Malam itu, langit menggantung mendung kelabu, jalanan lengang hanya disinari lampu kota yang temaram. Aurora pulang larut malam, langkahnya lelah, tubuhnya lunglai. Pekerjaan yang awalnya ringan tiba-tiba menumpuk tanpa ampun. Beberapa dokumen penting dilemparkan begitu saja ke mejanya sejak pagi. Deadline dipercepat tanpa alasan jelas, dan semua mata seperti menyorotinya dengan sinis.
Tak hanya Rafael yang memperlakukannya dingin sejak kejadian terakhir, tapi seluruh rekan kerja pun mulai menunjukkan ketidaksukaan yang sama. Tatapan mencibir, bisik-bisik di sudut ruangan, bahkan instruksi yang bertentangan sengaja diberikan hanya untuk menjebaknya. Atasannya yang dulu bersikap netral kini mulai menegur hal-hal kecil seperti kopi yang tidak cukup panas, salinan laporan yang terlambat satu menit, atau cara duduknya yang dianggap tidak profesional. Aurora merasa seperti diasingkan secara perlahan, didorong ke tepi jurang yang hanya bisa dia tahan dengan sisa-sisa harga diri dan keinginannya untuk bertahan hidup. Sesampainya di rumah Rafael, yang juga kini menjadi tempat tinggalnya, Aurora membuka pintu dengan hati-hati. Tak ada suara. Rumah itu sepi, dingin, nyaris tak bersahabat. Ia menaruh tasnya di meja makan, duduk sejenak tanpa menyalakan lampu, membiarkan gelap menyelimuti tubuhnya. Pikirannya kacau. Semua terasa sempit. Di tempat kerja, ia dianggap beban. Di rumah, ia hanya bayangan masa lalu yang tidak diinginkan. Aurora tahu, posisinya seperti duri di mata semua orang. Tidak ada yang benar-benar ingin dia ada. Ia hanya alat yang ditinggalkan ayahnya, lalu diseret dalam permainan yang tak pernah ia pilih. Tapi yang lebih menyakitkan, tak ada satu pun tangan yang terulur. Air matanya mengalir perlahan. Bukan karena kelemahan, tapi karena lelah terus menjadi kuat sendirian. Tiba-tiba suara pintu ruangan kerja terbuka keras. Rafael keluar dengan langkah tegas, wajahnya gelap. Tatapannya tajam tertuju pada Aurora. “Hebat,” sindir Rafael dingin, “Pulang larut malam, rumah berantakan, dan aku belum makan malam. Apa sekarang kau sudah menganggap rumah ini milikmu, Aurora? Sampai-sampai kau merasa bebas mengabaikan tugasmu?” Kata-katanya menusuk seperti pisau. Aurora yang sudah dua minggu ini menjalani hari-hari berat, tubuhnya seperti habis dirontokkan habis-habisan oleh pekerjaan dan tekanan sosial, hanya bisa menunduk. Lidahnya kelu. Ia ingin membela diri, tapi tahu tak akan ada gunanya. Perlahan, dengan nada lelah, Aurora bangkit dari kursi. “Aku akan siapkan makan malam,” gumamnya. Namun langkahnya langsung terhenti. “Di mana seragammu, Aurora?” tanya Rafael ketus. “Apa kau lupa aturan rumah ini?” Aurora menatapnya, tubuhnya menegang. Wajahnya mengeras menahan amarah yang mendidih di dalam dada. Nafasnya tertahan. “Kenapa?” tanyanya tajam, suaranya pecah di ujung kalimat. “Kenapa aku harus memakai seragam menjijikkan itu setiap saat? Apa kau puas melihatku direndahkan seperti ini?” Rafael tak bergeming. “Karena itulah tempatmu di rumah ini. Seorang pelayan. Jangan terlalu nyaman dengan belas kasihan,” balasnya, dingin dan kejam. Ucapan itu bagai cambuk keras yang menghantam harga diri Aurora. Ia menatap Rafael penuh luka, matanya mulai berkaca-kaca, tapi tak ada lagi yang bisa ia tahan. Amarahnya yang selama ini dikubur akhirnya meluap. “Tidak, bukan aku yang nyaman! Tapi kau yang tak punya perasaan!” teriaknya dengan suara gemetar. “Kau memperlakukanku seperti barang, bukan manusia. Aku lelah, Rafael. Aku ke sini bukan untuk menjadi budak! Aku ke sini karena tidak punya pilihan!” Rafael yang tersulut emosi mempercepat langkahnya