Share

5. Kedekatan Dengan Jason

Aku benar-benar tak menduga kalau Jason akan mengajakmu mampir di sebuah restoran dan memborong makanan mahal.

“Kamu buat apa beli makanan sebanyak ini?” tanyaku heran menampakkan rasa keberatanku ketika Jason sedang membayar semua makanan yang dipesannya.

Jason hanya melirikku,  setelah itu dia menggandeng tangan lalu menyeretku keluar dari restoran.

“Saat di rumah nanti kamu nggak usah masak lagi, kasihan Ghara dan Ghana setiap hari harus makan masakanmu yang tidak enak itu.”

Jason berucap dengan sangat santai.

Aku segera menepuk pundaknya dengan kesal sembari membeliakkan mata.

“Kenapa dulu lu ikut makan di rumahku? Sekarang seenaknya bilang masakanku enggak enak.”

Aku memalingkan wajah sembari berdecih kesal.

Jason menanggapiku dengan tawanya yang lebar, sembari ia segera bergeser menjauh saat aku akan menghujaninya dengan cubitanku yang pastinya terasa pedas di kulit itu.

“Eh enggak deh, masakan kamu enak, tapi Ghara dan Ghana mungkin sedikit bosan makan, makanan rumah, jadi nggak ada salahnya kalau aku membelikan mereka makanan restoran. Kamu jangan tersinggung gitu dong.”

Aku masih membeliakkan mata ke arahnya.

“Tapi kamu tadi nggak bilang gitu, kamu bilang makanan aku nggak enak.”

“Iya deh maaf, aku tadi salah ngomong,” ucap Jason meralat sembari mengangkat kedua tangan.

Aku akhirnya membiarkannya dan tak lagi berusaha menyerangnya dengan cubitanku.

“Ayo kita segera pulang dan memberikan makanan ini pada Ghana dan Ghara,” ajak Jason cepat sembari segera masuk ke dalam mobil.

Aku segera mengikuti masuk ke dalam mobil jeep mahalnya yang besar itu, untuk melesat menuju rumah petak keluargaku, yang berada di sebuah lingkungan pinggiran yang kumuh.

***

Aku merasa sangat bahagia saat melihat ekspresi Ghara dan Ghana yang tampak bergembira saat menyantap semua masakan lezat yang sempat dibelikan Jason di sebuah restoran.

“Wah makanannya lezat sekali!” ungkap Ghara sembari menggigit pizza yang sudah diangsurkan di depan mulutnya.

Jason mengulas senyumnya saat melihat wajah gembira keponakan kembarku itu.

“Kalian makanlah sampai habis, kalau kalian masih pengen lagi, nanti aku akan belikan.”

Jason malah terus saja menawarkan.

Aku langsung menyergap Jason dengan tatapan tajam karena aku tak mau keponakanku jadi ketagihan dengan makanan mahal ini yang dengan keadaan keuanganku yang sekarang jelas aku tak mampu memberikan semua itu pada mereka.

“Kalian syukuri apa yang ada jangan serakah, jangan merepotkan Om Jason ya,” sergahku memperingatkan pada Ghana dan Ghara.

“Nggak apa juga Mala, aku malah senang mereka menyukai makanan yang aku belikan ini.”

Jason menanggapiku dengan ringan.

Aku kembali membeliakkan mata ke arahnya tapi Jason malah membalasku dengan ekspresi mengejek, dengan menjulurkan sedikit lidahnya.

Aku mendengus jengah ke arahnya.

“Biar kamu nggak uring-uringan kamu juga harus ikut makan,” ucap Jason sembari mengangsurkan sepotong pizza padaku, bahkan kemudian dia malah menyuapiku meski malah membuatku kedua pipi dan bibirku belepotan mozarella kala aku memalingkan wajah menghindari suapan Jason.

Tentu saja wajahku yang penuh dengan keju langsung memancing tawa si kembar juga senyuman yang tersungging di bibir bunda, yang sejak tadi hanya memandangiku dengan tatapan lekat saat melihat berinteraksi dengan Jason yang masih saja konyol sama seperti masa kami kecil dulu.

“Kamu itu apaan sih Jas, mulut aku jadi belepotan gini.”

Jason malah tersenyum lebar meski kemudian ia meraih sehelai tisu yang segera ia gunakan untuk mengusap wajahku.

Aku tercenung menjadi diam kala mendapati perhatian Jason yang manis.

Bunda yang masih memandangi kami mengulas senyumnya dengan lebih lebar.

Aku mulai dihinggapi malu yang membuatku menghindar dan langsung merampas tisu dari tangan Jason untuk aku gunakan menghapus mukaku sendiri.

Tapi Jason membiarkan.

