Rajendra duduk bersandar di dinding kayu rumah. Di tangannya masih tersisa aroma tanah dari sore yang panjang di hutan.
Rajendra memejamkan mata sejenak, membayangkan biji-biji gandum itu digiling menjadi tepung putih halus, lalu diolah menjadi roti hangat yang mengepul di pagi hari. “Yang Mulia,” suara lembut itu membuyarkan lamunannya. Kirana bersimpuh di ambang pintu kamar, tubuhnya dibalut kain tipis tidur yang sederhana. Rambutnya terurai, dan di bawah cahaya pelita, wajahnya tampak tenang. Namun ada sesuatu di dalamnya. Ada kecemasan yang disembunyikan. “Ayo tidur. Ini sudah malam,” ucap Kirana, pelan dan lembut. Rajendra membuka mata. Tatapannya bertemu mata Kirana. Jantungnya berdetak, cepat dan tak karuan. Ia mengalihkan pandangan. “Sebentar lagi.” Kirana menatap wajah Rajendra. Dia ingin mengajak suaminya lagi untuk tidur, namun Ranjani berdiri di belakangnya dan menyahut tajam. “Sudahlah, Kirana. Jangan paksa Yang Mulia tidur kalau dia tak ingin. Biarkan saja mau tidur atau tidak. Lebih baik kita saja yang tidur lebih dulu,” kata Ranjani. Nada suaranya bukan sekadar dingin, tapi seperti pisau yang baru diasah. Rajendra menoleh cepat. Kirana menarik tangan Ranjani dengan lembut. “Jangan bicara seperti itu.” “Aku hanya mengatakan sesuatu yang benar,” gumam Ranjani dengan kesal. “jika Yang Mulia ingin begadang, biarkan saja. Jangan terlalu dalam ikut campur. Kita hanyalah wanita pemuasnya saja.” Rajendra menatap keduanya, lalu menghela napas panjang. Dia pun bertanya-tanya dalam hati, dosa apa yang sudah dia perbuat sehingga Ranjani begitu benci kepadanya padahal dia adalah suaminya. “Kalian tidur saja duluan. Aku akan menyusul nanti.” Kirana mengangguk, masih menahan lengan Ranjani agar tak meledak lebih jauh. Dia kemudian berdiri dan melangkah masuk ke dalam kamar dengan pelan. Di ruangan tengah ada Surapati yang duduk di samping Rajendra. Ada pula Tama, Jati, dan dua prajurit lain yang belum tertidur. Beberapa lainnya sudah terlelap di sudut ruangan, hanya beralaskan jerami dan jubah usang. “Yang Mulia,” suara Surapati pelan namun jelas. “besok, apa yang perlu kami siapkan? Aku ingin tahu agar aku bisa mengatur orang-orang.” Rajendra tidak langsung menjawab. Ia menoleh pada Jati. “Apa kamu punya wajan?” Jati mengerutkan kening, bingung. “Wajan? Apa itu, Yang Mulia?” “Alat untuk memasak. Biasanya dibuat dari logam bundar. Untuk menggoreng,” jelas Rajendra. Jati terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Oh … mungkin maksudnya batu pipih yang biasa kami gunakan untuk menggoreng daging di atas api. Kalau itu, ada Yang Mulia.” “Bagus,” ujar Rajendra, lalu menambahkan, “kalau ulekan? Ada” Jati semakin bingung. “Ulekan? Apa lagi?” “Alat untuk menumbuk. Terbuat dari batu atau kayu. Untuk menghancurkan biji atau rempah,” jelas Rajendra lagi. Jati berpikir sebentar. “Kalau lesung dan alu, kami punya. Untuk menumbuk padi.” “Baik. Itu bisa digunakan,” kata Rajendra sambil mengangguk. Tama ikut angkat bicara, “Apa Yang Mulia akan mencoba membuat roti besok?” “Tidak langsung. Aku ingin membuat tepungnya dulu,” jawab Rajendra. “setelah membuat tepung, barulah