공유

Harapan Baru

작가: Falisha Ashia
last update 최신 업데이트: 2025-04-22 11:11:31

Rajendra duduk bersandar di dinding kayu rumah. Di tangannya masih tersisa aroma tanah dari sore yang panjang di hutan.

Rajendra memejamkan mata sejenak, membayangkan biji-biji gandum itu digiling menjadi tepung putih halus, lalu diolah menjadi roti hangat yang mengepul di pagi hari.

“Yang Mulia,” suara lembut itu membuyarkan lamunannya.

Kirana bersimpuh di ambang pintu kamar, tubuhnya dibalut kain tipis tidur yang sederhana. Rambutnya terurai, dan di bawah cahaya pelita, wajahnya tampak tenang. Namun ada sesuatu di dalamnya. Ada kecemasan yang disembunyikan.

“Ayo tidur. Ini sudah malam,” ucap Kirana, pelan dan lembut.

Rajendra membuka mata. Tatapannya bertemu mata Kirana. Jantungnya berdetak, cepat dan tak karuan.

Ia mengalihkan pandangan. “Sebentar lagi.”

Kirana menatap wajah Rajendra. Dia ingin mengajak suaminya lagi untuk tidur, namun Ranjani berdiri di belakangnya dan menyahut tajam.

“Sudahlah, Kirana. Jangan paksa Yang Mulia tidur kalau dia tak ingin. Biarkan saja mau tidur atau tidak. Lebih baik kita saja yang tidur lebih dulu,” kata Ranjani. Nada suaranya bukan sekadar dingin, tapi seperti pisau yang baru diasah.

Rajendra menoleh cepat.

Kirana menarik tangan Ranjani dengan lembut. “Jangan bicara seperti itu.”

“Aku hanya mengatakan sesuatu yang benar,” gumam Ranjani dengan kesal. “jika Yang Mulia ingin begadang, biarkan saja. Jangan terlalu dalam ikut campur. Kita hanyalah wanita pemuasnya saja.”

Rajendra menatap keduanya, lalu menghela napas panjang. Dia pun bertanya-tanya dalam hati, dosa apa yang sudah dia perbuat sehingga Ranjani begitu benci kepadanya padahal dia adalah suaminya.

“Kalian tidur saja duluan. Aku akan menyusul nanti.”

Kirana mengangguk, masih menahan lengan Ranjani agar tak meledak lebih jauh. Dia kemudian berdiri dan melangkah masuk ke dalam kamar dengan pelan.

Di ruangan tengah ada Surapati yang duduk di samping Rajendra. Ada pula Tama, Jati, dan dua prajurit lain yang belum tertidur. Beberapa lainnya sudah terlelap di sudut ruangan, hanya beralaskan jerami dan jubah usang.

“Yang Mulia,” suara Surapati pelan namun jelas. “besok, apa yang perlu kami siapkan? Aku ingin tahu agar aku bisa mengatur orang-orang.”

Rajendra tidak langsung menjawab. Ia menoleh pada Jati.

“Apa kamu punya wajan?”

Jati mengerutkan kening, bingung. “Wajan? Apa itu, Yang Mulia?”

“Alat untuk memasak. Biasanya dibuat dari logam bundar. Untuk menggoreng,” jelas Rajendra.

Jati terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Oh … mungkin maksudnya batu pipih yang biasa kami gunakan untuk menggoreng daging di atas api. Kalau itu, ada Yang Mulia.”

“Bagus,” ujar Rajendra, lalu menambahkan, “kalau ulekan? Ada”

Jati semakin bingung. “Ulekan? Apa lagi?”

“Alat untuk menumbuk. Terbuat dari batu atau kayu. Untuk menghancurkan biji atau rempah,” jelas Rajendra lagi.

Jati berpikir sebentar. “Kalau lesung dan alu, kami punya. Untuk menumbuk padi.”

“Baik. Itu bisa digunakan,” kata Rajendra sambil mengangguk.

