Share

5. Pernyataan Fitri

Bapak meninggalkanku begitu saja dengan kondisi pikiranku yang berantakan, aku menyadari semua kesalahanku. Aku berjalan menuju kamar kami, kamarku sewaktu masih sendiri namun sudah mengalami banyak perubahan semenjak menikah. Aku melihat istriku meringkuk memeluk Hilda anakku, sangat memprihatikan aku telah menorehkan luka yang dalam, terlalu banyak dosa yang kuperbuat dengan membohonginya. Caraku salah, bukan syari'at poligami yang salah. Aku berbaring dibelakangnya kupeluk erat tubuhnya.

"Maaf Bang, aku pengin sendiri dulu.

"Tolong keluarlah, tidurlah diluar!" titah istriku dingin.

Itulah istriku tidak pernah teriak ketika marah, dia menggunakan cara yang diluar kebanyakan wanita. Sering aku mendengar keluh kesah teman kantorku yang menceritakan tabiat istrinya yang selalu marah-marah tak jelas, namun tak pernah kudapatkan pada istri pertamaku. Jika aku boleh memilih, aku lebih memilih Fitri memakiku dengan sepuasnya agar tak ada luka yang tersimpan dihatinya. Akulah yang menorehkan luka itu.

"Maafkan Abang, Sayang," ucapku pelan.

"Keluarlah, Bang. Aku belum ingin bicara. Terlalu sakit Bang, aku pengin merenung dulu, kalau diluar nggak bisa tidur Abang bisa pulang kerumah," ucap istriku datar.

Aku meninggalkan istriku yang masih memunggungi ku.

Sepeninggal Bang Akram aku belum bisa memejamkan mata ini. Berkali-kali istighfar keluar dari bibirku, kutarik nafas dalam berkali-kali. Aku menguatkan diriku, mencoba muhasabah dengan diri ini. Cara Allah mengujiku sungguh indah, aku tersenyum kecut. Hilda masih pulas tidurnya, aku bangkit untuk melaksanakan solat taubat dan berdoa kepada Allah untuk diberi kekuatan, aku tak akan mundur di medan pertemuan, bukan bertempur dengan istri kedua suamiku, namun bertempur dengan peran barunya yang berstatus memiliki madu bagiamana mengalahkan egoku menerima adik maduku.

Bismillah, disinilah peranku untuk menyongsong pahala berlipat, cara suamiku salah biarlah menjadi urusannya dengan sang Pencipta. Urusanku menjadi hamba yang solehah. Aku tak boleh terpuruk, apalagi dihadapan anak-anakku. Aku terbangun seperti biasa sebelum adzan Subuh, setelah selesai dengan kewajiban sebagai hamba-Nya kemudian menemani Ibu mertuaku memasak.

"Sayang, bagaimana tidurnya? Hilda belum bangun?" tanya Ibuku dengan lembut. Bagaimana aku bisa mendur dengan hadirnya madu jika mertuaku selalu memperlakukan kami seperti ini, aku tak akan tega mengecewakan mereka. Biarlah sakit ini bersemayam sementara dihati, akan aku sembuhkan luka ini tanpa menambah luka kedua mertuaku dengan rasa bersalahnya jika aku terus larut dalam kesedihan.

"Alhamdulillah nyenyak, Bu. Suasana hatiku sangat baik, Hilda masih nyenyak mungkin kangen pengin tidur dirumah neneknya," dengan senyum mengembang.

"Alhamdulillah, Ibu khawatir kamu tak sanggup dengan kelakuan Akram," ucap Ibu khawatir.

"Bu, ujian ini datangnya dari Allah. Aku sangat yakin sesuai dengan kemampuanku dalam menjalaninya," ucapku mantap meyakinkan Ibu.

"Syukurlah, Nak. Tapi bukan berarti Ibu membenarkan Akram loh ya, Ibu juga seorang wanita, tentu paham apa yang kamu rasakan," ucap Ibu yang selalu bisa menenangkan.

"Iya, Bu. Fitri sangat paham siapa Ibuku ini," Fitri berseloroh.

"Iya, Nak. Ibu sangat takut kehilangan sosok menantu seperti kamu, anggapan Ibu bukanlah menantu tapi kamu adalah anakku," ucap Ibu, aku melihat ketulusan disana. Aku melihat Bang Akram mendekati kami.

"Pagi,Sayang. Pagi, Bu. Masak apa ini harum banget tercium sampai ruang depan?" aku tau Bang Akram akan berusaha mencairkan keadaan.

