"Mas, pagi ini aku dapat jawaban dari Pak Wishnu Wardana!" seru Kintan dari ujung telepon.Gadis itu menelepon dari toko kue. Layar laptopnya masih menyala, menampilkan sebuah email yang dikirim Livia beberapa menit sebelumnya.Di email itu, tersemat surat perjanjian kerja sama dengan kop perusahaan yang menaungi cabang usaha Pak Wishnu. Mereka menyatakan siap menggelontorkan dana untuk membuka cabang pertama Key and Cake di lokasi rest area yang sedang mereka bangun.Langit terlihat berkali-kali lebih cerah. Awan tipis berarak pelan, mengikuti tiupan angin yang membawanya ke selatan. Dari jendela kaca di ruang kerjanya, Kintan menyaksikan pemandangan itu dengan hati berbunga-bunga."Selamat, ya. Kamu benar-benar hebat! Jadi, apa yang kira-kira bisa aku bantu?"Dejan turut senang mendengarnya. Dia bisa merasakan waktu kembali ke masa lalu, memutar kenangan saat Dejan mendapatkan investor pertama. Saat itu, dunia rasanya ada di genggaman. Di hadapan, ada jalan terjal yang menghadang. A
Selepas Subuh, Dejan sudah memanaskan mesin mobil dan berdandan rapi. Dia mengusulkan acara family gathering untuk karyawan Key and Cake. Hal itu dilakukan dalam rangka syukuran karena mereka mendapatkan investor dan sebentar lagi akan membuka cabang pertama.Kintan menyambut usul itu dengan antusias. Kebetulan memang sudah lama sekali mereka tidak mengadakan acara piknik bersama. Karena momennya tepat, acara itu menjadi sesuatu yang dinanti-nantikan oleh seluruh karyawan toko.Dejan berangkat dari rumah sebelum pukul enam. Dia hanya bilang ada agenda akhir pekan kepada Bu Dian. Meski begitu, Pak Doni seperti sudah bisa menerka. Pasca Dejan mengaku, mereka memang tidak banyak bicara. Dia hanya berusaha memahami jalan pikiran anaknya."Saya akui, keputusan ini memang salah, Pa. Walaupun posisi saya terdesak saat itu, tidak seharusnya saya berbohong kepada Kintan." Begitu kata Dejan setelah mengakui perbuatannya kepada Pak Doni."Siapa saja yang tahu soal ini? Devan gimana?"Dejan mengg
"Lolos seleksi apa, Mas?" tanya Kintan dengan mata masih setengah terpejam.Gawat! Baik Dejan maupun Dinda lantas diam seribu bahasa. Tidak seharusnya mereka mengobrol seperti itu di depan Kintan meski dia sedang tertidur."Kok, pada diem? Kalian menyembunyikan sesuatu dari aku?"Gadis itu menegakkan punggung lalu menatap kekasih dan sahabatnya secara bergantian. Sorot matanya penuh tanda tanya. Dinda bersegera menjawab untuk menghilangkan kecurigaan."Jangan salah paham dulu, Tan. Maksudnya gini. Kamu kan tahu, selama ini aku masih agak kurang sreg sama Devan. Kemarin aku bilang terus terang sama dia, terus kuminta dia kasih pembuktian kalau dia benar-benar tulus sama kamu. Aku nggak mau sahabatku nikah sama orang yang salah. Itu aja."Kintan beralih menatap Dejan. "Benar begitu, Mas?"Dejan mengangguk cepat. Gadis itu pun akhirnya mengembuskan napas lega. Dia juga terlihat menahan senyum. Kalau di dalam mobil tidak gelap, barangkali Dejan juga dapat melihat semburat kemerahan di pip
Dapur produksi Key and Cake dipenuhi aroma wangi nan manis dari vanila. Sesekali terdengar dentang alat-alat adonan beradu. Dua mesin oven beroperasi, sedang menunggu proses pemanggangan selesai. Kintan sedang menguji coba beberapa resep yang akan dijadikan menu andalan pada cabang pertama mereka. Selain dibuat roti dan kue, Kintan juga membuat selai vanila yang bisa dibeli terpisah. Dia ingin memastikan kualitas pasokan vanila sesuai dengan standar mutu yang diterapkan tokonya. "Sari, tolong ambilkan pisau," katanya kepada seorang gadis yang sedang duduk di dekat pintu. Gadis itu hanya diam sambil celingukan melihat ke kanan dan kiri. "Sari ... Tahu, kan, pisaunya di mana?" ulang Kintan lagi. "Ma, maaf. Ibu bicara sama saya?" Kintan mengernyitkan kening dan memperhatikan gadis itu sekali lagi. Setelah dia bicara, suaranya tidak terdengar seperti Sari. "Mbak Sari sedang sortir bahan di gudang, Bu. Saya Bunga, karyawan baru." Kintan tampak malu dan berulang kali meminta maaf k
