Part 1
[Akhirnya sekian lama terpisah, kini dipersatukan kembali. Semoga langgeng ya Mbak, Mas, lancar untuk kalian. Happy Engagement]Aku terkesiap kaget melihat status WA Farah, adik iparku. Status yang disertai foto seorang wanita cantik tengah berhadapan dengan seorang pria. Wanita itu tersenyum menghadap kamera, sedangkan sang lelaki hanya terlihat bagian punggung saja. Perawakannya sangat kukenali, seperti suamiku, walaupun aku tak melihat wajahnya langsung, tapi aku sangat mengenali lelaki yang membersamaiku tujuh tahun ini.Seketika dadaku bergemuruh hebat, entah ini hanya prasangkaku saja atau memang benar ada rahasia dengan mereka semua.Namun, saat aku ingin membalas status Farah lagi. Postingan itu sudah terhapus, mungkin sengaja dihapus karena aku telah melihatnya.Ya Allah, ada apa ini? Kenapa hal ini makin membuat kecurigaanku semakin menjadi?Aku menghela nafas panjang, lalu mencoba menghubungi suamiku untuk memastikan semua ini. Ya, saat ini Mas Damar memang tengah pulang ke kampung halamannya. Ibu mertua tengah sakit katanya, dia meminta izin padaku untuk tiga hari ke depan. Aku tak diperbolehkan ikut, pasalnya aku baru saja melahirkan anak kedua kami tiga minggu yang lalu. Bayi kami masih rawan bila dibawa pergi perjalanan jauh. Keluarga mertuaku tak bisa datang kesini saat aku melahirkan, itu semua karena kebetulan ibu mertua tengah sakit. Aku mengurus bayiku sendirian, bersama anak sulungku yang berusia enam tahun. Sementara aku tak punya keluarga, sejak kecil ayah dan ibu sudah tiada. Harus mandiri, itulah prinsipku hingga tak ingin merepotkan keluarga suami ataupun yang lainnya.Aku menghubungi Mas Damar, tapi panggilanku tak diangkat olehnya, membuat pikiranku makin kacau. Untuk memastikannya segera kukirim pesan pada Farah.[Farah, kok statusnya dihapus? Tadi foto pertunangan siapa ya? Kok lakinya kayak gak asing gitu, kayak Mas Damar]Terkirim dan langsung terbaca oleh Farah pesan WA-ku ini.Dia terlihat sedang mengetik sebuah balasan. Cukup lama aku menunggu, hingga balasan itu terkirim padaku.[Oh, itu pertunangan tetangga di sini, Mbak. Dulunya mereka hampir saja menikah, tapi karena suatu hal mereka berpisah. Setelah sekian tahun mereka kembali dan nyambung lagi. Tenang saja Mbak, bukan Mas Damar kok. Mas Damar sedang di kamarnya ibu]Seolah tahu isi pikiranku, Farah mengirim balasan yang membuat perasaanku sedikit lega. Syukurlah bukan Mas Damar.[Gimana keadaan ibu, apa sudah membaik?] Balasku lagi.[Iya, Mbak] balas Farah singkat. Dan tak ada embel-embel yang lainnya. Dan percakapan kami sudah sampai disitu saja, cukup menyisakan banyak tanya.Aku terperanjat kaget saat mendengar tangisan si kecil. Mungkin karena efek usai melahirkan, perasaanku jadi lebih sensitif dan kacau begini. Kembali mengusap wajah dan beristighfar agar dada ini tak terlalu sesak untuk bernafas.Usai berhasil menidurkan bayiku, kembali aku melihat ponsel. Hening, tak ada apapun dari Mas Damar.Aku kembali cek status WA yang lainnya. Tak ada apapun kecuali story WA adik ipar yang membuatku kembali terhenyak. Dia memposting foto keluarga, yang pria memakai kemeja batik, sedangkan yang wanita