Share

4. Kisah Akram

Author: Pujiati
last update Last Updated: 2022-05-28 08:39:36

*AKRAM*

Aku sudah menikah lagi tanpa ijin keluarga, sudah tiga bulan aku menjalankan Sunnah Rasul dengan seorang janda beranak satu kenalan dari teman kantorku.

"Akhir pekan temani aku untuk melamar, Bos," ucapku semangat.

"Sip Bro, aku sudah kirim fotomu sama dia. Aku juga mengatakan kalau kamu sudah punya istri dan 3 anak. Dia setuju, karena kamu temanku, jadi dia percaya kamu orang baik. Tapi bagaimana dengan keluargamu Bro?" tanya Ihsan.

"Itu menjadi urusanku," jawabku singkat.

Pertemuan pertama dengan calon istri keduaku sangat mengesankan, wanita penuh kelembutan tampilan sederhana. Aku membayangkan Fitri akan setuju jika aku membawa dia berkenalan nantinya. Satu minggu setelah lamaran langsung melakukan prosesi pernikahan. Namun setelah menikah sungguh diluar dugaan, tiap ketemu dia mengajak jalan-jalan, mengajak belanja. Aku bisa menyayangi anaknya dengan sepenuh hati, Lulu nama anaknya, Indah nama istri keduaku. Tiap ketemu dia begitu agresif sampai-sampai kegiatan kami lebih banyak dihabiskan di ranjang, sehingga sering aku jadi melupakan anak-anak dari istri pertamaku. Aku merasa bersalah, sudah menyembunyikan kenyataan ini. Sampai kapan aku kucing-kucingan, apalagi aku harus berbohong dengan Fitri. Aku sudah berdosa selalu berbohong. Sangat lelah dengan kegiatan baruku, namun aku menikmatinya.

Aku kaget mendapati telpon dari istri pertamaku, biasanya dia selalu menurut, ketika aku mengirimkan pesan kalau harus lembur akan dibalas dengan kata-kata cinta dan doa tulus darinya. Dia menyatakan kalau dia lelah dengan Hilda yang selalu nangis ketika aku lembur tidak dirumah. Apa ini hanya alasan dia, setelah telpon aku memutuskan begitu saja karena keburu istri keduaku mendekat. Dia sangat tidak suka jika aku menyinggung nama istri pertamaku. Indah selalu berpesan jika sedang berdua pantang bagiku untuk balas pesan, terima telepon dari Fitri istriku. Benar kata Fitri, aku akan lalai ketika menikah lagi. Padahal untuk kenikmatan di ranjang aku lebih menikmati jika bersama Fitri, ketika bersama Fitri aku diperlakukan seperti Raja, tak pernah ada keluhan kalau aku tidak bisa memuaskan, dia selalu melayani dengan istimewa. Berbeda ketika dengan istri keduaku, aku selalu kurang dimatanya, sampai-sampai aku harus meminum obat kuat jika bersama istri keduaku. Namun apa daya, semua sudah terjadi.

Jam menujukan pukul 22.00 telpon terus berdering ke hpku, aku lihat layar. Ternyata dari Fitri istri pertamaku.

"Ada apa, Dek? Sudah tau aku lembur kenapa telpon," sebelum istriku berbicara aku menjawab dengan marah, dia telah mengganggu aktivitas setengah bermain kami. "Siapa, Beb?" suara manja istri keduaku memanggil. Aku tak mendengar istri pertamaku menjawab, hanya mendengar suara Hilda anakku yang terus memanggil Ayah sambil menangis. Apa mungkin dia mendengar Indah memanggilku. Mungkin sudah saatnya keluargaku mengetahui semuanya. Tak tega dengan suara tangis anakku aku akhiri panggilan dengan cemas, semalaman aku tidak bisa tidur dan tak punya nafsu untuk melanjutkan kegiatan panas kami, istriku Indah terus merengek meminta lagi. Namun aku tinggal tidur, lebih tepatnya pura-pura tidur. Ingin rasanya pagi ini pulang menemui anak-anakku, aku sadar selama tiga bulan ini sudah mengabaikan keberadaannya. Aku ijin dengan istri keduaku.

"Mas, bukannya sudah janji akan mengajak jalan Lulu, aku nggak suka Mas lebih mementingkan istri pertama, baru sehari disini kan?" ucap Indah ketus.

"Ini lain dari biasanya, Hilda nangis semalaman. Bukan tentang Fitri, Indah. Tolong mengertilah!" ucapku.

