Home / Urban / Penyesalan Setelah Poligami / 5. Pernyataan Fitri

Share

5. Pernyataan Fitri

Author: Pujiati
last update Last Updated: 2022-05-30 08:34:24

Bapak meninggalkanku begitu saja dengan kondisi pikiranku yang berantakan, aku menyadari semua kesalahanku. Aku berjalan menuju kamar kami, kamarku sewaktu masih sendiri namun sudah mengalami banyak perubahan semenjak menikah. Aku melihat istriku meringkuk memeluk Hilda anakku, sangat memprihatikan aku telah menorehkan luka yang dalam, terlalu banyak dosa yang kuperbuat dengan membohonginya. Caraku salah, bukan syari'at poligami yang salah. Aku berbaring dibelakangnya kupeluk erat tubuhnya.

"Maaf Bang, aku pengin sendiri dulu.

"Tolong keluarlah, tidurlah diluar!" titah istriku dingin.

Itulah istriku tidak pernah teriak ketika marah, dia menggunakan cara yang diluar kebanyakan wanita. Sering aku mendengar keluh kesah teman kantorku yang menceritakan tabiat istrinya yang selalu marah-marah tak jelas, namun tak pernah kudapatkan pada istri pertamaku. Jika aku boleh memilih, aku lebih memilih Fitri memakiku dengan sepuasnya agar tak ada luka yang tersimpan dihatinya. Akulah yang menorehkan luka itu.

"Maafkan Abang, Sayang," ucapku pelan.

"Keluarlah, Bang. Aku belum ingin bicara. Terlalu sakit Bang, aku pengin merenung dulu, kalau diluar nggak bisa tidur Abang bisa pulang kerumah," ucap istriku datar.

Aku meninggalkan istriku yang masih memunggungi ku.

Sepeninggal Bang Akram aku belum bisa memejamkan mata ini. Berkali-kali istighfar keluar dari bibirku, kutarik nafas dalam berkali-kali. Aku menguatkan diriku, mencoba muhasabah dengan diri ini. Cara Allah mengujiku sungguh indah, aku tersenyum kecut. Hilda masih pulas tidurnya, aku bangkit untuk melaksanakan solat taubat dan berdoa kepada Allah untuk diberi kekuatan, aku tak akan mundur di medan pertemuan, bukan bertempur dengan istri kedua suamiku, namun bertempur dengan peran barunya yang berstatus memiliki madu bagiamana mengalahkan egoku menerima adik maduku.

Bismillah, disinilah peranku untuk menyongsong pahala berlipat, cara suamiku salah biarlah menjadi urusannya dengan sang Pencipta. Urusanku menjadi hamba yang solehah. Aku tak boleh terpuruk, apalagi dihadapan anak-anakku. Aku terbangun seperti biasa sebelum adzan Subuh, setelah selesai dengan kewajiban sebagai hamba-Nya kemudian menemani Ibu mertuaku memasak.

"Sayang, bagaimana tidurnya? Hilda belum bangun?" tanya Ibuku dengan lembut. Bagaimana aku bisa mendur dengan hadirnya madu jika mertuaku selalu memperlakukan kami seperti ini, aku tak akan tega mengecewakan mereka. Biarlah sakit ini bersemayam sementara dihati, akan aku sembuhkan luka ini tanpa menambah luka kedua mertuaku dengan rasa bersalahnya jika aku terus larut dalam kesedihan.

"Alhamdulillah nyenyak, Bu. Suasana hatiku sangat baik, Hilda masih nyenyak mungkin kangen pengin tidur dirumah neneknya," dengan senyum mengembang.

"Alhamdulillah, Ibu khawatir kamu tak sanggup dengan kelakuan Akram," ucap Ibu khawatir.

"Bu, ujian ini datangnya dari Allah. Aku sangat yakin sesuai dengan kemampuanku dalam menjalaninya," ucapku mantap meyakinkan Ibu.

"Syukurlah, Nak. Tapi bukan berarti Ibu membenarkan Akram loh ya, Ibu juga seorang wanita, tentu paham apa yang kamu rasakan," ucap Ibu yang selalu bisa menenangkan.

"Iya, Bu. Fitri sangat paham siapa Ibuku ini," Fitri berseloroh.