memakai kebaya brokat. Ada Mas Damar dan ibu mertua yang tengah duduk dengan senyuman yang lebar. Bahkan disana terlihat dengan jelas kalau ibu mertua baik-baik saja, dengan wajah full make-up. Tidak terlihat sakit seperti yang Mas Damar tuturkan kemarin.Deg! Kembali dadaku bergemuruh kencang, melihat kemeja batik yang dikenakan Mas Damar seperti lelaki berfoto membelakangi kamera di status Farah tadi. Segala pemikiran buruk mulai menghantui lagi. Ada apa ini?Mendadak aku takut, takut kalau suamiku mengkhianati. Dan dia merahasiakannya padaku. Ya Allah, kenapa perasaan gelisah ini tak kunjung hilang?Rasa penasaran yang tinggi membuatku kembali menghubungi suamiku. Hampir setengah jam lamanya panggilan terus kulakukan tanpa henti, tapi tak ada respon dari si empunya nomor. Sungguh, aku takut. Takut semua pemikiran burukku itu terjadi. Entah apa yang harus kulakukan kalau ternyata semua itu benar. Aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa yang hanya mengandalkan suami.Sekian lama menunggu, akhirnya panggilan itu terhubung. Mas Damar mengangkatnya."Halo Dek, ada apa?" Suara dari seberang telepon terdengar berat dan tergesa."Mas, kenapa kamu gak angkat telponku? Apa di sana kamu sibuk?""Iya sayang, maaf ya. Aku gak sempat hubungi kamu. Lagi sibuk banget ini.""Mas, ayo sini keluarga udah pada kumpul!" teriak suara seorang perempuan di telepon itu, sepertinya ia tengah memanggil Mas Damar. Walau jauh, tapi suara itu masih kudengar jelas."Dek, udah dulu ya, Mas dah ditunggu. Nanti kuhubungi kalau dah gak sibuk.""Mas, memangnya di rumah ada acara apaan sih?"Ia tak menanggapi pertanyaanku dan justru langsung menutup panggilan teleponnya. Dalam hati, aku kembali bertanya-tanya. Tak biasanya Mas Damar bersikap acuh padaku seperti ini. Dia selalu perhatian padaku dan anak-anak. Tapi ..."Bun, Bunda, kok melamun sih!"Aku terkesiap kaget saat putra sulungku datang menghampiri. Lalu tersenyum manis saat ia melendot di tanganku."Bunda, ayah kok gak pulang-pulang? Kapan ayah pulang, Bun?""Besok juga ayah pulang, Nak.""Ayah gak nikah lagi kan, Bunda?""Nikah lagi maksudnya gimana, Nak? Kenapa tanya seperti itu?""Tadi aku ketemu ibunya Faiz, masa katanya ayah mau nikah lagi. Nikah lagi itu maksudnya apa ya, Bun? Apa aku mau punya mama baru?"Deg! Pertanyaan polos putraku seakan membuat detak jantung ini berhenti. Pasalnya ayahanda Faiz adalah teman sekantor Mas Damar. Mereka sahabat sejak SMA, seringnya pulang pergi ke kantor pun bersama. Bukan tak mungkin Mas Damar bercerita sesuatu dengan ayah Faiz dan dia menceritakan pada istrinya."Ibunya Faiz paling cuma bercanda saja, Sayang. Ayah gak mungkin nikah lagi. Kan udah ada Bunda, Kak Raffa dan dedek bayi. Ayah juga sangat sayang pada kita."Raffa mengangguk dan tersenyum. "Bunda, aku mau main lagi.""Gak boleh jauh-jauh ya, Sayang. Depan rumah aja ya.""Baik, Bun."Aku mengusap puncak kepalanya. Berlalu menghampiri bayi kecil mungil yang masih tertidur pulas.Sejak melihat story WA adik iparku itu, aku benar-benar cemas dan mengganggu pikiran. Aku takut, lelaki yang selama ini menjadi pengayom hidup itu berpaling.