"Astaghfirullah! Ini beneran Naima??" Aku memekik dengan rasa penasaran. Aku masih tidak percaya jika foto mesra yang kupegang ini adalah foto istriku bersama pria lain. Walaupun postur pria ini tampak sangat jauh dibandingkan, tapi kenapa Naima bisa berselingkuh dengannya? Apa mungkin dia kaya raya? Ya Allah ... Naima. "Benar, Mas. Itu Mbak Naima dan kekasihnya. Kalau tidak salah namanya Malik. Mereka sudah berpacaran sejak kecil, dan katanya mau balikan," jelas Nindi, adik perempuanku dengan penuh keyakinan. "Kamu tahu ini dari mana, Nin? Bukannya kamu tidak begitu menyukai Mbakmu? Jangan-jangan, kamu cuma mengada-ngada?" cecarku. Aku tidak ingin hanya mendengar omongan dari Nindi, membuat hatiku curiga pada Naima. Aku perlu bukti lain, karena Naima yang kukenal sepertinya tidak akan membohongiku. Mendengar penuturanku Nindi malah berdecih. "Ck! Dibilangin kok nggak percayaan sih, Mas. Aku tu dapat info ini dari pria itu langsung. Kemarin tidak sengaja ketemu saat pulang sekolah,
"Mulai saat ini juga aku talak kamu. Lakukan yang kamu mau, karena sekarang kamu bukan istriku."Hatiku luruh, gairahku lenyap. Membayangkannya saja tidak pernah, tapi tiba-tiba dengan sangat singkat aku menalak Naima. Bukan tanpa alasan, karena dia sudah berselingkuh di hadapanku. Aku adalah tipe pria yang menjunjung tinggi kesetiaan. Buktinya, walaupun Naima dinyatakan tidak subur oleh dokter, tapi aku tetap di sampingnya. Tetapi ini apa? Ya Allah ... sebenarnya sangat berat, tetapi hatiku tidak bisa berkompromi lagi dengan apa yang kulihat. Naima sudah benar-benar membuat sekeping hati ini hancur. Setelah mengucapkan kalimat itu, aku bergegas keluar rumah dengan membawa satu koper pakaianku. Akan lebih baik jika aku tinggal di rumah Ibu saja, karena saat ini Naima sudah bukan istriku. Berkali-kali Naima berusaha menghentikan langkahku, tapi tekadku sudah bulat. Tangisannya pecah seiring dengan langkahku menuju pintu rumah. "Mas, apa ini benar-benar akhir dari hubungan kita?" ta
"Iya, Melissa sudah menyukaimu sejak dulu. Dialah yang meminta ibu untuk memperkenalkan kalian." Jawaban Ibu membuat hatiku beegetar. Ternyata Melissa sudah lebih dulu menyukaiku sebelum aku mengenalnya. "Tapi, Bu. Dari mana Melissa kenal aku? Perasaanku, sebelum dia datang ke rumah pertama kali waktu itu, aku belum pernah bertemu dengannya.""Hmmm ... pasti kamu penasaran, kan?" goda Ibu yang membuatku tersipu. "Melissa itu anak temen Ibu, Ham. Asal kamu tahu, sebelum kamu menikah dengan Naima, sebenarnya Ibu akan menjodohkanmu dengannya. Kamu sih, terlalu percaya sama wanita tukang selingkuh itu." "Bu, jangan menjelekkan Nama seperti itu." Walaupun memang benar Nama selingkuh, tetapi aku tidak rela jika Ibu menghinanya. "Lha terus apa? Kan kita lihat sendiri dia pelukan sama pria lain," balas Ibu dengan nada penekanan. "Tapi ya sudahlah, toh kamu sudah pisah dengannya. Jadi, kamu dan Melissa bisa bersatu." Benar kata Ibu, hubunganku dengan Naima sudah benar-benar kandas. Menging
Hatiku luruh saat kuterima surat cerai dari pengadilan agama. Air mata sudah tak bisa kubendung lagi ketika kusaksikan tanda tangan Mas Ilham telah terukir di bawah namanya. Tanda tangan yang mewakili persetujuannya atas perceraian ini. Aku benar-benar masih belum bisa percaya jika statusku kini sudah menjanda.Mas Ilham ... kenapa kamu tega banget sama aku? Seharusnya kamu memberi kesempatan padaku untuk menjelaskan semuanya dulu ....Pernikahan yang sudah kami bangun harus kandas di tengah jalan seperti ini hanya karena kesalahpahaman. Andai Mas Ilham mau mendengarkan penjelasan dariku, pasti semua ini tidak akan terjadi. Ya Allah ... ini semua gara-gara Malik!Seharusnya sebagai teman dia tahu batasan dan menjaga keutuhan rumah tanggaku, tapi ini apa? Ia malah sengaja merusak pernikahanku dengan Mas Ilham. Ingin aku berteriak, meraung sekencang-kencangnya, tetapi percuma saja, karena di tanganku sudah terselip lembaran kertas tanda hancurnya rumah tanggaku. Aku tidak habis pikir