"Iya, Nak. Ibu sangat takut kehilangan sosok menantu seperti kamu, anggapan Ibu bukanlah menantu tapi kamu adalah anakku," ucap Ibu, aku melihat ketulusan disana. Aku melihat Bang Akram mendekati kami.

"Pagi,Sayang. Pagi, Bu. Masak apa ini harum banget tercium sampai ruang depan?" aku tau Bang Akram akan berusaha mencairkan keadaan.

"Nggak ada, Bang. Masak rumahan biasa nggak ada yang istimewa," aku melihat raut penyesalan di wajah Bang Akram. Tak tau penyesalan seperti apa, menyesal sudah poligami diam-diam, atau menyesal pulang kesini mengingat harusnya dia masih ditempat istri keduanya yang masih hangat-hangatnya. Kenapa aku harus berfikir seperti itu, sakit lagi kan. Mungkin setelah ini aku akan menambah kegiatanku ketika Bang Akram nantinya sudah membagi jatah hari dimana dia harus tinggal.

Makan pagi berjalan dengan hikmat, hanya suara dentingan sendok dengan piring, dan celotehan anak sesekali memecah keheningan kami. Bapak masih tampak begitu marah, berbeda denganku yang masih terus mencoba menerima kenyataan ini, harus bisa berdamai dengan keadaan. Aku pasrahkan semuanya kepada Allah, Allah sang sekenario kehidupan.

"Sayang, kamu nggak mau pulang kerumah?"

"Lagi makan nggak usah membahas apapun!" ucap Bapak tegas.

"Iya, Pak. Maaf," jawab Bang Akram. Bapak menyelesaikan makan lebih dulu. Kami berkumpul diruang keluarga, anak-anak sudah puas bermain dengan kami mereka kembali bermain dengan permainannya masing-masing, sedangkan Hilda masih bergelayut manja dengan Ayahnya.

"Melakukan kesalahan fatal apa nggak pernah berfikir imbas dari keegoisanmu sedikitpun kepada anak-anakmu, lihatlah kebiasaan Hilda yang selalu menempel sama kamu!" terlihat Bang Akram hanya menunduk diam.

"Jujur Bapak sangat kecewa sama kamu, anak-anakmu yang akan menjadi korban. Kalau Fitri Bapak yakin masih bisa mendapatkan suami yang jauh lebih baik dari kamu," ucap Bapak.

"Pak, Fitri akan tetap jadi istriku," ujar Bang Akram.

"Begitu ya, egois! Cinta macam apa yang mengatasnamakan Sunnah malah berbuat dzolim!" ucap bapak masih dengan intonasi tinggi.

"Pak, maaf Fitri mau bicara. Aku merasa sudah siap diskusi sekarang," aku melihat kecemasan dimata ibu mertuaku. Aku mendekat duduk disamping Ibu, dan mengangguk yakin.

"Bang, aku sakit ketika tau kenyataan sudah dibohongi sekian bulan. Namun aku juga bersyukur tidak butuh waktu lama Allah membuka kecurangan Abang, dan aku sudah menyerahkan semua sama Allah biarlah itu menjadi tanggungjawab Abang terhadap Allah, aku tak punya kemampuan mengatur kehidupan Abang, status istri juga sementara hanya ketika di dunia yang sangat sebentar ini. Terlalu rugi jika aku harus berlarut dalam kesakitan, dalam kesedihan. Aku akan berusaha menerima apapun itu keputusan Abang. Pesanku, berbuatlah adil aku nggak mau ikut kena azab jika aku diam saja tidak mengingatkan," aku lihat Bapak mertuaku menatap heran ke arahku.

"Kenapa aku jadi tidak terima dengan sikap istriku yang pasrah, apa segitu bencinya sehingga dia tidak peduli lagi denganku. Sebentar, aku saja yang seperti ini sakit, apalagi dia yang aku bohongi," batin Akram.

"Iya, Sayang. Aku akan berusaha," ucap Bang Akram.

"Aku ingin tinggal disini dengan Bapak dan Ibu, aku nggak mau ketika Abang tinggal ditempat istri muda yang masih hangat-hangatnya itu Hilda menangis seperti hari-hari sebelumnya. Bapak sangat bisa menggantikan posisi Abang di hati Hilda. Jadi aku tak masalah sekalipun Abang mengabaikan keberadaanku. Dan tenang saja Bang, aku tidak akan mengusik sedikitpun ketika Abang lagi disana. Begitupun ketika Abang disini jangan coba-coba menyebut namanya. Jangan biarkan sesuatu menganggu kebahagiaan anak-anakku," ucap Fitri tegas.