"Kenapa kok jadi marah ke aku si Mas, salahku apa!" suara ikut meninggi.

"Indah, sama suami kamu berani membentak hah!" aku tak terima.

"Aku marah Mas, bukannya sangat tidak adil seharusnya Mas tidak egois!" jawab Indah.

Akhirnya aku mengurungkan diri untuk pulang, tak terdengar Fitri menghubungi lagi mungkin Hilda baik-baik saja. Sesuai janji aku mengajak indah dan Lulu jalan-jalan di taman kota. Aku nggak boleh membandingkan tapi jalan-jalan kali ini sungguh menyebalkan, seperti biasa istriku Indah selalu meminta ini dan itu. Sekarang masih pertengahan bulan saja uang sudah menipis.

Hari menjelang sore, kami memutuskan untuk pulang meski Lulu masih merengek tidak mau pulang, aku bujuk dia dengan membelikan mainan baru agar mau pulang. Biasanya dirumah dulu saat weekend digunakan untuk becanda ria dirumah dan menikmati kebersamaan dengan mereka. Sedang apa mereka ya?

Awal datang dirumah ini aku merenovasi kamar, rumah yang terbilang sangat sederhana dan hanya ada 2 kamar, aku menambah 1 kamar untuk Lulu.

"Mas, aku pengin beli baju seperti ini," rengek Indah sambil menujukan foto di hp.

"InsyaAllah setelah gajian ya," ucapku. Aku belum pernah mengucap sayang seperti yang kulakukan pada Fitri, belum tumbuh ras cinta yang ada baru syahwat dan merasa memiliki dan tanggungjawab karena sudah ku nikahi.

"Kok nunggu gajian si Mas?" dengan suara manjanya.

"Indah, Mas itu harus mengatur keuangan buat 2 istri, jadi kita harus memprioritaskan kebutuhan bukan sekedar keinginan. Bukannya kamu habis beli gamis Minggu lalu?," aku mencoba meredam agar istri keduaku tidak boros.

"Pasti Mbak Fitri bajunya bagus-bagus tidak seperti aku, buktinya Mas baru sehari disini sudah pengin pulang," ucap Indah ketus.

Aku hanya diam tanpa menjawab, malu dengan mertua jika harus bertengkar lagi.

Kring kring kring

Aku lihat layar ternyata Fitri menelpon, kenapa nelepon lagi. Aku biarkan tanpa ku angkat, saat ini Indah sedang bersama dan sedang merajuk, tidak mungkin kuangkat.

"Siapa si Mas, berisik banget. Angkat saja, siapa tau penting," meski dengan sewot tapi tak apa, yang penting ada ijin. Sengaja aku kerasan suaranya supaya Indah tau apa yang dibicarakan.

"Pulang Akram, anakmu mencari!" suara kencang Bapak, aku sangat yakin kalau Bapak lagi marah.

"Bapak nggak mau tau, ini baru pukul 20.00 masih bisa pulang, kalau masih dengan alasan lembur maka Bapak akan datang ke kantormu saat ini juga menyeret kamu!" ucap Bapak sangat tegas disertai suara tangis anakku Hilda. Belum sempat aku menjawab sudah dimatikan sepihak oleh Bapak.

"Indah, aku harus pulang. Bapak memerintah, itu artinya harus!" kataku.

"Mas, aku ikut," rengek Indah.

"Belum saatnya Indah, mereka belum tau. Mas akan jujur hari ini," ucapku pelan.

"Sampai kapan Mas akan menyembunyikan keberadaanku?"

"Tunggu beberapa saat lagi, mohon pengertiannya. Mas sudah jujur sewaktu melamar, kamu dan keluargamu tetap ngotot ingin aku nikahi," ucapku lembut.

"Mas, aku nggak mau tau, harus ikut pulang kerumah. Aku ingin mengenal Bapak dan Ibu, kelihatannya mertuaku itu orang yang sangat baik, buktinya sangat peduli dengan anak-anak Mbak Fitri," pinta Indah terus merengek.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Manis
Tak tau malu Indah
goodnovel comment avatar
Tika lia
Kok bisa ya, mau nikah sama orang yg nggak mengenalkan ke keluarganya.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Penyesalan Setelah Poligami   97. Rencana Menjemput Akram

    Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena langsung ada menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya."Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Vidio Call."Hem ...," sahut istrinya sambil manyun."Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian."Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri."Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram menyahut."Masa, sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal."Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal."Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya."He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram."Gombal, kesempatan tidur bebas

