MasukTapi Rafael tak lagi menjawab. Ia hanya menatap Aurora sejenak, dadanya bergetar menahan ledakan berikutnya yang kini tertahan di kerongkongan. Tatapannya mulai redup, tapi masih menyisakan bara yang belum padam.
Aurora memalingkan wajahnya, air matanya kembali jatuh, tapi kali ini tanpa suara. Ia melangkah cepat pergi ke kamarnya, menutup pintu pelan tapi tegas. Rafael tetap berdiri di tempat, menggenggam tangan erat-erat di sisi tubuhnya, berusaha menahan badai yang mengamuk di dalam dada. Tapi tubuhnya tak lagi kuat menahan beban itu. Dunia tiba-tiba berputar cepat. Pandangannya buram, dinding-dinding rumah seperti bergoyang, dan suara detak jantungnya berdentum di telinga seperti genderang perang. Lalu semuanya gelap. Tubuh Rafael ambruk, menghantam lantai dengan keras. Tangannya yang tak sengaja menyentuh meja kecil menyenggol vas bunga di atasnya, hingga pecah menghantam lantai, memecah keheningan dengan suara nyaring yang mengejutkan. Aurora, yang sedang duduk di sudut kamarnya dengan mata sembab dan dada sesak, langsung bangkit kaget. Tanpa pikir panjang, ia membuka pintu dan berlari keluar. "Rafael!" Pandangan Aurora membentur sosok tubuh besar Rafael yang tergeletak tak bergerak di lantai, di antara pecahan kaca dan bunga yang berserakan. Tubuhnya gemetar saat ia mendekat, berlutut panik, mencoba membangunkan Rafael. Tapi tak ada respons. Jantung Aurora langsung berdebar keras. Tangannya memeriksa denyut nadi di leher Rafael. Tak ada. Napasnya pun tak terasa. "A-astaga! Rafael!" Dengan gemetar, ia mengambil ponsel dan menekan angka darurat sambil mulai melakukan CPR seperti yang pernah ia pelajari bertahun lalu saat kuliah. Tangannya mendorong dada Rafael dengan penuh ketegangan dan air mata bercucuran. “Please, jangan mati Rafael. Bertahanlah!” ucapnya berulang kali sambil mengatur tekanan dan hitungan napas buatan. Ambulans dalam perjalanan, begitu kata suara dari seberang telepon. Tapi waktu terasa terlalu lambat. Setiap detik seperti pisau yang mengiris harapan Aurora. Tangisnya pecah, tapi tangannya tetap kuat bekerja, mencoba menghidupkan kembali pria yang selama ini ia benci, tetapi kini … ada perasaan takut kehilangannya. Beberapa menit kemudian, sirine ambulans terdengar di kejauhan. Petugas medis masuk tergesa, segera mengambil alih tindakan penyelamatan, memeriksa kondisi Rafael dengan alat-alat medis. Aurora menahan napas ketika salah satu paramedis memberi isyarat bahwa detak jantung kembali terdeteksi meski sangat lemah. Mereka segera membawa Rafael ke dalam ambulans, sementara Aurora ikut naik dengan tangan masih gemetar dan wajah penuh air mata. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Aurora menggenggam tangan Rafael yang dingin, berharap hangat tubuhnya segera kembali. *** Rafael perlahan membuka matanya, cahaya putih dari lampu ruangan membuat matanya menyipit. Udara dingin dan bau antiseptik khas rumah sakit langsung menyergap inderanya. Kepalanya terasa berat, denyutan pelan di pelipisnya seperti mengingatkan bahwa tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Dengan napas terengah, Rafael mencoba mengenali sekeliling. Ia berada di atas ranjang rumah sakit, infus terpasang di tangannya, monitor berdetak pelan di sampingnya. Pandangannya menyapu ruangan, hingga terhenti pada sosok yang tak disangka-sangkanya. Aurora. Gadis itu duduk di kursi samping tempat tidurnya, kepalanya tertunduk, tertidur dengan posisi tubuh yang tampak tak nyaman. Rambutnya sedikit berantakan, wajahnya pucat dan mata sembab. Rafael memandangi lekat-lekat wajah itu. Sesuatu di dalam dadanya berdesir bukan kemarahan, bukan dendam, melainkan perasaan asing yang begitu sunyi, tapi hangat. Perlahan, seolah digerakkan oleh naluri, Rafael