MasukAurora berdiri bergetar, mencoba menahan emosi yang mulai mengalir seperti retakan kaca yang tak terbendung. Suara ayahnya barusan telah mengoyak semua luka lama yang selama ini ia tutupi rapat-rapat.
“Maaf, Aurora... Ayah tidak bisa memberitahumu di mana ayah sekarang,” suara itu terdengar berat, tertekan. “Tapi... tolong, bertahanlah sebentar saja. Percayalah padaku.” Aurora mengerutkan kening, hatinya berdebar hebat. “Bertahan? Apa maksudmu? Apa Ayah tahu apa yang sedang aku alami sekarang?” ucapnya hampir berteriak, membuat beberapa orang menoleh, tapi Aurora tidak peduli. “Aku tahu… semuanya, Aurora.” Suara di seberang terdengar menyesal, namun tegas. Tak ada keraguan bahwa dia memantau dari jauh, tahu betul setiap langkah putrinya. “Kau harus tetap di sana. Teruslah lakukan apa yang sedang kau lakukan sekarang. Jika waktunya tiba… Ayah akan kembali. Dan semua akan tenang lagi. Seperti dulu, seperti sebelum semuanya rusak.” Air mata mulai jatuh tanpa bisa dicegah. Aurora ingin memercayainya. Ingin sekali. Tapi luka itu terlalu dalam, dan kenyataan terlalu menyakitkan. Saat suara ayahnya terdengar seperti hendak menutup telepon, Aurora buru-buru berseru, “Tunggu! Ayah! Benarkah Ayah menggelapkan uang perusahaan? Benarkah semua yang Rafael katakan? Benarkah Ayah penipu seperti yang semua orang bilang?” Hening. Tak ada suara. Aurora menahan napas. Lalu, satu kata lirih terdengar sebelum sambungan terputus. “Maaf…” Tuutt… Tuutt… Sambungan berakhir. Suara dering panjang itu seperti dentang palu yang menghantam jantungnya. Aurora menatap layar ponsel dengan gemetar. Ia mencoba menelpon ulang, jari-jarinya panik menekan tombol panggil, tapi hasilnya selalu sama. “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif.” “Tidak... tolong jangan,” bisiknya patah, sebelum akhirnya menurunkan ponsel dari telinga dan menunduk. Tangisnya meledak begitu saja. Air mata mengalir tanpa malu, tanpa bisa ditahan. Di tengah keramaian orang asing yang lalu-lalang, Aurora terisak dalam diam, memeluk tasnya erat-erat seolah itu satu-satunya sandaran yang tersisa. Ia tak peduli lagi akan tujuan bus, akan waktu yang terus berjalan. *** Langkah-langkah cepat bergema di lantai kantor. Aurora berjalan dengan amarah membuncah, wajahnya gelap, matanya masih sembab namun dipenuhi bara. Setibanya di depan ruangan Rafael, Nadine, sekretaris Rafael, segera berdiri dari meja dan menahan langkahnya. "Nona Aurora, tunggu, Tuan Rafael sedang ada tamu. Kau tidak bisa masuk sembarangan!" Namun Aurora tidak peduli. Ia mendorong pintu itu terbuka dengan kasar. “RAFAEL!” Di dalam, Rafael sedang duduk bersama dua orang klien berjas formal. Ketiganya menoleh kaget. Rafael segera berdiri, menarik napas dalam, lalu tersenyum diplomatis kepada kliennya. "Maafkan saya. Saya akan menyelesaikan ini sebentar." Dengan cepat, dia meraih lengan Aurora dan menariknya keluar dari ruangan, menutup pintu di belakang mereka sebelum siapa pun sempat bereaksi. Tanpa sepatah kata pun, Rafael menyeret Aurora menuju tangga darurat dan membawa gadis itu ke atap gedung. Begitu berada di atap, Rafael melepaskan lengannya dan menatap Aurora