  • Penyesalan Setelah Poligami   96. Keberangkatan Akram

    Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa

  • Penyesalan Setelah Poligami   95. Kecemasan Fitri dan Syifa

    "Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu

  • Penyesalan Setelah Poligami   94. Fitri Penasaran

    "Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri

  • Penyesalan Setelah Poligami   93. Papa Mau Bicara Dengan Akram

    Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B

  • Penyesalan Setelah Poligami   92. Jika Aku Tiada

    Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny

  • Penyesalan Setelah Poligami   91. Urusan Indah Menjadi Urusanku

    "Kamu memanggilku, Sin?" tanya Aldo heran setelah menoleh. "Sudah balik lagi ke mereka," mama menyahut. Dan Aldo balik kanan lagi untuk menuju kursi bersama keluarga Bosnya. Mama dan Fitri menahan senyum, geli dengan perempuan yang baru di jumpai begitu lucu kelakuannya."Mba Sinta mau minum apa? Biar aku panggilkan pelayan," tanya Fitri tak tahan jika hanya berdiam diri. Di belakang tempat duduk mereka terdapat banyak stand makanan dan minuman. "Aku tidak haus, Mba," jawab Sinta."Yakin? Padahal rasa penasaran yang tinggi membuat kita cepat haus dan lapar loh, apalagi sejak tadi terus bicara," ejek Fitri dengan halus. "Emm ... boleh lah. Tenggorokan sudah kering," jawab Sinta tak tau malu. Fitri memanggil pelayan yang berjaga kebetulan melihat ke arah Fitri. Sinta memilih minuman yang ia kehendaki, 1 gelas lemon tea di bawa oleh pelayan dan di letakan di depan Sinta. "Mari, Tante. Saya minum," Sinta basa basi dengan Mama Fitri. "Mama, sudah habis Lulu mau ikut Bunda," rengek L

  • Penyesalan Setelah Poligami   90. Mamamu=Mamaku

    Fitri bermain ponsel, membiarkan Indah berbicara dengan Sinta. Seolah Fitri dan Indah tidak saling mengenal."Sayang, kenalkan sama Mama. Siapa temanmu ini?" ucap Mama memecah keheningan.Indah gugup, sebelumnya dia masih memanggil Mama Fitri dengan sebutan tante, justru beliau mengarahkan Indah untuk menyebutnya Mama."Iya, Ma. Ini teman Indah sewaktu SMA namanya Sinta, bisa di bilang teman yang selalu menemani Indah bahkan mengatur segala keputusan Indah. Dia sopir, aku penumpangnya," cerocos Indah tak bisa di hentikan, dadanya sudah bergemuruh ingin sekali mengungkap siapa wanita di hadapannya."Indah, aku tidak begitu?" protes Sinta."Kenapa, Sin? Bukankah benar, kamu sangat berarti dalam hidupku. Berkat kamu aku bisa menjalani lika liku kehidupan yang begitu istimewa. Beruntung Allah memberi bahu yang kuat, sehingga aku bisa bertahan," sahut Indah sambil tersenyum, senyum yang menggambarkan kekecewaan begitu dalam. "Kamu menyalahkanku, Indah. Aku hanya ingin kamu bahagia, terbeb

  • Penyesalan Setelah Poligami   89. Siapa Dia?

    Arin hanya mampu mengangguk sebagai bentuk jawaban, ia tersipu malu. Hilda yang duduk di pangkuannya mendongak, menatapnya bingung. Tangan Arin mengelus kepala balita yang ia pangku. "Alhamdulillah," sahut semuanya serentak. Andai bukan suasana seperti ini Fitri sudah meledek Arin. Fitri sudah mengeratkan giginya agar tidak terbahak. Kedua keluarga sudah mencapai kesepakatan, perikahan akan di langsungkan sebulan lagi. Acara dilanjutkan dengan obrolan ringan untuk mempererat hubungan kedua keluarga. "Kak, jaga tatapannya!" tegur Mama saat hendak berpamitan, wanita paruh baya itu menjewer telinga anaknya. "Pa, pernikahannya dimajukan saja jangan terlalu lama," pinta Farid masih dalam posisi duduk. Semua mata tertuju pada laki-laki yang sejak tadi menahan gejolak ingin protes atas kesepakatan kedua orang tua itu. "Hem ... dari tadi diam, Papa kira kamu tidak punya pendapat," kata Papa, awalnya hendak berdiri kini kembali duduk. "Sebulan lagi Farid ada kunjungan ke Kalimantan surve

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status