Share

2. Peringatan!

Tepat satu minggu setelah Clayton dan Vivian meminta putrinya menikah, pertemuan dua keluarga pun diadakan dan tanggal pernikahan langsung ditetapkan. Hari itu adalah kali pertama Clarissa bertemu Raymond, bahkan mereka tidak pernah bertemu lagi setelahnya sampai hari H pernikahan mereka.

Saat mengepas gaun pun,  keduanya datang terpisah. Dengan alasan sibuk, Raymond menyembunyikan diri dari Clarissa. Clarissa tidak menaruh rasa curiga. Ia berpikir mungkin Raymond memang sibuk. Ia sendiri juga sibuk dengan pekerjaannya yang masih menumpuk. Sebagai putri satu-satunya, tugasnya hanya menyenangkan orang tuanya. Sulit memang menerima kenyataan jika ia akan menikah, apalagi hari pernikahan semakin dekat. 

"Ahh ... aku bisa gila memikirkannya." gumam Clarissa.

Pikirannya tiba-tiba tertuju pada sosok Raymond. Dahinya berkerut memikirkan pria tampan yang akan menjadi suaminya itu.

"Dia tampan, tapi sedikit kaku. Apa mungkin dia canggung padaku? aku tidak tahu seperti apa sifatnya, dan aku akan menikahi orang yang terlihat penuh rahasia itu? gila, gila, ini gila ... " batin Clarissa.

Ia mengusap bahunya, "Lupakan saja. Bagaimanapun itu adalah pilihan Papa dan Mama. Mereka tidak mungkin melempar putri mereka sendiri ke jurang, kan. Bagaimanapun dan seperti apapun itu aku harus berusaha menjadi istri yang baik, agar tidak mempermalukan keluargaku." batinnya lagi.

Clarissa menatap tajam ke arah layar komputer. Pikirannya kembali fokus pada pekerjaannya.

***

Acara resepsi pernikahan selesai. Raymond dan Clarissa berpamitan dan langsung pergi menggunakan mobil menuju hotel yang sudah dipesan. Dalam perjalanan keduanya hanya saling diam. Mereka larut dalam pemikiran masing-masing.

Clarissa memikirkan apa yang harus ia lakukan sebagai istri. Ia mengingat pesan-pesan Mamanya yang mengingatkan tentang tugas sebagai seorang istri yang baik. Di sisi lain, Raymond serasa tak percaya, jika ia telah menikah. Kini statusnya bukan pria lajang lagi, melainkan seorang suami. 

"Bagaimana aku menghadapi wanita ini nantinya? bisakah aku menjalani hidup bersamanya? dia wanita yang baru aku kenal, kami bahkan baru sekali bertemu dan kedua orang tua kami langsung memutuskan tanggal pernikahan kami dengan terburu-buru, mengatakan lebih cepat lebih baik." batin Raymond. Ia mengusap kasar wajahnya.

"Hahhh ... " hela napas Raymond.

Clarissa menatap Raymond, "A-apa ada sesuatu?" tanya Clarissa canggung.

Raymond menggeleng, "Tidak," jawabnya singkat.

Raymond teringat akan sesuatu pada masa lalu. Ia mengepalkan jemarinya dengan begitu erat.

"Sial! kenapa aku masih terus mengingat kejadian itu. Memalukan," batinnya kesal.

***

Dalam ingatan Raymond. Ia sedang bertengkar dengan seorang wanita. Wajah Raymond terlihat sedih dan lusuh saat itu.

"Bagaimana bisa kau membuangku, Lyvin? setelah apa yang aku lakukan padamu," kata Raymond berkaca-kaca.

"Maafkan aku, Ray. Kau bisa dan boleh terus membenciku dikemudian hari. Apa yang aku lakukan ini demi kebaikan," kata wanita itu.

"Kebaikan kau bilang? omong kosong!" sentak Raymond.

"Terserah saja seperti apa pemikiranmu. Yang jelas, hubungan kita kini telah berakhir. Aku tidak bisa lagi bersamamu. Aku ingin mendapatkan hidup yang layak, Ray. Selamat tinggal," ucap seseorang tersebut, kemudian melangkah pergi meninggalan Raymond.

"Tidak! kumohon, Lyvin. Jangan tinggalkan aku. Aku tidak bisa hidup tanpamu." kata Raymond berlari mengikuti wanita yang tadi meninggalkannya.

Raymond bahkan sampai berlutut di hadapan seseorang itu. Tiba-tiba hujan turun dengan deras, mengguyur Raymond dan wanita itu.

"Aku mohon padamu. Jangan pergi," kata Raymond lagi. 

"Lepaskan tanganku, Ray. Aku mohon jangan merengek seperti anak-anak. Aku sudah putuskan untuk pergi meninggalkanmu. Maaf, aku tidak bisa tinggal dan terus bersamamu. Jaga dirimu baik-baik, Ray." ucap wanita itu. 

Wanita itu menepis tangan Raymond dan berlari. Ia memanggil taksi, ia langsung masuk ke dalam taksi setelah taksi itu berhenti di depannya. Sedangkan Raymond masih dengan posisinya. Ia berlutut ditepi jalan di tengah-tengah hujan. Menatap ke arah taksi yang sudah berlalu meninggalkannya.

***

Raymond memejamkan matanya. Ia memijat lembut pangkal hidungnya. Meski sudah sekian lama, rasanya ia baru saja mengalami kejadian itu beberapa waktu yang lalu.

"Sialan! bisa-bisanya aku terbayang-bayang wajah wanita jahat itu. Membuatku kesal saja," batin Raymond.

