Aku benar-benar tak menduga kalau Jason akan mengajakmu mampir di sebuah restoran dan memborong makanan mahal.
“Kamu buat apa beli makanan sebanyak ini?” tanyaku heran menampakkan rasa keberatanku ketika Jason sedang membayar semua makanan yang dipesannya.
Jason hanya melirikku, setelah itu dia menggandeng tangan lalu menyeretku keluar dari restoran.
“Saat di rumah nanti kamu nggak usah masak lagi, kasihan Ghara dan Ghana setiap hari harus makan masakanmu yang tidak enak itu.”
Jason berucap dengan sangat santai.
Aku segera menepuk pundaknya dengan kesal sembari membeliakkan mata.
“Kenapa dulu lu ikut makan di rumahku? Sekarang seenaknya bilang masakanku enggak enak.”
Aku memalingkan wajah sembari berdecih kesal.
Jason menanggapiku dengan tawanya yang lebar, sembari ia segera bergeser menjauh saat aku akan menghujaninya dengan cubitanku yang pastinya terasa pedas di kulit itu.
“Eh enggak deh, masakan kamu enak, tapi Ghara dan Ghana mungkin sedikit bosan makan, makanan rumah, jadi nggak ada salahnya kalau aku membelikan mereka makanan restoran. Kamu jangan tersinggung gitu dong.”
Aku masih membeliakkan mata ke arahnya.
“Tapi kamu tadi nggak bilang gitu, kamu bilang makanan aku nggak enak.”
“Iya deh maaf, aku tadi salah ngomong,” ucap Jason meralat sembari mengangkat kedua tangan.
Aku akhirnya membiarkannya dan tak lagi berusaha menyerangnya dengan cubitanku.
“Ayo kita segera pulang dan memberikan makanan ini pada Ghana dan Ghara,” ajak Jason cepat sembari segera masuk ke dalam mobil.
Aku segera mengikuti masuk ke dalam mobil jeep mahalnya yang besar itu, untuk melesat menuju rumah petak keluargaku, yang berada di sebuah lingkungan pinggiran yang kumuh.
***
Aku merasa sangat bahagia saat melihat ekspresi Ghara dan Ghana yang tampak bergembira saat menyantap semua masakan lezat yang sempat dibelikan Jason di sebuah restoran.
“Wah makanannya lezat sekali!” ungkap Ghara sembari menggigit pizza yang sudah diangsurkan di depan mulutnya.
Jason mengulas senyumnya saat melihat wajah gembira keponakan kembarku itu.
“Kalian makanlah sampai habis, kalau kalian masih pengen lagi, nanti aku akan belikan.”
Jason malah terus saja menawarkan.
Aku langsung menyergap Jason dengan tatapan tajam karena aku tak mau keponakanku jadi ketagihan dengan makanan mahal ini yang dengan keadaan keuanganku yang sekarang jelas aku tak mampu memberikan semua itu pada mereka.
“Kalian syukuri apa yang ada jangan serakah, jangan merepotkan Om Jason ya,” sergahku memperingatkan pada Ghana dan Ghara.
“Nggak apa juga Mala, aku malah senang mereka menyukai makanan yang aku belikan ini.”
Jason menanggapiku dengan ringan.
Aku kembali membeliakkan mata ke arahnya tapi Jason malah membalasku dengan ekspresi mengejek, dengan menjulurkan sedikit lidahnya.
Aku mendengus jengah ke arahnya.
“Biar kamu nggak uring-uringan kamu juga harus ikut makan,” ucap Jason sembari mengangsurkan sepotong pizza padaku, bahkan kemudian dia malah menyuapiku meski malah membuatku kedua pipi dan bibirku belepotan mozarella kala aku memalingkan wajah menghindari suapan Jason.
Tentu saja wajahku yang penuh dengan keju langsung memancing tawa si kembar juga senyuman yang tersungging di bibir bunda, yang sejak tadi hanya memandangiku dengan tatapan lekat saat melihat berinteraksi dengan Jason yang masih saja konyol sama seperti masa kami kecil dulu.
“Kamu itu apaan sih Jas, mulut aku jadi belepotan gini.”
Jason malah tersenyum lebar meski kemudian ia meraih sehelai tisu yang segera ia gunakan untuk mengusap wajahku.
Aku tercenung menjadi diam kala mendapati perhatian Jason yang manis.
Bunda yang masih memandangi kami mengulas senyumnya dengan lebih lebar.
Aku mulai dihinggapi malu yang membuatku menghindar dan langsung merampas tisu dari tangan Jason untuk aku gunakan menghapus mukaku sendiri.
Tapi Jason membiarkan.
