Part 3
"Dek, kamu sedang apa?"Aku terperanjat kaget saat Mas Damar bertanya. Ia keluar dari kamar mandi dan langsung menghampiriku, seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk."Eh Mas, aku sedang merapikan baju-bajumu. Tapi ini apa?" Aku menunjukkan nota pembelian cincin serta boneka barbie itu padanya.Sesaat matanya terbelalak kaget. Tapi secepat kilat ia sembunyikan wajah terkejutnya dibalik senyuman."Nota cincin dan boneka barbie ini punya siapa, Mas?" Aku mengulangi pertanyaan.Mas Damar menggaruk kepalanya yang tidak gatal."Emmh ... anu, ini punya Farah," sahut Mas Damar gugup. Jelas sekali ia tengah beralibi."Farah? Farah gak mungkin masih mainan barbie yang penuh coretan gini kan, Mas?" tanyaku lagi."Ehem, maksud mas, ini mainan anak tetangga sebelah yang sering main dengan Farah," jawabnya salah tingkah."Kok bisa ada di koper kamu?""Ya, aku gak tahu. Mungkin ketinggalan. Masalahnya anaknya jahil."Aku mengangguk, meski hati seperti diremas-remas."Terus nota cincin ini? Dua buah cincin semahal ini untuk siapa, Mas?" tanyaku lagi mencecarnya.Sekilas pandanganku terpaku pada benda yang berkilauan di jari manis Mas Damar. Sebuah cincin. Apakah ini cincin pertunangannya? Aku meraih tangannya, melihat sebuah cincin baru melekat di jarinya."Mas, ini cincin baru? Terus mana cincin pernikahan kita? Kamu lepas?" tanyaku lagi.Dia menarik tangannya dari genggamanku, seolah tak nyaman dengan pertanyaan yang kuajukan."Sayang, maaf ... sebenarnya aku membelikan dua buah cincin untuk aku dan kamu, untuk mengganti cincin pernikahan kita yang sudah lama. Tapi Farah justru memintanya. Jadi terpaksa yang satu kuberikan pada Farah. Nanti kamu aku belikan cincin baru yang sama seperti ini ya, Sayang. Tolong jangan marah," kilahnya beralasan.Aku terdiam sambil terus memandangnya. Tapi Mas Damar seakan menghindari tatapanku. Dia justru menyibukkan diri dengan hal lain."Wulan, katanya kamu mau masak? Kebetulan mas dah laper banget nih," tegurnya mengalihkan pembicaraan."Ah iya, Mas. Aku masak dulu. Tolong jagain Amanda dulu y."Mas Damar mengangguk. Lalu menciumi bayi mungil kami yang tengah tertidur usai kumandikan tadi. "Anak ayah cantik banget nih. Hmmm wangi ... Dedek Manda cantik seperti Bunda."Gegas aku ke dapur, meracik bahan makanan yang tersedia di kulkas. Kuambil telur untuk didadar, lalu sayuran caisim untuk ditumis dengan campuran bakso. Tak lupa yang tidak boleh dilewatkan, sambal tomat kesukaan Mas Damar.Selesai masak segera kuhidangkan di meja makan. Aku pun membuatkan teh manis untuk Mas Damar. Kebetulan Raffa pulang selesai main."Bun, Ayah sudah pulang? Tadi mobil ayah ada di depan," tanyanya penasaran."Iya sayang, ayah sudah pulang. Ada di kamar sama dedek Manda.""Asyiiikk ... Ayah pulang! Ayah pulang!" celotehnya sembari berlari ke kamar. Aku tersenyum melihat tingkah polosnya. Namun, sebelah hatiku merasa perih, memikirkan hal pahit yang terjadi. Bila aku berpisah dengan Mas Damar, apa Raffa dan Amanda akan baik-baik saja tanpa seorang ayah? Apakah mereka akan jadi anak yang broken home?Sepintas aku menggeleng pelan. Haruskah aku mengorbankan perasaan ini demi