dan berdiri tepat di hadapan Aurora. “Jika kau tidak suka diperlakukan seperti ini,” bentaknya, suara rendah namun mengguncang ruangan, “maka carilah ayahmu!” Aurora terkejut. Tubuhnya menegang. Ia menatap Rafael yang menatapnya dengan sorot mata penuh kemarahan yang sudah terlalu lama terpendam. “Semua ini terjadi karena perbuatan Edgar Marvelo!” Rafael mengatupkan rahangnya kuat-kuat. “Karena pria pengecut itu! Jadi kenapa kau menyalahkan aku?!” Aurora terdiam. Matanya melebar, dadanya naik turun cepat menahan perasaan yang bergumul antara luka dan kemarahan. “Bencilah ayahmu!” teriak Rafael lagi, suaranya kini mulai retak. “Bawa dia ke hadapanku jika kau ingin bebas dari semua ini! Jangan memohon pengertian dari orang yang bahkan tidak pernah kau beri jawaban!” Keduanya saling menatap dengan mata penuh bara. Tapi di balik amarah Rafael, ada luka yang mulai terlihat, sebuah rasa dikhianati, ditinggalkan, dan ditikam oleh orang yang paling ia percaya. Tubuh Aurora gemetar. “Kau pikir aku tak ingin menemukannya?” jawab Aurora bergetar mengandung emosi yang dalam. “Kau pikir aku belum cukup hancur karena ulahnya? Kau bukan satu-satunya yang merasa dikhianati, Rafael.” Bersambung ...Tapi Aurora, kau harus terbiasa dengan semua itu. Semua pegawai di sini sudah hatam siapa saja yang dekat dengan Pak Rafael. Tapi tentu saja, saat ini kamulah pemenangnya,” ucap Lia mencoba menyemangati.Aurora tersenyum hambar. Di dalam dirinya, hatinya masih menyimpan keraguan. Meski Nadine berkata tidak perlu khawatir, kenyataan bahwa Rafael tersenyum saat membaca pesan dari Rachel tetap membekas dalam pikirannya. Tapi untuk saat ini, dia memilih diam.***Restoran mewah di tengah kota itu tampak tenang siang itu. Alunan musik jazz yang lembut mengiringi suasana elegan dengan meja-meja yang tertata rapi, lampu gantung kristal memancarkan cahaya hangat, dan wangi aroma anggur serta makanan gourmet menggoda penciuman. Seorang pelayan membukakan pintu untuk Rafael yang baru saja tiba.Rafael melangkah masuk dengan percaya diri, mengenakan jas gelap yang membuat aura karismanya tak tertandingi. Tatapan beberapa pengunjung wanita sejenak tertuju padanya, namun ia tampak tidak peduli. Pa
Aurora duduk di balik meja kerjanya, menatap layar komputer yang menampilkan laporan data penjualan bulan ini. Matanya lelah, punggungnya mulai terasa pegal karena duduk terlalu lama, dan pikirannya… tidak sepenuhnya berada di tempat kerja. Meski ia mencoba fokus, sesekali pikirannya kembali teralihkan pada nama itu. Rachel. Nama yang terus berputar di kepalanya sejak pagi tadi.Ia ingin sekali bertanya langsung pada Rafael, ingin tahu siapa sebenarnya wanita itu. Tapi ia menahan diri, menunggu waktu yang tepat. Dan ia memutuskan, jam makan siang nanti, ia akan menanyakannya. Menuntaskan rasa penasaran yang menyesakkan dadanya sejak pagi.Jam makan siang pun tiba. Aurora berdiri dari kursinya dan mengambil napas panjang. Ia membenarkan sedikit rambutnya yang terurai di bahu, merapikan blusnya, lalu melangkah keluar menuju ruang Rafael. Wajahnya datar, tapi dalam hatinya ada secercah harapan agar Rafael ada di sana, seperti biasanya menunggunya untuk makan siang bersama.Namun harapa