Dia kembali mengambil tisu yang lain untuk membersihkan mukaku.
“Apaan sih Jas, aku bisa sendiri,” sergahku sembari menarik wajahku menghindari usapannya.
“Nggak apa-apa juga Mala, Jason membersihkan muka kamu, dia kan tahu letak kotornya di mana,” celetuk bunda ringan sembari ikut mencicipi pizza yang dibawa Jason.
Lirikan mata bunda benar-benar menggelikan, aku tahu bunda ingin aku bisa menjalin kedekatan dengan Jason yang memang sejak lama sudah memberikan perhatian besar untuk keluarga kami.
Bunda bahkan sudah menganggap Jason seperti anaknya sendiri.
Tapi aku masih menanggapi dengan enggan bila mengingat keluarga Jason yang begitu menyepelekan keadaanku saat ini, terlebih pertemuanku yang terakhir dengan Tante Anggun, maminya Jason yang terang-terangan mengatakan bahwa aku adalah gadis miskin yang tidak selevel dengan Jason.
Kalimat yang sama itu juga aku dengar dari Vania, gadis yang digadang-gadang sudah disiapkan sebagai pendamping hidup Jason di masa depan. Gadis sombong yang terlalu sering mengucapkan kalimat nyinyir padaku.
“Enggak ah, aku bersihkan sendiri aja, kamu jangan sentuh-sentuh lagi,” larangku tegas.
Jason akhirnya menyerah saat melihat tatapanku yang tajam meski seuntai senyum masih terselip di sudut bibirnya.
***
Menjelang sore Jason berpamitan pulang. Aku melepasnya sampai di ujung jalan, menuju mobil jeep besar kesayangannya yang akan selalu terparkir di sana setiap kali pria itu berkunjung ke rumahku.
“Besok kamu ada kuliah tidak?” tanya Jason sebelum dia memasuki mobil.
Aku yang sedang mendampinginya memberikan jawaban dengan anggukan kepala.
“Kalau begitu besok aku akan jemput kamu lagi,” ucap Jason cepat.
“Nggak usah Jas, kamu nanti repot, lagian aku besok mau ke rumah teman buat ngerjakan tugas.”
Aku melirik pada iris coklatnya yang sekarang memancarkan aura kecewa ketika mendengar penolakanku.
Bagaimanapun aku harus tetap mengurangi kedekatanku dengan Jason, aku tak mau Tante Anggun akan tiba-tiba melabrakku jika melihat aku terus menghabiskan waktu bersama Jason.
Kedatangan Jason sore ini saja sudah membuatku agak khawatir. Bisa saja kunjungan Jason sekarang diketahui oleh maminya dan pastinya akan membuatku harus berhadapan dengan wanita yang jelas-jelas menampakkan rasa tidak sukanya padaku itu.
“Udah sekarang kamu pulang aja,” pintuku tegas sembari membukakan pintu mobil untuknya.
Jason memindaiku lekat untuk beberapa saat.
“Kamu kan lagi sibuk skripsi sekarang, kamu harus fokus biar cepat diwisuda.”
“Andai kamu bisa kuliah lebih awal kamu pasti ikut mengerjakan skripsi sama seperti aku,” ungkap Jason dengan tatapannya yaang agak menerawang.
“Bisa kuliah walau baru semester dua, kamu udah sangat bersyukur Jas. Semua juga berkat jasa kamu, Tuhan sudah mengirim kamu buat keluarga aku.”
Aku semakin tak bisa melepaskan sorot mataku yang penuh arti pada sosok sahabat terbaikku itu.
“Terima kasih buat semua yang udah kamu beri ke keluargaku juga aku.”
Jason membalas tatapanku tapi kemudian dia malah mengacak rambutku yang kali ini aku biarkan tergerai dengan gemas.
“Kamu jangan melo kayak gini, nggak pantes,” sergah Jason sembari tersenyum lebar.
“Udah sana, kamu cepet pulang,” balasku sembari mendorong tubuh jangkung Jason agar segera memasuki mobil yang pintunya sudah aku buka.
Jason sedikit terkekeh ketika melihat semburat merah di wajahku, meski kemudian ia mulai memasuki mobilnya, benar-benar menuruti perintahku agar dia segera pulang.
Untuk beberapa saat aku menunggu mobil Jason yang sudah melaju hingga hilang di tikungan.
Baru setelah itu aku membalikkan badan berniat untuk kembali ke rumah.
Tapi nyatanya sekarang aku malah mendapati seseorang sedang menghadang jalanku, yang dengan sangat sukses mampu membuatku disergap kekagetan karena tatapannya yang tajam menyergap.
“Kita harus bicara!”