Bang Akram keningnya berkerut nampak berpikir keras.

"Baiklah, jika masih terus diam itu artinya tak ada yang perlu kita bahas," aku bangkit hendak pergi. "Tunggu!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tika lia
Harus tegas dengan laki-laki seperti itu. Bagus, aku dukung Fit
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Penyesalan Setelah Poligami   97. Rencana Menjemput Akram

    Fitri terus mondar-mandir menanti kabar suaminya. Sementara suaminya justru lupa karena kesibukannya menghadiri meeting. Sampai malam pukul 20.00 Akram baru memberi kabar kepada istrinya. "Sayang, maaf baru mengabari," kalimat pertama yang terlontar dari bibir Akram saat Video Call. "Hem ...," sahut istrinya sambil manyun. "Jangan begitu, Sayang. Abang langsung meeting begitu sampai, hanya ada waktu buat ganti baju saja," ujar Akram memberi pengertian. "Iya, Bang. Tidak apa, aku tidak apa-apa kok," sahut Fitri. "Wanita itu, ketika sedang bicara tidak apa-apa, justru sedang ada yang di rasa," ucap Akram tersenyum tipis. "Masa, ... sejak kapan tahu tentang itu?" tanya Fitri masih dengan nada kesal. "Sayang, yang penting kamu bisa lihat Abang baik-baik saja. Maaf kalau tidak sempat mengabarimu siang tadi," ungkap Akram dengan tulus dan penuh sesal. "Abang sekamar sama siapa?" tanya Istrinya. "He ... sendiri. Memang sama siapa? Maunya sama kamu, Sayang," tanya Akram. "Gombal,

  • Penyesalan Setelah Poligami   96. Keberangkatan Akram

    Akram mendekati istrinya, ia peluk dari belakang, "Sayang, Abang akan menjaga hati ini untuk istri dan anak-anak."Akram memutar tubuh istrinya sehingga keduanya saling berhadapan, "Abang tahu, kamu masih ragu dengan kesetiaan Abang. Mungkin saat inilah abang harus membuktikan," ucap Akram sambil memegang kedua pipi istrinya."Abang, maaf," cicit Fitri merasa bersalah, meragukan kesetiaan suaminya. "Tidak masalah, justru Abang senang. Tandanya istriku ini mencintai Abang," ucap Akram mencubit hidung istrinya dengan gemas."Ayo, Bang. Kasihan yang menunggu. Mobilnya di bawa saja, Bang!" ucap Fitri melanjutkan memasukan baju di koper buat suaminya. "Tidak perlu, Sayang. Buat kamu dan anak-anak saja, Abang naik pesawat," sahut Akmar. Menggeret kopernya di ikuti Fitri. "Astaghfirullah, kok aku lupa," Fitri menepuk keningnya dengan tangan kanannya."Saking galaunya di tinggal suami tercinta," sahut Akram. Membuka bagasi memasukan koper, ia menutup kembali.Setelah sabuk pengaman terpasa

  • Penyesalan Setelah Poligami   95. Kecemasan Fitri dan Syifa

    "Anak-anak sudah ngantuk, aku ke dalam dulu ajak mereka, Ma," pamit Fitri, mama mengangguk dan dia mulai mendekati anak-anak. Terlihat anak-anak membereskan mainan sebelum meninggalkan ruang bermain. Sepeninggal Fitri, Lak Farid berkata, "Kasihan Fitri penasaran tingkat tinggi, Pa.""Biarkan saja, siapa suruh kalau menyangkut suaminya penasaran sampai tidak ketulungan," sahut Papa santai."Memang apa yang Papa bicarakan dengan Akram?" tanya Mama."Apalagi, jika bukan soal pekerjaan. Masalah pribadi keluarga kita kondisi bahagia begini," sahut Papa seperti tanpa beban. "Akram, saja selama kamu bertugas anak-anak mau dimana?" tanya Papa. "Di sini saja mungkin, di rumah sendiri Bapak Ibu sedang berkunjung ke rumah adik," jawab Akram. "Mama senang banget itu, sudah senyum-senyum sendiri," sahut Farid."Berapa hari ke luar kotanya?" tanya Farid."4 hari, Kak," jawab Akram."Pa, Ma, ke dalam dulu. Fitri sendirian kasihan," pamit Akram. Akram berjalan menuju kamar anak-anak. Hilda satu