tajam. "Apa kau sudah gila?!" bentaknya. "Kau pikir karena aku sedikit lunak, kau bisa seenaknya menyerbu ruanganku? Di depan klien?!" Aurora tidak gentar. Nafasnya memburu, matanya menyala. “Dengan semua uang yang kamu punya... semua kekuasaan yang kamu pegang... apa sesulit itu mencari keberadaan Ayahku, Rafael?!” Rafael tertegun. Matanya menyipit curiga. “Apa dia menghubungimu?” “Bagaimana kau mencarinya selama ini? Kenapa tidak berhasil mencarinya!” Aurora tidak menjawab pertanyaan Rafael, melainkan terus menuntut jawaban pasti. “Aurora!” Rafael mencengkram lengan Aurora kuat, tubuh gadis itu sedikit terguncang. “Aku tanya, apa dia menghubungimu?!” “YA!” teriak Aurora, akhirnya pecah. Air matanya jatuh deras. “Dia menelponku pagi ini! Tapi sekarang nomornya tidak bisa dihubungi lagi... aku... aku tidak tahu dia di mana.” Rafael terdiam. Cengkramannya perlahan mengendur, lalu melepaskan lengan Aurora. “Berikan aku nomornya,” katanya datar. “Sudah kubilang tidak bisa dihubungi.” “Berikan Aku nomornya!” bentak Rafael, suaranya tajam dan tegas, seolah tidak menerima bantahan. Aurora terkejut. Mereka saling menatap. Nafas keduanya berat, emosi menggantung di udara. Akhirnya, dengan tangan gemetar, Aurora membuka ponselnya dan menunjukkan nomor itu. Rafael melihatnya sejenak, menghafal dalam diam. Kemudian, dia menatap Aurora sekali lagi, lebih tenang, namun tetap dingin. “Aku akan mencarinya,” katanya singkat. “Tapi jangan pernah lakukan ini lagi. Sekali saja kau mempermalukanku di depan orang penting, aku pastikan kau tidak hanya kehilangan pekerjaan, kau akan kehilangan segalanya.” Aurora hanya menatapnya. Tak ada kata keluar dari bibirnya. Dengan amarah yang tertahan, Rafael pun meninggalkan Aurora seorang diri. Aurora hanya menatap punggung Rafael yang perlahan menjauh. Tubuhnya tak mampu bergerak, bibirnya bisu. Ada ribuan kata ingin ia lontarkan, namun semua tertahan di tenggorokan, tenggelam bersama air matanya yang belum benar-benar kering. Sementara itu, di koridor kantor lantai atas, Rafael berjalan dengan langkah cepat dan berat. Emosinya masih membara, namun wajahnya tetap datar, seperti topeng yang sudah terlatih untuk menyembunyikan badai. Ia menyelipkan tangan ke dalam saku dan mengeluarkan ponsel. Jemarinya lincah menekan nomor khusus. Tak lama kemudian, sambungan tersambung. “Carikan informasi nomor telepon ini. Segera,” ucap Rafael tegas, tanpa basa-basi lalu menyebutkan nomor yang dipakai Edgar menelpon Aurora. “Nomor itu menelepon Aurora pagi ini. Aku yakin dia berusaha menyamarkan jejak, tapi aku tahu gayanya. Edgar akhirnya menunjukkan diri.” Terdengar jeda singkat di seberang sana, lalu suara lawan bicaranya kembali terdengar, lebih serius. “Kami akan mulai pelacakan sekarang.” “Aku tidak mengerti apa maunya, tapi dia cukup gila untuk menghubungi putrinya, dan cukup bodoh untuk meninggalkan celah.” “Dimengerti.” Klik. Sambungan terputus. *** Aurora kembali ke lantai utama kantor dengan langkah gontai. Matanya sembab, bayangan air mata masih terlihat jelas di wajahnya yang pucat. Meski ia berusaha menegakkan bahu dan memasang wajah seolah semuanya baik-baik saja, sorot