mengangkat tangannya, ingin menyentuh wajah Aurora. Ingin memastikan bahwa kehadirannya nyata, bukan ilusi akibat obat atau mimpi saat ia tak sadarkan diri. Namun, tepat sebelum jarinya menyentuh kulit Aurora, mata gadis itu terbuka. Aurora terkejut melihat Rafael sudah sadar. Seketika ia tersentak bangun, berdiri dengan panik. Tatapannya menajam, seolah tak percaya Rafael akhirnya sadar. “Rafael!” panggilnya, suaranya gemetar antara lega dan khawatir. Ia langsung berbalik, bergegas keluar ruangan untuk memanggil dokter. Rafael hanya menatap punggungnya yang menjauh, masih belum bisa menyusun kata, tapi perasaan aneh yang tadi muncul belum juga pergi. Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka. Seorang dokter paruh baya dengan jas putih dan stetoskop melingkar di lehernya masuk bersama Aurora. Wajahnya tenang tapi tegas, menunjukkan bahwa ia membawa kabar penting. Rafael mencoba bangkit meski tubuhnya masih lemah. Aurora segera menghampiri dan menekan bahunya pelan, menyuruhnya tetap berbaring. Dokter itu lalu mendekat, memeriksa kondisi Rafael dengan cepat dan teliti, memeriksa denyut nadinya, memantau alat monitor, lalu mencatat sesuatu di clipboard kecilnya. Setelah itu, ia menoleh ke arah Rafael dan tersenyum tipis. "Operasinya berjalan dengan sukses, Tuan Rafael. Anda mengalami serangan jantung ringan karena kelelahan ekstrem dan tekanan emosi yang berat. Beruntung sekali kami bisa melakukan tindakan medis dengan cepat." Bersambung ...Aurora menangis lega, tubuhnya lemas tapi senyumnya merekah. “Itu… anak kita,” suaranya bergetar. Suster dengan sigap membersihkan dan membungkus bayi itu dengan selimut hangat sebelum menyerahkannya pada Rafael. Tangan Rafael gemetar saat menerima putra kecilnya untuk pertama kali. “Halo, anakku…” ucapnya pelan, air mata bahagia membasahi wajahnya. Ia mendekat ke Aurora, menunjukkan bayi mereka. “Lihat, sayang… dia sempurna. Kau luar biasa,” Rafael mengecup kening istrinya, suaranya penuh rasa syukur. Aurora menatap bayi mungil itu dengan mata berbinar, lalu menyentuh pipi anaknya yang lembut. “Aku… aku tidak percaya dia benar-benar ada,” katanya sambil tersenyum lemah. Rafael duduk di sampingnya, merangkul Aurora dan bayi mereka sekaligus. Suara tangisan kecil si bayi memenuhi ruangan, namun bagi mereka, itu adalah melodi terindah yang pernah mereka dengar. *** Langit sore tampak cerah ketika mobil Rafael perlahan memasuki halaman rumah mereka. Aurora duduk di kursi b
Di luar, langit malam bertabur bintang, suara deburan ombak mulai terdengar samar. Rafael memeluk Aurora dengan erat menarik selimut untuk menutupi tubuh keduanya. “Aku mencintaimu, Aurora. Mulai malam ini, dan untuk selamanya.” Aurora menatapnya dengan senyum tulus, matanya berkilau. “Aku juga mencintaimu, Rafael.” Perlahan mata mereka mulai terpejam di sisa-sisa kenikmatan. Kelelahan dan kebahagiaan malam pengantin itu menambah cinta yang akan terus tumbuh. *** Satu bulan kemudian, di rumah mewah mereka Aurora tengah duduk di tepi ranjang dengan napas berdebar. Di tangannya, sebuah test pack menunjukkan dua garis merah yang jelas. Aurora terdiam beberapa detik, memastikan matanya tidak salah melihat. Saat kesadaran penuh menghampirinya, matanya membesar dan bibirnya terbuka lebar. “Ya Tuhan,” ucapnya lirih, lalu jeritan kecil penuh kebahagiaan meluncur dari bibirnya. “Rafael!” panggilnya dengan suara bergetar. Rafael, yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan hand
