Share

Kutitipkan anak kita pada orang lain

Camelia dan Eugine sudah sampai di klinik terdekat, sementara Tetsu menunggu di dalam mobil.

Camelia mengalami shock tulang karena kejadian itu. Ia harus di rawat dengan intensif, jika tidak mau lukanya menjadi bengkak.

Camelia menolak keras, tidak.., Ia tidak ingin disini berlama-lama. Camelia masih ingat pada rencananya semula untuk menjemput Dira saat Derdy tidak di rumah.

"Nona.., Nona. Tapi Nona tidak bisa pergi. Nona dengarkan kata dokter, kalau Nona memaksa pergi yang ada kaki Nona akan infeksi yang bisa berakibat amputasi," ucap Eugine. Camelia bergidik kengerian. Ia tidak mau cacat, Camelia tidak ingin menyusahkan Dira lebih jauh.

Camelia jadi terdiam.

"Nah sebaiknya Nona beristirahat soal pembayaran rumah sakit ini sudah saya bayar semuanya," ujar Eugine kembali.

"Kenapa kamu sangat baik, sebenarnya apa yang kamu inginkan dari saya?" tegur Camelia. Eugine memutar bola matanya, mencari alasan. Ia hanya diminta Tetsu memastikan Camelia akan baik-baik saja, tetapi tidak mungkin juga ia mengatakan yang sejujurnya.

"Saya hanya ingin menolong Nona." Eugine memilih jawaban yang diplomatis.

Tapi Camelia menyeritkan alisnya. Sungguh ia tidak percaya di kota besar ini ada seseorang yang mau membantu sejauh ini. Camelia jadi memasang wajah serius.

"Kalau kamu mau sesuatu hal dari saya, dengan tegas saya katakan. Saya tidak bisa memberikannya," beber Camelia ingin beringsut dari brankas rumah sakit. Baru saja ujung kakinya menyentuh lantai. Camelia kembali meringis kesakitan.

Rasanya kakinya semakin sakit dari awal ia tertabrak, mungkin rasa sakit itu mulai menjalar seluruh sendinya, sedang tadi mengapa Camelia tidak merasakan sakit. Karena ia sedang diliputi rasa takut.

"Aahk..." desis Camelia sambil menggigit bibir bawahnya kuat.

"Makanya Nona tiduran saja, setidaknya sampai Nona merasa baik kan," saran Eugine.

"Kau benar, tidak akan mengambil keuntungan apapun dariku?" selidik Camelia penuh curiga. Bahkan suaminya saja sudah tidak bisa ia percaya.

Eugine tersenyum "Maaf Nona, tapi Nona bahkan tidak memiliki apapun yang bisa saya ambil," sarkas pria bertubuh tinggi itu.

Camelia mengangguk tidak ada pilihan lain selain mempercayai dan menerima kebaikan hati pria yang baru ia kenal.

Ia memilih percaya bahwa Tuhan tidak akan pernah menguji seorang hamba-Nya si luar kuasa yang bisa ia tanggung.

Di balik kepedihan yang bertubi ia masih mendapat cahaya terang berupa bantuan yang tidak terduga.

Camelia merebahkan tubuhnya, Sementara kedua kakinya sudah di perban. Di tangan kirinya terpasang selang infus karena kondisi Camelia begitu lemah ketika sampai sini. Jadi ia perlu asupan.

matanya hanya melihat ke atas, kearah tabung infus diletakkan. Tetes demi tetes jatuh memasukki selang dan berakhir meresap ke tubuhnya.

Sesaat ia merapatkan netranya lelah dengan semua telah menimpa hidupnya. Tetapi cepat ia membuka mata kembali, begitu mengingat Dira. Hatinya kembali sakit bagaimana dengan Dira, Tuhan tolong jaga anakku untukku, aku mohon. Hanya do'a tulus yang ia ucapkan untuk anaknya itu.

***

"Ibu.., Ibu.., Ibu dimana?" panggil Dira yang jadi terjaga. Ia masih berusaha mengucek matanya dengan boneka teddy di tangan.

"Ayah, Ibu mana?" tanyanya dengan suara hampir ingin menangis.

"Ibu lo udah gak ada," jawab Derdy yang sedang makan dengan kaki terangkat ke kursi.

Dira mendekat "Ibu kemana, Yah.., Ibu kemana?" jeritnya sambil menarik ujung baju Derdy. Sikapnya membuat Derdy tidak sabaran.

"Aahkk..." Derdy menghempaskan tangan Dira.

"Mending lo makan, Ayah sudah belikan ayam kesukaan Dira" Meski keji tetapi jauh di lubuk hatinya Derdy mencintai Dira. Apalagi sekarang kesadarannya sedikit kembali.

"Aku gak mau makan!" sahut Dira dengan suara sesunggukkan.