***
Sungguh aku tak menduga kalau Sherly akan mengambil jalan pintas yang jelas begitu bodoh.Ketika mendengar berita kematiannya karena bunuh diri, aku benar-benar tak habis pikir.Jadi ini rencana yang sempat dia isyaratkan beberapa waktu lalu, ketika kami berbicara setelah pernikahan ayah dengan bunda.Sherly lebih memilih mati dengan masih mempertahankan kecantikan yang selalu ia banggakan."Sherly, bangun ... !"Lola terus meraung di samping jenazah putri kesayangan, alih-alih mengaji demi menentramkan jiwa anaknya yang sudah berpindah alam.Bunda yang berada di sampingku, hanya melirik sekilas pada mantan madunya. Beliau lebih memilih untuk kembali meneruskan membaca surat Yasin.Aku juga tetap khusyu dengan bacaanku, mengabaikan tangisan Lola yang sudah terasa sangat mengganggu.Sampai akhirnya Sisca mendekat untuk menenangkan. Ketika Lola masih saja menjerit histeris, pada akhirnya Sisca memaksa mamanya untuk beranjak pergi."Ma, ayo ke atas saja, Mama bisa sepuasnya menangis di s
“Kenapa, Mas?” Aku bertanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku tak mau kamu tertulari penyakit kotor yang diderita wanita itu saat ini.” Aku terkesiap dengan wajah terperangah ketika mendengar apa yang dikatakan Gamal. “Maksud kamu apa Mas?” Gamal menatapku lurus. “Kemarin sebelum Tony berangkat ke Eropa untuk berobat, dia mengaku padaku kalau beberapa hari sebelum sakit dia sudah tidur dengan Sherly. Jadi aku menyarankan pada mantan saudara tiri kamu ini untuk melakukan pemeriksaan.” Gamal lalu menegaskan tatapannya pada Sherly yang sedang mendengus kesal padaku. “Perlu kamu tahu kalau sebenarnya Tony terinfeksi HIV, dan dia sekarang harus mendapatkan perawatan insentif di Jerman.” Sekarang malah Sherly yang tampak sangat terkejut dengan kedua matanya membeliak tajam ke arah Gamal.
Aku dan Gamal benar-benar tak lagi bisa menghindari permintaan Umi Risa. Pada akhirnya kami mengantar beliau ke rumah sakit menemui Tony yang sekarang tampak semakin melemah bila dibanding saat kami terakhir kali melihatnya beberapa hari lalu.Umi Risa terus saja menjatuhkan air matanya, menjadi sangat tega melihat keadaan putra pertamanya yang sangat kesakitan.Ketika melihat kedatangan Umi Risa bersama kami berdua, Tony yang kian tirus itu tampak sangat kaget bahkan hanya bisa terperangah untuk beberapa saat dengan tatapan yang agak menegas ke arah Gamal sebagai isyarat ketidaksetujuannya atas keputusan Gamal untuk membawa Umi Risa ke rumah sakit.“Aku sudah tidak bisa menutupinya terlalu lama dari Umi,” ucap Gamal seakan menjawab pertanyaan yang terlontar dari tatapan Tony yang tajam.Tony menjawabnya dengan sebuah tarikan nafas panjang sembari ia menggerakkan kepalanya ke samping sepe
“Lalu dia kenapa sampai menangis seperti itu?”Aku tak bisa lagi menahan rasa penasaranku.“Kenapa kamu tak tanyakan saja sama dia?”Aku mendesah jengah melihat sikap suamiku yang masih saja sarkas dan sinis pada kakaknya yang bahkan sekarang masih saja menangis dengan sangat sedih.Aku langsung menegaskan tatapanku pada Gamal yang kemudian malah menanggapiku dengan kedikan di kedua bahunya.Tanpa menunggu lama aku langsung mendekati Tony, berusaha menenangkan pria itu sebisanya.“Jangan menakutkan apapun, percayalah Tuhan itu Maha Pengasih. Aku yakin kalau kamu bertobat dengan sungguh-sungguh Allah pasti akan mengampuni kamu.”Setelah itu aku mulai mengambil sekotak tisu dari atas nakas dekat ranjang dan menariknya beberapa lembar untuk aku ulurkan pada Tony yang sekarang sudah menatap ke