Mobil pengantin perlahan berhenti di depan sebuah vila mewah yang berdiri di tepi pantai. Lampu-lampu taman memancarkan cahaya lembut, memantulkan siluet pohon kelapa yang bergoyang diterpa angin malam. Suara ombak yang berdebur di kejauhan memberi suasana tenang dan intim, seolah menyambut pasangan pengantin baru itu. Rafael turun lebih dulu, mengenakan tuxedo putihnya yang kini tampak lebih santai dengan dasi kupu-kupu yang dilepaskannya. Ia segera membuka pintu untuk Aurora, yang turun dengan gaun pengantin panjang berkilauan, ujungnya tersapu angin malam. Rafael tersenyum, memandang istrinya dengan penuh cinta. “Selamat datang di tempat kita malam ini,” ucapnya sambil menggenggam tangan Aurora erat. Aurora tersenyum kecil, matanya berbinar sekaligus terasa lelah setelah seharian menjalani prosesi pernikahan. Mereka berjalan beriringan menuju pintu vila. Saat Rafael membukanya, aroma bunga segar dan wangi lilin aromaterapi langsung menyambut. Ruangan itu dihias dengan sentuhan
Di tengah sorakan dan tepuk tangan, mereka berdua berjalan menuruni altar dengan tangan yang saling menggenggam erat. Senyum merekah di wajah keduanya. Menjadi tanda kebahagiaan yang akan selalu hadir dalam pernikahan mereka. *** Ballroom hotel mewah itu dipenuhi cahaya keemasan dari lampu kristal yang berkilauan, menciptakan suasana yang elegan sekaligus hangat. Meja-meja bundar berlapis taplak putih berhiaskan vas bunga mawar dan lilin beraroma lembut, sementara musik klasik mengalun pelan, menemani para tamu menikmati pesta resepsi yang baru saja dimulai setelah akad nikah yang mengharukan. Aurora menatap sekeliling, matanya berkaca-kaca melihat begitu banyak orang yang datang merayakan kebahagiaan mereka. “Aku masih tidak percaya semua ini nyata,” bisiknya pada Rafael. Rafael tersenyum lembut, menepuk tangan istrinya. “Ini nyata, Aurora. Kamu istriku sekarang, dan mulai hari ini, kita akan memulai hidup baru.” Mereka berjalan beriringan menyapa para tamu. Marissa, yang k
Tamu-tamu undangan mulai berdiri, menoleh ke arah pintu besar ballroom yang tertutup rapat. Detik-detik penuh harap terasa begitu panjang. Lalu, perlahan pintu besar itu terbuka, memperlihatkan sosok Aurora. Aurora berdiri di depan pintu, anggun bagaikan seorang putri dari negeri dongeng. Gaunnya panjang berkilauan, terbuat dari satin putih dengan detail payet yang memantulkan cahaya. Roknya menjuntai anggun, dengan ekor gaun yang mengikuti setiap langkahnya. Rambutnya diatur rapi dengan gelombang lembut, dihiasi mahkota kecil yang berkilau di bawah cahaya lampu. Di tangannya, ia menggenggam buket bunga mawar putih bercampur lily sederhana namun elegan. Senyumnya lembut, namun matanya berkilat penuh emosi, mencerminkan kebahagiaan yang ia rasakan. Sorakan kagum terdengar dari para tamu. Marissa yang datang bersama dengan Reynaldo menitikkan air mata melihat betapa anggun dan bahagianya Aurora malam itu. Aurora menarik napas panjang, menenangkan degup jantungnya yang berdebar cepat.
Panggilan keberangkatan untuk penerbangan mereka terdengar dari pengeras suara, membuat suasana semakin nyata. Marissa menggandeng Rey, yang melambaikan tangan kecilnya sambil tersenyum tipis. “Dadah, Kakak Aurora… Om Rafael.” Aurora melambaikan tangan dengan mata sembab, Rafael berdiri di sampingnya dengan ekspresi serius namun matanya menyiratkan emosi yang sama. Mereka berdua melihat Marissa dan Rey berjalan menjauh, melewati pemeriksaan, hingga akhirnya menghilang di balik pintu keberangkatan. Aurora menghela napas panjang, merasakan kehampaan saat sosok kecil Rey tak lagi terlihat. Rafael meraih tangannya, menggenggamnya erat. “Mereka akan baik-baik saja,” ucap Rafael tenang. Aurora menoleh padanya, matanya masih berkaca. “Aku tahu… Tapi rasanya sulit melepas mereka begitu saja.” Rafael menarik Aurora ke dalam pelukannya. “Kita sudah melakukan yang terbaik. Sekarang, saatnya mereka mendapatkan ketenangan.” Aurora menutup mata, membiarkan dirinya larut dalam pelukan Rafae