[Maaf, tadi siang aku sibuk, Sayang. Apa kamu sudah tidur?] Pesan dari Mas Damar, pukul 21.00 WIB.Aku menghela nafas dalam lalu melihat dua malaikat kecilku yang sudah tertidur. Saat ini aku memang tengah menghibur diri dengan menonton film agar pikiran buruk tentang Mas Damar menghilang.[Aku belum tidur, Mas. Tadi disana ada acara apa? Sampai kamu sibuk begitu?]Bukannya menjawab ponselku, dia malah menghubungiku via video call.Wajahnya tampak sumringah dibalik layar handphone saat aku menerima panggilannya. Tampak senyuman terukir di wajahnya."Kenapa wajahmu cemberut begitu, Wulan? Maaf ya tadi siang bukannya mau cuekin kamu, tapi aku benar-benar sibuk. Tadi habis bantuin tetangga lamaran."Aku masih diam, memperhatikan wajah yang tampan itu. Apakah ada kebohongan di sana?"Sayang jangan ngambek gitu ih, Dah kangen ya sama aku? Besok aku pulang, okey? Kamu mau dibawain apa?""Iya maaf, Mas. Mungkin aku yang terlalu lelah.""Istirahat sayang kalau lelah. Kamu mau minta oleh-oleh apa?""Tidak usah, Mas. Pulang saja sampai sini dengan selamat."Tetiba aku melihat bayangan seorang perempuan melintas di belakang Mas Damar. Perempuan dengan rambut tergerai sepunggung, memakai dress merah tanpa lengan. Wajahnya tak terlalu jelas karena aku melihatnya dari samping. Mas Damar sedang bersama siapa? Aku sangat yakin kalau itu bukan Farah, karena meskipun perempuan tapi dia sangatlah tomboy."Mas, siapa perempuan yang ada di belakangmu? Kamu sedang ada dimana, Mas?"Part 2"Mas, tadi siapa perempuan yang ada di belakangmu? Kamu sedang ada dimana, Mas?"Meski aku tahu, ini adalah pertanyaan konyol. Mas Damar tak mungkin menjawab dengan jujur, ia pasti akan berkilah.Lelaki di balik layar itu tampak menoleh, kemudian langsung menghadapkan ponselnya ke langit-langit kamar. Mungkin ponsel itu ia letakkan begitu saja."Kenapa kamu masuk kesini? Tunggu aku di luar. Okey?" Samar terdengar suara Mas Damar berbicara dengen seseorang. Mungkin perempuan tadi.Aku menunggu beberapa puluh detik, lalu ia sudah ada di layar handphone kembali. "Maaf tadi Farah masuk, katanya butuh sesuatu," jawab Mas Damar menjelaskan."Yakin itu, Farah? Kok penampilannya beda?""Setiap orang kan bisa berubah, Sayang. Sudah dulu ya. Jaga anak-anak dengan baik ya. Besok aku pulang, Love you."Seolah tak ingin aku bertanya lebih lanjut, Mas Damar mematikan panggilan teleponnya. Aku menghela nafas panjang. Pikiran negatif kembali berkecamuk. Sampai aku berpikir aneh, benarkah aku
Part 3"Dek, kamu sedang apa?" Aku terperanjat kaget saat Mas Damar bertanya. Ia keluar dari kamar mandi dan langsung menghampiriku, seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk."Eh Mas, aku sedang merapikan baju-bajumu. Tapi ini apa?" Aku menunjukkan nota pembelian cincin serta boneka barbie itu padanya.Sesaat matanya terbelalak kaget. Tapi secepat kilat ia sembunyikan wajah terkejutnya dibalik senyuman."Nota cincin dan boneka barbie ini punya siapa, Mas?" Aku mengulangi pertanyaan.Mas Damar menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Emmh ... anu, ini punya Farah," sahut Mas Damar gugup. Jelas sekali ia tengah beralibi."Farah? Farah gak mungkin masih mainan barbie yang penuh coretan gini kan, Mas?" tanyaku lagi."Ehem, maksud mas, ini mainan anak tetangga sebelah yang sering main dengan Farah," jawabnya salah tingkah."Kok bisa ada di koper kamu?""Ya, aku gak tahu. Mungkin ketinggalan. Masalahnya anaknya jahil."Aku mengangguk, meski hati seperti diremas-remas."Terus nota cincin i