membuat roti. Sebab, roti terbuat dari tepung.” Jati tersenyum ragu. Lalu dia bertanya, “Roti itu, seperti apa, Yang Mulia?” “Makanan padat yang terbuat dari tepung gandum. Bisa dibawa ke mana saja. Bisa tahan lama. Dan jika kita buat dalam jumlah besar, bisa kita dijual untuk menghasilkan uang. Harga jualnya tinggi, kita bisa bangun kerajaan,” terang Rajendra. Mata para prajurit mulai bersinar. Kata “jual”, “harga tinggi” dan “bangun kerajaan” seperti api kecil yang membakar bara harapan mereka. Surapati menatap Rajendra serius. “Apa Yang Mulia yakin kita bisa melakukannya di desa ini? Desa ini terpencil dan jauh dari pusat kota. Entah itu pusat kota kerajaan Angkara atau kerajaan Bharaloka.” Rajendra menatap keluar jendela kecil, menatap langit malam yang dipenuhi bintang. “Justru karena desa ini terpencil, aku yakin melakukannya di sini. Tapi untuk menjualnya, kita bisa pasarkan di pusat kota,” jawab Rajendra dengan penuh percaya diri. Semuanya kini yakin dengan Rajendra. Meski belum bisa membayangkannya, namun melihat semangat dan kepercayaan diri dari pemimpin, mereka pun optimis. Setelah obrolan yang cukup panjang dan berat, Surapati berkata,.“Sudah larut, Yang Mulia. Tidurlah agar besok dalam kondisi prima.” Saran itu terdengar wajar. Tapi bagi Rajendra, itu terdengar seperti saran keburukan. Ia menelan ludah. Jantungnya berdetak tidak wajar. Tidur? Dengan dua istrinya? Di kamar sempit iti? Namun kemudian Rajendra mengangguk pelan, berdiri dengan gerakan datar agar tidak terlalu mencolok jika dia takut tidur bersama istrinya. Rajendra membuka pintu kayu dengan perlahan. Cahaya temaram dari lampu minyak di pojokan membuat ruangan itu terasa hangat dan penuh bayangan samar. Kasur tipis dari anyaman bambu terletak di lantai. Di sana, kedua istrinya sudah terlelap. Ranjani berada di sisi pinggir, membelakangi ruang masuk. Selimutnya rapat menutupi hingga ke leher, seperti benteng terakhir yang tidak ingin disentuh. Sementara itu, Kirana berbeda. Selimutnya sudah tersingkap hingga ke pinggul. Kain tipis yang dikenakan merosot naik, dan memamerkan pahanya yang putih dan terbuka lebar. Kakinya sedikit ditekuk, membuat pose tidurnya tampak polos namun juga menggoda. Rajendra membeku di tempat. Ia menelan saliva keras-keras, dan jantungnya berdetak semakin cepat. Ia berlutut perlahan, naik ke atas kasur bambu itu seperti sedang mendekati medan perang yang dipenuhi ranjau. Ia tidak ingin membuat suara sekecil apa pun karena tidak ingin membangunkan kedua istrinya. Dengan tangan gemetar, ia meraih selimut dan menutup tubuh Kirana dengan hati-hati. Gerakannya lambat dan penuh kendali. Tapi ternyata tidak cukup untuk membuat Kirana tetap terlelap. Wanita itu terbangun. Kirana tidak tersentak juga tidak terkejut. Dia hanya membuka mata dengan tatapan sadar sepenuhnya. Dulu saat masih tinggal di istana Bharaloka, Rajendra yang dulu pernah menyeret Kirana keluar kamar karena dia tidak bangun ketika dipanggil. Malam itu, Kirana dihukum. Diperlakukan keras. Dipaksa menyadari bahwa menjadi istri seorang pangeran bukan hanya tentang cinta, tapi juga kesiapan melayani dalam keadaan apa pun. Sejak malam itu, Kirana mengunci semua indranya saat tidur. Bahkan jika hanya ujung jari Rajendra menyentuhnya, tubuhnya akan terjaga. Kini, mata itu memandang Rajendra dalam diam. Tanpa senyum, tanpa marah. Rajendra tidak bergerak. “Yang Mulia…”Raja Wicaksana tersentak di kursinya, tatapannya terpaku pada pintu kayu yang baru saja menelan dua pengawal terakhirnya. Pikirannya dipenuhi gambaran efisiensi iblis Rajendra.