Share

BAB 4: Kepedulian

“Tuan Muda,” sambut Piper membukakan pintu mobil untuk Alfred.

Dengan sigap Piper membawakan koper Alfred dan topi pilotnya.

“Saya senang Anda pulang ke rumah kali ini,” ucap Piper lagi dengan senyum sumringah.

“Ibu ada di rumah?” tanya Alfred melangkah cepat melewati beberapa anak tangga menuju teras.

Sementara itu, Piper terkopoh-kopoh mengangkat koper Alfred disetiap anak tangga yang akan dilewatinya.

“Nyonya menginap di hotel sejak kemarin, jika beliau tahu Anda pulang, saya yakin beliau juga pasti pulang,” jawab Piper dengan napas tersenggal kehabisan napas.

Alfred berbalik, sejenak dia menunggu Piper menyusul karena hal lain yang peril ditanyakan. “Apa ibu bertengkar lagi dengan ayah?”

Piper berusaha untuk tersenyum formal, menyembuyikan perasaan tidak enak hatinya saat ini. Alfred memiliki seorang ibu yang berkepribadian cukup unik, dia akan selalu pergi kabur setiap kali bertengkar, namun dengan satu bujukan dia akan kembali pulang dengan sendirinya.

“Ibu Anda hanya mengkhawatirkan masa depan Anda dan berharap jika Anda akan segera menikah dengan nona Melisa,” jawab Piper.

Tanpa bertanya dua kali, Alfred memutuskan masuk lebih dulu ke dalam rumah. Inilah salah satu alasan mengapa Alfred jarang pulang ke rumah setiap kali selesai menyelesaikan penerbangannya.

Beberapa bulan terakhir ini, kedua orang tua Alfred sering berdebat, mereka memiliki pandangan yang berbeda untuk masa depan Alfred.

Ayah Alfred menginginkan Alfred berhenti menjadi pilot agar bisa memulai meneruskan bisnis keluarga, sementara ibunya bersikukuh ingin Alfred segera menikah.

Alfred sudah dijodohkan dengan Melisa sejak mereka masih muda, perjodohan itu dilakukan untuk sebuah kepentingan bisnis yang saling menguatkan dan Alfred tidak memiliki alasan untuk menolaknya.

Tiga tahun berlalu setelah perjodohan berlangsung, ibu Alfred mulai menuntut Alfred untuk menikah dengan Melisa karena wanita itu putri dari sahabat ibunya.

Hubungan Alfred dan Melisa berjalan cukup sempurna seperti apa yang diharapkan semua orang. Melisa adalah perempuan cantik dilahirkan dari keluarga terhormat, dia cerdas dan berkelas, tidak ada kandidat yang lebih baik dari dia.

Namun, tidak ada hasrat untuk menikah dengan Melisa, Alfred bisa memberikan semua yang Melisa butuhkan, tapi tidak dengan cinta.

Sejak dihari mereka dipertemukan dan bertunangan, Alfred memandangnya tidak lebih dari sekadar rekan bisnis yang saling menguntungkan.

“Alfred.”

Langkah Alfred memelan, pandangannya langsung tertuju pada seorang anak perempuan berparas cantik dengan penampilan dan gesture tubuh yang menarik.

“Nara,” panggil Alfred dengan senyuman lebarnya.

Anak perempuan itu tertawa, dia berlari dan langsung melompat kedalam pelukan Alfred. “Alfred pulang.”

Pelukan Alfred mengurai, dengan berhati-hati dia menurunkan Nara agar adiknya tidak terjatuh. “Kenapa kau sendirian disini? Di mana perawatmu?” tanya Alfred sambil mengusap pipi Nara yang dihiasi oleh noda cokelat.

“Dia sudah dipecat,” jawab Nara.

“Beberapa hari yang lalu perawat itu dipecat nyonya, sekarang saya sedang mencari perawat baru lagi,” kata Piper yang baru sampai menyusul.

“Alfred, ayo main.” Nara tertawa riang sambil melompat-lompat meminta untuk untuk digendong kakaknya.

Dengan penuh perhatian, Alfred membungkuk menggendong adiknya dan membawanya pergi ke dalam kamar.