Part 4"Memang kenapa? Ada yang kamu pikirkan?"Aku terdiam sejenak, menatap matanya. Tak ada perasaan bersalah sedikitpun dari pancaran matanya. Mas Damar pintar sekali menyembunyikan rahasia."Enggak. Cuma tadi aku habis nonton drama. Ceritanya itu bikin nyesek di hati. Sampai sekarang gak ilang-ilang," sahutku kemudian."Cerita apaan emang sampai membuatmu seperti ini?""Cerita layangan putus. Suami yang ditemani dari nol ternyata berkhianat dengan perempuan lain."Mendengar jawabanku, Mas Damar terdiam. Apa jawabanku cukup menyindirnya?Dia beranjak duduk. "Sayang, lebih baik jangan nonton drama seperti itu lagi, tak baik efeknya. Kamu jadi curiga kan sama suami sendiri?""Ya soalnya seru banget, Mas. Suami yang begitu sayang dan setia tapi nyatanya bermain di belakangnya.""Sudahlah, tak perlu membahas sinetron. Tidur yuk, tubuhmu butuh istirahat lho."Aku mengangguk lemah. Rapi sekali kamu bersandiwara, Mas.***"Iya, nanti kuusahakan ya. Kamu tahu sendiri kan aku sudah cuti tig
Part 5Kuletakkan handphone di atas meja, rasanya ingin kupergoki mereka berdua, tapi apalah daya, bagaimana dengan anak dan bayiku. Membayangkan Mas Damar dan Melinda tengah bermesraan saja rasanya begitu sakit.Kuhela nafas yang terasa begitu berat, sangat berat bahkan terasa sakit meski hanya untuk menghempaskannya. Aku menoleh ke arah dua malaikat mungilku yang tengah tertidur pulas. Butiran bening menitik tak bisa dibendung lagi. Lelaki yang seharusnya jadi panutan, tapi ternyata tak lebih dari seorang pembohong besar. Namun kuakui, Mas Damar adalah seorang ayah yang baik. Hal ini yang membuatku bingung, bagaimana dengan anak-anak bila tanpa kehadiran seorang ayah.Aku kembali memungut ponsel dan mengirim pesan pada Mbak Rasti dan Mas Niko.[Assalamu'alaikum, Mbak. Malam-malam maaf ganggu waktu istirahatnya] [Waalaikum salam, oh iya, kebetulan aku belum tidur. Ada apa ya, Mbak?] Balas Mbak Rasti.[Mas Niko lembur gak ya, Mbak?][Enggak kok. Pulang seperti biasa. Itu orangnya s
Part 6"Kalau memang semalam gak lembur, terus kamu pergi kemana, Mas?"Mas Damar tampak shock. Ia mengambil tissue dan berhenti makan, menarik nafas dalam-dalam."Mbak Rasti, bisakah tinggalkan kami?" ujar lelaki itu mengusir secara halus."Walah, padahal aku pengen lihat dedek Amanda.""Maaf ya, Mbak Rasti, tolong ..." "Baiklah. Kuharap tak ada pertengkaran diantara kalian, kasihan anak-anak kalian. Aku permisi dulu, Mbak."Aku mengangguk dan melihat sosok Mbak Rasti keluar rumah. Usai kepergiannya, Mas Damar justru berlalu ke kamar."Mas, aku butuh penjelasanmu!" tukasku dengan nada penuh penekanan.Mas Damar berhenti melangkah lalu berbalik ke arahku. "Penjelasan apa? Soal semalam?"Aku mengangguk. Ingin tahu sejauh mana dia berbohong."Aku minta maaf ya, Dek. Aku salah. Aku takut kamu khawatir makanya aku tak bilang sejujurnya." Aku terdiam menatap manik coklat matanya. Ia tampak gugup dan memalingkan wajah."Aku pulang lagi ke rumah ibu, ngembaliin boneka barbie milik anak tet