“Bodoh!” geram Raja Wicaksana, suaranya parau, dipenuhi rasa frustrasi dan teror yang mematikan. “Mereka mencari ke mana?! Rajendra ada di sini! Di Istana! Dia ada di luar pintu ini! Aku dikepung!”Baru saja kalimat itu keluar dari mulutnya, Rajendra mengirimkan pesan yang jauh lebih mengerikan dari sekadar teriakan.BRRUUUUK!Sebuah benda tumpul dan berat dilempar keras ke lantai menara. Benda itu menggelinding ke depan Raja Wicaksana yang sedang duduk.Raja Wicaksana menatap benda itu dengan mata melebar. Itu adalah kepala manusia. Wajahnya sangat ia kenal—itu adalah kepala pengawal yang baru keluar tadi untuk memeriksa! Wajahnya kaku dengan ekspresi ketakutan yang abadi, matanya terbuka lebar seolah melihat neraka sebelum mati.Raja Wicaksana menjerit. Teriakan itu bukan teriakan Raja, tetapi jeritan ngeri s
Tama tersenyum lebar. Keputusan Rajendra untuk berbalik dan menggunakan pasukan pengejar sebagai perisai adalah strategi yang brilian, menghidupkan kembali harapan dan optimisme di tengah tim kecil itu.“Itu benar, Yang Mulia,” kata Tama, suaranya dipenuhi semangat yang membara. “Kita akan menjadi pemburu Raja. Bukankah ini jauh lebih menyenangkan daripada melarikan diri seperti tikus?”Ekspresi optimis terpancar di wajah Tama. Ia sangat percaya diri bahwa momen balas dendam terhadap Raja Wicaksana akan segera tiba. Bahkan, di dalam hatinya yang paling dalam, Tama telah bersumpah:Jika Yang Mulia Rajendra ragu untuk mengambil nyawa tiran itu, aku sendiri yang akan melakukannya. Kehormatan Putri Ayana adalah kehormatan seluruh pasukan Rajendra!Surapati mendekat, pandangannya dingin dan fokus. “Kita bergerak sekarang, Yang Mulia?” tanyanya. “Kita lewat jalur belakang. Jika masih ada kelompok kecil yang tertinggal di belakang, kita habisi saja satu per satu. Kita harus membuat jalan yan
Kemarahan Rajendra menular. Bukan hanya urat di lehernya yang menegang, tetapi juga suasana di sekitar mereka. Kata-kata Ayana tentang pemukulan itu adalah minyak yang disiramkan ke api kebencian yang sudah membara.Bukan hanya Rajendra dan Ranjani yang tersulut. Tama yang mendengarkan di belakang ikut mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Surapati, meskipun wajahnya kaku, matanya berkilat mematikan.Bahkan Sarno, bocah jalanan yang baru beberapa jam mengenal mereka, ikut merasakan amarah yang sama. Ia melihat bagaimana seorang wanita bangsawan diperlakukan seperti pengemis, sama hinanya dengan ibunya yang sakit di rumah.“Aku tidak terima!” geram Tama, maju selangkah. “Kalau mau kembali lagi, masih keburu, Yang Mulia! Raja Wicaksana pasti masih lumpuh dan terikat di Menara! Kalau mau, kita bergerak sekarang dan habisi dia!”“Ya, saya akan mengantarnya agar bisa lebih cepat sampai!” seru Sarno, matanya dipenuhi tekad balas dendam. “Saya tahu jalan yang lebih cepat dari Jalan Naga Bu