Tama ikut angkat bicara, “Apa Yang Mulia akan mencoba membuat roti besok?”

“Tidak langsung. Aku ingin membuat tepungnya dulu,” jawab Rajendra. “setelah membuat tepung, barulah membuat roti. Sebab, roti terbuat dari tepung.”

Jati tersenyum ragu. Lalu dia bertanya, “Roti itu, seperti apa, Yang Mulia?”

“Makanan padat yang terbuat dari tepung gandum. Bisa dibawa ke mana saja. Bisa tahan lama. Dan jika kita buat dalam jumlah besar, bisa kita dijual untuk menghasilkan uang. Harga jualnya tinggi, kita bisa bangun kerajaan,” terang Rajendra.

Mata para prajurit mulai bersinar. Kata “jual”, “harga tinggi” dan “bangun kerajaan” seperti api kecil yang membakar bara harapan mereka.

Surapati menatap Rajendra serius. “Apa Yang Mulia yakin kita bisa melakukannya di desa ini? Desa ini terpencil dan jauh dari pusat kota. Entah itu pusat kota kerajaan Angkara atau kerajaan Bharaloka.”

Rajendra menatap keluar jendela kecil, menatap langit malam yang dipenuhi bintang.

“Justru karena desa ini terpencil, aku yakin melakukannya di sini. Tapi untuk menjualnya, kita bisa pasarkan di pusat kota,” jawab Rajendra dengan penuh percaya diri.

Semuanya kini yakin dengan Rajendra. Meski belum bisa membayangkannya, namun melihat semangat dan kepercayaan diri dari pemimpin, mereka pun optimis.

Setelah obrolan yang cukup panjang dan berat, Surapati berkata,.“Sudah larut, Yang Mulia. Tidurlah agar besok dalam kondisi prima.”

Saran itu terdengar wajar. Tapi bagi Rajendra, itu terdengar seperti saran keburukan. Ia menelan ludah. Jantungnya berdetak tidak wajar.

Tidur? Dengan dua istrinya? Di kamar sempit iti?

Namun kemudian Rajendra mengangguk pelan, berdiri dengan gerakan datar agar tidak terlalu mencolok jika dia takut tidur bersama istrinya.

Rajendra membuka pintu kayu dengan perlahan. Cahaya temaram dari lampu minyak di pojokan membuat ruangan itu terasa hangat dan penuh bayangan samar. Kasur tipis dari anyaman bambu terletak di lantai. Di sana, kedua istrinya sudah terlelap.

Ranjani berada di sisi pinggir, membelakangi ruang masuk. Selimutnya rapat menutupi hingga ke leher, seperti benteng terakhir yang tidak ingin disentuh.

Sementara itu, Kirana berbeda.

Selimutnya sudah tersingkap hingga ke pinggul. Kain tipis yang dikenakan merosot naik, dan memamerkan pahanya yang putih dan terbuka lebar. Kakinya sedikit ditekuk, membuat pose tidurnya tampak polos namun juga menggoda.

Rajendra membeku di tempat. Ia menelan saliva keras-keras, dan jantungnya berdetak semakin cepat.

Ia berlutut perlahan, naik ke atas kasur bambu itu seperti sedang mendekati medan perang yang dipenuhi ranjau. Ia tidak ingin membuat suara sekecil apa pun karena tidak ingin membangunkan kedua istrinya.

Dengan tangan gemetar, ia meraih selimut dan menutup tubuh Kirana dengan hati-hati. Gerakannya lambat dan penuh kendali.

Tapi ternyata tidak cukup untuk membuat Kirana tetap terlelap. Wanita itu terbangun.

Kirana tidak tersentak juga tidak terkejut. Dia hanya membuka mata dengan tatapan sadar sepenuhnya.

Dulu saat masih tinggal di istana Bharaloka, Rajendra yang dulu pernah menyeret Kirana keluar kamar karena dia tidak bangun ketika dipanggil. Malam itu, Kirana dihukum. Diperlakukan keras. Dipaksa menyadari bahwa menjadi istri seorang pangeran bukan hanya tentang cinta, tapi juga kesiapan melayani dalam keadaan apa pun.

