Share

BAB 3: Kabar

Floryn tidak memiliki tempat untuk kembali atau bertanya. Terlebih, uang yang Floryn miliki tidaklah banyak.

Jika dia menggunakannya untuk menyewa tempat tinggal, maka tidak ada jatah untuk makan.

Tidak mungkin juga untuk Floryn mengandalkan makanan gratis. Pemerintahan negara Neydish memang menyediakan truk makanan gratis bagi tunawisma.

Ada banyak rak-rak makanan gratis yang bisa diambil hanya dengan menukarnya menggunakan kartu identitas.

Masalahnya, jatah makanan selalu dibatasi. Terlebih, Floryn juga tidak memiliki kartu identitas karena saat dia dipenjara, dia masih dibawah umur.

Jujur, Floryn takut kelaparan. Lebih baik dia tidur kehujanan dibandingkan mati kelaparan.

"Hahahaha....."

Suara tawa terdengar nyaring disudut tempat menarik Floryn untuk melihat.

Ada sekumpulan gadis remaja yang berseragam sekolah tengah mengantri disebuah food truck sambil berbincang.

Tampaknya mereka membicarakan sesuatu yang tampak menyenangkan.

Pemandangan sederhana itu membuat pupil mata Floryn bergetar.

Andai saja, dulu Floryn tidak ikut pindah ke kota ini dan tetap tinggal di North Emit, mungkin Floryn akan menghadiri kelulusan sekolah menenengah atasnya.

Dia bisa menari es skating dan mewujudkan mimpinya.

Dengan kasar, Floryn menyingkirkan air mata yang sempat terjatuh membasahi pipinya. “Aku tidak akan pernah mati sebelum membalas penderitaan ini kepada kalian,” tekadnya.

Kini, Floryn pun berjalan tanpa arah, meninggalkan keramaian kota menuju kompleks padat pinggiran ibukota.

Gadis itu melihat beberapa gelandangan yang bersembunyi di sudut tempat untuk melindungi diri dari penertiban dinas sosial.

Perut Floryn yang sakit karena lapar mendorong dirinya untuk pergi mencari tempat pembagian makanan gratis khusus tunawisma.

Beberapa belokan jalan Floryn tempuh, beruntung dia akhirnya menemukan sebuah tenda besar tempat pembagian makanan gratis.

Orang-orang tampak berbaris panjang mengantri menunggu bagian.

Tanpa membuang waktu, Floryn memasuki salah satu barisan kosong dan berdiri ditempat paling belakang.

Kehadiran Floryn yang masih muda jelas mencuri perhatian beberapa orang tua yang menjadi tunawisma.

Terlebih, penampilan Floryn yang kurus kering menimbulkan spekulasi jika dia adalah remaja yang kecanduan obat dan minuman.

Memang, ada banyak kasus remaja yang mengalami keterpurukan dan kabur dari tempat rehabilitasi, lalu berakhir menjadi gelandangan dan tidak mau kembali kepada orang tua mereka.

“Aku baru melihatmu di sini,” ucap seorang wanita berpakaian lusuh dan kotor.

Rambutnya yang pendek terlihat acak-acakan dan kotor.

Beberapa orang yang tengah mengantri ikut melirik Floryn.

Sementara itu, Floryn tersenyum samar. Sejak lima tahun lalu, dia sudah terbiasa dengan tatapan merendahkan dan tidak bersahabat dari orang-orang.

Jadi, dia tak peduli lagi.

“Saya baru pindah ke kota ini,” jawab Floryn tenang.

“Di mana keluargamu?”

“Ibu saya sudah meninggal dan saya tidak memiliki ayah,” jawab Floryn begitu tenang, tetapi berhasil membuat wanita asing itu berhenti bertanya karena tidak enak hati.

Hanya saja, sebuah dorongan kasar dari arah belakang membuat Floryn terhuyung kehilangan keseimbangan.

Bugh!

Dengan mudahnya, gadis itu terjatuh ke aspal dan terduduk di sana.

Floryn memeluk erat tasnya agar tidak lepas.

Perlahan dia mengangkat wajahnya untuk melihat segerombolan preman jalanan yang menyerobot barisan Floryn. “Aku duluan, kau berdiri di belakang,” ucap seorang pria paruh baya yang mengambil alih barisan Floryn.

Floryn sontak bangkit dan berdiri berhadapan dengan preman itu tanpa rasa terintimidasi.

Lima tahun hidup didalam penjara dan bertemu dengan berbagai jenis penjahat melatih Floryn untuk tidak mengenal takut.

“Saya yang sudah lebih dulu di sana,” tutur Floryn.

“Memangnya kenapa jika kau lebih dulu disini?” tanya Preman itu bersedekap.

Beberapa temannya bahkan ikut mendekat dan mengepung Floryn.

“Kau gelandangan baru di sini, ya? Jika tidak ingin mendapatkan masalah, ikuti aturan disini! Kau

paham kan maksudku?” tanya seorang preman lainnya sambil menundorong kasar bahu Floryn hingga gadis itu mundur beberapa langkah.

Semua orang yang mengantri membuang muka.

Tampaknya, mereka tidak peduli dengan apa yang terjadi.

Floryn sendiri akhirnya menyerah. Dia tidak mau membuat masalah. Jadi, dengan terpaksa, dia ke barisan paling belakang dan mengantri lebih lama.

'Aku harus belajar terbiasa dengan kerasnya kehidupan di jalanan, sebisa mungkin harus menghindari masalah dengan siapapun,' batinnya dalam hati.

Tak terasa, satu per satu orang berjalan meninggalkan barisan mereka setelah mendapatkan makanan.

