Beberapa detik berlalu tanpa satu pun kata yang terucap. Suara AC berdengung lembut di sudut ruangan, mengisi kekosongan yang menggantung di antara mereka.
Raka hanya bergumam pelan, nyaris tak terdengar, seperti suara daun jatuh di tengah riuh angin sore. Tak ada lanjutan, tak ada pertanyaan baru.
Kirana menghela napas lega—seolah beban di pundaknya, untuk sesaat, diberi kelonggaran. Ia merapatkan selimut Elina dan melonggarkan cengkeraman di jemarinya.
Tapi di seberangnya, Raka masih terpaku pada layar ponsel yang kini terasa seperti hanya benda mati di tangannya.
Jemarinya diam, pandangan matanya kosong, tersesat di lorong pikirannya sendiri.
Empat tahun. Angka itu bergema di kepalanya seperti gema langkah kaki di lorong kosong. Bila dihitung-hitung, berarti anak-anak itu lahir kira-kira setahun setelah Elina.
Ada jeda yang sangat sempit di sana—terlalu sempit.
Jantung Raka terasa seperti dicekik dari dalam. Keningnya berkerut, ali
“Lihat sendiri saja!” suara Kirana terdengar tajam, sebelum telepon ditutup dengan bunyi klik yang dingin dan final.Raka menatap layar ponselnya, kosong sejenak. Nada suara Kirana barusan... ada sesuatu yang tak biasa di dalamnya—campuran amarah, gugup, dan kepedihan yang menempel seperti kabut tipis.Tanpa pikir panjang, ia bergegas. Mobilnya menderu melintasi jalanan menanjak menuju Lembang, meninggalkan denyut kota yang lambat-lambat larut dalam cahaya senja.Rumah Kirana berdiri anggun di antara pohon-pohon pinus, aroma tanah basah dan kayu pinus memenuhi udara.Rumah itu tenang, tapi malam ini keheningannya seolah menyimpan sesuatu yang retak.Di ruang tamu yang remang dengan lampu kuning temaram, Kirana duduk kaku di ujung sofa rotan. Di sampingnya, Elina kecil, tubuh mungilnya menyusut dalam balutan kaus lusuh dan celana pendek, menatap lantai tanpa suara.Di sudut ruangan, kipas angin berdengung pelan, berputar seperti enggan.
“Kemarin, Ayah dan Ibu sempat bawa Ellie keluar,” suara Raka nyaris tenggelam di antara desah napasnya yang berat.“Tapi mereka nggak bilang mau ke mana. Jujur aja, sikap mereka agak… aneh. Tapi aku tahu, mereka cinta banget sama Ellie. Mereka nggak mungkin nyakitin dia.”Mata Kirana menajam, mencoba membaca raut wajah Raka yang mulai diliputi resah.“Satu-satunya orang lain yang sempat ketemu Ellie sejak tadi malam,” lanjut Raka dengan suara pelan tapi tegas, “cuma Zelina.”Tangan Raka mengepal, buku-bukunya memutih. Suara yang tadi terdengar rapuh, kini berubah menjadi serpihan amarah yang nyaris meledak.“Ellie nggak pernah cocok sama dia. Tapi aku nggak nyangka... dia bisa sejahat itu.”“Jadi... siapa sebenarnya?” desak Kirana, nyaris berbisik. Ada kilatan takut dan penasaran yang bersaing di matanya, menunggu jawaban yang mungkin tak ingin ia dengar.Wajah Raka berubah kelam, seperti langit yang menahan hujan petir. Ia memalingka
