Share

2. Pura-pura tak tahu

Part 2

"Mas, tadi siapa perempuan yang ada di belakangmu? Kamu sedang ada dimana, Mas?"

Meski aku tahu, ini adalah pertanyaan konyol. Mas Damar tak mungkin menjawab dengan jujur, ia pasti akan berkilah.

Lelaki di balik layar itu tampak menoleh, kemudian langsung menghadapkan ponselnya ke langit-langit kamar. Mungkin ponsel itu ia letakkan begitu saja.

"Kenapa kamu masuk kesini? Tunggu aku di luar. Okey?" Samar terdengar suara Mas Damar berbicara dengen seseorang. Mungkin perempuan tadi.

Aku menunggu beberapa puluh detik, lalu ia sudah ada di layar handphone kembali.

"Maaf tadi Farah masuk, katanya butuh sesuatu," jawab Mas Damar menjelaskan.

"Yakin itu, Farah? Kok penampilannya beda?"

"Setiap orang kan bisa berubah, Sayang. Sudah dulu ya. Jaga anak-anak dengan baik ya. Besok aku pulang, Love you."

Seolah tak ingin aku bertanya lebih lanjut, Mas Damar mematikan panggilan teleponnya. Aku menghela nafas panjang. Pikiran negatif kembali berkecamuk. Sampai aku berpikir aneh, benarkah aku dikhianati usai melahirkan? Membayangkan saja rasanya sesak. Sesak sekali. Dadaku terasa seperti diremas-remas.

***

Keesokan paginya, sebelum jam berangkat kantor, aku mengunjungi rumah Faiz--teman putraku. Ingin bertemu dengan Mas Niko, ayahnya, serta memastikan ucapan istrinya pada anakku. Aku ingin memastikan apakah ada hal yang disembunyikan oleh suamiku. Barangkali dia tahu sesuatu.

"Eh, Mbak Wulan. Ada apa pagi-pagi datang kesini?" sambut Mbak Rasti, ibunya Faiz.

Aku mengangguk dan tersenyum. "Maaf ganggu, Mbak. Apa ayahnya Faiz ada di rumah?"

"Ada apa ya cari suamiku?"

"Emmh, itu mbak, ada hal yang ingin aku bicarakan tentang Mas Damar. Aku juga mau tanya apa mbak kemarin bilang sama Raffa kalau suamiku menikah lagi? Maksudnya apa ya? Karena jujur itu sungguh mengganggu pikiranku."

Seketika raut wajah Mbak Rasti berubah. Sepertinya ia merasa tak enak dengan pertanyaanku yang langsung to the points.

"Maaf Mbak Wulan, kemarin aku hanya bercanda saja. Aku tidak bermaksud--"

"Siapa yang bilang seperti itu, Mbak Wulan?" Tetiba sebuah suara laki-laki muncul dari dalam mengagetkan kami.

Mas Niko sudah tampak rapi dengan kemeja kerjanya.

"Maaf Mas Niko, kalau saya bertanya ini langsung. Mas kan sahabatnya Mas Damar, apa mas tahu sesuatu?" tanyaku langsung.

"Tahu apa ya, Mbak?" tanyanya lagi.

"Tentang rahasia Mas Damar."

Dia mengerutkan keningnya. "Kita bicara di dalam dulu, ayo masuk!" ajak Mas Niko. Ia pun memberi peringatan pada sang istri agar tutup mulut.

"Mas, aku mohon kalau tahu sesuatu tentangnya, tolong beri tahu aku. Perasaanku tidak tenang apalagi saat kemarin lihat status WA adik ipar."

"Status apa ya?"

Lalu akupun menceritakan hal ganjil tersebut padanya. Tentang kecurigaanku pada Mas Damar.

"Tolong beritahu aku, Mas. Jangan rahasiakan apapun dariku. Ini sangat penting untuk kehidupan pernikahan kami ke depannya."

"Sebenarnya aku tidak tahu persisnya gimana dengan Damar. Di kantor dia biasa saja, tidak ada yang aneh-aneh. Hanya saja dia sedikit berubah lebih tertutup sejak reuni itu, sejak ia bertemu lagi dengan mantan pacarnya dulu."

Deg! Seketika jantungku berdegup dengan kencang. Mantan pacar Mas Damar? Siapa?

"Si-siapa, Mas?"

"Namanya Melinda. Kami dipertemukan lagi sekian lama saat acara reuni SMA tiga bulan yang lalu itu. Aku gak tahu sih sudah sejauh mana hubungan mereka. Aku pikir hanya temu kangen biasa saja. Namanya juga sudah pada berkeluarga."