Dia kembali mengambil tisu yang lain untuk membersihkan mukaku.

“Apaan sih Jas,  aku bisa sendiri,” sergahku sembari menarik wajahku menghindari usapannya.

“Nggak apa-apa juga Mala, Jason membersihkan muka kamu, dia kan tahu letak kotornya di mana,” celetuk bunda ringan sembari ikut mencicipi pizza yang dibawa Jason.

Lirikan mata bunda benar-benar menggelikan, aku tahu bunda ingin aku bisa menjalin kedekatan dengan Jason yang memang sejak lama sudah memberikan perhatian besar untuk keluarga kami.

Bunda bahkan sudah menganggap Jason seperti anaknya sendiri.

Tapi aku masih menanggapi dengan enggan bila mengingat keluarga Jason yang begitu menyepelekan keadaanku saat ini, terlebih pertemuanku yang terakhir dengan Tante Anggun, maminya Jason yang terang-terangan mengatakan bahwa aku adalah gadis miskin yang tidak selevel dengan Jason.

Kalimat yang sama itu juga aku dengar dari Vania, gadis yang digadang-gadang sudah disiapkan sebagai pendamping hidup Jason di masa depan. Gadis sombong yang terlalu sering mengucapkan kalimat nyinyir padaku.

“Enggak ah,  aku bersihkan sendiri aja, kamu jangan sentuh-sentuh lagi,” larangku tegas.

Jason akhirnya menyerah saat melihat tatapanku yang tajam meski seuntai senyum masih terselip di sudut bibirnya.

***

Menjelang sore Jason berpamitan pulang. Aku melepasnya sampai di ujung jalan, menuju mobil jeep besar kesayangannya yang akan selalu terparkir di sana setiap kali pria itu berkunjung ke rumahku.

“Besok kamu ada kuliah tidak?” tanya Jason sebelum dia memasuki mobil.

Aku yang sedang mendampinginya memberikan jawaban dengan anggukan kepala.

“Kalau begitu besok aku akan jemput kamu lagi,” ucap Jason cepat.

“Nggak usah Jas, kamu nanti repot, lagian aku besok mau ke rumah teman buat ngerjakan tugas.”

Aku melirik pada iris coklatnya yang sekarang memancarkan aura kecewa ketika mendengar penolakanku.

Bagaimanapun aku harus tetap mengurangi kedekatanku dengan Jason, aku tak mau Tante Anggun akan tiba-tiba melabrakku jika melihat aku terus menghabiskan waktu bersama Jason.

Kedatangan Jason sore ini saja sudah membuatku agak khawatir. Bisa saja kunjungan Jason sekarang diketahui oleh maminya dan pastinya akan membuatku harus berhadapan dengan wanita yang jelas-jelas menampakkan rasa tidak sukanya padaku itu.

“Udah sekarang kamu pulang aja,” pintuku tegas sembari membukakan pintu mobil untuknya.

Jason memindaiku lekat untuk beberapa saat.

“Kamu kan lagi sibuk skripsi sekarang, kamu harus fokus biar cepat diwisuda.”

“Andai kamu bisa kuliah lebih awal kamu pasti ikut mengerjakan skripsi sama seperti aku,” ungkap Jason dengan tatapannya yaang agak menerawang.

“Bisa kuliah walau baru semester dua, kamu udah sangat bersyukur Jas. Semua juga berkat jasa kamu, Tuhan sudah mengirim kamu buat keluarga aku.”

Aku semakin tak bisa melepaskan sorot mataku yang penuh arti pada sosok sahabat terbaikku itu.

“Terima kasih buat semua yang udah kamu beri ke keluargaku juga aku.”

Jason membalas tatapanku tapi kemudian dia malah mengacak rambutku yang kali ini aku biarkan tergerai dengan gemas.

“Kamu jangan melo kayak gini, nggak pantes,” sergah Jason sembari tersenyum lebar.

“Udah sana, kamu cepet pulang,” balasku sembari mendorong tubuh jangkung Jason agar segera memasuki mobil yang pintunya sudah aku buka.

Jason sedikit terkekeh ketika melihat semburat merah di wajahku, meski kemudian ia mulai memasuki mobilnya, benar-benar menuruti perintahku agar dia segera pulang.

Untuk beberapa saat aku menunggu mobil Jason yang sudah melaju hingga hilang di tikungan.

Baru setelah itu aku membalikkan badan berniat untuk kembali ke rumah.

Tapi nyatanya sekarang aku malah mendapati seseorang sedang menghadang jalanku, yang dengan sangat sukses mampu membuatku disergap kekagetan karena tatapannya yang tajam menyergap.

“Kita harus bicara!”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status