Share

Keras Kepala.

last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-27 14:21:31

Penyesalanku 5

Sebelum mencapai pintu Bapak berbalik menatapku. "Kalau terjadi sesuatu pada Uma, saya pastikan kamu akan menyesal!" ancam Bapak kemudian pergi. 

Tanpa menunggu jawabanku, Bapak pergi begitu saja.

Tanganku mengepal, ego kelaki-lakianku menggelegak, aku tidak terima harga diriku sebagai suami diinjak. Seorang Ayah menjemput paksa anaknya dari rumah suaminya sendiri, ini penghinaan bagiku             

"Sekali Uma keluar, maka pintu rumah ini akan tertutup selamanya untuk, Uma!" ujarku lantang, Bapak menghentikan langkahnya sejenak, menoleh kearahku sekilas, dengan tatapan sinis, pun Ibu mertua.                      

Kemudian mereka semua pergi, tanpa mengucapkan sepatah katapun padaku. Sejak itu aku tidak pernah bertemu dengan Uma lagi. Bahkan saat anak kedua kami lahir, aku pun tak menjenguknya, untuk apa? Merendahkan harga diriku?                                                 

"Af, Uma sudah melahirkan, kita kesana yuk, njenguk cucu Ibu." Rengek Ibu padaku.

"Ibu tahu dari mana?"

"Kemarin Ibu, nelfon Jeng Eli. Nanyain kabarnya Uma, ternyata tadi malam Uma melahirkan, anaknya perempuan," tutur Ibu. Yang disebut Jeng Eli oleh Ibu, itu mertuaku.                         

Aku diam bergeming, kembali aku merasa tersinggung, kenapa mereka tidak mengabari aku? Aku ini Ayah dari bayi itu. Apa mereka sudah tidak menganggapku lagi? 

"Ibu kangen Uma, Af," lirih Ibu.

 Iya, aku juga sama Bu, tapi aku tidak akan menunjukkan rasa itu pada mereka, biar mereka tahu, aku tidak butuh anaknya.       

"Baru kali ini, Ibu bertemu dengan wanita sebaik, Uma. Sudah cantik, pinter, sabar, telaten dan tulus merawat Ibu, padahal Ibu ini hanya mertua, bukan ibu kandung. Dia nggak jijik, waktu mengganti diapers Ibu bekas BAB."

                                 

Ibuku memang sangat dekat dengan Uma. Selama Ibu sakit, Uma lah yang jadi dokter sekaligus perawat untuk Ibu. Seandainya aku pakai jasa perawat, entah berapa uang yang harus kukeluarkan.

                                 

"Kamu mbok ya ngalah sedikit, datangi Uma, minta maaf. Wajar kalau bapaknya marah, dia sakit parah begitu, kamu sibuk di luaran," ucap Ibu lagi.       

Lagi-lagi aku terdiam, meski sisi hatiku membenarkan perkataan Ibu, tapi egoku menyangkalnya. Bagiku yang dilakukan Uma, adalah kewajiban istri, sebagai bentuk baktinya pada suami, termasuk merawat mertua.                             

"Jangan sampai Uma pergi selamanya dari hidupmu, Af. Aku yakin, kamu tidak akan menemukan wanita seperti Uma. Percaya Ibu, temui Uma di rumah orang tuanya, perbaiki hubungan kalian, jangan sampai kamu menyesal." Entah berapa kali Ibu berkata seperti itu padaku. 

                                 

"Ibu ngomong apa sih? Anak Ibu ini gagah dan tampan, banyak wanita cantik yang mau aku peristri. Kenapa aku harus merendahkan harga diri dengan meminta maaf pada mereka?" jawabku pongah.

                       

"Wanita cantik memang banyak, tapi yang cantik luar dalam seperti Uma, langka. Percayalah, kamu akan menyesal kalau sampai Uma meninggalkanmu," ucap Ibu gusar, tak terima aku meremehkan menantu kesayangannya.                  

Entah mengapa aku merasa sulit untuk meminta maaf pada Uma dan keluarganya, menurutku tidak ada yang salah dengan sikapku. Aku ini suami, imam dalam keluarga, wajib dipatuhi oleh istri dan anakku.  

                          

Kalau aku sibuk di luaran itu wajar, sebagai laki-laki butuh beraktifitas, butuh bersosialisasi dengan teman kerja, kantor atau teman sekolah, biar pergaulanku luas. Aku juga butuh hiburan, kan?