anak-anak?Tak lama Raffa kembali bersama dengan Mas Damar yang tengah menggendong Amanda."Alhamdulillah, masakan Bunda sudah matang, ayo kita makan!" ajak Mas Damar, Raffa menimpali dengan anggukan antusias."Ayah, aku mau disuapin sama ayah!" celetuk Raffa, yang makin membuat hatiku merasa terkoyak. Ya, Mas Damar memanglah penyayang terhadap anak-anak."Iya, sini ayah suapin. Tapi janji sayurnya harus dimakan juga ya!""Baik, Ayah!" ujar putra sulungku."Mas, sini biar Manda sama aku. Mas bisa makan dulu.""Gak perlu, Manda biar kugendong sambil nyuapin Raffa makan. Kamu juga makan ya sayang, kamu pasti sudah sangat lelah seharian mengurus anak kita."Kata-kata yang sederhana nan perhatian itu seolah menghipnotisku, mengaburkan kenyataan yang ada. Rasanya tak mungkin Mas Damar mengkhianatiku, dia begitu sayang pada kami. Apakah ini caranya menutupi kebohongannya?Aku menyendokkan nasi beserta lauknya untuk Mas Damar dan juga Raffa.Mas Damar menyuapi Raffa lebih dulu, sambil bercengkrama riang."Ayah, aku juga mau dibelikan mainan!""Iya, Raffa mau mainan apa?""Kereta Thomas, Yah!""Haha, iya, iya, nanti ayah belikan ya!""Makasih, Ayah."***Mungkin karena kelelahan, Mas Damar tidur lebih cepat di samping bayi kami.Mendadak terdengar notif chat masuk ke ponselnya. Karena penasaran, akupun meraih ponselnya. Di layar ponsel tertera nama Mel yang mengiriminya pesan. Dadaku bergemuruh kencang. Apa dia yang dimaksud mantan pacar suamiku. Melinda?Deg! Dadaku berdebar lebih kencang. Saat aku ingin membuka ponsel itu, tapi ternyata layarnya terkunci. Tumben Mas Damar mengunci ponselnya, padahal biasanya dia tak pernah privacy seperti ini.Karena pesan itu tak kunjung dibalas, Mel menghubungi suamiku. Terlihat jelas foto profil di panggilannya. Ini wanita kemarin yang ada di status WA Farah, wanita yang katanya bertunangan dengan tetangganya. Kini aku semakin yakin kalau mereka memang punya hubungan spesial.Sebab tak kunjung diangkat, panggilan itupun terputus begitu saja. Seseorang dengan nama Mel kembali mengirimi pesan. Aku sempat membacanya dari notif meski tak perlu membuka aplikasi WA.[Mas, boneka barbie Lola apa terbawa sama kamu? Aku cari di sini gak ada. Tolong besok anterin boneka barbienya kesini ya. Lola nangis terus, boneka kesayangannya gak ada, dia gak bisa tidur. Maaf repotin kamu, Mas. Aku tunggu]Keningku kembali mengernyit. Rasa penasaran menguasai hati pada perempuan yang bernama Melinda ini. Aku menoleh menatap Mas Damar yang tengah tertidur lelap. Sudah kucoba beberapa kali pola kunci layar HP tapi tak ada yang bisa membuatnya terbuka.Segera aku mendekat ke arah Mas Damar, pelan-pelan meraih jemarinya agar bisa membuka ponselnya lewat sidik jari. Dan ... usaha pertamaku berhasil. Dengan rasa gemuruh dalam dada, aku menjauh darinya.Tanganku cukup gemetar dan berkeringat dingin saat membuka aplikasi berlogo hijau itu. Chat dari Mel yang kubuka pertama kali.[Sayang, apa kamu sudah sampai?][Kalau sudah sampai kabari aku ya, Mas]Dua panggilan tak terjawab.