakannya elegan, tapi sorot matanya keras. “Alexander tidak pernah berubah. Dia hanya semakin pandai menyembunyikan sisi gelapnya. Kau pikir kau sedang menikahi seorang penyelamat? Tidak, Emily. Kau sedang masuk ke dalam kandang singa.”

Emily terdiam. Ucapan itu sejalan dengan ketakutan yang selama ini berputar di kepalanya. Tapi mendengarnya dari mulut orang lain membuat perasaannya semakin kacau.

“Aku tidak mengerti…” Emily berusaha mencari pijakan. “Kalau dia seburuk itu, kenapa kau bertunangan dengannya?”

Senyum Victoria berubah pahit. “Karena aku dulu sama naifnya denganmu. Alexander adalah pria yang menawan saat ia menginginkannya. Dia bisa membuatmu percaya bahwa kau satu-satunya yang ia lihat. Bahwa dunia berputar hanya untukmu. Aku jatuh ke dalam pesonanya. Aku percaya padanya. Hingga aku sadar, semua itu hanya permainan.”

Emily merasa perutnya mual. Kata “permainan” menggema di kepalanya. Apakah aku juga hanya pion lain?

Victoria menatapnya tajam, seolah membaca pikirannya. “Dia tidak mencintaimu, Emily. Dia hanya terobsesi. Sama seperti dulu dia padaku. Tapi kali ini… aku melihat sesuatu yang lebih berbahaya.”

Emily mundur selangkah. “Berbahaya?”

Victoria mengangguk. “Alexander ingin memiliki kendali penuh. Atas bisnis, atas keluarga, dan atas dirimu. Dia tidak akan melepaskanmu begitu saja. Percayalah, aku tahu seperti apa rasanya menjadi miliknya. Kau akan kehilangan dirimu sedikit demi sedikit.”

Emily merasakan sesuatu menekan dadanya. Namun di balik rasa takut itu, ada suara kecil di dalam hatinya yang berusaha melawan. Ia menggenggam kedua tangannya erat-erat, mencoba menahan guncangan.

“Tidak,” katanya lirih, lebih untuk dirinya sendiri daripada untuk Victoria. “Alexander… dia berbeda denganku. Kami saling mengenal sejak SMA. Dia pernah menyatakan perasaannya padaku… dia bukan pria asing. Dia bukan hanya monster yang kau gambarkan.”

Suara Emily terdengar bergetar, seperti sedang mencoba meyakinkan dirinya. Ia menatap Victoria, berharap kata-katanya bisa terdengar meyakinkan. “Mungkin kau salah… mungkin semua akan baik-baik saja. Dia hanya… keras kepala. Tapi di dalam dirinya, aku tahu masih ada sisi yang aku kenal.”

Victoria menatapnya dalam-dalam. Raut wajahnya menyiratkan iba. “Kau ingin mempercayai itu, Emily. Tapi bisakah kau?”

Emily terdiam. Kata-kata itu seperti cambuk. Ia tahu hatinya masih menyimpan memori tentang anak lelaki SMA yang dulu menatapnya dengan tatapan tulus, yang mengucapkan cinta di bawah pohon tua di halaman sekolah. Tapi pikirannya menolak gambaran itu. Kenyataan di depannya begitu berbeda: Alexander sekarang dingin, penuh obsesi, seolah-olah anak laki-laki yang ia kenal dulu telah mati.

Air mata menggenang di sudut matanya. Aku ingin percaya padanya… tapi bagaimana kalau Victoria benar? Bagaimana kalau aku hanya berpegang pada bayangan masa lalu?

Victoria berdiri, menghampiri Emily. Tangannya menyentuh lengan Emily dengan lembut. “Aku tidak datang untuk menakutimu, Emily. Aku datang untuk memperingatkanmu. Jangan mengulangi kesalahanku. Jika kau benar-benar ingin selamat, kau harus menemukan jalan keluar—sebelum Alexander mengikatmu sepenuhnya.”

Emily menggigit bibirnya hingga terasa asin darah. “Aku… aku tidak bisa. Aku tidak punya pilihan.”

Victoria menatapnya lama, lalu menghela napas. “Selalu ada pilihan. Tapi kau harus cukup berani untuk membayarnya.”