                        

Lagi pula Uma itu manja, dikit-dikit telfon, dikit-dikit telfon, aku merasa risih, merasa dikekang. Makanya malam itu ponselku, aku matikan, bosan dengar rengekannya, mentang-mentang lagi hamil.  Eh..., dia malah nelfon bapaknya. Ya jadi runyam masalahnya, kalau orang tua sudah ikut campur rumah tangga anaknya.

                           

Saat itu aku masih menunggu permintaan maaf dari Uma, tapi sudah dua bulan lebih dia tak ada kabar. Setiap hari Ibu selalu bertanya, kapan aku jemput Uma? Tapi aku tetap kukuh pada pendirianku, dia pergi sendiri, dan harus kembali sendiri.

Hingga akhirnya, sebuah paket datang untukku, panggilan sidang perceraian dari pengadilan agama.               

Berani-beraninya Uma menggugat cerai aku, ha ... ha ... dia pikir dia siapa? Aku tidak akan datang pada persidangan itu, biar dia repot sendiri, perempuan belagu!

Tapi ternyata keputusanku salah, rupanya dengan ketidak hadiranku, pengadilan mengabulkan gugatan cerai Uma. Kami resmi bercerai, surat merah ini jadi saksinya.    

"Hm!" Sebuah suara deheman menarik kembali fikiranku ke masa kini.

"Masih ada keperluan lain?" ucap Uma datar, aku yang berdiri menghadap dinding, di mana foto Uma dan kedua anakku dipajang, pun menoleh padanya.                             

Jarak antara sekolah Alfa dan Rumah Sakit dekat, bisa ditempuh dengan jalan kaki, kalau pakai motor malah lebih cepat lagi. Pantas saja Uma sudah kembali.

"Eh, iya. Boleh aku minta waktunya sebentar?"  

                     

"Silahkan, waktu saya tidak banyak," ucapnya formal.

"Aku ingin minta maaf," ucapku pelan.

"Untuk?"

"Kesalahanku di masa lalu, saat kita masih menjadi suami istri."                 

"Oh, soal itu? Jangan khawatir, saya sudah melupakannya. Bahkan saya juga lupa kalau pernah menjadi istri anda." Mendengar jawaban Uma, membuatku merasa mendapat pukulan telak di wajah, hingga hidungku berdarah, nyeri!

"Ada lagi?"

                         

"Boleh aku bertemu dengan anak kita?" lirihku, melihat Uma yang sekarang membuat ciut nyaliku, dia terlihat begitu berwibawa.

"Anak kita?"

"Iya, Alfa dan adeknya."                             

"He ..., he...," Uma terkekeh sendiri, dia berjalan ke belakang meja kerjanya, dan duduk di sana, sementara aku masih berdiri. Membuat posisiku seperti, karyawan yang menghadap bosnya.

"Kemana saja anda selama lima tahun tahun terakhir ini, Bapak Afnan Baadillah?" ucap Uma, dengan nada meremehkan, seraya  mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya.         

"Aku ... kangen mereka." Akhirnya kata itu keluar dari bibirku. 

"Ha ... ha ...  kangen? Anda bahkan tidak tahu siapa namanya, kan?" sinis Uma. 

Iya, karena aku terlanjur sakit hati, aku tidak pernah menengok Uma dan anak-anak, apalagi menafkahi mereka.                                  

"Apa yang membuat seorang Afnan Baadillah, yang egois, merasa paling benar, tiba-tiba merendahkan diri, memohon pada mantan istrinya yang lemah dan manja ini, untuk bertemu dengan anak-anaknya?" Sinis Uma. 

                            

Dia mengembalikan kata-kata yang dulu sering kulontarkan padanya, "Mas, nanti jangan pulang malam ya? Aku capek, Alfa nggak enak badan, sementara perutku mulai sering kontraksi," rengeknya kala itu.

"Jadi perempuan jangan lemah dan manja gitu dong, kamu kan dokter, harusnya tahu cara mengatasi perut kontraksi. Lagi pula ini kehamilanmu yang kedua," ketusku.      

Dan sekarang kalimat itu dia gunakan untuk menyerangku. Hilang sudah Uma yang lemah lembut, saat menjadi istriku. Uma yang ramah saat menghadapi pasien, yang ada Uma yang arogan.

