Share

2. Lihat saja, Mike!

Emi dan suaminya berdiri di bawah kanopi depan rumahnya, tubuh wanita itu menggigil dengan syal menyelimuti pundak runcingnya saat mengantar suaminya yang hendak pergi bekerja pagi itu. 

"Maafkan aku, Emi." Telapak tangan Mike yang lebar menangkup kedua pipi istrinya, "Seharusnya aku mengambil cuti—ya, aku juga ingin cuti," katanya pada diri sendiri.

"Tapi aku banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Aku harap kamu mengerti."

"Alasan! bilang saja, hari ini aku akan pulang larut malam karena selingkuhanku akan membutuhkanku sepanjang hari!" batin Emi menimpali. 

"Tenang saja, aku juga ada jadwal temu hari ini," jawab Emi santai. 

Dengan senyum ciri khas Mike yang kaku, "Ah, aku selalu merasa keren sekaligus takut memiliki istri seorang terapis," imbuhnya. 

"Mengapa harus takut?" tanya Emi heran. 

"Karena bisa membaca pikiran?" jawab Mike dengan gelagat sok misterius.

"Itu namanya cenayang!" Emi terkekeh dan mendaratkan tinju kecilnya di dada Mike yang bidang.

"Sudah cepat pergi, nanti kamu kesiangan! Senin-macet!" peringat Emi membalikkan tubuh suaminya yang besar.

"Dan jangan lupa kotak makan siangnya dimakan, oke."

Mike mengangguk dan berjalan gontai menuju mobilnya, sesekali berbalik melambaikan tangan, sementara Emi bertengger di ambang pintu membalas dengan lambaian tangan ala ratu Victoria. 

Memantau mobil suaminya sudah melaju cukup jauh, Emi segera berlari ke kamarnya, mengambil kunci mobil dan mantel, bergegas ke garasi dan tancap gas. 

"Oke. Misi hari ini adalah mendapatkan informasi tentang wanita bernama Laura itu," tegas Emi penuh ambisi. 

Wanita itu yakin, suaminya pasti akan pergi ke rumah sakit untuk menemui simpanan dan bayi haramnya yang baru lahir.

Matanya fokus pada mobil hitam milik Mike yang melaju sepuluh meter di hadapannya, tangan kakinya dengan lihai mengontrol. Dalam jarak yang pas. Tidak terlalu dekat untuk disadari, tidak terlalu jauh untuk kehilangan jejak.

Emi membolak-balikan setir, mencoba menyalip ke sana kemari dalam kemacetan jalan raya pagi itu. Tentu saja, hari senin tidak pernah lancar. Semua orang sibuk. 

Senyum sinis tersungging saat melihat mobil Mike melewatkan jalan yang seharusnya pria itu lewati jika pergi bekerja. "Dugaanku tak pernah salah!" batin Emi puas.

Namun. "Ughh!!" geram Emi memukul setir. 

Di perempatan sana, mobil Mike melaju dengan cepatnya, hilang, seolah tenggelam dalam lautan kendaraan, sementara Emi masih terjebak dalam jalur macet. 

"Siallll!!" Emi berteriak kesal sembari membunyikan klakson menyuruh mobil lelet di hadapannya menyingkir.

Tiga menit berlalu, akhirnya wanita itu dapat terbebas dari padatnya kendaraan. 

Tapi apa sekarang? Dia telah kehilangan jejak suaminya. Emi menepikan mobilnya di dekat deretan pohon palem. 

"Berpikir-berpikir-berpikir-" Emi memeras otaknya yang mendadak beku. 

"Aku tak tahu harus apa!" Emi membungkuk lemas di atas setirnya. Air matanya tak terbendung lagi, bulir-bulir asin berjatuhan dengan sempurna, mengalir ke dagunya yang lancip. 

"Momen pagi tadi seharusnya menjadi kenangan indah," sesal Emi. "Seharusnya semua ini sempurna!"