Sejak malam itu, Kirana mengunci semua indranya saat tidur. Bahkan jika hanya ujung jari Rajendra menyentuhnya, tubuhnya akan terjaga.

Kini, mata itu memandang Rajendra dalam diam. Tanpa senyum, tanpa marah. Rajendra tidak bergerak.

“Yang Mulia…”

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Dahana Bergerak Tanpa Suara

    "Baik, Yang Mulia, saya akan melaksanakan sesuai dengan perintah," ucap Surapati, mengangguk tegas, wajahnya menunjukkan keseriusan dan loyalitas.Rajendra mengangguk. Setelah itu, Rajendra kembali ke rumahnya, sementara Surapati segera bergerak, mengumpulkan pasukannya.Di depan pos keamanan, Surapati menyampaikan apa yang dikatakan oleh Pangeran Rajendra. Suasana mendadak menjadi tegang. Para prajurit mendengarkan dengan saksama, mata mereka memancarkan kewaspadaan yang baru."Mulai sekarang," kata Surapati, suaranya lantang, "kita akan meningkatkan patroli dan penjagaan di seluruh desa. Kita akan membagi kelompok menjadi tiga, masing-masing terdiri dari dua orang. Ini adalah strategi baru dari Yang Mulia untuk memastikan keamanan maksimal."Ia kemudian menjelaskan sistem rotasi yang rumit namun efektif. "Kelompok pertama akan ditempatkan di pos depan, dekat gapura. Kelompok kedua di pos belakang desa, di area hutan yang rawan. Lalu, kelompok ketiga akan terus berkeliling desa, berp

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Tantangan Besar

    Asmaran mengerutkan keningnya, ekspresi bingung terlihat jelas di wajahnya yang berminyak karena keringat. Permintaan Rajendra tentang anak panah dari besi bisa dia buat, tetapi ide "pelontar sebagai pengganti busur panah" benar-benar di luar nalar dan pengetahuannya sebagai pandai besi."Untuk anak panah dari besi, saya sudah menguasainya, Yang Mulia," ucap Asmaran, suaranya terdengar ragu. "tapi untuk yang dimaksud Yang Mulia, pengganti busur panah itu, saya belum paham sama sekali. Bagaimana bentuknya dan bagaimana mekanismenya?"Rajendra tersenyum tipis. Ini adalah momen yang ia tunggu-tunggu, kesempatan untuk memperkenalkan teknologi dari dunianya. Ia melirik sekeliling, matanya menangkap bongkahan arang dan potongan kayu berdiameter sekitar satu meter yang tergeletak di dekat tumpukan besi."Asmaran, kemarilah," ucap Rajendra, menunjuk ke arah potongan kayu besar itu. "aku akan mencoba menjelaskannya dengan cara yang paling mudah kau pahami."Asmaran segera mendekat, rasa ingin

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Peralatan Perang Baru

    Rajendra melangkah lebih jauh, menembus kerapatan hutan bambu yang rimbun di luar batas desa. Semakin dalam ia masuk, semakin aneh.Perasaan tidak enak, aura dingin yang menusuk, kegelisahan yang tadi menyelimuti hatinya, perlahan mulai memudar. Sebuah kelegaan kecil menyelimuti dirinya, namun juga memicu pemikiran baru."Perasaan itu ... sepertinya hanya ada di dalam desa," gumamnya, langkahnya melambat.Ia menyadari, jika ada sesuatu yang akan terjadi, atau seseorang dengan niat jahat, ia pasti berada di dalam desa Gunung Jaran."Jadi, bahaya itu ada di sana," pikirnya.Rajendra memutuskan jika dia tidak akan berlama-lama di tempat Asmaran. Ia harus menyelesaikan urusannya dengan cepat dan kembali ke desa.Ia pun mempercepat langkahnya lagi. Tak berapa lama, ia tiba di gubuk kecil tempat Asmaran tinggal. Bau asap dan logam terbakar menyeruak, aroma khas seorang pandai besi sejati.Asmaran terlihat sedang menempa besi dengan palu besar, percikan api beterbangan di sekelilingnya. Namu

