Share

Keras Kepala.

Penyesalanku 5

Sebelum mencapai pintu Bapak berbalik menatapku. "Kalau terjadi sesuatu pada Uma, saya pastikan kamu akan menyesal!" ancam Bapak kemudian pergi. 

Tanpa menunggu jawabanku, Bapak pergi begitu saja.

Tanganku mengepal, ego kelaki-lakianku menggelegak, aku tidak terima harga diriku sebagai suami diinjak. Seorang Ayah menjemput paksa anaknya dari rumah suaminya sendiri, ini penghinaan bagiku             

"Sekali Uma keluar, maka pintu rumah ini akan tertutup selamanya untuk, Uma!" ujarku lantang, Bapak menghentikan langkahnya sejenak, menoleh kearahku sekilas, dengan tatapan sinis, pun Ibu mertua.                      

Kemudian mereka semua pergi, tanpa mengucapkan sepatah katapun padaku. Sejak itu aku tidak pernah bertemu dengan Uma lagi. Bahkan saat anak kedua kami lahir, aku pun tak menjenguknya, untuk apa? Merendahkan harga diriku?                                                 

"Af, Uma sudah melahirkan, kita kesana yuk, njenguk cucu Ibu." Rengek Ibu padaku.

"Ibu tahu dari mana?"

"Kemarin Ibu, nelfon Jeng Eli. Nanyain kabarnya Uma, ternyata tadi malam Uma melahirkan, anaknya perempuan," tutur Ibu. Yang disebut Jeng Eli oleh Ibu, itu mertuaku.                         

Aku diam bergeming, kembali aku merasa tersinggung, kenapa mereka tidak mengabari aku? Aku ini Ayah dari bayi itu. Apa mereka sudah tidak menganggapku lagi? 

"Ibu kangen Uma, Af," lirih Ibu.

 Iya, aku juga sama Bu, tapi aku tidak akan menunjukkan rasa itu pada mereka, biar mereka tahu, aku tidak butuh anaknya.       

"Baru kali ini, Ibu bertemu dengan wanita sebaik, Uma. Sudah cantik, pinter, sabar, telaten dan tulus merawat Ibu, padahal Ibu ini hanya mertua, bukan ibu kandung. Dia nggak jijik, waktu mengganti diapers Ibu bekas BAB."

                                 

Ibuku memang sangat dekat dengan Uma. Selama Ibu sakit, Uma lah yang jadi dokter sekaligus perawat untuk Ibu. Seandainya aku pakai jasa perawat, entah berapa uang yang harus kukeluarkan.

                                 

"Kamu mbok ya ngalah sedikit, datangi Uma, minta maaf. Wajar kalau bapaknya marah, dia sakit parah begitu, kamu sibuk di luaran," ucap Ibu lagi.       

Lagi-lagi aku terdiam, meski sisi hatiku membenarkan perkataan Ibu, tapi egoku menyangkalnya. Bagiku yang dilakukan Uma, adalah kewajiban istri, sebagai bentuk baktinya pada suami, termasuk merawat mertua.                             

"Jangan sampai Uma pergi selamanya dari hidupmu, Af. Aku yakin, kamu tidak akan menemukan wanita seperti Uma. Percaya Ibu, temui Uma di rumah orang tuanya, perbaiki hubungan kalian, jangan sampai kamu menyesal." Entah berapa kali Ibu berkata seperti itu padaku. 

                                 

"Ibu ngomong apa sih? Anak Ibu ini gagah dan tampan, banyak wanita cantik yang mau aku peristri. Kenapa aku harus merendahkan harga diri dengan meminta maaf pada mereka?" jawabku pongah.

                       

"Wanita cantik memang banyak, tapi yang cantik luar dalam seperti Uma, langka. Percayalah, kamu akan menyesal kalau sampai Uma meninggalkanmu," ucap Ibu gusar, tak terima aku meremehkan menantu kesayangannya.                  

Entah mengapa aku merasa sulit untuk meminta maaf pada Uma dan keluarganya, menurutku tidak ada yang salah dengan sikapku. Aku ini suami, imam dalam keluarga, wajib dipatuhi oleh istri dan anakku.  

                          

Kalau aku sibuk di luaran itu wajar, sebagai laki-laki butuh beraktifitas, butuh bersosialisasi dengan teman kerja, kantor atau teman sekolah, biar pergaulanku luas. Aku juga butuh hiburan, kan?

                        

Lagi pula Uma itu manja, dikit-dikit telfon, dikit-dikit telfon, aku merasa risih, merasa dikekang. Makanya malam itu ponselku, aku matikan, bosan dengar rengekannya, mentang-mentang lagi hamil.  Eh..., dia malah nelfon bapaknya. Ya jadi runyam masalahnya, kalau orang tua sudah ikut campur rumah tangga anaknya.