"Mengapa harus sampai punya anak, sih? Aku takut!"

"Karena tak pernah ada mantan anak! Darah daging terlalu kental untuk dilepas!" Emi terus meraung tanpa suara. 

Setelah merasa puas dengan tangisnya. Emi mendongkak ke kaca spion mobil, menghapus jejak air matanya yang lengket. 

"Sosok seperti Mike tidak akan membawa wanitanya ke rumah sakit murahan," pikirnya seolah mendapat jawaban. 

Tangannya kembali ke setir, tubuhnya berusaha tegak. Emi dengan mantap melajukan mobilnya ke tempat yang ia yakin sekali ada sosok suaminya di sana. 

Wanita itu turun dari mobil setelah menempuh seperempat jam perjalanan. Berjalan mengitari parkiran besar di bawah gedung rumah sakit. Dan, seolah baru bisa bernafas lagi, Emi mendapati mobil Mike terparkir di pojok basement dengan rapihnya.

Dengan mengoleskan lipstik dan kacamata yang didapat dari laci dashboard, sudah cukup untuk menyamarkan matanya yang sembap akibat menangis. 

Emi segera berlari ke lantai rumah sakit kelas A, yang terakreditasi internasional itu. 

"Permisi, saya mencari pasien bernama Laura," tanya Emi pada resepsionis tepat di dekat pintu masuk. 

"Mohon maaf, Bu," ucap si resepsionis, "Di sini ada beberapa pasien atas nama Laura. Bisa Ibu beritahu saya, siapa nama lengkapnya?" 

Bibir Emi mengatup bingung. 

"Emi?" Suara familier muncul di balik telinganya. 

Sedetik Emi merasa jantungnya hampir copot mendapati kepala Mike menyembul di samping wajahnya, seperti kertas pop up, muncul begitu saja dari dataran. 

Emi balik badan sepenuhnya, menghadap Mike dan ibunya? yang tengah tersenyum dengan mata keriput. 

"Emi, sayangku! " seru Maria, ibunya Mike yang langsung memeluk Emi dengan kaki berjinjit. Bau aspirin menyengat dari tubuh wanita tua itu. 

"Apa kabar, Sayang?" ucap Maria ceria. 

Emi tersenyum manis—walau sesungguhnya masih bingung—dan mengatakan banyak hal untuk sekadar basa-basi.

"Sedang apa kamu di sini, Sayang?" tanya Mike seolah baru sadar. 

"Hmmm... Aku ada pasien di sini—tapi dibatalkan," jawab Emi singkat, ingin segera mengganti topik. 

"Mau apalagi setelah ini?" Emi mendelik mendengar pertanyaan Mike yang terus mendesak. 

"Tinggal pulang saja ke rumah!" jawab istrinya tertawa garing. 

Mike berdiri menatap Emi dengan mata bulat, bergerak-gerak melirik Emi dan ibunya. 

"Tidak! Jangan! Jangan suruh aku menjaga ibumu!" batin Emi memohon. 

Emi memandang suaminya dengan tatapan polos, "Ada apa?"

Mike mendekatkan mulutnya ke telinga Emi, "Bisa kamu antar ibuku pulang?" bisik Mike, "Aku benar-benar banyak kerjaan hari ini."

Glek. Emi menelan salivanya kasar.

"Tentu saja!" seru Emi ramah, "Hari ini aku yang akan mengantarkanmu, Ibu," Emi mengelus bahu Maria canggung.

Mike pergi dengan senyum lebar. Meninggalkan ibu yang penyakitan bersama istrinya yang penurut.

"Persetan kau, Mike!" batin Emi mengutuk. 

Maria tampak begitu senang di sepanjang jalan pulangnya. Mulutnya terus berbicara ini dan itu dan tentang kebanggannya memiliki menantu sempurna seperti Emi. 

Jawaban Emi hanya tiga: Tersenyum, mengangguk, dan, "Oh, ya?" 