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Bosan Dengan Metode Latihan

    Setelah mendapat perintah dari ayahnya, wanita itu pun langsung menyiapkan ramuan penyembuhan Dewa.30 menit kemudian Bastian selesai melakukan gerakan-gerakan yang diberikan oleh Lee sesuai dengan durasi yang dibatasi oleh pria tua itu."Bagaimana, apakah ada sesuatu yang kamu rasakan di dalam dirimu?" tanya Lee ketika Bastian baru saya duduk di sampingnya.Lantai yang dingin itu biasanya tidak terasa dingin oleh Bastian setelah latihan, namun saat ini ini entah kenapa lantai itu terasa lebih dingin."Aku merasa tubuhku menjadi lebih enteng. Tapi sebenarnya aku menginginkan latihan yang berat. Paling nggak seperti latihan pertama kali yang mengangkat beban air," ucap Bastian yang merasa kurang dengan latihan yang diberikan.Lee mengangkat kedua alisnya seraya bertanya, "Kenapa? Apa kamu nggak puas dengan latihan sekarang?""Aku tidak berkeringat sama sekali, menurutku ini tidak seperti latihan. Lebih tepatnya seperti meditasi," jawab Bastian.Mungkin Bastian lupa dengan perkataan dar

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Kemampuan Hebat Ranjani

    Siang itu, di rumah Rajendra, suasana penuh euforia. Penjualan roti berlangsung dengan cepat, bahkan lebih cepat dari dugaan, meskipun jumlah roti yang dibuat telah meningkat dua kali lipat.Keuntungan hari ini membuat senyum lebar tak lepas dari bibir Rajendra. Angka-angka di buku catatannya melonjak tajam, menunjukkan potensi bisnis yang luar biasa.Di kepala Rajendra, sudah terbentuk beberapa rencana strategis. Yang pertama, dan yang paling penting, adalah membagi keuntungan ini. Ia tidak akan mengambil semuanya sendiri."Ini semua berkat kerja keras kita semua," gumam Ranenda pelan, memandangi tumpukan koin perak di hadapannya. "yang pertama, kita harus membagi keuntungan kepada kedua istriku, Jati, Tama, Surapati, dan para prajurit yang lain. Namun, yang paling banyak tentu saja Jati, karena dia adalah orang yang paling penting di dapur, dialah yang mengurus produksi harian."Tak lama kemudian, Kirana menghampiri Rajendra, matanya berbinar melihat senyum suaminya."Sepertinya har

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Sebuah Kecerobohan

    Rajendra menatap Raras dengan tatapan serius namun lembut. Ia sadar, ini adalah peluang besar, sebuah gerbang menuju perluasan pasar yang tak terbayangkan sebelumnya."Nyai Raras," ucap Rajendra, suaranya tenang, "bolehkah Nyai ke samping sebentar? Ada yang ingin saya bicarakan empat mata dengan Nyai, terkait pembelian roti ini."Raras awalnya bingung. Wajahnya menunjukkan campuran rasa takut dan penasaran.Apakah ia melakukan kesalahan? Apakah Rajendra akan memarahinya karena berniat menjual roti di desa lain? Jantungnya berdebar kencang."Tuan ... apakah ada masalah?" tanya Raras, suaranya sedikit gemetar.Rajendra tersenyum tipis, menenangkan. "Tidak, Nyai, tidak ada masalah sama sekali. Justru, mungkin ada sesuatu yang menguntungkan untuk Nyai.”Mendengar kata "menguntungkan", keraguan di hati Raras perlahan sirna. Ia mengangguk, sedikit lega."Baiklah, Tuan," kata Raras.Rajendra pun membawa Raras ke samping rumah, dekat pintu dapur, sedikit menjauh dari keramaian antrean pembeli

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status