[Mas, teleponku diangkat dong. Aku kangen, pengen dengar suara kamu][Mas, sedang sibuk ya?]Dan terakhir, pesan tentang boneka barbie tadi.Seketika embun tebal menggenang di pelupuk mataku. Rasanya panas dan hampir saja menetes. Segera kuseka butiran bening ini. Tidak, aku tidak boleh menangis.Aku mencoba mencari tahu percakapannya yang lain rupanya Mas Damar main cukup rapi. Ia sudah menghapusnya. Tak ada balasan apapun dari Mas Damar. Beralih ke akun f******k dan messengernya, tapi tak ada yang aneh-aneh. Merenung sejenak, apa yang harus kulakukan? Tapi kalau langsung melabrak pelakor itu, rasanya tidak etis. Aku harus kumpulkan buktinya lebih dulu.Kuembuskan nafas dalam-dalam. Mas, setega itukah kau mengkhianatiku di saat aku baru saja melahirkan anak keduamu? Sakit sekali rasanya. Nyeri usai melahirkan saja belum sepenuhnya sembuh, kini kamu menambahkan luka pengkhianatan yang begitu perih pada diri ini.Tubuh yang begitu lelah seharian mengurus anak dan pekerjaan rumah tangga serta keperluan suami ternyata tak ada artinya lagi karena kehadiran wanita asing yang kini mengguncang ikatan suci pernikahan.Aku tak boleh diam, harus kucari tahu walau rasanya sakit seperti tertusuk duri. Kuletakkan kembali ponsel Mas Damar di tempat semula. Sepertinya aku harus menyadap whattsappnya. Agar aku tahu percakapan Melinda dengan suamiku.Mas Damar terbangun saat baru saja aku ingin merebahkan diri di samping Amanda."Lho, Dek, belum tidur? Harusnya kamu istirahat lebih cepat, kamu kan capek seharian ngurus anak-anak.""Iya, Mas. Mataku belum ngantuk.""Memang kenapa? Ada yang kamu pikirkan?"Part 4"Memang kenapa? Ada yang kamu pikirkan?"Aku terdiam sejenak, menatap matanya. Tak ada perasaan bersalah sedikitpun dari pancaran matanya. Mas Damar pintar sekali menyembunyikan rahasia."Enggak. Cuma tadi aku habis nonton drama. Ceritanya itu bikin nyesek di hati. Sampai sekarang gak ilang-ilang," sahutku kemudian."Cerita apaan emang sampai membuatmu seperti ini?""Cerita layangan putus. Suami yang ditemani dari nol ternyata berkhianat dengan perempuan lain."Mendengar jawabanku, Mas Damar terdiam. Apa jawabanku cukup menyindirnya?Dia beranjak duduk. "Sayang, lebih baik jangan nonton drama seperti itu lagi, tak baik efeknya. Kamu jadi curiga kan sama suami sendiri?""Ya soalnya seru banget, Mas. Suami yang begitu sayang dan setia tapi nyatanya bermain di belakangnya.""Sudahlah, tak perlu membahas sinetron. Tidur yuk, tubuhmu butuh istirahat lho."Aku mengangguk lemah. Rapi sekali kamu bersandiwara, Mas.***"Iya, nanti kuusahakan ya. Kamu tahu sendiri kan aku sudah cuti tig
Part 5Kuletakkan handphone di atas meja, rasanya ingin kupergoki mereka berdua, tapi apalah daya, bagaimana dengan anak dan bayiku. Membayangkan Mas Damar dan Melinda tengah bermesraan saja rasanya begitu sakit.Kuhela nafas yang terasa begitu berat, sangat berat bahkan terasa sakit meski hanya untuk menghempaskannya. Aku menoleh ke arah dua malaikat mungilku yang tengah tertidur pulas. Butiran bening menitik tak bisa dibendung lagi. Lelaki yang seharusnya jadi panutan, tapi ternyata tak lebih dari seorang pembohong besar. Namun kuakui, Mas Damar adalah seorang ayah yang baik. Hal ini yang membuatku bingung, bagaimana dengan anak-anak bila tanpa kehadiran seorang ayah.Aku kembali memungut ponsel dan mengirim pesan pada Mbak Rasti dan Mas Niko.[Assalamu'alaikum, Mbak. Malam-malam maaf ganggu waktu istirahatnya] [Waalaikum salam, oh iya, kebetulan aku belum tidur. Ada apa ya, Mbak?] Balas Mbak Rasti.[Mas Niko lembur gak ya, Mbak?][Enggak kok. Pulang seperti biasa. Itu orangnya s