Maria dulunya wanita gemuk. Sekarang lebih seperti balon gas yang menyusut. Kanker dan kemoterapi telah menggerogoti tubuhnya. "Sungguh malang," pikir Emi. 

Emi pamit pulang setelah menolak tawaran mertuanya untuk mampir. 

"Masih banyak yang harus dikerjakan di rumah," tolaknya, dan sekali lagi harus membaui aspirin saat Maria mencium kedua pipinya dengan gemas.

Emi langsung melemparkan tubuhnya ke atas ranjang sesampainya di dalam rumah, pikirannya melayang entah ke mana. Lelah. Kemudian tertidur.

Dan waktu terus berputar tanpa wanita itu sadari.

Pukul 16.00. Emi terhenyak dari mimpinya. Tidur siang yang panjang membuat kepalanya menjadi pening.

 

"Dua jam lagi Mike pulang," pikir Emi sembari terbangun dari posisi malasnya.

 

Emi membersihkan diri dan menyentuh semua pekerjaan yang tersisa. Mengisi kekosongan dan melupakan sejenak kegagalannya hari ini.

Tapi Mike tak kunjung pulang. Bahkan hingga Emi menata ulang ratusan sepatu yang ada di almari raksasa-nya, Mike benar-benar tidak pulang.

Dan hari semakin larut. Lampu taman menyala otomatis di tengah kegelapan.

"Bodoh sekali aku, berharap dia akan pulang tepat waktu," gerutu Emi pasrah sementara telinganya memekak menangkap suara mobil Mike dari kejauhan.

Emi mengintip di jendela kamarnya, memastikan. Lalu berlari ke depan cermin untuk menata rambut dan menyemprotkan banyak parfum.

Diambilnya laptop dan berlari, melompat ke atas sofa di ruang tamu dengan gelas kosong di atas meja—yang entah dapat dari mana.

 

Klek. Kepala Mike tersembul dari balik pintu.

"Baru pulang?" tanya Emi tersenyum dengan laptop di pangkuannya.

"Hmm," Mike mengiyakan.

 

"Maaf aku pulang terlambat, Emi," ucap Mike.

Emi bergeming. Tangannya sibuk pada layar di hadapannya.

 

Mike berdiri di sisi Emi seolah penasaran, "Kamu sedang mengerjakan apa?"

"Menyiapkan teks pidato untuk acara 'Peduli Anak Telantar', kau ingat?"

Mike mengangguk pura-pura ingat.

"Mau mandi?" tanya Emi.

 

Mike menjawab "Hmm" lagi seolah tak punya kosakata lain.

"Aku nyalakan pemanas air, oke." Emi bergegas ke kamar mandi.

"Terima kasih," ucap Mike.

Mike pendiam dan murung malam itu. Seperti orang yang baru dipecat. Tatapan matanya sangat—melankolis.

"Harinya pasti sangat dramatis!" batin Emi meledek.

Kedua pasangan suami istri itu berbaring bersandingan tanpa sepatah kata pun.

 

"Tentu saja bukan waktunya kuis," pikir Emi bosan.

"Tapi mungkin... " batin Emi mendorong jari lentiknya yang perlahan merayap ke belahan dada suaminya, mengusapnya dengan lembut dan berirama.

"Ya, benar, bagaimanapun akulah yang memiliki dia seutuhnya, secara sah," pikir Emi, seolah kalimat itu cukup untuk menenangkan hatinya. 

Lambat laun Emi menelusupkan bibirnya ke sela leher Mike yang tengah berbaring telentang.

"Emi," ucap Mike, menangkap tangan Emi di dadanya, membuat wanita itu terhenti.

 

"Maaf, tapi aku—"

Emi menarik tangannya dan berbalik membelakangi tanpa membiarkan Mike menyelesaikan ucapannya.

Wajah Emi merah padam menahan malu, air matanya mengalir membasahi pelipis kirinya.

"Kamu akan membayar semua ini, Mike! Lihat saja nanti!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status