Tatapan Zelina yang awalnya membeku dalam ketakutan kini berpendar perlahan—ada sesuatu yang mengendap dari balik pupilnya.Bukan lagi ketakutan mentah seperti sebelumnya, melainkan amarah tipis yang merayap seperti kabut dingin di pagi hari.Seperti air kolam yang keruh di dasar, dendam itu menetap diam-diam, tak menggelegak, tapi nyata.Sialan… Kenapa semuanya jadi seperti ini? gerutu Raka dalam hati, matanya menatap kosong pada dinding yang tak berkata apa-apa.Ia tahu segalanya kini berantakan. Dan penyebabnya? Anak kecil sialan itu! Gadis kecil menyebalkan itu—Elina.Seharusnya dia sudah bereskan pagi tadi. Tapi sekarang semuanya terlanjur.Sementara itu, Kirana menyingkirkan pikiran-pikiran mengganggu yang berkeliaran di benaknya. Ia berjalan ke dapur dengan langkah yang tak tergesa, namun penuh tujuan.Dapur itu hangat, lampunya temaram kekuningan, memantulkan cahaya lembut di atas permukaan meja kayu yang sudah ia ber
“Ada apa, Raka?” tanya Zelina, duduk berhadapan dengannya dengan gelagat gugup yang nyaris tak bisa disembunyikan.Nada suaranya pelan, nyaris seperti bisikan, seolah berharap kelembutan kata bisa meredam ketegangan yang menggantung di antara mereka.Ruangan itu sunyi. Hanya terdengar dengungan halus dari pendingin udara dan detik jarum jam di dinding.Tapi diam Raka justru lebih bising dari segala suara—tatapannya tajam, menusuk seperti ujung jarum yang menguji keberanian.Zelina meremas telapak tangannya di pangkuan, menyembunyikan kegelisahan yang berdenyut di balik senyum paksa yang ia pakai seperti topeng retak.“Kau yang antar Ellie pagi tadi?” suara Raka tiba-tiba terdengar, dingin dan tanpa pemanis, seperti batu yang jatuh ke dasar sumur.Zelina mengangguk cepat. “Iya... Bu Pradana minta tolong, jadi aku bantu.”Raka menghela napas pelan, tapi ujung bibirnya terangkat sinis. “Ibuku juga yang menyuruhmu menemui kepala TK dan me
Sore itu, Bandung mulai bertransformasi menjadi kanvas cahaya—lampu-lampu jalan menyala satu per satu seperti bintang yang turun ke bumi.Kabut tipis bergelayut di udara, menciptakan kesan melankolis yang tak bisa dihindari.Di dalam mobil yang melaju tenang, Elina menyandarkan tubuh kecilnya ke dada Kirana. Bocah itu diam, nyaris tanpa suara, seperti daun kering yang takut retak bila disentuh angin.Tangannya mencengkeram rok Kirana erat-erat, seolah kain itu satu-satunya tali yang masih menahannya dari jatuh ke jurang ketidakpastian.Kirana mengusap pelan punggung Elina, mencoba menyalurkan kehangatan lewat sentuhan—hangat yang tak sekadar berasal dari tubuh, melainkan dari niat untuk menjaga.Di kursi depan, Aidan duduk diam. Pandangannya kadang-kadang berbalik ke belakang, menelusuri wajah adiknya yang pucat dalam remang cahaya jalan.Ada kekhawatiran yang tidak diucapkan, tapi begitu nyata terpancar dari cara ia menggigit bibir bawahnya
Ia semakin yakin—Kirana sungguh tak tahu bahwa Elina adalah anak kandungnya.Kalau Kirana tahu... akankah sentuhan hangatnya tetap sama? Ataukah, begitu bayang-bayang masa lalu itu muncul, kehangatan itu justru akan menjelma jarak?Sepanjang hari itu, Kirana duduk di sisi ranjang, menemani Elina dalam kesunyian kamar rawat beraroma antiseptik yang terletak di sebuah rumah sakit kecil di kawasan Dago Atas.Jendela kaca besar di sisi timur ruangan terbuka sedikit, membiarkan udara sejuk dari pepohonan pinus yang mengelilingi rumah sakit itu masuk perlahan.Sinar matahari sore menyelinap malu-malu melalui celah gorden, menari-nari di dinding putih pucat.Namun, di dalam ruangan itu, waktu seolah berhenti.Elina tetap diam. Matanya kosong, menatap langit-langit, seakan jiwanya tersesat jauh, menapaki jalan asing yang hanya bisa dilalui sendirian.Hanya suara detak jarum jam dan gelegar samar angin luar yang menemani mereka. Kirana berusah