matanya tidak bisa berbohong, ia telah menangis. Dan semua orang bisa melihatnya. Namun tak ada satu pun yang berani menegurnya atas keterlambatannya pagi ini. Beberapa rekan kerjanya hanya saling pandang diam-diam. Ada sesuatu pada Aurora yang membuat semua terdiam. Bukan karena matanya yang sembab, tapi karena semua orang tahu… dia baru saja menerobos masuk ke ruangan direktur bahkan meski sudah dicegah oleh Nadine. Langkah Aurora terhenti sejenak ketika ia menyadari bisikan-bisikan lirih yang muncul dari sudut-sudut ruangan. “Dia tadi teriak-teriak, loh… di ruang direktur.” “Kau yakin? Beneran berani masuk?” “Aku dengar Nadine sampai berdiri untuk menghalanginya, tapi tetap aja dia maksa.” “Pasti ada hubungan khusus. Mana mungkin orang biasa bisa seenaknya masuk ruangan Presdir Rafael.” “Lihat matanya. Kayak abis ribut sama pacar.” “Sepertinya, mereka memang punya hubungan khusus.” Aurora mengatupkan rahangnya, menahan napas. Ia terkejut akan rumor yang baru saja ia dengar, hingga tiba-tiba Rafael yang berjalan melewati ruangan mereka melirik sekilas ke arah Aurora menuju lift. Seolah memastikan jika keduanya memang terjalin sebuah hubungan.Langkah Aurora terhenti lagi ketika suara itu memanggilnya.“Aurora!”Aurora menoleh dengan helaan napas pelan. Marissa, istri baru ayahnya berdiri sambil menggendong Renaldo yang masih memeluk erat lehernya, mata wanita itu tampak cemas.“Kami akan pergi,” ujar Marissa dengan suara yang sedikit lebih keras, seolah khawatir Aurora akan terus berjalan dan mengabaikannya.Aurora mengernyit. “Apa maksudmu?”Marissa menarik napas dalam, lalu menjawab, “Dua minggu lagi… kami akan naik kapal laut. Kami tidak bisa tinggal lebih lama di sini. Polisi mungkin akan menemukan kami kalau terlalu lama menetap.”Aurora mengangkat alis. “Dan kenapa kau memberitahuku?”Pertanyaannya terdengar dingin dan tajam. Ia tidak berusaha menyembunyikan luka atau kejengkelan dalam nadanya.Marissa berkata, “Aku… aku tidak tahu. Tapi mungkin ini kesempatan terakhir. Mungkin kau mau datang. Untuk melihat ayahmu. Untuk—”“Untuk apa?” potong Aurora cepat. “Untuk menjelaskan kenapa Ayah lebih memilih kalian? Untuk me
Mata Aurora membelalak, wajahnya pucat. Ia mengenali wajah mungil itu. Rambut keritingnya, matanya yang besar… terlalu mirip dengan seseorang yang ia kenal. Itu… anak ayahnya. Aurora mengerjap, seolah menolak percaya. Anak itu adalah putra dari ayahnya bersama istri barunya perempuan yang menggantikan ibunya, yang hadir setelah semua kehancuran yang menimpa keluarganya. Dunia seperti runtuh sesaat di kepalanya. “Kenapa, Aurora?” tanya Rafael heran melihat wajahnya yang mendadak panik. Aurora berusaha menenangkan diri, lalu cepat-cepat mendekat dan meraih anak itu dari pelukan Rafael. “Biar aku yang gendong. Kamu duduk saja di sana, istirahatkan kakimu.” Rafael masih terlihat bingung, tapi menuruti. Ia menyerahkan bocah itu kepada Aurora lalu berjalan perlahan kembali ke bangku taman, masih memandangi mereka dengan alis terangkat. Begitu Rafael menjauh, Aurora mendekap bocah laki-laki itu erat-erat. “Kamu kenapa bisa di sini, hm?” bisiknya lembut meski dalam hati ia kalut.