Tidak lama mobil yang ditumpangi Raymond dan Clarissa sampai di lobby hotel. Keduanya turun dan langsung menuju resepsionis untuk mengambil kartu akses. Dua resepsionis menatap ke arah Raymond dan Clarissa. Di mata dua orang itu, tamu dihadapan mereka tampak sangat serasi. Raymond tampak terburu-buru, membuat dua resepsionis berpikir lain, menyangka jika pengantin baru itu sudah tidak sabar menghabiskan malam yang panas.

***

Di kamar Hotel. Raymond duduk di sofa dan menunggu sang Asisten yang sedang meletakan pakaian ganti di kamar mandi. Sedangkan Clarissa berdiri tidak jauh dari kamar mandi, ia memperhatikan Asisten suaminya.

"Oh, Nyonya." sapa Frans, Asisten Raymond pada Clarissa.

"Apa sudah selesai? kau pasti sibuk, terima kasih sudah mengantar pakaian kami." kata Clarissa tersenyum.

"Sudah, Nyonya. Saya izin undur diri, permisi." jawab Frans. Ia berpamitan pada Clarissa.

Frans berjalan meninggalkan Clarissa. Ia menatap Raymond dan berpamitan.

"Saya permisi, Tuan." pamitnya.

"Ya, pergilah." jawab Raymond dingin.

Frans pun pergi, ia berjalan cepat keluar dari kamar. Clarissa ingin masuk ke kamar mandi, tetapi Raymond memanggilnya.

"Clarissa ... " panggil Raymond.

Clarissa memalingkan pandangannya, "Ya ... " jawabnya.

Raymond menatap Clarissa, lalu memalingkan pandangan ke arah sofa seolah memberitahu Clarissa, jika Clarissa harus duduk di sana.

"Ada apa dia memanggilku? aku 'kan ingin ganti baju dan menghapus riasan," batin Clarissa.

Ia pun berjalan perlahan mendekati sofa. Ia duduk tepat dihadapan Raymond.

"A-ada apa, Ray? Kau perlu sesuatu?" tanya Clarissa lembut. Ia menjaga ucapannya karena takut Raymond tersinggung.

Raymond menatap Clarissa dingin, "Kau tahu 'kan, apa tujuan pernikahan kita ini?" tanya Raymond.

Clarissa mengernyitkan dahi, "A-apa? Oh, ya, tentu aku tahu. Kita 'kan menikah untuk mempererat hubungan kerjasama perusahaan keluarga kita." jawab Clarissa sesuai yang ia ketahui.

"Baguslah kau tahu. Ada hal yang ingin aku sampaikan padamu. Aku harap kau tidak memimpikan hal lebih padaku, seperti cinta, kaish sayang, perhatian atau selebihnya. Aku bukan pria romantis dan tidak percaya akan cinta. Aku akan berikan semua yang kau butuhkan dan yang kau inginkan, kecuali yang aku sebutkan sebelumnya. Kau mengerti maksudku, kan?" jelas Raymond dengan suara datar tanpa ekspresi.

"Hah? Apa-apaan pria ini. Bisa-bisanya dia bicara begini di hari pernikahan yang seharusnya penuh kebahagiaan." batin Clarissa. Hatinya mulai resah, ia tidak sangka suaminya akan setega itu.

Raymond menatap Clarissa yang dingin, "Apa yang wanita ini pikirkan. Apa dia memang mengharap lebih?" batin Raymond.

"Clarissa, kenapa diam? kau tidak dengar atau tidak mengerti dengan ucapanku?" tanya Raymond sedikit meninggikan nada suaranya.

Clarissa kaget, "Ya, ya, a-aku mengerti. Aku tahu itu. Tidak mudah bagimu menerima pernikahan ini, aku pun demikian. Kau tenang saja, aku tidak akan meminta apapun darimu." jawab Clarissa tersenyum paksa.

"Satu hal lagi, tolong jangan campuri urusan yang tidak seharusnya. Ingat ini, statusmu memang istriku, tapi kau tidak punya hak mengatur atau mendominasiku. Paham?" kata Raymond menatap tajam ke arah Clarissa.

"Apa maksudmu, Ray? apa kau pikir aku orang seperti itu? aku tahu batasan, kau tidak perlu khawatir. Aku juga tahu apa maksudmu, tapi tolong izinkan aku melakukan tugas-tugasku sebagai istrimu. Aku tidak mau dipandang buruk oleh Papa, Mama dan kedua mertua. Bolehkah?" jawab Clarissa menatap Raymond penuh harap.

"Terserah saja. Apapun silakan kau lakukan, aku tak akan mengaturmu untuk itu. Yang terpenting kau tidak mengganggu kegiatanku," jawab Raymond.

"Aku ingin bertanya, Ray. Tadi kau berkata tak percaya cinta. Apa ada hal yang terjadi sampai kau seputus asa itu? kau pernah putus cinta, atau ... " kata-kata Clarissa terhenti saat Raymond tiba-tiba memukul meja.

Brakk ....

Suara tangan Raymond yang memukul meja. Tatapannya semakin dingin dengan rahang yang mengeras.

"Sudah aku katakan padamu. Jangan urusi yang tak seharusnya, kan. Apa kau tuli? atau memang sengaja memancing emosiku? Hahhh ... mengesalkan!" kata Raymond beranjak dari duduknya di sofa. Raymond pergi ke kamar mandi.

Clarissa kaget, jantungnya seakan berhenti berdetak. Di matanya Raymond begitu menakutkan. Tangannya mencengkram kuat gaunnya karena ketakutan. Rasanya ia ingin menangis, tetapi ia tidak bisa menangis dihadapan sang suami. Itu adalah kali pertama ia dibentak seseorang. Papa, Mamanya bahkan tidak pernah sekalipun berkata kasar padanya meski kesal atau dalam keadaan emosional.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status