Part 7"Kau yakin, Mas? Tapi ada nama kamu di nota baju ini. Kamu belikan dress seksi ini buat siapa, Mas?" Deg! Pertanyaan Wulan sungguh membuatku terkejut dan shock. Astaga! Bisa-bisanya Melinda salah ambil tas belanja. Sebisa mungkin aku beralasan agar Wulan tak curiga. Entah setelah kepulanganku dari kampung halaman sikap Wulan sedikit berbeda, dia sering kali menyindirku. Disengaja maupun kebetulan akupun tak tahu. Tapi mulai sekarang aku harus lebih berhati-hati. Aku tak ingin hubunganku dengan Melinda diketahui olehnya. Wulan pasti akan sangat kecewa padaku. Gegas aku masuk ke dalam mobil, tujuanku? Tentu rumah Melinda. Melinda kuboyong ke kota ini, jadi jika aku pulang dan ingin melihatnya aku tak perlu perjalanan jauh menghabiskan banyak waktu. Sebuah rumah minimalis, kusewakan untuk ia tempati bersama dengan anak perempuannya dari pernikahannya yang pertama. Hubunganku dengan Melinda? Dia adalah istri siriku. Ya, kami sudah menikah kemarin. Acara yang seharusnya hanya pe
Part 8"Jadi ini yang kamu lakukan, Mas?!""Eh Wu-Wulan, kamu kenapa ada di sini? Mana Raffa dan Amanda?" Mas Damar terlihat shock melihatku berada di sana. Dia mengusap air yang menetes di wajah dan kemejanya.Aku memejam sejenak karena kebodohanku. Astaghfirullah, karena tak bisa menahan emosi, aku sampai lepas kendali. Sabar Wulan, sabar, jangan sampai emosi. Semoga aku masih tetap waras walau benar, aku stress dengan semua kejadian ini. Kepala terasa berdenyut luar biasa. "Mas, kamu gak apa-apa? Hei Mbak, kenapa kamu siram Mas Damar seperti itu?" pungkasnya kemudian. Aku terpaku beberapa saat sembari menatap perempuan yang cantik itu. Perempuan rahasia suamiku. Dari penampilannya saja sangat berbeda kelas denganku. Aku akui itu.Mas Damar bangkit dan memberi kode agar Melinda tenang."Wulan, aku bisa jelaskan ini. Kamu salah paham. Tolong jangan marah dulu. Emmh diaa ... dia ini--""Jadi ini istri kamu, Mas?" tanya perempuan itu seraya menatapku. Ia menyodorkan tangannya untuk k
Part 9"Ya, apapun yang kau minta, mas akan melakukannya. Asal masih dalam batas kesanggupanku.""Baiklah, asalkan ....""Asalkan apa? Kamu membuatku penasaran saja, Dek," ucapnya dengan raut penasaran."Tanda tangani surat perjanjian yang sudah kubuat," ucapku lagi."Perjanjian apa?" Keningnya berkerut mendengar ucapanku.Gegas aku mengambil surat perjanjian yang sudah kusiapkan sejak kemarin dengan materai 10000. Diam-diam aku menyiapkan beberapa rencana, jadi bila rencana pertama gagal maka ada rencana cadangan yang lainnya. Mau bagaimana lagi, aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri, semampuku, sebisaku.Mas Damar menatapku penuh tanya. Matanya memandang sebuah map yang kusodorkan padanya."Silakan tanda tangan disini, Mas," ujarku. "Ini apa sayang?" tanyanya. "Bukankah tadi katanya kamu mau melakukan apapun asal dalam batas kesanggupanmu?" jawabku sambil tersenyum. Mas Damar terdiam. Ia membaca lembaran surat perjanjian itu. Sesekali ia tampak menautkan alisnya."Bagaimana Ma