Sayangnya, kesialan harus Floryn hadapi setelah puluhan menit berdiri dan menunggu.....

"Mohon maaf, makanan sudah habis. Kami akan kembali lain waktu."

Pengumuman itu jelas membuat Floryn dan beberapa orang lainnya menelan kekecewaan.

Apa yang harus Floryn lakukan sekarang? Dia tidak dapat menahan rasa laparnya lebih lama lagi.

Ditinggalkannya tempat itu dengan hati yang berat.

Dia harus mencari makanan dan berharap ditempat lain ada makanan gratis lainnya yang tersisa untuknya!

Gemerlap ibu kota Loor seolah mengejek Floryn yang bergumul dengan kesepian dan rasa lapar yang melilit perutnya.

Tak kuat, Floryn bahkan berhenti melangkah setiap kali dia melihat kedai makanan di pinggiran jalan.

Hanya saja, gadis itu selalu mengurungkan niatnya setiap kali berpikir untuk membeli makanan.

Setiap sen uang yang dia kumpulkan selama di penjara, harus ditukar dengan seluruh tenaganya siang dan malam.

Setahun sekali, Floryn hanya mendapatkan uang 300 dollar atau 7 dollar per minggu.

Betapa sayangnya jika kini dia harus mengeluarkan 5 dollar sekali makan di pinggiran jalan?

Jadi yang bisa Floryn lakukan hanyalah memeluk erat tasnya sembari kembali berjalan melewati keramaian.

Untuk mengganjal rasa laparnya, dia kembali minum beberapa teguk air keran.

***

“Dia sudah bebas hari ini, saat aku datang ke penjara untuk menjemput, dia sudah pergi entah ke mana, aku kehilangan jejaknya.”

Sebuah kabar telah diterima Alfred begitu dia selesai melakukan penerbangan dari Dubai ke kota Loor. Alfred meninggalkan rekan-rekan kerjanya dan pergi menuju sebuah café, dia butuh segelas kopi untuk bisa tetap terjaga karena harus menyetir.

“Bagaimana dengan keluarganya?” tanya Alfred.

“Sudah jelas keluarganya tidak mengakui keberadaan Floryn, dia dibuang sepenuhnya.”

Alfred menghela napasnya dengan berat. “Itu artinya dia tidak memiliki tempat tujuan.”

“Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun Alfred. Floryn adalah tahanan yang memiliki IQ tertinggi, dia gadis yang cerdas, aku yakin dia mampu bagkit meski harus berjuang sendirian,” ucap Kjanet menghibur kekhawatiran Alfred.

“Jika Bibi menemukan keberadaannya, beritahu aku,” pinta Alfred penuh permohonan.

“Sebaiknya kau tidak perlu terlibat hal apapun lagi dengannya, kau juga tidak perlu bertanggung jawab untuk tempat tinggalnya. Orang tuamu pasti akan sangat marah jika tahu hal ini. Lagipula, aku yakin Floryn sudah melupakanmu.”

Alfred memijat batang hidungnya dengan penuh tekanan, sulit untuk dia melupakannya terlepas apakah benar Floryn memang seorang penjahat atau bukan.

“Baiklah Bibi, terima kasih telah mengabariku.”

Alfred memutuskan sambungan teleponnya.

Sejenak pria itu terdiam dan berhenti melangkah, pandangannya mengedar melihat suasana Loor Airport dengan hati yang berkecamuk.

Lima tahun telah berlalu, tetapi sampai saat ini, tidak ada yang mengetahui jika Kjanet, pengacara yang sempat membantu Floryn, adalah bibi Alfred Morgan.

Kjanet adalah utusan Alfred yang diminta secara rahasia untuk membantu kasus Floryn hingga sampai selesai.

Ada sebuah alasan kuat mengapa Alfred berbuat sejauh ini untuk membantu Floryn hingga masih mengikuti kabarnya sampai gadis itu dibebaskan dari penjara.

Floryn adalah seorang gadis yang tidak sengaja menolong Alfred dari perundungan di suatu sore sebelum kejadian kasus pembunuhan adik tirinya terjadi.

Pertemuan tidak disengaja itu membuat mereka saling mengenal hanya sebatas nama, namun mampu menghabiskan sisa sore mereka bersama.

Alfred terkesan dengan kecantikan dan keberaniannya, sehingga mereka sempat membuat janji untuk kembali bertemu di hari selanjutnya.

Masalahnya, dia mendengar kematian adik tiri Floryn disebabkan oleh racun pupuk bunga yang sama persis dengan pemberian Alfred sebagai hadiah karena Floryn telah menolongnya.

Alfred tidak tahu apakah Floryn benar-benar pembunuh atau bukan. Namun, kematian Abra yang disebabkan oleh pupuk bunga pemberian Alfred, jelas akan menyeret namanya.

Jadi kala pria itu tahu bahwa Floryn sempat berusaha mencari dirinya untuk dijadikan saksi bahwa pupuk bunga yang telah tidak disengaja diminum Abra tidaklah dibeli Floryn–melainkan Alfred–dirinya dilanda ketakutan.

Alfred terlahir dari kalangan keluarga yang terpandang dan sangat berpengaruh. Orang tuanya akan sangat marah besar jika mengetahui Alfred terlibat dengan sebuah hukum dan berteman dengan seorang kriminal.

Hanya saja, terlepas apakah benar atau tidak Floryn membunuh adik tirinya, Alfred merasa bersalah karena pergi kabur begitu saja.

"Sejujurnya, kuharap bukan kau pelakunya." Pria tampan itu menyugar rambutnya kasar membuat beberapa wanita tanpa sadar, menoleh--terpesona.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status