Share

Penyesalan Suamiku
Penyesalan Suamiku
Author: Dea Anggie

1. Pernikahan

Sebuah pernikahan mewah digelar disebuah Villa. Sepasang pengantin yang berasal dari dua keluarga konglomerat terpandang sedang menjamu tamu undangan. Tampak cantik sang mempelai wanita dengan gaun putih menjulai panjang. Di sampingnya tampak pula sosok tampan yang tak lain adalah mempelai pria. Ia terlihat gagah, dengan mengenakan stelan jas hitam. Clarissa Albert, hari itu resmi menjadi istri pria tampan dengan sejuta pesona bernama Raymond Harris.

"Aku tidak boleh terlihat tidak bahagia. Bagaimanapun, aku ingin menjadi anak yang berbakti pada Papa dan Mama. Semoga pilihan ini yang terbaik," batin Clarissa. 

Ia terus menorehkan senyuman pada tamu undangan yang mengucapkan selamat. Di sisi lain, Raymond sedang menyelisik sekitar. Matanya seakan-akan mencari sesuatu, ia menatap segala arah.

"Di mana Frans?" batin Raymond. Terus mencari keberadaan sang Asisten.

Clarissa melirik ke arah Raymond. Ia merasa suaminya sedang mencari-cari sesuatu. Ingin bertanya, tetapi seseorang datang mengejutkan keduanya.

"Hai, Clar ... hai, Ray ... selamat, ya, atas pernikahan kalian berdua. Semoga selalu bahagia sampai maut memisahkan." kata seseorang tersebut sambil tersenyum.

"Hai, terima kasih untuk ucapan dan doanya. Semoga kau juga bahagia," jawab Clarissa tersenyum lebar.

"Ya, terima kasih." jawab Ray tersenyum tipis, yang langsung mengubah ekspresi wajahnya kembali datar.

Seseorang itu pergi dan dilanjutkan beberapa orang lain yang juga ingin mendoakan kedua mempelai. Cukup lama mereka berdiri menyambut para tamu undangan. Acara  dilanjutkan dengan foto keluarga. Papa dan Mama Raymond tampak senang putra kesayangan mereka bersedia menikah sesuai kehendak mereka.

"Papa bangga padamu, Ray. Kedepannya kau harus bertanggung jawab penuh atas istrimu," bisik sang Papa di telinga Raymond.

Raymond kaget. Dahinya langsung berkerut. Ia tidak menjawab dan hanya diam atas perkataan sang Papa. Sang Papa menatap putranya dengan bingung. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan putranya itu sampai terdiam.

"Ray ... " panggil Papanya pelan.

"Ray ... " panggilnya lagi sembari menepuk bahu Raymond. Membuat Raymond kaget dan langsung menatap wajah Papanya.

"I-iya, Pa. Papa bicara padaku?" tanya Raymond kaku.

"Apa kau sedang memikirkan hal lain?" tanya sang Papa, masih menatap Raymond.

"Oh, itu. Aku memikirkan pekerjaanku," dusta Raymond. Ia tidak mau memperpanjang pembicaraan.

"Hahaha ... kau ini benar-benar pekerja keras, ya. Papa sangat menyukai sifatmu itu, Nak." kata Alvin, Papa Raymond.

Acara kembali dilanjutkan. Clarissa dan Raymond menjalani acara mereka dengan baik tanpa saling mengeluh atau menunjukkan ekspresi tertekan.

***

Tiga bulan Sebelumnya ....

Terjadi keributan di kediaman orang tua Raymond. Papa dan Mama Raymond berselisih pendapat dan bersitegang. Semua karena rencana pernikahan yang tidak terduga.

"Cukup! jangan terus membelanya. Aku sudah lelah selalu menurutimu, istriku. Sejauh ini aku selalu menahan diri untuk tidak menyakiti hatimu." kata Alvin murka. Menatap tajam sang istri.

"Apa maksudmu, sayang? Aku tidak pernah sekalipun menentangmu. Hanya kali ini saja, aku mohon tunjukkan belas kasihanmu pada Raymond. Dia anak kita satu-satunya, kan. Meski dia bukan darah dagingku, bukan anak kandungku, aku menyayanginya, Alvin." kata Cecilia.

Alvin mengeryitkan dahinya, ia memalingkan pandangannya ke arah lain, lalu mengusap kasar wajahnya. Ia tidak bisa berkata-kata setelah mendengar apa yang dikatakan sang istri.

"Hah, ini mengesalkan! bagaimanapun aku tidak bisa menyakiti hati Cecilia. Aku sangat mencintainya, tetapi aku tidak bisa melewatkan kesempatan baik ini. Sebelum ada yang mendahului, lebih baik aku maju." batin Alvin.

Tok ... tok ... tok ... pintu ruang kerja Alvin diketuk dari luar. Pintu terbuka dan Raymond masuk mendekati Papa juga Mamanya.

"Papa memanggilku?" tanya Raymond. Ia menatap sang Papa dan mengalihkan pandangan ke arah Mamanya yang sedang menunduk menyeka air mata.