Nara Morgan, dia adalah adik kandung Alfred yang kini baru berusia 11 tahun.

Nara mengidap autism yang mengharuskan dia mendapatkan pendampingan khusus. Namun karena Nara sering mengalami tantrum dan sulit dikendalikan, terkadang beberapa perawat kehilangan kesabaran hingga memilih mengundurkan diri.

"Kuharap perawat baru nanti cantik, baik hati, dan pemberani," ucap Nara menatap Alfred permohonan, "seperti sailor moon!"

***

Betapa malangnya hidup Floryn sekarang.

Ibunya pasti ikut menangis bila melihat keadaannya seperti ini.

Tadi, kota dilanda hujan, sehingga pakaian Floryn basah kuyup.

Lapar membuatnya nekad memakan donat dari tong sampah.

Meski demikian, Floryn harus mengakui bahwa makanan itu jauh lebih enak dari makanannya saat di penjara.

Rasanya, dia semakin ingin membalas dendam untuk segala hal buruk yang dia terima lima tahun ini. Namun Floryn tidak tahu harus memulainya dari mana.

Teng! Teng! Teng!

Jam di menara ibukota berdenting menandakan jika kini tepat sudah pukul dua belas malam. Angin malam yang kencang berhasil membuat tubuhnya menggigil dan tenggorokannya mual. Sepertinya, donat tak cukup mengganjal perutnya.

“Sepertinya aku harus menahannya sampai besok,” bisik Floryn menekan-nekan kuat perutnya yang berbunyi kelaparan dan menciptakan sedikit perih.

Hanya saja, sebuah mobil polisi tiba-tiba berhenti di depan taman.

Beberapa gelandangan yang tengah beristirahat langsung berlari pergi untuk menyelamatkan diri tanpa Floryn ketahui alasannya. Polisi itu mulai memasuki taman dan menyesurinya, mau tidak mau akhirnya Floryn ikut berlari meninggalkan area taman sebelum diusir.

Gemerlap ibukota penuh dengan kemewahan, gedung-gedung pencakar langit hingga kendaraan mewah berlewatan dijalan.

Kemewahan yang ditampilkan berbanding balik dengan keadaan Floryn yang kini luntang-lantung tanpa arah, berjalan di belakang gang-gang gedung mencari emperan tempat berteduh di malam ini.

Untungnya, Floryn menemukan sebuah gedung kosong yang bisa dijadikan tempat berteduh.

Di sana, dia tertidur.

Namun jauh sebelum fajar menyingsing, Floryn sudah bangun dan berbenah diri meninggalkan gedung kosong itu.

Memperhatikan botol plastik dan kaleng minuman, Floryn menemukan sebuah ide.

Dia pun pergi ke dalam gang dan berhenti di belakang sebuah bar dan langsung menuju tempat pembuangan sampah campuran untuk mencari sampah yang bisa dia jual dari dalam tong sampah.

Satu per satu tempat pembuangan sampah dia singgahi sebelum petugas kebersihan datang dan membawanya ke truk pengangkut.

Satu-satunya hal yang bisa Floryn lakukan saat ini untuk bertahan adalah mengumpulkan uang dengan menukar sampah yang dia dapat.

Hari ini Floryn juga harus pergi ke kantor pemerintahan agar bisa mendapatkan kartu identitas.

Tak terasa, dua kantung hitam besar berisi botol yang telah dia bersihkan satu persatu berhasil Floryn kumpulkan, gadis itu menyeretnya dengan langkah terkopoh-kopoh menuju tempat penukaran sampah.

Satu per satu botol dimasukan ke dalam mesin, satiap satu sampah hanya dihargai sepuluh sen.

Atas sampah yang sudah Floryn kumpulkan, dia mendapatkan uang lima dollar yang bisa digunakan untuk membeli sarapan pagi karena nanti malam dia akan kembali memungut makanan sisa.

Tampaknya, mulai besok Floryn harus bangun lebih awal dan mengumpulkan lebih banyak botol untuk ditukarkan.

Jadi, Floryn memutuskan pergi dari tempat mesin penukaran sampah. Namun, langkah gadis itu terhenti tepat satu langkah dia keluar dari pintu.

Sebuah mobil mewah terparkir di depannya....?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status