Share

Perempuan Yang Kalian Remehkan
Perempuan Yang Kalian Remehkan
Author: Queenara

Makan Malam Keluarga

Author: Queenara
last update Last Updated: 2025-09-26 14:34:07

Ruang makan keluarga besar itu berkilauan dengan lampu kristal yang menggantung megah di langit-langit. Meja panjang dipenuhi hidangan mewah—sop buntut yang masih mengepul, ikan salmon panggang dengan saus lemon butter, hingga wine mahal yang dihidangkan dalam gelas kristal. Namun di balik semua kemewahan itu, suasana hati Freya terasa begitu kerdil.

Ia duduk di samping Arga, suaminya, mencoba menata senyum tipis yang kaku di bibirnya. Tiga tahun menikah, dan inilah momen yang paling ia benci: makan malam keluarga.

“Bagaimana kabarnya, Mas Bagas?” tanya Tuan Baskara, ayah Arga, dengan nada penuh kebanggaan pada menantunya yang duduk berhadapan dengan Freya. “Saya dengar perusahaan tempatmu bekerja baru saja menandatangani kontrak besar dengan investor Jepang?”

Bagas—suami kakak Arga—menarik senyum lebar. “Betul, Pak. Puji Tuhan, perusahaan kami sedang berkembang. Bahkan bulan depan saya dipercaya berangkat ke Tokyo untuk rapat besar.”

“Luar biasa!” seru Ny. Ratna, ibu Arga, matanya berbinar penuh kekaguman. “Inilah contoh menantu yang membanggakan. Punya prestasi, bisa membawa nama baik keluarga.”

Tawa kecil terdengar di sekitar meja. Semua orang seakan ikut hanyut dalam rasa kagum pada Bagas.

Freya menunduk, menatap piringnya yang masih penuh. Ia merasa tubuhnya mengecil, seolah-olah tak pantas berada di meja itu.

Tak lama, giliran suara Ny. Ratna yang terdengar lebih tajam. “Sayangnya, tidak semua menantu bisa begitu. Ada juga yang… hanya duduk manis, tidak jelas apa kontribusinya. Malah menjadi beban putra saya.”

Hening seketika. Freya merasakan jantungnya berdegup kencang. Kata-kata itu jelas ditujukan padanya, meskipun sang mertua tidak menyebut nama.

Arga menegakkan tubuhnya, terlihat gelisah, namun ia tidak bersuara.

Bagas dan istrinya—kakak Arga—saling berpandangan, mencoba meredam suasana. Namun Tuan Baskara malah menimpali, “Ya, memang benar, Ratna. Rumah tangga itu bukan hanya soal cinta, tapi juga soal keseimbangan. Kalau hanya satu pihak yang bekerja keras, lama-lama bisa timpang.”

Freya menggenggam garpu dan pisaunya erat-erat, hampir jatuh dari genggamannya. Ia mencoba menelan ludah, tapi tenggorokannya terasa kering.

“Freya sudah berusaha kok, Bu…” Arga akhirnya angkat bicara, meski nadanya terdengar ragu. “Dia mengurus rumah, memastikan semuanya berjalan baik.”

Ny. Ratna mendengus, melirik Freya dengan senyum sinis. “Mengurus rumah? Zaman sekarang itu bukan prestasi, Arga. Perempuan seharusnya bisa mendukung suaminya, bukan hanya menghabiskan uangnya.”

Freya merasakan matanya panas. Ia ingin menjawab, ingin membela diri, tapi lidahnya kelu. Ia tahu, apapun yang ia ucapkan hanya akan dipatahkan.

Hening itu makin menyesakkan, sampai akhirnya Bagas mencoba mencairkan suasana. “Yang penting kita saling mendukung, Bu. Saya yakin setiap orang punya cara masing-masing untuk berkontribusi.”