"Sayang, kau sudah datang? Duduklah," pinta Cecilia. Ia dengan cepat mendekat dan menyuruh putranya duduk.

"Ma, Mama kenapa? Mama menangis?" tanya Raymond mengeryitkan dahinya manatap sang Mama.

Cecilia menggeleng, "Ah, tidak. Mama sedang flu, jadi bersin-bersin. Tidak apa-apa," jawab Cecilia berbohong. Ia tidak ingin membuat putranya khawatir.

Raymond menatap sang Papa, "Apa mereka bertengkar? Suasana yang tidak mengenakkan," batin Raymond.

"Menikahlah, Rey. Papa sudah siapkan calon terbaik untukmu." kata Alvin.

"Hah? Apa?" kaget Raymond melebarkan mata. 

"Kenapa kaget begitu? ini 'kan bukan kali pertama Papa memintamu menikah. Sebelumnya Papa memaafkanmu yang sudah melewatkan perjodohan yang Papa siapkan. Kali ini tidak boleh. Ini demi masa depanmu, juga perusahaan kita." tegas Alvin menjelaskan.

"Papa, maksud Papa apa? bukankah aku sudah bilang tidak mau dijodoh-jodohkan atau menikah. Jika terpaksa pun aku akan menikahai wanita pilihanku sendiri." kata Raymond tidak senang.

"Tutup mulutmu, Ray. Jangan membangkang apa kata Papa. Mau sampai kapan Papa menunggumu memilih calon istri? jangan pikir Papa tidak tahu, kau masih memikirkan wanita murahan itu, kan?" sentak Alvin marah.

"Papa!" seru Raymond mengerutkan dahi.

"Apa? kau tidak terima Papa memanggilnya wanita murahan. Dia adalah wanita yang paling tidak tahu malu dan tidak tahu diuntung. Kau sudah dicampakkan, Ray. Buka matamu lebar-lebar. Bangun dari mimpimu. Kau bukan pria yang kekuarangan satu apapun sampai harus mengemis cinta!" kata Alvin mengepalkan dua tangannya.

Cecilia memegang tangan Raymond, "Sayang hentikan. Kau tidak boleh memaksanya lagi.  Biarkan saja Raymond menjalani hidup sesuai keinginanya. Jangan buat dia stres," kata Cecilia menatap sang suami.

"Jadi kau ingin putra kesayanganmu itu terus meratapi cinta masa lalunya itu? begitu maumu?" jawab Alvin menatap dingin ke arah istrinya.

"Bu-bukan begitu. Aku hanya ... "kata-kata Cecilia dipotong oleh Raymond.

"Baiklah. Lakukan sesuai keinginan Papa. Aku tidak peduli," jawab Raymond.

"Ray ... " panggil Cecilia.

"Tidak apa-apa, Ma. Mama jangan bertengkar dengan Papa hanya karena aku. Aku pergi dulu, sampai rumah aku akan menghubungi Mama." kata Raymond, ia beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan ruangan Alvin.

"Anak tidak tahu diri. Bisa-bisanya langsung pergi begitu." gumam Alvin kesal.

"Aku pergi ke kamar dulu," kata Cecilia yang menyusul pergi meninggalkan ruang kerja Alvin.

Alvin menatap kepergian sang istri. Ia mengepalkan tangan dengan erat, lalu memukul meja. 

***

Di tempat lain. Di kediaman Clarissa. Ia dan orang tuanya juga membicarakan hal yang sama tentang pernikahan.

" ... apa menikah?" kata Clarissa kaget. Ia menatap ke arah Papa dan Mamanya yang sedang duduk di sofa ruang tengah.

"Ya, menikah. Kenapa ekspresimu seperti itu, sayang?" tanya Vivian, Mama Clarissa.

"Kau akan menikah dengan seseorang yang pasti akan membuatmu bahagia tanpa kurang apapun, Nak. Jangan cemas, dia berasal dari keluarga baik-baik." sambung Clayton, Papa Clarissa.

"Hm ... sejujurnya Clarissa kaget, Pa, Ma. Ini terkesan mendadak dan terburu-buru." kata Clarissa sedikit menundukkan kepalanya, menyatukan tangannya dipangkuan.

"Papa tau maksudmu, Clarissa. Percayalah pada  pilihan Papa," bujuk Clayton.

Clarissa kembali manatap Papa dan Mamanya bergantian. Ia bingung, tetapi ia serasa tak punya pilihan dan mengiakan permintaan sang Papa. Clarissa pun pergi meninggalkan Papa dan Mamanya untuk kembali ke kamar. Ia tidak mengerti dengan pemikiran orang tuanya, tetapi sebagai anak baik, tidak mungkin baginya menolak dan menyakiti hati Papa juga Mamanya yang sudah membesarkannya dengan penuh cinta dan kasih sayang. Sejak dilahirkan hingga ia dewasa, ia selalu mendapatkan apa yang ia perlukan dan butuhkan. Kini saatnya ia harus membalas budi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status