Kalimat itu menggantung di udara, meninggalkan Emily dalam kebisuan yang mencekam.

Victoria melangkah menuju pintu. Sebelum pergi, ia menoleh sekali lagi. Tatapannya lembut tapi penuh luka. “Semoga kau lebih kuat dariku, Emily. Karena Alexander tidak akan berhenti sebelum dia mendapatkan semua yang dia inginkan.”

Pintu tertutup.

Emily terjatuh ke lantai, tubuhnya gemetar hebat. Malam itu, ketakutannya mencapai puncak. Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari bahwa mungkin pernikahan besok bukan hanya tentang menebus masa lalu… tapi tentang bertahan hidup dari masa depan.

Ia menutup wajah dengan kedua tangan, menahan isak. Rasa bersalah, takut, dan keraguan saling menghantam, membuat napasnya terasa berat. Aku harus kuat. Aku tidak boleh rapuh. Aku harus percaya… entah pada siapa.

Perlahan, ia bangkit, ingin menenangkan diri. Namun saat ia membuka pintu kamar untuk menghirup udara segar di lorong, jantungnya seketika membeku.

Alexander berdiri di sana.

Tubuhnya bersandar pada dinding, tangan terlipat di dada, wajahnya tenggelam dalam bayangan lampu koridor. Tatapan matanya hitam pekat, menusuk, penuh sesuatu yang tidak bisa dibaca.

Emily membeku. “A–Alexander…”

Pria itu tidak bergerak. Bibirnya melengkung tipis, entah senyum atau ancaman. “Jadi begitu rupanya… semua yang kau pikirkan tentang aku.” Suaranya rendah, nyaris berbisik, namun setiap kata terdengar jelas dan berat, seakan menekan dada Emily.

Emily mundur setapak, merasa udara di sekelilingnya menipis. Dia mendengar segalanya… percakapan dengan Victoria. Semua.

Alexander melangkah maju, perlahan, penuh kendali. “Kau menganggapku monster… permainan… obsesi. Dan kau masih berusaha meyakinkan dirimu sendiri bahwa aku bukan itu semua.”

Ia berhenti tepat di depan Emily, begitu dekat hingga napasnya terasa panas di kulit wajah Emily. Mata hitam itu menatap dalam, tanpa kedip.

“Besok,” katanya dingin, “kau akan tahu siapa sebenarnya Alexander Blackwood. Dan saat itu tiba… aku pastikan tidak ada lagi jalan keluar bagimu, Emily Carter.”

Emily menahan napas. Tubuhnya gemetar, tapi matanya tetap menatapnya balik, penuh campuran takut dan perlawanan.

Dalam keheningan itu, satu hal menjadi jelas—pernikahan esok bukan sekadar ikatan kontrak. Itu adalah perang.

Emily menelan ludah, mencoba merangkai kata. “Apa yang kau lakukan di sini, Alexander? Kau… kau seharusnya tidak ada di rumahku—”

Alexander menyeringai tipis, tatapannya dingin namun penuh kepastian. “Rumahmu?” Ia mendekat satu langkah, membuat Emily semakin terdesak ke dinding. “Kau masih belum paham, Emily. Setelah besok, rumah keluarga Carter bukan lagi rumahmu. Itu rumah kita. Dan karena rumah itu kini juga milikku… aku bebas berada di mana pun yang aku mau.”

Jantung Emily berdebar kencang. Kata-kata itu menusuknya seperti belati.

Alexander menunduk sedikit, membisikkan kalimat berikutnya tepat di telinganya. “Dan besok pagi, kita akan berangkat bersama ke katedral. Tidak ada lagi tempat bagimu untuk bersembunyi.”

Emily merasakan napasnya tercekat, tubuhnya gemetar hebat. Kata-kata itu bukan sekadar pengingat, melainkan sebuah vonis.

Alexander menatapnya sekali lagi. Namun kali ini, sesuatu yang tak terduga terjadi—ia menunduk, lalu menempelkan bibirnya di kening Emily dengan begitu lembut. Gerakannya perlahan, penuh kehangatan, begitu kontras dengan kalimat kejam yang baru saja ia ucapkan.