“Siapa sih Mas yang sakit?”Aku semakin tak sabar dan terus penasaran.Tapi kemudian Gamal malah menarik nafasnya sangat dalam.“Kamu bilang kemarin aku harus memperbaiki hubunganku dengan kakakku.”Aku sedikit mengernyitkan dahi.“Jadi Mas Tony sekarang yang sedang sakit? Dia sakit apa?” Aku segera mengunggah tebakanku.Gamal malah melirik tajam ke samping ke arahku yang juga sedang melekatkan tatapanku padanya.“Udah aku bilang jangan panggil dia Mas ... “Aku mendesah jengah. Dalam keadaan seperti ini Gamal masih saja posesif dan di depanku malah seringkali bersikap terlalu manja seperti anak kecil.“Iya, iya maksud aku Tony, dia sakit apa?” tanyaku lagi.“Penyakit yang aku yakin pasti akan membuatnya insyaf
Semua orang bersungguh-sungguh saling tarik menarik tali tambang, benar-benar berusaha untuk menjadi pemenang.Aku bersama timku yang tampak sangat antusias berusaha untuk memenangkan perlombaan.Sementara pihak Ela juga tak mau mengalah.Semua gigih berjuang hingga akhirnya aku bersama timku berhasil mengalahkan tim Ela.Tapi meski aku menang aku kemudian malah tak bisa menyeimbangkan diri, dan jatuh tersungkur, yang tak pernah aku sangka malah membuat semua orang panik, termasuk juga Gamal yang langsung mendekat untuk membawa tubuhku ke dalam gendongannya.Sikap Gamal yang terlalu berlebihan malah membuatku risih sendiri terlebih saat melihat tatapan iri dari karyawan Gamal yang lain.“Mas, turunkan aku, aku nggak apa-apa!” sergahku kesal dengan kedua kakiku bergelinjang meminta suamiku untuk menurunkan aku dari gendongannya.
“Sayang bagaimana kalau kita mulai melakukan program kehamilan?” Aku terkesiap menjadi tak bisa menyembunyikan kegusaranku. “Program hamil Mas?” Gamal menatapku kian tegas. “Kenapa, apa kamu keberatan?” “Kan aku tadi sudah bilang aku nggak mau hamil dulu dalam waktu dekat ini.” Aku menegaskan kalimatku. Gamal langsung mengenyit lugas memandangku dengan sorot matanya yang tajam. “Sekarang katakan padaku apa alasan kamu menunda kehamilan?” “Aku masih belum lulus Mas. Bahkan sebentar lagi aku akan sangat sibuk dengan skripsi. Aku nggak mau menunda semua itu lagi Mas.” “Mala, kalau soal kuliah kamu bisa menjalaninya setelah kamu melahirkan, aku janji kehadiran anak kita nantinya tidak merepotkan kamu sama sekali.” Gamal kian gigih meyakinkan aku. Aku menggeleng masih bersikeras dengan cita-citaku. “Sayang, aku tidak menyalahkan kamu yang masih ingin mempertahankan cita-cita kamu. Tapi aku juga minta kamu mempertimbangkan tentang status kamu sekarang.” Aku mendesah pelan dan m
“Yakin Mas, akan mengabulkannya?”Aku masih berusaha untuk memastikan.Gamal langsung mengiyakan dengan anggukan pasti sembari ia mulai membelai rambutku yang baru saja mendapat perawatan di salon mahal, yang sekarang aromanya menjadi harum semerbak.Aku masih menelisiknya dengan ragu.“Udah sayang, katakan saja.”“Kalau aku minta Mas Gamal baikan sama Mas Tony, apa Mas Gamal mau melakukannya?”Gamal sontak mengangkat punggungnya padahal tadi bersandar dengan sangat nyaman di sandaran sofa.“Sejak kapan kamu manggil Tony dengan sebutan Mas, kamu hanya boleh manggil sebutan Mas, padaku saja?”Gamal malah marah dengan panggilanku pada Tony, kakaknya satu ibu itu.“Kan panggilan Mas itu buat seorang lelaki yang lebih tua dari kita.”&
“Jadi sekarang kalian tinggalkan rumah ini, dan jangan pernah kembali.”Gamal kian menegas dengan tatapan yang sekarang terlihat begitu tajam.“Soal Sisca, dia itu anak kamu jadi urus saja dia sendiri, lagipula sekarang Adeo Pattinama berada di dalam penjara dan sudah tak bisa melakukan apapun seperti yang sudah kamu katakan tadi.”Gamal membalik ucapan Lola, yang membuat wanita itu kian kesal karena ucapannya malah menjadi bumerang untuk dirinya sendiri.“Jangan bebankan Sisca pada Mala, meski Sisca dan istriku saudara satu ayah bukan berarti dia harus mengambil alih semua tanggung jawab tentang Sisca.”Lola dan Sherly terdiam mereka tampak sangat geram karena telah dikalahkan oleh Gamal yang terus membelaku tanpa jeda.Pada akhirnya tak ada lagi yang bisa mereka lakukan lagi kecuali berbalik pergi bersama Sisca yang kemud