Share

Bab 7 Restu Telah Kukantongi

Aku semakin yakin dengan keputusanku, telah kukantongi tiga restu yang paling penting. Ibu kandung, suami, serta Mama mertua. Maka aku segera mengabari Lina. Dia yang akan membantuku mempersiapkan banyak hal yang bisa diwakilkan. Kadang aku merasa heran dengan anak SMU itu, dibalik segala kesederhanaannya dia punya banyak kemampuan. Mungkin kerasnya kehidupan telah menempanya sedemikian rupa.

Siang hari suami Yani tiba. Semua menikmati hidangan di meja makan dengan disemarakkan senda gurau. Aku duduk lesehan di pojok ruangan sambil mengajak main Yusril. Tak ada yang ingat mengajakku bergabung di meja makan. Sudah biasa.

Syukurlah ternyata suami Yani berbanding terbalik dari suami Yuni. Lelaki itu terlihat ramah dan menyenangkan. Meski terlihat mapan tapi tak kudengar sekali pun dia menyombongkan dirinya. Selesai beristirahat di sore hari dia ikut ngajak main Yusril yang tengah main sama ayahnya. Terlihat dia sangat menyukai anak kecil. Mas Agi pun tampaknya lebih nyaman saat berinteraksi sama Mas Adil.

“Ade ayo dorong mobilnya ke Om, nanti Om dorong lagi ke Ade. Seperti ini caranya.” Mas Adil mengajak anakku main mobil-mobilan.

Yusril terlihat gembira sekali diajak main ayah sama om-nya. Gelak tawa lucu khas balitanya sungguh menggemaskan. Mas Agi pun ekspresinya terlihat santai, tak tegang seperti biasanya.

Mas Agi pernah bilang, saudari kembarnya sengaja menunda kehamilan. Mereka tak mau repot mengurus anak sementara masih LDR sama suami masing-masing. Kasihan Mas Adil, dia terlihat sekali menyukai anak kecil. Mungkin sebenarnya dia sudah ingin menjadi seorang ayah.

***

Sore hari Lina datang untuk meminjam KTP-ku serta persyaratan lainnya untuk keperluan menjadi TKW.

“Lin, setahu Teteh tetangga kita yang berangkat jadi TKW itu lumayan lama dan ribet prosesnya, kok ini bisa lebih cepet?”

“Beda kan, Teh. Mereka kan melalui proses tahap demi tahap. Nah, kalau Teteh ini sudah ada yang siap mempekerjakan. Calon majikan Teteh malah yang mengurus banyak hal supaya Teteh bisa cepat terbang. ” Aku hanya ngangguk-angguk mendengar penjelasan Lina. Pengetahuan baru ini.

“Maaf ya ikutan nimbrung. Teteh kamu ini nggak batal jadi TKW nya, Lin. Kami semua di sini tidak menyetujuinya.” Yuni tiba-tiba nimbrung obrolan kami.

Lina menatapku meminta penjelasan. Aku hanya diam Karena bingung mau bilang apa.

“Iya, Lin. Teteh kamu itu kan di sini posisinya numpang. Jadi ya nggak bisa pergi begitu saja seenak hati.” Yani pun ikut nimbrung.

Lina nampaknya geram dengan ucapan ipar kembarku. Aku sama mereka sama saja posisinya numpang di rumah Mama. Tapi aku kasih kode supaya adikku itu menahan emosinya dan aku akan menjelaskan sambil nganter dia keluar. Ipar kembar meninggalkan kami setelah puas mengintimidasi kami.

Saat mengantar Lina menunggu ojek aku menegaskan pembicaraan ditelpon.

“Mas Agi sama Mama sudah merestui, jadi kamu tenang saja. Teteh akan mencari cara agar mereka tak menghalangi rencana kita. Setelah salat istikharah pun teteh merasa mantap, insya Allah Dia akan memberikan jalan keluar buat teteh.”

Lina tersenyum cerah. Dia memelukku.

“Semoga rencana Teteh berjalan lancar ya.”

Setelah berbincang dengan adikku rasanya hati ini terasa lebih bahagia dan bersemangat. Tapi kok rasanya ada sisi lain yang terasa tak enak di dalam sini. Aku ingat-ingat apa kiranya hal yang mengganjal ini tapi tak kutemukan. Apakah ini sebuah firasat akan terjadi hal buruk atau hanya perasaan sesaat?

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status