"Duh mewek lagi!" Derdy jadi membanting sendoknya ke piring.

Dira bahkan sampai berjinjit kaget, ia sadar harus menjaga sikap di depan ayahnya itu. Bahkan Dira yang masih kecil saja tahu bagaimana watak Derdy ketoka marah. "Maafin Dira, Yah.., Maaf" semakin kencanglah suara sesunggukkannya. Air mata terus keluar membasahi pipi chubbynya, meski berusaha ia tahan.

Derdy yang melihat jadi bertanya pada dirinya sendiri. Sejak kapan ia menjadi sosok yang menakutkan seperti ini. Sejak kapan monster mengusai hati dan otaknya. Hingga tega membentak Dira, putri kecilnya.

Ia ingat semula berawal dari rasa kecewanya. Alih-alih menduga dirinya mau naik jabatan. Derdy justru menjadi salah satu dari banyaknya karyawan yang di PHK.

Sembilan tahun mengabdi ternyata bukan alasan ia bisa di pertahankan. Bahkan perusahaan bisa dengan sangat mudah mencari penggantinya dalam kurun waktu satu minggu. Sedih, kecewa dan perasaan dikhianatilah yang membuat Derdy malah menyia-nyiakan hidupnya.

Tentang Camelia. Camelia adalah wanita yang ia cintai, Yah setidaknya di masa itu.

Dahulu rasa itu kuat Derdy rasakan untuk Camelia, seiring berjalannya waktu, perasaan sayangnya semakin hambar hanya meninggalkan kewajibannya sebagai seorang suami.

Baginya Camelia terlalu rapuh sebagai wanita, disaat Derdy terpuruk Camelia justru memilih ikut sibuk bekerja. Sebagai salah satu penjaga roti. Setidak-tidaknya jadi menyita waktunya dari pagi hingga sore. Sedang penghasilan yang Camelia dapatkan tak sepadan dengan jerih payah yang ia keluarkan. Hal itu membuat Derdy sesak dan perlahan membenci Camelia. Kenapa ia mau-maunya menghabiskan waktu untuk hal yang tidak ada guna. Katanya kecintaannya terhadap dunia pastry yang menjadikan Camelia ikhlas bekerja dengan upah yang sedikit. Tapi di mata Derdy itu terlalu konyol.

Camelia juga cantik, terang-terangan teman-temannya menawar Camelia untuk mereka nikmati semalam tentunya dengan bayaran fantastis

Derdy merasa terhina. Sayang ia tidak punya cukup kekuatan untuk membungkam mulut-mulut lelaki buaya tersebut.

Ia hanya bisa memilih membenci Camelia. Menyalahkan istrinya atas apa yang tidak ia lakukan. Membenci wajah itu. Wajah yang sempat membuatnya tergila-gila dan tak banyak berubah walau waktu terus berjalan. Sedang dirinya berubah lesu juga kumal karena minuman haram. Kini Dira menjadi masalah baru untuknya. Tanpa ibunya, bagaimana anak itu tumbuh?

Ahk, Derdy tahu... Ia mungkin bisa menitipkan Dira pada tetangganya.

Keesokkan harinya, Derdy menitipkan Dira ke Ulfa, teman masa sekolah Camelia. Ia mengatakan jika Camelia kabur darinya dan meninggalkan Dira. Derdy mencoba bermain peran meski sebenarnya, Ulfa tidak bisa percaya begitu saja. Ia amat mengenal Camelia, temannya. Sesusah apapun dirinya. Tidak mungkin meninggalkan Dira. Tapi ia memilih percaya karena tak ingin Dira bersama dengan ayahnya yang gila itu. Ulfa berjanji akan menjaga Dira untuk Camelia.

Derdy merasa berterima kasih kepada Ulfa. Sebelum pergi, ia menciumi kepala Dira sayang. Bagaimanapun anak itu adalah hasil buah cintanya dengan istrinya Meski sekarang, Derdy amat membenci Camelia. Ia berjanji akan memberikan balasan yang setimpal untuk wanita tidak tahu diri itu.

Dira menatap kepergian sang ayah dengan gamang. Satu sisi, ia merasa sedih tapi sisi lain. Ia cukup lega. Setelah ayahnya pergi. Dira bertanya dimana Ibunya.

"Tante, Tante tau gak ibu kemana?" Mata polosnya memperlihatkan harapan besar. Terpaksa Ulfa berbohong dengan bilang Ibunya sedang ada urusan sementara waktu.

"Jadi Dira sama Tante dulu saja. Ibu kamu bentar lagi juga pulang," tambahnya seraya menuntun Dira masuk ke rumah.

"Tapi tadi kata ayah, ibu ninggalin aku?" Wajah lugunya terlihat terluka. Ulfa terdiam, tidak disangka.., Dira mendengar dan mengerti isi percakapannya dengan Derdy tadi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status