"Boleh kan, aku menjalin kedekatan dengan anak-anakku?"  ucapku pelan.    

"Apa selama ini anda perduli?" ucapnya tajam.

"Aku--" 

"Maaf, ada pasien yang harus saya tangani, pemisi." Belum sempat kuselesaikan ucapanku, Uma sudah memotongnya, dan sekarang meninggalkan aku begitu saja.        

Sesaat kemudian dia kembali.

"Maaf, harap segera tinggalkan ruangan saya," tegasnya.

Dan aku kembali merasa terhina, tapi kali ini aku tidak bisa marah.

Bersambung....                              

Enak aja mau marah-marah, diseret satpam baru tahu rasa! Dasar songong!.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Penyesalanku   Ending Sesion2

    "Segera ajukan gugatan cerai kita, Mas. Aku menunggu," pungkas Wina, lalu menyeret kopernya keluar. "Wina!" seruku lantang, sebelum Wina mencapai pintu. Dia menghentikan langkah, dan menoleh kepadaku. "Apalagi Mas?" tanyanya jengkel. Aku diam, bingung harus bagaimana. Sudah berusaha menahannya, tapi dia tetep kekeh pada pendiriannya. Dasar keras kepala. Tak berkacakah dia? Wajahnya biasa saja, kurang cantik menurutku. Aku sudah merendahkan harga diriku, memohon padanya tapi seolah dia tak butuh. Harusnya dia bersyukur, aku yang tampan ini memperistri dia. Bukannya bersikap arogan seperti ini. Sebenarnya aku ingin memohon padanya sekali lagi, agar membatalkan kepergiannya, tapi jika kulakukan, aku takut dia makin besar kepala. Ya sudah lah, kalau dia mau pergi, biar saja. Mungkin lebih baik begitu, soal Ryan biar aku cari pengasuh nanti. Siapa tahu dengan status baruku, Riyanti mau menerimaku kembali. "Semoga kamu tidak menyesali keputusan ini nanti," ucapku akhirnya. "Gitu aja

  • Penyesalanku   Bab 11

    "Dari mana kamu?" tanyaku, ketika mendapati Wina masuk ke dalam rumah dengan cara mengendap-endap. Dia terlonjak kaget, hingga kunci pintu yang dia genggam terjatuh. "Apa pedulimu?!" ketus Wina. "Jelas aku peduli, kamu istriku," tukasku. "Istri? Kamu masih ingat kalau aku ini istrimu? Kenapa kamu mengejar wanita lain, kalau masih merasa punya istri?" sindirnya."Tidak usah mengalihkan pembicaraan, aku tanya kamu dari mana?" ucapku datar. "Bukan urusanmu!" ucap Wina tak acuh, melewatiku begitu saja. "Apa susahnya menjawab pertanyaan suamimu? Aku tanya kamu baik-baik, tapi jawabanmu ketus begitu! Kamu punya tata krama nggak sih? Aku ini suamimu, orang yang seharusnya kamu hormati!" Suaraku naik satu oktaf.Wina berhasil memancing emosi yang dari tadi aku tahan. Tiba-tiba aku teringat pesan Mbak Yeni, "Kamu tahu betul bagaimana karakter Wina, dia memang kasar, kalau bicara tanpa saringan. Kamu yang waras ngalah dong! Kamu harus bisa membimbing dia, mengubah sikapnya pelan-pelan. Me

  • Penyesalanku   Bab 10

    Hubunganku dengan Wina semakin renggang, kami hanya dua orang asing yang tinggal satu atap. Tak saling peduli, bahkan tak saling sapa. Wina yang biasa menyiapkan segala keperluanku, kini tak melakukanya lagi. Di rumah jarang sekali tersedia makanan, tapi cuci setrika dan beres-beres tetap dia lakukan. Bagiku tak masalah, yang penting Ryan terurus. Kasihan kalau anak itu harus merasakan dampak dari pertikaian kedua orang tuanya. Kadang aku merasa bimbang, apakah melanjutkan rencanaku menceraikan Wina, atau melanjutkan pernikahan yang sudah tidak sehat ini. Lalu bagaimana dengan Ryan?Memikirkan semua itu kepalaku rasanya mau pecah. Aku dan Wina sama-sama keras kepala, tak ada yang mau mengalah. Aku enggan minta maaf, begitu pun Wina. Diantara kami tak ada yang mau memulai memperbaiki keadaan, semua berpegang teguh pada pendirian. "Kamu yang lebih tua ngalah, sudah tahu Wina itu orangnya bar-bar, harusnya kamu bersikap lembut menghadapinya, bukannya malah menandingi. Kalau dia diam,