“Betul sekali, Mas Bagas,” sahut Ny. Ratna, kali ini dengan senyum manis. “Kamu memang menantu teladan. Tidak heran kalau kami sangat bangga punya kamu di keluarga ini.”

Freya menunduk semakin dalam. Makanan di depannya terasa hambar. Dan di sampingnya, Arga hanya terdiam.

Malam itu, sekali lagi, Freya diingatkan bahwa dirinya hanyalah seorang asing yang tidak pernah benar-benar diterima.

***

Mobil sedan hitam Arga meluncur pelan menembus jalanan malam. Lampu-lampu kota berkelebatan, namun suasana di dalam mobil terasa begitu hening dan menyesakkan.

Freya duduk di kursi penumpang, tangannya mengepal di pangkuan. Ia menatap keluar jendela, berusaha menahan air mata yang sedari tadi ingin jatuh. Tapi setiap kilatan kata-kata Ny. Ratna kembali terngiang di kepalanya: “Beban putra saya… hanya duduk manis…”

Ia menggigit bibirnya, sampai akhirnya tak bisa lagi menahan diri.

“Kenapa kamu diam saja, Ga?” tanyanya lirih, tapi penuh getaran. “Kamu dengar kan tadi? Ibu jelas-jelas merendahkan aku di depan semua orang.”

Arga tetap menatap lurus ke depan, kedua tangannya mantap memegang setir. “Freya, sudahlah. Jangan terlalu diambil hati. Ibu memang orangnya begitu. Ucapannya kadang keras, tapi maksudnya baik.”

Freya menoleh, menatap Arga dengan tatapan getir. “Maksudnya baik? Menghinaku di depan semua orang? Membandingkanku dengan Bagas? Itu bukan maksud baik, Arga. Itu merendahkan aku.”

Arga menarik napas panjang, seakan sedang menahan emosi. “Kamu terlalu sensitif, Freya. Ibu hanya ingin kamu lebih… berguna. Bukan cuma duduk di rumah.”

Kata-kata itu menghantam dada Freya lebih keras daripada sindiran mertuanya tadi. “Jadi kamu juga berpikir aku tidak berguna? Setelah semua yang aku lakukan? Aku mengurus rumah kita, masak, mencuci, memastikan kamu selalu pulang ke rumah yang nyaman. Itu tidak ada harganya di matamu?”

Mobil sedikit melambat ketika lampu merah menyala. Arga akhirnya menoleh sekilas ke arah Freya. Tatapannya dingin, jauh dari kelembutan yang dulu pernah ia kenal. “Aku tidak bilang tidak ada harganya. Tapi kamu tahu sendiri, Freya… aku bekerja keras setiap hari. Aku butuh pasangan yang bisa menopangku juga. Bukan hanya dari sisi rumah tangga.”

Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh membasahi pipi Freya. Ia menggeleng pelan. “Kamu berubah, Arga. Dulu kamu yang bilang tidak peduli aku dari keluarga mana, tidak peduli aku bekerja atau tidak. Kamu yang bilang cukup kalau aku ada di sampingmu. Tapi sekarang? Kamu mulai bicara sama seperti mereka.”

Arga terdiam, menekan pedal gas saat lampu berganti hijau. Suara mesin mobil mendengung, menutupi hening yang makin menyakitkan.

“Orang bisa berubah, Freya,” ucap Arga akhirnya, nadanya datar. “Aku juga ingin kamu berkembang. Aku ingin keluargaku melihatmu sebagai menantu yang membanggakan, bukan… sebaliknya.”

Freya menatap suaminya lekat-lekat, hatinya remuk berkeping. “Jadi sebenarnya, semua yang kamu inginkan hanya agar aku diterima oleh keluargamu? Bukan karena kamu mencintaiku apa adanya?”

Arga tidak menjawab. Hanya diam. Diam yang lebih kejam dari seribu kata.