Aurora tersipu. “Nggak… cuma bilang fakta.”Rafael terkekeh. “Kalau kamu mau, aku bisa pindahkan dia dan angkat kamu jadi sekretarisku.”“Enggak usah. Bisa-bisa semua klien kamu kabur karena aku ngomel terus.”Rafael tertawa lebih keras kali ini. “Mungkin benar juga.”Mereka pun duduk berdua di restoran itu, menikmati ketenangan setelah pertemuan bisnis yang melelahkan. Aurora tahu dunia Rafael penuh tekanan, tapi di antara momen seperti ini, ia merasa perlahan mulai memahami sisi lain dari pria yang perlahan mengisi hatinya itu.Setelah menyelesaikan makanan ringan mereka di restoran Jepang itu, Rafael menyandarkan punggungnya dengan ekspresi lega. "Rasanya aku belum benar-benar makan. Mau cari tempat lain buat makan malam yang lebih serius?"Aurora tersenyum kecil. “Kupikir kamu sudah kenyang setelah makan takoyaki terakhirku.”“Justru itu. Cuma satu, dan itu pun karena dikasih dengan tatapan mengancam.” Rafael menyeringai jahil. “Kamu ada ide mau makan di mana?”Aurora memandangi j
Aurora menatapnya sejenak, heran tapi juga sedikit tersentuh. “Aku ikut? Tapi aku bukan bagian dari urusan kerjaanmu.” “Justru karena itu,” Rafael tersenyum. “Biar aku punya alasan buat cepat selesaiin meeting-nya. Dan aku tenang karena kamu ada di dekatku.” Aurora melempar bantal kursi ke arahnya. “Dasar!” Rafael hanya tertawa, lalu menoleh ke arah jam dinding. “Kita masih punya waktu satu jam sebelum berangkat. Aku mandi dulu, lalu kamu bantu pilihkan baju, ya?” Aurora berdiri, mengangguk mantap. “Siap. Tapi jangan jatuh di kamar mandi.” “Kalau jatuh, setidaknya ada alasan bagus buat kamu mandiin aku,” kata Rafael santai sambil berjalan pelan ke arah kamarnya. “RAFAEL!” Aurora memekik. *** Suara pintu mobil tertutup disusul deru mesin yang mati. Rafael melangkah turun dari kursi belakang dibantu sopirnya, sedangkan Aurora keluar dari sisi lainnya, mengedarkan pandangan ke arah bangunan restoran yang bergaya Jepang itu. Restoran itu tampak tenang dari luar, dikeliling
Dalam sekejap, Rafael menarik tubuh Aurora ke dalam dekapannya. Aurora terkejut, nyaris terjatuh ke ranjang kalau saja tidak sempat menumpukan tangan pada dada Rafael yang hangat. Pelukan itu erat dan nyaman, membuat Aurora sejenak kehilangan niatnya untuk memarahinya. “Tidur lagi sebentar,” kata Rafael lirih, dengan suara serak khas bangun tidur yang memabukkan. Aurora memukul dadanya pelan. “Rafael! Jangan manja. Sudah jam sembilan, aku udah siapin sarapan, perutku lapar.” Rafael hanya menggumam pelan, masih menolak melepaskannya. “Sepuluh menit lagi.” Aurora menarik napas panjang, mencoba melepaskan diri, tapi Rafael kembali mengencangkan pelukannya. “Rafael, serius. Kalau kamu nggak bangun sekarang, aku makan semuanya sendiri.” Mendengar ancaman itu, Rafael akhirnya membuka matanya dengan malas. Ia menatap Aurora yang berada dalam pelukannya, lalu tersenyum lebar, seperti anak kecil yang tertangkap basah sedang pura-pura tidur. “Kamu kejam sekali.” “Kejam karena kelapar
Aurora mengangguk pelan. “Aku tahu.”"Aku sendirian di pantai tadi," ucap Aurora akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. "Sampai Kevin datang. Kami hanya mengobrol sebentar. Lalu kau meneleponku."Rafael memandang Aurora dalam-dalam, lalu tersenyum kecil. Meski senyumnya lelah, ada ketulusan yang memancar dari sana. Ia berusaha berdiri, dan meski kakinya masih sakit, ia memaksa tubuhnya bergerak, pincang tapi mantap. Dalam beberapa langkah tertatih, Rafael akhirnya sampai di depan Aurora dan memeluknya erat."Aku tahu," bisiknya. "Aku tahu kamu nggak akan melakukan sesuatu yang menyakitiku. Dan... maaf karena sudah membiarkan Valery masuk. Aku ceroboh. Aku terlalu percaya pintu yang tidak tertutup rapat."Aurora menggeleng dalam pelukannya. "Aku yang harusnya minta maaf. Aku nggak seharusnya meninggalkan kamar terlalu lama. Meninggalkanmu sendirian seperti itu.”Rafael melepas pelukan itu sedikit untuk bisa menatap wajahnya. "Aurora, kamu bukan penjaga orang sakit. Kamu pasti bosan, kan?