Emily membeku. Kejanggalan itu membuatnya gemetar lebih hebat. Sentuhan itu terlalu nyata, terlalu intim, terlalu… hangat. Dalam sekejap, semua bayangan buruk tentang Alexander goyah, seolah hancur dihempas oleh kelembutan yang tak pernah ia duga masih dimiliki pria itu.

“Tidurlah, Emily,” bisik Alexander lirih, hampir seperti nada seorang kekasih yang tulus. “Kau butuh tenaga untuk besok.”

Lalu ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Emily yang berdiri terpaku, dadanya naik-turun dengan napas tersengal.

Air mata menetes begitu saja dari sudut matanya. Bagaimana mungkin seseorang yang begitu dingin, begitu obsesif, masih mampu menciptakan kelembutan yang mampu meruntuhkan benteng hatinya?

Untuk pertama kalinya sejak kontrak itu dibuat, Emily merasakan keraguan pada semua hal buruk yang ia yakini tentang Alexander.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 06: Hanya Tuhan Yang Bisa Bantu

    Suara Victoria memecah keheningan katedral. Dinding tinggi yang dipenuhi kaca patri memantulkan cahaya pagi, tapi suasananya berubah dingin, penuh bisikan. Setiap tamu menoleh, mata mereka bergeser dari pengantin pria ke wanita yang berani mengacaukan upacara sakral. Emily berdiri kaku di samping Alex, jemarinya bergetar dalam genggaman tangannya. Gaun putih yang semula membuatnya anggun kini terasa seperti belenggu. Apa yang dia maksud? Apa rahasia yang Alex sembunyikan dariku? Victoria melangkah maju, gaun merah darahnya menyapu lantai marmer dengan suara mendesis. Senyumnya tipis, penuh ejekan. “Alex, kau pikir bisa berdiri di sini, berpura-pura suci, sementara aku—wanita yang pernah kau janjikan hidup bersama—kau buang begitu saja?” Bisikan tamu berubah menjadi riuh rendah. Beberapa bahkan berdiri, mencoba melihat lebih dekat. Emily menundukkan wajah, dadanya sesak. Alexander tidak goyah. Sorot matanya tetap dingin, rahangnya terkatup rapat. Ketika ia akhirnya membuka mulut,

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 05: Janji-Janji yang terucap

    Matahari pagi menembus tirai kamar dengan cahaya keemasan yang menusuk mata. Emily membuka mata dengan kepala berat, tubuh seakan tak siap menghadapi kenyataan. Hari ini—hari pernikahannya dengan Alexander Blackwood.Ia bangkit perlahan, menatap bayangan dirinya di cermin. Wajah pucat, mata sembab akibat tangis semalaman. “Aku terlihat… seperti tahanan,” gumamnya lirih, bibirnya bergetar.Victoria sempat datang menemuinya sewaktu lebih pagi, membawa gaun putih yang telah dipersiapkan keluarga Carter. “Kau harus terlihat sempurna, Emily. Dunia akan melihatmu berdiri di samping Alexander.” Kalimat itu masih terngiang di kepalanya, seperti perintah tanpa pilihan.Emily menyentuh gaun itu dengan jemari gemetar. Benang-benang renda seolah berubah menjadi rantai yang membelenggunya. Sekali lagi ia mencoba meyakinkan dirinya. Aku dan Alex… kami pernah dekat. Dia mengenalku lebih baik daripada siapa pun. Semua ini akan baik-baik saja.Namun pikirannya menolak. Hatinya menjerit. Ia tahu Alexa

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 04: Bayangan Masa Lalu

    Emily menatap wanita di depannya dengan ngeri. Nama itu—Victoria Hale—bergaung di kepalanya seperti gema yang tak berhenti. Mantan tunangan Alexander. Ia tak pernah mendengar Alexander menyebut nama itu. Tidak sekali pun dalam seluruh percakapan dingin mereka sejak kontrak pernikahan ditandatangani. Alexander seolah tak memiliki masa lalu, tak memiliki kehidupan sebelum kekuasaan dan obsesi. Dan kini, di depan matanya, masa lalu itu berdiri dengan senyum getir. Emily menelan ludah. “Kenapa… kenapa kau di sini?” suaranya serak, hampir berbisik. Victoria melangkah masuk tanpa diundang, gerakannya penuh percaya diri. “Karena kau berhak tahu siapa sebenarnya pria yang akan kau nikahi besok.” Kata-kata itu menusuk Emily. Ia menutup pintu dengan tangan gemetar, lalu menatap tamunya dengan tatapan penuh waspada. “Apa maksudmu?” Victoria duduk di kursi dekat jendela, menyilangkan kaki. Gerakannya elegan, tapi sorot matanya keras. “Alexander tidak pernah berubah. Dia hanya semakin pa