                           

Saat itu aku masih menunggu permintaan maaf dari Uma, tapi sudah dua bulan lebih dia tak ada kabar. Setiap hari Ibu selalu bertanya, kapan aku jemput Uma? Tapi aku tetap kukuh pada pendirianku, dia pergi sendiri, dan harus kembali sendiri.

Hingga akhirnya, sebuah paket datang untukku, panggilan sidang perceraian dari pengadilan agama.               

Berani-beraninya Uma menggugat cerai aku, ha ... ha ... dia pikir dia siapa? Aku tidak akan datang pada persidangan itu, biar dia repot sendiri, perempuan belagu!

Tapi ternyata keputusanku salah, rupanya dengan ketidak hadiranku, pengadilan mengabulkan gugatan cerai Uma. Kami resmi bercerai, surat merah ini jadi saksinya.    

"Hm!" Sebuah suara deheman menarik kembali fikiranku ke masa kini.

"Masih ada keperluan lain?" ucap Uma datar, aku yang berdiri menghadap dinding, di mana foto Uma dan kedua anakku dipajang, pun menoleh padanya.                             

Jarak antara sekolah Alfa dan Rumah Sakit dekat, bisa ditempuh dengan jalan kaki, kalau pakai motor malah lebih cepat lagi. Pantas saja Uma sudah kembali.

"Eh, iya. Boleh aku minta waktunya sebentar?"  

                     

"Silahkan, waktu saya tidak banyak," ucapnya formal.

"Aku ingin minta maaf," ucapku pelan.

"Untuk?"

"Kesalahanku di masa lalu, saat kita masih menjadi suami istri."                 

"Oh, soal itu? Jangan khawatir, saya sudah melupakannya. Bahkan saya juga lupa kalau pernah menjadi istri anda." Mendengar jawaban Uma, membuatku merasa mendapat pukulan telak di wajah, hingga hidungku berdarah, nyeri!

"Ada lagi?"

                         

"Boleh aku bertemu dengan anak kita?" lirihku, melihat Uma yang sekarang membuat ciut nyaliku, dia terlihat begitu berwibawa.

"Anak kita?"

"Iya, Alfa dan adeknya."                             

"He ..., he...," Uma terkekeh sendiri, dia berjalan ke belakang meja kerjanya, dan duduk di sana, sementara aku masih berdiri. Membuat posisiku seperti, karyawan yang menghadap bosnya.

"Kemana saja anda selama lima tahun tahun terakhir ini, Bapak Afnan Baadillah?" ucap Uma, dengan nada meremehkan, seraya  mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya.         

"Aku ... kangen mereka." Akhirnya kata itu keluar dari bibirku. 

"Ha ... ha ...  kangen? Anda bahkan tidak tahu siapa namanya, kan?" sinis Uma. 

Iya, karena aku terlanjur sakit hati, aku tidak pernah menengok Uma dan anak-anak, apalagi menafkahi mereka.                                  

"Apa yang membuat seorang Afnan Baadillah, yang egois, merasa paling benar, tiba-tiba merendahkan diri, memohon pada mantan istrinya yang lemah dan manja ini, untuk bertemu dengan anak-anaknya?" Sinis Uma. 

                            

Dia mengembalikan kata-kata yang dulu sering kulontarkan padanya, "Mas, nanti jangan pulang malam ya? Aku capek, Alfa nggak enak badan, sementara perutku mulai sering kontraksi," rengeknya kala itu.

"Jadi perempuan jangan lemah dan manja gitu dong, kamu kan dokter, harusnya tahu cara mengatasi perut kontraksi. Lagi pula ini kehamilanmu yang kedua," ketusku.      

Dan sekarang kalimat itu dia gunakan untuk menyerangku. Hilang sudah Uma yang lemah lembut, saat menjadi istriku. Uma yang ramah saat menghadapi pasien, yang ada Uma yang arogan.

"Boleh kan, aku menjalin kedekatan dengan anak-anakku?"  ucapku pelan.    

"Apa selama ini anda perduli?" ucapnya tajam.

"Aku--" 

"Maaf, ada pasien yang harus saya tangani, pemisi." Belum sempat kuselesaikan ucapanku, Uma sudah memotongnya, dan sekarang meninggalkan aku begitu saja.        

Sesaat kemudian dia kembali.

"Maaf, harap segera tinggalkan ruangan saya," tegasnya.

Dan aku kembali merasa terhina, tapi kali ini aku tidak bisa marah.

Bersambung....                              

Enak aja mau marah-marah, diseret satpam baru tahu rasa! Dasar songong!.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status