Freya akhirnya menunduk, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. Malam itu, di dalam mobil yang melaju di jalanan kota, ia sadar: ia tidak hanya sedang berjuang melawan hinaan mertua, tapi juga perlahan kehilangan suaminya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Langkah Pertama

    Matahari siang bersinar terik ketika Freya turun dari bus kota di depan sebuah kawasan industri sederhana di pinggiran kota. Udara bercampur debu dan aroma kain dari pabrik-pabrik garmen yang berjejer di kiri kanan jalan. Ia menatap sekeliling dengan napas panjang—ada rasa gugup, tapi juga semangat yang menyalakan nyali kecil di dadanya.Di tangannya tergenggam tas jinjing berisi buku catatan, ponsel, dan map plastik berisi beberapa lembar uang tunai. Uang itu bukan jumlah yang kecil, hasil dari simpanan yang ia kumpulkan bertahun-tahun—dan kini, semuanya ia pertaruhkan untuk satu kata: berani.“Freya!”Sebuah suara ceria memanggil dari arah gerbang pabrik. Seorang wanita berambut sebahu melambaikan tangan. Wajahnya cerah, dengan senyum lebar yang selalu menenangkan.Talita.Freya langsung tersenyum, perasaannya sedikit tenang.Mereka berpelukan sebentar, saling melepas rindu.“Aduh, Fre, akhirnya kita ketemu juga! Kamu kelihatan makin anggun aja. Pantes Arga betah,” canda Talita.Fre

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Langkah Kecil Menuju Harapan

    Malam itu, rumah terasa sunyi. Lampu ruang tamu menyala redup, memantulkan cahaya hangat di wajah Freya yang termenung di depan meja. Di depannya terbuka sebuah buku tabungan, beberapa lembar slip bank, dan sebuah amplop berwarna krem yang sudah agak kusam di tepinya.Amplop itu dulunya disimpan di dalam laci kecil meja rias, terselip di antara pernak-pernik masa lalu — surat cinta pendek dari Arga, potret pernikahan mereka, dan selembar kartu ucapan bertuliskan tulisan tangan suaminya:> “Untuk istriku yang paling sabar, semoga hadiah kecil ini bisa kamu pakai sesuka hati. Aku ingin kamu bahagia.”Freya mengusap tulisan itu pelan. Sudah lama Arga tak lagi menulis kata sehangat itu padanya.Dulu, di awal pernikahan, Arga sering memberinya hadiah tanpa alasan. Uang untuk membeli apa pun yang ia mau, katanya. Tapi Freya jarang menggunakannya. Ia lebih memilih menyimpannya—entah kenapa, ada naluri yang membuatnya berpikir bahwa suatu hari nanti uang itu akan berguna.Dan malam ini, ketik

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Pagi Yang Tak Lagi Hangat

    Pagi itu terasa begitu tenang. Udara masih lembap, langit belum sepenuhnya terang, dan suara azan Subuh menggema dari kejauhan, bersahut-sahutan dari masjid ke masjid. Freya membuka matanya perlahan. Cahaya lampu tidur yang temaram memantul di wajahnya yang tampak masih letih karena malam sebelumnya ia menangis diam-diam. Meski bukan seorang muslim, suara azan selalu memberinya rasa damai. Ada ketenangan yang tak bisa dijelaskan setiap kali lantunan itu terdengar, seolah menjadi panggilan lembut untuk memulai hari dengan hati yang bersih. Ia menoleh pelan ke arah suaminya. Arga masih terlelap, napasnya berat, wajahnya tampak lesu bahkan dalam tidur. Freya memperhatikan garis wajah itu lama sekali—wajah yang dulu selalu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Namun kini, ada sesuatu yang berbeda. Ada jarak yang dingin, ada dinding yang tak kasatmata di antara mereka. Kemarin malam, kata-kata Arga masih terngiang jelas di telinganya—tajam, menyakitkan, dan tak termaafkan. Tapi Freya mem