"Nggak ada, Bang. Masak rumahan biasa nggak ada yang istimewa," aku melihat raut penyesalan di wajah Bang Akram. Tak tau penyesalan seperti apa, menyesal sudah poligami diam-diam, atau menyesal pulang kesini mengingat harusnya dia masih ditempat istri keduanya yang masih hangat-hangatnya. Kenapa aku harus berfikir seperti itu, sakit lagi kan. Mungkin setelah ini aku akan menambah kegiatanku ketika Bang Akram nantinya sudah membagi jatah hari dimana dia harus tinggal.

Makan pagi berjalan dengan hikmat, hanya suara dentingan sendok dengan piring, dan celotehan anak sesekali memecah keheningan kami. Bapak masih tampak begitu marah, berbeda denganku yang masih terus mencoba menerima kenyataan ini, harus bisa berdamai dengan keadaan. Aku pasrahkan semuanya kepada Allah, Allah sang sekenario kehidupan.

"Sayang, kamu nggak mau pulang kerumah?"

"Lagi makan nggak usah membahas apapun!" ucap Bapak tegas.

"Iya, Pak. Maaf," jawab Bang Akram. Bapak menyelesaikan makan lebih dulu. Kami berkumpul diruang keluarga, anak-anak sudah puas bermain dengan kami mereka kembali bermain dengan permainannya masing-masing, sedangkan Hilda masih bergelayut manja dengan Ayahnya.

"Melakukan kesalahan fatal apa nggak pernah berfikir imbas dari keegoisanmu sedikitpun kepada anak-anakmu, lihatlah kebiasaan Hilda yang selalu menempel sama kamu!" terlihat Bang Akram hanya menunduk diam.

"Jujur Bapak sangat kecewa sama kamu, anak-anakmu yang akan menjadi korban. Kalau Fitri Bapak yakin masih bisa mendapatkan suami yang jauh lebih baik dari kamu," ucap Bapak.

"Pak, Fitri akan tetap jadi istriku," ujar Bang Akram.

"Begitu ya, egois! Cinta macam apa yang mengatasnamakan Sunnah malah berbuat dzolim!" ucap bapak masih dengan intonasi tinggi.

"Pak, maaf Fitri mau bicara. Aku merasa sudah siap diskusi sekarang," aku melihat kecemasan dimata ibu mertuaku. Aku mendekat duduk disamping Ibu, dan mengangguk yakin.

"Bang, aku sakit ketika tau kenyataan sudah dibohongi sekian bulan. Namun aku juga bersyukur tidak butuh waktu lama Allah membuka kecurangan Abang, dan aku sudah menyerahkan semua sama Allah biarlah itu menjadi tanggungjawab Abang terhadap Allah, aku tak punya kemampuan mengatur kehidupan Abang, status istri juga sementara hanya ketika di dunia yang sangat sebentar ini. Terlalu rugi jika aku harus berlarut dalam kesakitan, dalam kesedihan. Aku akan berusaha menerima apapun itu keputusan Abang. Pesanku, berbuatlah adil aku nggak mau ikut kena azab jika aku diam saja tidak mengingatkan," aku lihat Bapak mertuaku menatap heran ke arahku.

"Kenapa aku jadi tidak terima dengan sikap istriku yang pasrah, apa segitu bencinya sehingga dia tidak peduli lagi denganku. Sebentar, aku saja yang seperti ini sakit, apalagi dia yang aku bohongi," batin Akram.

"Iya, Sayang. Aku akan berusaha," ucap Bang Akram.

"Aku ingin tinggal disini dengan Bapak dan Ibu, aku nggak mau ketika Abang tinggal ditempat istri muda yang masih hangat-hangatnya itu Hilda menangis seperti hari-hari sebelumnya. Bapak sangat bisa menggantikan posisi Abang di hati Hilda. Jadi aku tak masalah sekalipun Abang mengabaikan keberadaanku. Dan tenang saja Bang, aku tidak akan mengusik sedikitpun ketika Abang lagi disana. Begitupun ketika Abang disini jangan coba-coba menyebut namanya. Jangan biarkan sesuatu menganggu kebahagiaan anak-anakku," ucap Fitri tegas.

Bang Akram keningnya berkerut nampak berpikir keras.

"Baiklah, jika masih terus diam itu artinya tak ada yang perlu kita bahas," aku bangkit hendak pergi. "Tunggu!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Tika lia
Harus tegas dengan laki-laki seperti itu. Bagus, aku dukung Fit
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status