Part 6"Kalau memang semalam gak lembur, terus kamu pergi kemana, Mas?"Mas Damar tampak shock. Ia mengambil tissue dan berhenti makan, menarik nafas dalam-dalam."Mbak Rasti, bisakah tinggalkan kami?" ujar lelaki itu mengusir secara halus."Walah, padahal aku pengen lihat dedek Amanda.""Maaf ya, Mbak Rasti, tolong ..." "Baiklah. Kuharap tak ada pertengkaran diantara kalian, kasihan anak-anak kalian. Aku permisi dulu, Mbak."Aku mengangguk dan melihat sosok Mbak Rasti keluar rumah. Usai kepergiannya, Mas Damar justru berlalu ke kamar."Mas, aku butuh penjelasanmu!" tukasku dengan nada penuh penekanan.Mas Damar berhenti melangkah lalu berbalik ke arahku. "Penjelasan apa? Soal semalam?"Aku mengangguk. Ingin tahu sejauh mana dia berbohong."Aku minta maaf ya, Dek. Aku salah. Aku takut kamu khawatir makanya aku tak bilang sejujurnya." Aku terdiam menatap manik coklat matanya. Ia tampak gugup dan memalingkan wajah."Aku pulang lagi ke rumah ibu, ngembaliin boneka barbie milik anak tet
Part 7"Kau yakin, Mas? Tapi ada nama kamu di nota baju ini. Kamu belikan dress seksi ini buat siapa, Mas?" Deg! Pertanyaan Wulan sungguh membuatku terkejut dan shock. Astaga! Bisa-bisanya Melinda salah ambil tas belanja. Sebisa mungkin aku beralasan agar Wulan tak curiga. Entah setelah kepulanganku dari kampung halaman sikap Wulan sedikit berbeda, dia sering kali menyindirku. Disengaja maupun kebetulan akupun tak tahu. Tapi mulai sekarang aku harus lebih berhati-hati. Aku tak ingin hubunganku dengan Melinda diketahui olehnya. Wulan pasti akan sangat kecewa padaku. Gegas aku masuk ke dalam mobil, tujuanku? Tentu rumah Melinda. Melinda kuboyong ke kota ini, jadi jika aku pulang dan ingin melihatnya aku tak perlu perjalanan jauh menghabiskan banyak waktu. Sebuah rumah minimalis, kusewakan untuk ia tempati bersama dengan anak perempuannya dari pernikahannya yang pertama. Hubunganku dengan Melinda? Dia adalah istri siriku. Ya, kami sudah menikah kemarin. Acara yang seharusnya hanya pe
Part 8"Jadi ini yang kamu lakukan, Mas?!""Eh Wu-Wulan, kamu kenapa ada di sini? Mana Raffa dan Amanda?" Mas Damar terlihat shock melihatku berada di sana. Dia mengusap air yang menetes di wajah dan kemejanya.Aku memejam sejenak karena kebodohanku. Astaghfirullah, karena tak bisa menahan emosi, aku sampai lepas kendali. Sabar Wulan, sabar, jangan sampai emosi. Semoga aku masih tetap waras walau benar, aku stress dengan semua kejadian ini. Kepala terasa berdenyut luar biasa. "Mas, kamu gak apa-apa? Hei Mbak, kenapa kamu siram Mas Damar seperti itu?" pungkasnya kemudian. Aku terpaku beberapa saat sembari menatap perempuan yang cantik itu. Perempuan rahasia suamiku. Dari penampilannya saja sangat berbeda kelas denganku. Aku akui itu.Mas Damar bangkit dan memberi kode agar Melinda tenang."Wulan, aku bisa jelaskan ini. Kamu salah paham. Tolong jangan marah dulu. Emmh diaa ... dia ini--""Jadi ini istri kamu, Mas?" tanya perempuan itu seraya menatapku. Ia menyodorkan tangannya untuk k