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 03: Malam Terakhir

    Ruang keluarga rumah Carter malam itu dipenuhi keheningan yang mencekik. Lampu gantung kristal berkilau lembut, tapi bagi Emily, cahaya itu terasa seperti sorot lampu interogasi yang menyilaukan matanya. Esok pagi, ia akan menjadi istri Alexander Blackwood. Dan setiap detik yang menghitung mundur ke sana adalah cambuk bagi jiwanya.“Aku tidak mengerti kenapa kalian harus memaksaku melakukannya,” suara Emily pecah, tangannya meremas gaun tidurnya. “Kenapa aku yang harus dikorbankan?”Ibunya, Margaret Carter, menegakkan bahunya. Wanita itu terlihat letih, tapi tetap keras. “Ini bukan tentang pengorbanan, Emily. Ini tentang menyelamatkan nama keluarga kita. Alexander memberi kita kesempatan kedua, dan kau akan menerimanya.”Kata-kata itu menusuk Emily lebih dalam daripada belati. Menyelamatkan nama keluarga. Menyelamatkan kehormatan Carter. Seolah dirinya hanya pion yang bisa digeser demi gengsi.Ayahnya hanya terdiam di kursi kulitnya, wajahnya tersembunyi di balik asap rokok yang perla

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 02: Percikan

    Ruang fitting butik itu terasa dingin, meski lampu-lampu kristal memancarkan cahaya hangat. Emily menatap bayangan dirinya di cermin besar—gaun pengantin putih melekat sempurna di tubuhnya, memantulkan sosok yang seharusnya tampak bahagia. Namun, matanya kosong.Gaun itu bukan simbol cinta. Ia hanya rantai.Pernikahannya dengan Alexander Blackwood akan berlangsung seminggu lagi. Seharusnya ini menjadi momen yang ditunggu-tunggu seorang wanita, tapi Emily justru merasa terjebak. Ia tahu mengapa ia di sini: ayahnya, perusahaan keluarganya, dan kontrak yang ditawarkan Alexander. Semua demi menyelamatkan keluarga Emily yang hampir bangkrut.“Indah,” suara berat yang familiar terdengar di belakangnya.Emily terlonjak. Alexander berdiri di ambang pintu, jas hitamnya rapi, dasi longgar, aura dingin yang selalu membuat orang menunduk. Ia tidak mengetuk, tidak pernah memberi isyarat—selalu hadir seakan-akan ia pemilik segalanya. Termasuk dirinya.Emily memalingkan wajah. “Kau tidak seharusnya

  • Penjara Cinta CEO Dingin   Bab 01: Mimpi buruk

    "Jika kau menolak sentuhanku, kau tahu apa yang aku lakukan pada keluargamu, Emily." Emily membeku. Ia berhenti memberontak atas sentuhan tangan dingin yang kini berani menelusuri kulitnya. Napasnya tercekat, ketakutan menekan dadanya. Kata-kata pria itu menjeratnya, tak memberi celah untuk lari. "Pada akhirnya, kau tetap milikku, Emily." Suara rendah dan dalam yang mengklaim dirinya itu mengirimkan hawa dingin ke sekujur tubuh Emily. Ia masih tak menyangka, malam itu… Malam di tengah guyuran hujan deras di New York adalah awal dari penjara cinta yang kini ia rasakan. ---Hujan menuruni kaca jendela gedung pencakar langit Blackwood Corporation, mengalir seperti air mata yang tak pernah berhenti. New York malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, seakan ikut merasakan ketegangan yang menggantung di dada Emily Carter.Ia berdiri di lobi, tubuhnya basah kuyup. Gaun hitam sederhana melekat pada kulit, sepatu haknya berdecit setiap kali ia melangkah. Namun rasa dingin itu tak ada ap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status