Semenjak bersama Kintan, hari-hari Dejan terasa tak sama lagi. Hatinya tak lagi senyap seperti rumah kosong tanpa penghuni. Dunianya tidak hanya berputar pada bisnis dan diri sendiri. Pikirannya terus mencari cara agar gadis itu tetap bahagia meski pelan-pelan Dejan mulai tersakiti.Awalnya, Dejan hanya terjebak situasi dan merasa kasihan. Lambat laun, welas asih itu berubah menjadi rasa sayang. Namun, perasaan itu tetaplah tak berbalas. Sebesar apa pun usaha Dejan untuk membahagiakan, nama yang ada di hati Kintan tetaplah Devan."Gue sudah peringatkan sejak awal, kan?" kata Dinda. Pagi itu, Dejan menemuinya sebelum mengantar Kintan untuk survey lokasi toko cabang."Gue yang bodoh, Din." Dejan menyesap kopinya. Rasanya pahit, seperti kenyataan hidup."Selama tiga bulan ini lo gantiin posisi Devan, gue bisa merasakan perbedaan sikap kalian berdua. Gue tahu, lo tulus sama Kintan. Tapi lo juga harus sadar, selama Kintan masih mengira lo itu adalah Devan, selama itu juga Dejan dianggap en
Tenggorokan Dejan terasa gatal dan badannya remuk redam sepulang dari mengantar Kintan survey lokasi cabang. Kepalanya pusing setiap kali hendak beranjak dari tempat tidur. Suhu badan di termometer menunjukkan angka 38,5°C. Dia hanya meringkuk di balik selimut karena kedinginan, tetapi wajahnya terasa panas dari dalam.Dejan mengabaikan beberapa pesan yang masuk ke ponselnya. Dia sempat melihat sekilas, ada nama Kintan, seorang karyawan, dua orang klien, dan beberapa grup yang notifikasinya berisik—yang akhirnya dia bisukan. Perut yang keroncongan tidak cukup memotivasinya untuk bangun dan mencari pengganjal lapar.Sebuah suara ketukan terdengar dari pintu. Pak Doni memanggil dari luar. Karena pintunya dikunci, mau tidak mau Dejan akhirnya bangun dan membukakan meski jalannya sempoyongan."Barusan Kintan telepon. Untung Papa sendiri yang angkat."Mata Dejan membelalak. Dia lupa bahwa Kintan pasti mempunyai nomor telepon rumah mereka. Kalau sampai mamanya yang mengangkat telepon, habis
Dejan menggulung lengan kemeja putih garis-garisnya hingga siku. Celananya sudah disetrika rapi tanpa ada bekas lipatan sedikit pun. Rambutnya dipotong hingga hanya tersisa sekitar 2 cm saja panjangnya. Dia ingin terlihat berbeda dari Devan saat bertemu dengan Kintan.Untuk menunjang kesan perubahan tersebut, Dejan juga mengganti jam tangan dan aroma parfum. Nomor yang diberikan kepada Kintan pun adalah nomor yang biasanya dipakai untuk keperluan bisnis. Itu adalah hasil konsultasinya dengan Dinda selama beberapa hari terakhir setelah gadis itu sempat marah-marah karena insiden telepon Kintan.Saat itu, Dejan panik setengah mati karena Lula bilang ada telepon dari Kintan saat dia tertidur. Berkali-kali dicek, Kintan tidak lagi menelepon dan mengirim pesan setelah panggilannya dijawab oleh Lula. Namun, setelah sakit kepalanya mereda dan bisa berpikir jernih, Dejan justru tertawa terpingkal-pingkal. Secara tidak langsung, hal itu memuluskan jalannya untuk menyingkirkan Devan.Dejan seng
"Enggak bapak, enggak anak, sama saja! Kenapa, sih, harus kasih suntikan modal buat toko Kintan?"Bu Dian duduk bersedekap di ruang tamu dengan wajah gusar. Di hadapannya, Pak Doni dan Dejan diam saja mendengarkan omelan wanita yang enggan menerima buah tangan dari mereka. Roti gulung kayu manis dari toko Kintan itu dibiarkan tergeletak di meja meski penampakannya sangat menggoda."Memangnya tidak ada bisnis lain yang lebih menjanjikan dibanding toko kue itu?" Bu Dian masih belum puas mengomel."Papa juga tidak sembarangan pilih, Ma. Tadi Papa sudah menyimak penjelasan rencana bisnisnya dan itu cukup bagus. Dengan kata lain, Papa sudah mempertimbangkan potensi keuntungan, bukan sekadar karena saling kenal." Pak Doni membela diri."Tapi, Pa, Mama tidak setuju kalau Kintan jadi bagian keluarga kita.""Bussiness is bussiness! Papa sudah sampaikan ke Kintan bahwa kita akan profesional, harus bisa memisahkan urusan pribadi dan pekerjaan."Bu Dian mencibir. "Kenapa bisa seyakin itu?""Kami