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Kata-Kata Yang Menyayat

    Pintu kamar berderit pelan. Arga masuk dengan langkah gontai, dasi sudah terlepas, wajahnya kusut penuh beban. Matanya merah, entah karena lelah atau terlalu banyak menahan emosi seharian.Freya yang masih duduk di tepi ranjang tersentak. Cepat-cepat ia menyeka pipinya dengan punggung tangan, menyembunyikan sisa air mata. Ia tidak ingin Arga tahu betapa hancurnya hatinya setelah ucapan ibu mertuanya tadi.“Ga…” panggilnya pelan, penuh hati-hati.Arga tidak menjawab. Ia hanya menjatuhkan tubuhnya ke sofa di sudut kamar, menghela napas panjang seakan dunia menindih bahunya.Freya menatapnya penuh iba. Ada dorongan kuat dalam hatinya untuk mendekat, untuk setidaknya membuat suaminya merasa lebih ringan. Ia tahu, Arga sedang dalam tekanan besar.Dengan langkah ragu, Freya bangkit lalu duduk di samping suaminya. Tangannya terulur, menyentuh lembut lengan Arga. “Kamu pasti capek banget. Aku tahu ini berat buatmu. Tapi kamu nggak sendirian, Ga. Aku di sini…” suaranya lirih, tulus, berusaha m

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Retakan Di Atas Singgasana

    Malam itu, rumah terasa lengang. Arga baru pulang larut, wajahnya lelah dan dingin, langsung masuk kamar tanpa banyak bicara. Freya hanya bisa menatap punggung suaminya dengan perasaan hampa. Kata-kata yang dulu menumbuhkan luka kini berubah menjadi penguat tekad. Kalau aku terus diam, aku akan selamanya diremehkan. Begitu Arga terlelap, Freya mengambil ponselnya. Ia membuka daftar kontak dan menemukan nama yang sudah lama tak ia hubungi: Talita. Sahabat SMA-nya yang dulu selalu ceria, kini bekerja di sebuah pabrik garmen dan punya usaha kecil-kecilan berjualan online. Freya ragu sejenak, tapi akhirnya ia menekan tombol panggil. “Freya? Ya ampun, akhirnya kamu telepon juga!” suara Talita terdengar riang di ujung sana. “Aku sempat mikir kamu udah lupa sama aku, setelah nikah dengan pria mapan.” Freya tersenyum kecut. “Mana mungkin aku lupa, Tal. Justru aku butuh kamu sekarang.” “Lho? Ada apa? Suaramu serius sekali,” tanya Talita penasaran. Freya menarik napas panjang. “Aku… ingin

  • Perempuan Yang Kalian Remehkan   Arisan Para Nyonya

    Akhir pekan itu, restoran mewah di pusat kota dipenuhi suara gelak tawa dan obrolan riuh. Ruang VIP yang biasanya digunakan untuk jamuan bisnis, kali ini dikuasai oleh sekumpulan wanita anggun bergaun elegan—para sosialita yang terbiasa hidup dalam kemewahan. Di salah satu sudut meja panjang itu, Ny. Ratna, ibu Arga, duduk dengan postur tegap dan senyum penuh percaya diri. Hari ini adalah jadwal arisan bulanan yang selalu ia nantikan. Selain sebagai ajang berkumpul, arisan ini juga menjadi arena terselubung untuk pamer status, kekayaan, dan tentu saja, menantu. “Ah, Mariam, kamu bawa menantumu ya?” tanya salah satu nyonya dengan suara manis yang penuh kepura-puraan. Seorang wanita paruh baya tersenyum lebar sambil merangkul bahu seorang perempuan muda cantik yang duduk di sebelahnya. “Iya dong! Kenalin, ini Livia, istri anak sulungku. Dia dokter spesialis kandungan. Baru buka klinik sendiri bulan lalu.” “Ohhh…” serempak para nyonya bersuara kagum. “Luar biasa!” sahut nyonya lain.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status