"Jadi, Mas Damar punya hubungan dengan Melinda? Apa dia sudah bersuami?"

"Maaf Mbak Wulan, aku gak berani bilang seperti itu, karena memang gak tahu persisnya seperti apa. Melinda sendiri sekarang ini sudah janda, anaknya satu."

Aku terdiam sejenak.

"Begini saja, Mbak Wulan, aku akan coba cari tahu ya. Kalau memang dia benar-benar ada main dengan Melinda, aku akan nasehatin dia. Tapi saran saya, bersikaplah seperti biasa Mbak. Pura-pura saja tidak tahu apa-apa. Nanti kita bicarakan lagi ya, Mbak. Siapa tahu ada solusi lainnya."

Aku mengangguk.

"Kamu juga ya, Bu, mulutnya jangan ember. Awas aja kalau ada gosip gak enak. Ayah yang akan menghukum ibu langsung!" tukas Mas Niko lagi. Istrinya hanya nyengir dan mengangguk.

"Mbak Wulan tenang saja, kami berada di pihak Mbak Wulan. Kalau suami mbak macam-macam dengan pelakor, aku siap menghajar pelakornya!" ujar Mbak Rasti.

Perempuan kemudian mendekat ke arahku seraya berbisik. "Benar kata suamiku, pura-pura tidak tahu saja. Yang penting amankan aset dulu, Mbak! Harus atas nama mbak atau anak-anak. Jadi misal itu benar dan pahitnya kalian berpisah, Mbak tidak akan gigit jari. Pokoknya jangan biarkan pelakor menikmati hasil kerja keras suami kita."

Dia menepuk-nepuk bahuku, lalu bercanda dengan bayi yang tengah kugendong. Benar juga ucapannya. Aku jadi punya ide untuk bermain cantik saja dulu, lalu hempaskan. Tak perlu bar-bar dan membuang energi.

Mulai sekarang aku harus kuat dan tegar. Ada anak-anak yang membutuhkanku.

***

Pukul empat sore, terdengar suara deru mobil mendekat.

"Sayang, Mas pulang!" seru suara dari luar.

Gegas aku beranjak, mengintip dari balik tirai, mobil suamiku sudah terparkir manis di sana. Segera aku membuka pintu, melihat Mas Damar berdiri di sana. Kucium punggung tangannya, sementara dia langsung memelukku hangat.

"Gimana kabarmu dan juga anak-anak?" tanya Mas Damar. Ya, begitulah Mas Damar, ia memang selalu perhatian pada kami. Rasanya tidak mungkin dia berkhianat. Tapi terkadang dibalik sikap perhatiannya ini menyimpan banyak rahasia.

Aku meraih koper yang dia bawa. "Mereka baik-baik saja, Mas. Raffa yang seringkali bertanya padamu, kapan kamu pulang."

"Dimana dia sekarang?" tanya Mas Damar.

"Lagi main, Mas. Sebentar lagi juga pulang. Oh ya, kamu mau makan apa? Biar aku masak dulu."

"Apa saja yang kamu masak, pasti akan kumakan. Ya sudah, aku ke kamar dulu ya Dek, mau mandi, gerah."

Aku mengangguk dan menatap punggungnya yang lebar. Setelah melepas sepatunya, Mas Damar pergi ke kamar, aku mengikuti di belakang. Segera kupungut kemeja yang ia lepas sembarangan di atas lantai dan menaruhnya ke keranjang baju kotor.

Sekilas aku mencium aroma parfum yang berbeda, parfum perempuan. Aku menggeleng pelan seolah tak memedulikan. Pura-pura tidak tahu adalah jalan ninjaku saat ini. Mungkin saja ini wangi parfum Farah. Farah dan Mas Damar memang begitu dekat, adik perempuan satu-satunya itu sangatlah manja.

Setelah itu, akupun memeriksa koper Mas Damar, untuk merapikan baju-bajunya kembali. Tetiba saat membuka resleting koper itu ada yang menyembul lalu terjatuh. Sebuah boneka barbie yang sudah usang, mungkin karena sering dibuat mainan.

Keningku mengkerut. Buat apa Mas Damar membawa boneka barbie ini? Farah sudah kuliah tak mungkin dia main boneka barbie beginian, dekil pula.

Aku merapikan baju-baju Mas Damar di koper yang terlihat begitu berantakan. Tak hanya boneka barbie yang membuatku bertanya-tanya, tapi juga selembar nota pembelian dua buah cincin atas nama Tn Damar dengan harga yang fantastis. Sepuluh juta rupiah.

"Dek, kamu sedang apa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status