LOGINKini gadis berambut kucir kuda itu terlihat diam tanpa bisa berkata-kata. Kedua matanya pun tampak setia melihat orang itu dan enggan untuk berkedip.
"Denger nggak lo apa yang gue bilang?" Arlen, sosok lelaki yang berbicara padanya itu kembali mengulang pertanyaan. Karena tampaknya si lawan bicara tidak mendengarkan.
Merza tersadar dan menggelengkan kepala pelan, "Ah? Lo..lo bilang apa tadi?" balasnya disertai wajah bingung. Namun detik berikutnya dia mengalihkan pandangan, melihat Regan yang berjalan melewatinya. Cowok itu bahkan tidak menoleh sedikitpun ke arah Merza.
Arlen mendengkus, entah menapa dia merasa kesal karena Merza masih menatap Regan dengan pandangan seperti itu. Terlihat bodoh.
Dia beralih menarik t
Satu jam yang lalu..Setelah mendapat telepon dari Darga, Regan pun langsung menelepon Merza, namun sudah berpuluh-puluh kali memanggil, gadis itu tak menjawab panggilannya. Regan bahkan sudah mendatangi rumah gadis itu, namun tidak ada siapa-siapa di sana.Karena dia tak kunjung ada kabar, Regan akhirnya meminta bantuan pada Davin untuk melacak sinyal ponsel gadis itu. Dengan begitu dia bisa mengetahui keberadaan Merza.Kini Regan tengah berada di rumah sakit, menjenguk Ghea sekaligus menemui Darga, karena ada hal penting yang ingin dia sampaikan."Apa?!" kaget lelaki yang duduk tepat di depan Regan. Dia terlihat tak percaya saat mengetahui siapa dalang dari kasus pembunuhan Melva.
Langkah kecil itu menyusuri lorong rumah sakit dengan wajah sendu. Merza tidak tahu apa yang akan dia lakukan setelah ini, hidupnya terasa benar-benar kosong. Perasaan sedih, marah, dan menyesal itu berkumpul menjadi satu.Kakinya berhenti tepat di pintu ruang rawat Ghea, dia berulang kali menarik napas dalam, sebelum akhirnya melangkah masuk. Melihat jika gadis itu masih memejamkan matanya, membuat Merza ingin membalas perbuatan manusia sialan yang membuat keadaan Ghea seperti ini.Perlahan dia berjalan mendekat, lalu menarik satu kursi dan duduk tepat di samping tubuh Ghea."Lo kapan sadar? Kenapa lama banget? Gue pengin cerita banyak hal sama lo," ucap Merza, pandangannya mulai mengabur. Dia selalu menceritakan hal apapun pada Ghea, karena hanya gadis ini yang tidak p
Merza berlari keluar dari taksi dan melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan wajah sembab. Air matanya terus mengalir, tak kuasa membendung sesak pada dadanya setelah mengetahui semua itu."Merza, udah ma--," ucapan Seina terhenti saat melihat Merza menangis, gadis itu berhenti melangkah dan menoleh ke arahnya."Mama udah tau, kan?" Seina meletakkan majalahnya di atas meja, lalu kemudian berdiri dan berjalan mendekat ke arah Merza."Maksudnya?"Merza tertawa sumbang, dia menghapus kasar jejak air matanya, "Kak Melva meninggal bukan karena kecelakaan. Tapi dibunuh. Mama udah tau, kan?" tanya Merza, menatap Mamanya sendu. Dia bahkan berharap jika Mamanya tidak tahu apa-apa, namun sayangnya ekspresi wajah yang terlihat
Dalam ruangan bernuansa putih itu terdapat seorang gadis yang tengah memejamkan kedua matanya dengan damai. Sudah dua hari semenjak berada di rumah sakit, hingga detik ini Ghea belum juga membuka matanya.Olive, perempuan itu baru saja diperbolehkan pulang dari rumah sakit, namun siapa sangka? Jika Ghea dirawat di rumah sakit yang sama dengannya.Gadis itu berdiri diambang pintu, hanya menatap Ghea tanpa berniat untuk melangkah mendekat. Sedangkan seseorang disampingnya juga melakukan hal yang sama."Tante nggak masuk?" tanya Olive, dibalas dengan decihan sinis oleh wanita yang tak lain adalah Ibu kandung Ghea itu."Nggak penting," jawabnya lalu berbalik dan bertanya pada seorang yang baru saja lewat di depann
Sejujurnya, Merza merasa sedikit aneh karena Ghea memilih tempat ini untuk mereka bertemu. Bengkel mobil yang terlihat tak terawat. Banyak mobil bekas yang tersusun di samping bangunannya, dan sekarang Merza bingung mengapa Ghea bisa mengetahui tempat ini.Perempuan yang mengenakan atasan rajut berwarna ungu lavender itu pun melangkahkan kakinya melewati pagar besi yang sudah berkarat.Sepatusneakersputihnya menyusuri jalanan yang terdapat banyak batu krikil. Lalu setelah tiba di depan sebuah pintu kayu yang tertutup rapat, Merza pun membukanya. Dia refleks menutup hidung dan mengibaskan tangan didepan wajah karena debu dari ruangan gelap itu."Ghe?""Ghea?"
Seperti yang sudah dibicarakan lewat sambungan telepon kemarin, pagi ini tepatnya di Daceloz Coffee, Grace duduk di teras kafe sambil menikmati secangkir teh chamomile. Sudut bibirnya tertarik ke atas kala melihat Regan yang baru saja turun dari mobilnya. Lelaki itu pun berjalan menuju meja Grace dan duduk tepat di depan gadis itu."Gue masih ada urusan, jadi to the point. Apa hubungan lo sama pemilik perusaahan blue moon itu?"Grace membalasnya dengan tersenyum kecil, ternyata benar, Regan bukan tipikal orang yang suka berbasa-basi.Perempuan yang mengenakan crop top maroon dilapisi leather jaket itu pun mulai mengingat kali pertamanya bertemu dengan CEO Blue Moon Company, Imanuel Alexander."Gue sama Pak Alex nggak ada hubungan keluarga. Tapi dia udah gue anggap kayak bokap gue sendiri."Grace menghela napas panjang, "Waktu gue liburan di Sydney beberapa tahun yang lalu, di deket hotel gue ada kecelakaan. Tabrak lari. Dan korbannya itu Pak Alex. Pas kejadian gue ikut ke rumah sakit