"Kamu Naima, kan?" tanya wanita cantik berlesung pipi yang baru saja menunjukkan arah ke toko. Terlihat wanita ini menatap lekat padaku sambil mengernyitkan dahi. Melihat wajah ayu itu tampak bingung membuatku berusaha keras mengingatnya. "Iya, aku Naima," jawabku. "Tapi maaf, kamu siapa?""Oh, ternyata kamu tinggal di sini? Kenapa aku nggak pernah liat kamu, ya?" tanyanya tanpa menjawab rasa penasaranku. Aku menangkap respon tidak suka dari raut wajahnya. Aku tersenyum padanya. "Iya, aku baru aja pindah ke sini," jawabku. "Maaf, kamu siapa? Apa kamu mengenalku?""Pantesan, baru liat sekarang," sahutnya. "Kamu mungkin nggak akan ingat aku, karena kita memang nggak dekat. Tapi, walaupun begitu, aku masih ingat sama kamu. Kita sempat satu sekolah dulu waktu SMA," jelas wanita itu seraya menoleh ke arah rumahku. "He, iya, maaf. Aku benar-benar lupa," balasku lagi. Sebenarnya keadaan ini sangat canggung. Aku merasa tidak enak padanya, karena kesulitan mengingat masa SMA dulu. "Aku Sa
"Maaf, Mbak. Mbak tidak apa-apa, kan?" tanya pria yang bertabrakan denganku. Pria itu menatapku dengan sorot mata cemas. Ah, kenapa aku malah ngelamunin Mas Ilham?Dengan cepat aku menggeleng penuh keyakinan. "Tidak apa-apa, Mas," jawabku. "Maaf, Mas. Bu Darminah-nya ada?" Mumpung ada anggota keluarga dari tuan rumah, lebih baik aku bertanya. Karena aku baru pertama kali ke rumah ini, rasanya sungkan juga jika harus mengetuk pintu di saat banyak tamu seperti ini. Pria yang masih berdiri tegap di hadapanku kembali tersenyum. "Oh, Mami. Ada tuh di dalam. Mbak langsung masuk aja," jawab pria itu sambil memutar badan meneruskan langkahnya yang tertunda. Ternyata dia anak Bu Darminah. Aku pun ikut melangkah maju mendekati pintu yang setengah terbuka. Terlihat dari luar beberapa wanita berpakaian anggun duduk di sofa, sementara itu ada beberapa pria duduk di sofa yang lain. Tampaknya mereka adalah para anak Bu Darminah yang sedang melepas rindu dengan saudara mereka. Aku mengetuk pintu
Telapak tangan Sania terasa panas mengenai pipi. Astaghfirullah ... sebenarnya ada apa ini? "Dulu kamu rebut Ilham dariku, dan sekarang kamu goda lagi suamiku! Sebenarnya mau kamu ini apa? Hah?! Dasar janda gatel!" Suara teriakan Sania terngiang nyaring hingga memekakkan telinga. Wanita ini sangat emosi terlihat dari wajahnya yang merah padam menatap tajam ke arahku. Tapi, kenapa dia menuduhku menggoda suaminya? Padahal aku saja tidak tahu suami Sania itu siapa. "Maaf, Sania. Maksudmu apa? Kenapa kamu datang ke rumahku dan tiba-tiba menuduhku seperti ini?" tanyaku kebingungan. Tahu suaminya saja tidak, bagaimana aku akan menggodanya. Tapi bukan berarti jika aku tahu suaminya, aku akan melakukan yang dituduhkan itu, ya? Aku sadar kalau aku ini janda, tapi ya nggak harus gitu juga. Aku ingin jadi janda bermartabat, karena sedikit banyak aku tahu tentang agama. Jangankan merebut suami orang, dalam bergaul dengan pria lain pun aku berusaha memberi batasan. Sania semakin melebarkan ke
[Mbak Naima, bisa bicara sebentar?] Kubaca pesan singkat dari nomor tak dikenal itu dengan penasaran. Dengan cepat aku membalas pesan singkat itu untuk menanyakan siapakah dia. Baru juga pesan terkirim, SMA balasan sudah masuk lagi di layar handphone. [Aku telepon ya, Mbak?] Bukannya menjawab dia siapa, tapi si pengirim pesan singkat ini memaksa ingin menelepon. Tapi ya sudahlah, akan lebih jelas juga jika bertanya langsung lewat suara. Siapa tahu dia pelanggan yang akan membeli banyak brownies dariku. Ngarepnya sih gitu. [Iya, boleh] Kuketik kalimat itu dan langsung mengirimnya. Beberapa detik kemudian, nomor tak dikenal itu langsung meneleponku. "Mbak Naima baik-baik saja, kan?" tanya suara seorang pria dari seberang telepon. Entah mengapa dari suaranya aku sepertinya sangat kenal. "Kan Ujang? Ini Kang Ujang, kan?" tanyaku untuk memastikan. Aku sering meneleponnya karena meminta diantar-jemput, jadi lumayan paham dengan suara Kang Ujang. "Iya, Mbak. Ini aku," jawabnya mengaku