Rafael terkejut. Ia langsung mengangkat wajahnya, lalu buru-buru mematikan layar ponselnya dan meletakkannya menghadap ke bawah."Apa aku tersenyum?" tanyanya cepat, seolah tidak sadar bahwa dia telah melakukannya berkali-kali.Aurora mengangguk sambil memotong roti panggangnya. "Iya. Beberapa kali malah. Padahal kamu biasanya jarang banget tersenyum, apalagi saat sarapan."Rafael terdiam. Tatapannya mengarah ke piringnya, tapi tak juga bergerak untuk makan. Sekilas terlihat ia seperti berpikir, namun kemudian dengan cepat ia mengalihkan topik."Sudah hampir siang. Kita harus berangkat sekarang kalau gak mau terlambat."Aurora terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk pelan. Ia tahu Rafael menghindari menjawab. Tak ada penjelasan, tak ada penyangkalan. Hanya perpindahan topik yang terlalu jelas.Keduanya pun berdiri dari meja makan. Rafael mengambil jasnya, Aurora merapikan tas kerjanya. Tidak ada candaan kecil seperti biasanya, tidak ada percakapan ringan di pagi hari. Yang
Setelah menyelesaikan makan siang mereka, Aurora dan Rafael keluar dari restoran dengan langkah santai. Udara siang yang hangat menyambut mereka, diselingi angin lembut yang membuat dedaunan bergoyang pelan. Rafael menggenggam tangan Aurora, erat namun lembut, seolah tak ingin kehilangan sentuhannya.“Aku kekenyangan,” kata Aurora sambil tersenyum kecil, tangan kirinya menepuk ringan perutnya.“Makanya, kita jalan sebentar. Supaya makanannya turun,” sahut Rafael sambil melirik Aurora dengan senyum penuh makna. “Lagipula, kapan lagi aku bisa jalan berdua seperti ini sama kamu tanpa gangguan kantor?”Aurora tertawa kecil. “Seolah-olah kamu bukan bos besar yang bisa menciptakan waktu sendiri.”Rafael terkekeh, matanya tetap menatap ke depan namun genggamannya tak lepas. “Kalau untuk kamu, aku rela nyuri waktu sebanyak apa pun.”Aurora menoleh padanya, sedikit terkejut, tapi tak bisa menyembunyikan senyumnya yang pelan muncul.Langkah mereka perlahan menyusuri trotoar, sesekali berhenti d
Di lobi, Rafael sudah berdiri menunggu dengan santai. Mengenakan kemeja putih yang digulung di bagian lengannya, ia tampak begitu rileks namun mencolok. Beberapa pegawai perempuan yang lewat pun tak bisa menahan lirikan ke arahnya.Saat melihat Aurora turun dari lift, Rafael tersenyum kecil, matanya berbinar.“Kau cepat juga,” ucap Rafael ringan begitu Aurora mendekat.Aurora sedikit mendesah, mencoba tersenyum meski degup jantungnya belum reda. “Kau mengajakku dengan tiba-tiba.”Rafael melirik jam tangannya. “Kita hanya punya satu jam. Kalau kamu terlalu lama mikir, aku bisa kelaparan.”Aurora tertawa kecil, akhirnya melangkah di samping Rafael saat mereka keluar dari gedung bersama menaiki mobil yang Rafael bawa sendiri.Rafael dan Aurora tiba di sebuah restoran Italia yang elegan namun nyaman di sudut kota. Aroma rempah-rempah khas Italia langsung menyambut begitu mereka melangkah masuk. Interior restoran tampak hangat dengan lampu-lampu gantung bergaya vintage dan musik instrument
Lalu Valery melangkah pergi, meninggalkan Aurora yang hanya bisa menghela napas panjang. Ada firasat yang menekan di dadanya, dan entah mengapa, ia merasa ini baru permulaan dari sesuatu yang rumit.Aurora duduk kembali di mejanya dengan napas yang masih belum teratur. Kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan yang tak sempat ia jawab. Ia menunduk, mencoba fokus pada pekerjaannya, tapi suara langkah mendekat membuatnya menoleh.Lia duduk di kursi seberang dengan tatapan menyelidik."Aurora..." bisik Lia sambil melirik ke arah pintu ruangan Rafael yang sudah tertutup. "Tadi aku lihat kamu bicara sama Valery. Dia... ngancam kamu, ya?"Aurora mengangkat alisnya bingung. “Ngancam? Nggak. Dia cuma menyapa dan bilang kita akan sering ketemu. Kenapa kamu tanya begitu?”Lia tampak tak puas dengan jawaban itu. Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, suaranya lebih pelan, “Kamu tahu nggak siapa Valery sebenarnya?”Aurora mengerutkan dahi, menunggu jawaban.“Dia itu mantan kekasih Presdir. Dulu sem