  • Penyesalanku   Bab 9

    Di sinilah kami sekarang, di ruang tamu rumahku, yang sudah seperti ruang sidang. Aku duduk berdampingan dengan Wina, di sofa panjang. Riyanti duduk di sofa single depanku, di sampingnya duduk Pak Rt. Sementara Bu Rt dan Bu Ratmi berdiri. "Tolong jelaskan duduk perkaranya, biar saya bisa membantu mencari solusinya," ucap Pak Rt bijak. "Suami saya berselingkuh dengan janda gatel itu, Pak!" tuding Wina, dia menatap Riyanti penuh kebencian. "Itu tidak benar, itu fitnah! Antara saya dan Mas Afnan tidak ada hubungan apa-apa," sela Riyanti. "Pak Rt dengar sendiri, kan? Dia bahkan memanggil suami saya, Mas. Itu menunjukkan kalau mereka memang punya hubungan spesial, buktinya dia punya panggilan mesra," sergah Wina. "Wina!" bentakku. "Tuh, Pak Rt lihat sendiri, dia nggak terima selingkuhannya disalahkan," sahut Wina. Aku yang berusaha menahan emosi dari tadi, rasanya ingin menggampar mulutnya yang tidak tahu tata krama itu. "Bu Wina, tolong tenang dulu. Beri kesempatan Pak Afnan menje

  • Penyesalanku   Bab 8

    "Cerai?" Mbak Yeni membeo ucapanku. Setelah kuceritakan tentang niatku untuk bercerai dengan Wina. "Iya Mbak, aku sudah nggak tahan sama sikap Wina. Susah diatur, apalagi penampilannya, bikin ilfeel aja. Rasanya aku ini nggak punya istri, tapi pembantu," ucapku meluapkan unek-unek di hati. "Hhh!" Mbak Yeni membuang nafas kasar. "Kamu dari dulu nggak berubah, selalu buru-buru mengambil keputusan, tanpa dipikir dulu baik buruknya, efek jangka panjangnya. Hanya menuruti emosi saja. Bagaimanapun juga Wina itu istrimu, wanita pilihanmu sendiri, nggak ada yang nyuruh dan nggak ada yang maksa kamu buat nikahi dia. Kalau Wina tidak sesuai keinginanmu, bicaralah baik-baik.""Aku sudah capek ngomong sama dia, Mbak. Dia itu keras kepala," selaku."Bingung aku harus ngomong apa sama kamu. Dulu kupikir kamu menikahi Wina, karena sudah siap dengan resiko punya istri dengan latar belakang seperti itu. Kupikir kamu bisa membimbingnya, agar dia bisa mengimbangimu. Eh ternyata makin kesini, makin---

  • Penyesalanku   Bab 7

    Sejak kejadian pelabrakan yang dilakukan oleh ibu-ibu tidak kenal, terhadap Riyanti. Hubunganku dengan Riyanti menghangat, maksudku dia sudah tidak menolak lagi bantuanku. Karena aku sudah menjadi pahlawan untuknya. Aku ini manajer, perusahaannya pun milik saudaraku, jadi aku sedikit bebas keluar kantor, tanpa perlu ijin. Yang penting pekerjaanku beres, begitu kata Mbak Yeni. Dan kesempatan ini kugunakan untuk mendatangi warung Riyanti. Bantuin dia, dan jaga-jaga kalau ada kejadian serupa. Dari sikapnya, aku merasa Riyanti ini membutuhkan aku sebagai pelindungnya. Meski itu tidak terucap dari bibirnya, aku bisa merasakan itu. "Mas, akhir-akhir ini perasaanku kok nggak enak ya?" ucap Riyanti suatu hari. "Nggak enak gimana?""Nggak enak aja, aku juga nggak tahu kenapa. Tapi feelingku mengatakan bakal ada kejadian yang nggak enak lagi." ucapnya khawatir. "Nggak usah negatif thinking jadi orang, nanti malah kejadian. Mikir itu yang positif aja, yang baik-baik, biar yang terjadi juga

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status