  • Penyesalan Setelah Poligami   94. Fitri Penasaran

    "Bang Akram ke dalam tadi, Pa," sahut Fitri menatap Papa dengan penuh tanya."Papa tidak melihatnya, Sayang. Barusan Papa juga dari dalam," sahut Papa.Fitri bangkit dari tempatnya duduk, mencari keberadaan suaminya. Tujuan utamanya adalah kamar, dugaan Fitri tepat. Suaminya sedang tidur pulas."Di cari ternyata tidur, Bang," gumam Fitri lirih sambil mengatur suhu kamar agar suaminya nyaman.Fitri berjalan kembali ke ruang tamu, duduk di samping Papa. Fitri menggeryit, Papa terlihat berbicara sangat serius dengan Aldo."Dimana suamimu, Sayang? Sudah ketemu," tanya Papa lagi, menyadari kehadiran putrinya."Tidur, Pa," sahut Fitri."Ya sudah, nanti kalau sudah bangun suruh menemui Papa," titah Papa melengkungkan bibirnya membetuk senyuman."Baik, Papa.""Mba Fitri jika lelah, tidak apa kami di tinggal. Lulu belum juga mau pulang," ucap Indak merasa tidak enak.Anak-anak bermain di ruang keluarga di temani Grandma dan pelayan. "Aku masih kuat, Indah. Masih semangat begini," sahut Fitri

  • Penyesalan Setelah Poligami   93. Papa Mau Bicara Dengan Akram

    Setelah mobil menepi dan berhenti, Akram memeluk erat tubuh istrinya yang masih bergetar. Memori Fitri kembali ke dua puluh tahun silam. Saat dia dan keluarganya berlibur ke Puncak dan Kakek dari Mama membicarakan kematian, seolah berpamitan dan itu merupakan pesan terakhir. Saat itu sedang dalam perjalanan akan berlibur, beberapa saat setelah kakeknya berbicara, mobilnya oleng menghindari tabrakan justru mobil menabrak pembatas jalan. Mobil tidak rusak berat, semua tidak ada yang terluka namun, Kakeknya Fitri yang mengidap jantung tidak selamat, bukan karena kecelakaan namun, jantung kambuh saat ada benturan. Sejak saat itu Fitri paling takut membicarakan kematian saat dalam perjalanan."Sayang, maafkan Abang," ucap Akram sambil menenangkan istrinya dengan lembut, di usap punggungnya dengan halus, perlahan tangisan Fitri melemah."Abang masih di sini bersama kamu, Abang akan menemanimu sampai tua nanti. Sampai kita punya cucu-cucu yang imut insyaAllah," imbuhnya sambil terkekeh."B

  • Penyesalan Setelah Poligami   92. Jika Aku Tiada

    Fitri menaik turunkan alisnya, jilbab besar tak mampu menutupi dia yang bar-bar. Dia sangat pandai menempatkan diri. Sinta tampak berfikir sejenak, "Apa yang aku takutkan, Mba Fitri bukan siapa-siapanya Indah bukan?" Fitri tertawa mengejek, "Apa kamu tidak melihat kedekatan keluarga kami, bersama Indah dan Aldo? Kamu belum tau tentang kami jadi, jangan sok tau. Jangan rebut kebahagiaan adikku!" ucapan Fitri penuh penekanan. "Adik?" kening Sinta mengkerut. "Ya, berasal dari adik madu awalnya, kini menjadi adik sungguhan." Sinta tertawa lepas, "Mana ada Mba Fitri? Kisah semacam itu, dengan adik madu itu biasanya membenci kenapa kalian justru?" kalimatnya menggantung. "Pantas saja lama-lama Indah malas meladenimu, ternyata kamu orang yang tidak cepat paham. Sudahlah, aku mau pulang sudah di tunggu suami," Fitri bangkit dan di ikuti oleh Sinta. Fitri berjalan cepat, dan Sinta berlari mengejar Fitr "Kenapa mengejar?" tanya Fitri heran. "Boleh nebeng di mobil Mba Fitri?" "Sebenarny

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status