Part 9"Ya, apapun yang kau minta, mas akan melakukannya. Asal masih dalam batas kesanggupanku.""Baiklah, asalkan ....""Asalkan apa? Kamu membuatku penasaran saja, Dek," ucapnya dengan raut penasaran."Tanda tangani surat perjanjian yang sudah kubuat," ucapku lagi."Perjanjian apa?" Keningnya berkerut mendengar ucapanku.Gegas aku mengambil surat perjanjian yang sudah kusiapkan sejak kemarin dengan materai 10000. Diam-diam aku menyiapkan beberapa rencana, jadi bila rencana pertama gagal maka ada rencana cadangan yang lainnya. Mau bagaimana lagi, aku hanya bisa mengandalkan diri sendiri, semampuku, sebisaku.Mas Damar menatapku penuh tanya. Matanya memandang sebuah map yang kusodorkan padanya."Silakan tanda tangan disini, Mas," ujarku. "Ini apa sayang?" tanyanya. "Bukankah tadi katanya kamu mau melakukan apapun asal dalam batas kesanggupanmu?" jawabku sambil tersenyum. Mas Damar terdiam. Ia membaca lembaran surat perjanjian itu. Sesekali ia tampak menautkan alisnya."Bagaimana Ma
Part 10"Mana kutahu, kali aja jatuh. Jangan tuduh aku sembarangan, Mas!" pungkas Wulan. Ia tampak kesal. Ah, harusnya aku tak menuduhnya begitu. Bodoh! Akhir-akhir ini dia jadi gampang tersulut emosi.Aku menghela nafas dalam, menatap wajah Wulan yang tampak tidak bersalah."Ya, maafkan aku, Wulan, aku tak bermaksud menuduhmu. Tolong kalau pas kamu bersih-bersih dan nemu kartu ATM-nya, simpankan dulu ya.""Iya Mas.""Ya sudah aku berangkat dulu. Paling lama satu jam aku balik lagi. Dan kamu harus siap-siap ya, biar nanti langsung berangkat," ujarku.Aku merutuk pada diri sendiri. Sial! Bisa-bisanya kartu ATM hilang. Tapi aku tak mungkin terus menerus menuduh Wulan di sana. Memang akulah yang ceroboh.Wulan mengangguk lagi. Gegas akupun pergi karena aku yakin Melinda pasti tengah menunggu kabar dariku. Sengaja aku tak menghubunginya lebih dulu. Selama di rumah aku meminimalisir pegang HP, takut Wulan tambah curiga. Mobil yang kukemudikan membelah jalan raya. Suasana pagi weekend cuku
Part 11"Rambutmu masih basah juga bau shampo, kamu habis keramas lagi ya, Mas? Terus ini bekas bibir siapa di pipimu?"Deg deg deg, jantungku berpacu dengan cepat. Sial, Melinda membuatku jadi tersudut begini. Kacau kalau Wulan tahu semuanya. "Anu Dek, ini ... ini tadi rambutku kena kotoran jadi aku mandi lagi." Suara di tenggorokan terasa tersendat, aku bingung mesti jawab apa."Oh, kotoran yang nikmat ya, Mas?" sindirnya lagi seraya menatapku tajam. Aku memalingkan wajah, tak berani menatapnya. Nada dering di ponsel menghenyakkan kami, lebih tepatnya membantuku keluar dari ketegangan.Kutatap layar ponsel. Farah, deretan huruf yang tertera di sana."Vicall dari Farah, aku angkat dulu ya, Dek," ujarku. Lega rasanya, adikku telah menyelamatkanku meski sementara waktu.Aku mengangkat panggilan videonya, terlihat Farah dengan senyuman yang manis."Mas, ini ibu mau bicara," ucapnya. Tak lama gambar ibu sudah berada dibalik layar ponsel."Bu, lagi apa? Kabar ibu sehat?" tanyaku ramah.