Suara alarm Istana yang menggelegar kini terdengar jauh, tertelan oleh labirin permukiman padat di pinggiran Kerajaan Widyaloka. Udara subuh terasa dingin di kulit, namun adrenalin dalam darah mereka membuatnya terasa seperti api.Rajendra merangkul Ayana, tubuhnya yang lemah bersandar erat padanya. Sarno memimpin jalan dengan kecepatan dan keahlian yang mengagumkan, sementara Surapati dan Ranjani menjaga bagian belakang, mata mereka tajam mengawasi setiap gang yang mereka lewati.Setelah berlari beberapa ratus meter dari area kumuh, Sarno berbelok tajam ke sebuah jalan setapak yang dikelilingi kebun kecil. Jalanan ini mulai ramai dengan warga yang bersiap pergi ke pasar.“Berhenti!” seru Rajendra tiba-tiba.Semuanya langsung berhenti, menatap Rajendra dengan bingung. Sarno bahkan tersentak, mengira ada pengejar.“Ada apa, Yang Mulia?” tanya Ranjani, tangannya memegang gagang pedang.Rajendra melepaskan pelukannya pada Ayana sejenak, mengambil napas dalam-dalam.“Kita sudah berada di
Mereka bersembunyi di sudut gelap lantai dua menara yang kosong, tepat di seberang Pintu Besi yang mengunci Ayana. Lantai di bawah mereka menyimpan Kapten Wasesa dan beberapa pengawal elit yang terikat dan dibungkam, umpan yang siap dimakan.“Dia datang,” bisik Ranjani, matanya yang tajam melihat pantulan cahaya obor yang bergerak cepat di halaman luar.Detik-detik berikutnya terasa seperti berjam-jam. Mereka mendengar langkah kaki yang berirama, semakin mendekat, bersamaan dengan suara denting logam yang familier.“Siapkan diri,” Rajendra mengeluarkan perintahnya, suaranya serak namun tegas.Ia menggenggam erat pedangnya, sementara tangan kirinya sudah merogoh saku, memastikan Kunci Besi pertama aman. “Ingat rencana: fokus utama adalah kunci... kunci kedua yang ada di tangan Raja Wicaksana.”Suara derit pintu kayu lantai dasar memecah keheningan. Raja Wicaksana telah masuk.Langkah kaki yang mantap, berwibawa, namun juga menunjukkan urgensi, terdengar menaiki tangga kayu yang tua. Ta
Rajendra tidak memberikan waktu bagi Kapten Wasesa untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan. Teriakan Kapten Wasesa yang keras itu adalah peringatan yang bisa menarik perhatian, dan Rajendra tidak akan membiarkan itu terjadi.“Sekarang!” teriak Rajendra.Kapten Wasesa melompat maju, pedangnya memancarkan kilatan perak. Dia kuat, didukung oleh pelatihan keras Naga Merah khas Widyaloka, tetapi gerakannya lambat dan terprediksi di mata Rajendra.Di mata Rajendra—atau lebih tepatnya, Raka—mantan perwira polisi dari dunia modern, gerakan Kapten Wasesa hanyalah pola yang sudah usang. Rajendra bergerak menggunakan insting bela diri modern yang dilatih untuk melumpuhkan target secepat mungkin.BUUK!Rajendra tidak menggunakan pedang. Ia menggunakan tangan kosong. Ia merunduk di bawah ayunan pedang Kapten Wasesa, menangkis bilah itu dengan sarung lengan, dan melancarkan pukulan siku cepat ke ulu hati Kapten Wasesa.Kapten Wasesa terhuyung. Sebelum ia bisa bernapas, Rajendra sudah ada di belaka