Share

Tanah Yang Diklaim

Author: Falisha Ashia
last update Last Updated: 2025-04-21 18:59:17

Desingan tajam anak panah yang meluncur ke arah Rajendra seolah menghentikan waktu. Semua yang melihat hanya bisa mematung, menyaksikan maut mendekat dalam garis lurus yang sempurna menuju jantung sang pangeran.

Namun mereka salah.

Sebuah gerakan cepat yang hampir tak terlihat, dilakukan oleh Rajendra. Dengan satu tangan, dia meraih anak panah itu di udara, menggenggamnya kuat sebelum ujungnya sempat menyentuh kulitnya.

Suasana hutan mendadak sunyi. Bahkan angin pun seolah berhenti berhembus.

Rajendra melempar anak panah itu ke tanah, matanya menyala dengan amarah. “Sialan! Siapa kau? Keluar jika berani!” teriaknya.

“Lindungi Yang Mulia!” pekik Tama.

Prajurit yang lain langsung membentuk formasi defensif, membentuk lingkaran dengan pedang terhunus dan busur yang siap melesat, menjaga Rajendra di tengah-tengah mereka.

Namun Rajendra juga tidak lengah. Matanya menyisir semak-semak, mengamati setiap gerakan dedaunan dengan ketajaman seekor elang.

Dari balik semak, dua orang pria melangkah keluar perlahan. Yang satu membawa busur panjang berukir motif kepala ular, sementara yang satunya lagi menenteng tombak dengan hiasan kain merah di pangkalnya.

Rajendra menatap tajam. “Siapa kalian?”

Pria dengan busur tersenyum kecil. Wajahnya tirus, rambut panjang dikepang ke belakang, auranya tenang namun tajam seperti senjatanya.

“Namaku Aghara,” katanya ringan. “dan ini saudara lelakiku, Bagala.”

Bagala yang membawa tombak menatap Rajendra tanpa gentar. “Kalian terlalu berisik. Kalian mengganggu ketenangan wilayah kami.”

Rajendra mengerutkan dahi. “Wilayah kalian?”

Aghara mengangguk, lalu menunjuk ke sekeliling hutan dengan ujung busurnya. “Hutan ini milik keluarga kami sejak tiga generasi. Tidak ada yang boleh berburu di sini tanpa izin.”

Tama maju setengah langkah. “Omong kosong! Ini hutan liar! Tak ada yang memilikinya!”

Bagala terkekeh. “Itu yang kalian kira. Tapi sekarang, kalian tahu yang sebenarnya.”

Rajendra tetap diam. Matanya masih menatap lekat-lekat Aghara. Ada sesuatu yang berbeda dari pria ini. Bukan hanya keahliannya memanah, tapi juga cara bicaranya yang tidak seperti petani desa biasa. Terlalu tenang. Terlalu terlatih.

Aghara berjalan mendekat, perlahan, namun tetap dalam jarak aman. “Gerakanmu cepat. Bahkan aku tak pernah melihat orang menangkap anak panahku sebelumnya. Kau bukan orang biasa.”

Rajendra tak menjawab. Dia tahu itu pujian. Tapi dia juga tahu, pujian adalah senjata yang lebih berbahaya dari tombak. Satu detik saja dia terlena, maka dia akan menjadi mangsa.

“Aku tak butuh pujian darimu. Jelaskan apa maumu.” Suara Rajendra tegas, berwibawa, seperti seorang raja yang sedang mengadili bawahannya.

Aghara tersenyum lagi, namun kali ini lebih dingin. “Yang kami mau sederhana. Jangan sentuh hutan ini. Jika kalian lapar, berburu saja di tempat lain. Jika tetap melanggar, maka kalian akan berburu dengan nyawa kalian sendiri sebagai gantinya.”

“Apakah itu sebuah ancaman?” tanya Tama sambil mengangkat pedangnya.

“Hanya sebuah peringatan,” jawab Bagala. Nada suaranya datar, tapi matanya tak main-main.

Rajendra mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Tama agar menahan diri. “Kami tidak tahu tempat ini kalian klaim. Tapi ini pertama dan terakhir kali aku diberi tahu dengan cara pengecut seperti tadi.”

Rajendra maju selangkah. Mata elangnya mengunci pada dua pria itu.

“Jika kalian ingin dihormati sebagai pemilik hutan, maka datanglah seperti lelaki. Bukan seperti pembunuh bayaran dari bayang-bayang,” ucap Rajendra.

Aghara mengangkat alis, jelas terkesan. “Kau bicara seperti raja. Tapi kau datang ke sini hanya dengan tujuh orang. Apa tak takut kami punya lebih banyak orang tersembunyi di balik pepohonan?”

Rajendra menyeringai tipis. Lalu dia berkata, “Kau kira jumlah bisa menakuti orang yang sudah kehilangan segalanya?”

Bagala dan Aghara saling pandang. Hening sesaat. Lalu Aghara menunduk sedikit, memberi hormat.

“Rajamu telah mengajarkan keberanian yang langka. Tapi keberanian tanpa kebijaksanaan hanya akan membawa kematian,” ucap Aghara.

Rajendra membalas dengan tatapan dingin. “Kematian lebih baik daripada hidup sebagai pengecut.”

Keduanya tidak menjawab. Aghara hanya membalikkan badan dan berjalan kembali ke semak. Bagala menyusulnya, tapi sebelum menghilang, dia berkata, “Hari ini kau tamu. Tapi lain kali, jangan masuk tanpa undangan.”

Mereka menghilang begitu saja, seakan lenyap ditelan hutan.

Para prajurit langsung mengepung Rajendra, menanyakan keadaannya.

“Aku baik-baik saja,” jawab Rajendra. “Tapi kita harus pergi dari sini. Cepat.”

Mereka mulai bergerak cepat, meninggalkan lokasi itu. Tapi Rajendra tak bisa berhenti memikirkan Aghara dan Bagala.

‘Gerakannya terlalu bersih. Bahkan tak terdengar saat mereka muncul. Itu bukan orang biasa.’

Di tengah perjalanan pulang, Rajendra kembali melirik ladang gandum yang tadi mereka lewati. Matanya menyipit.

“Kita akan kembali ke ladang itu besok,” katanya pada Tama.

“Untuk apa, Yang Mulia?” tanya Tama.

“Untuk mulai mengolahnya. Kita butuh makanan, dan aku tak mau hanya bergantung pada berburu di hutan yang telah diklaim oleh orang lain. Apalagi jumlah kita sedikit,” jelas Rajendra.

Tama tampak ragu. “Tapi gandumnya tidak enak, Yang Mulia. Hambar dan pahit.”

Rajendra tersenyum. “Karena belum diolah dengan benar. Aku tahu caranya. Tapi kita butuh alat. Kita butuh tempat menggiling. Dan kita butuh perempuan-perempuan yang bisa membuat adonan.”

Tama masih tidak mengerti. “Adonan?”

“Untuk roti,” jawab Rajendra pendek.

Malam itu, di rumah sederhana tempat mereka tinggal, suasana tegang masih terasa. Ranjani duduk di sudut ruangan sambil membersihkan sayuran. Kirana sedang menyiapkan tungku. Surapati memeriksa senjatanya dengan waspada.

Rajendra masuk, menggantungkan busur dan ayam hutan yang berhasil dia tangkap. Wajahnya serius.

“Kita tidak bisa mengandalkan hutan untuk makanan. Kita harus mengolah tanah. Membuat sesuatu yang bisa disimpan dan dijual,” katanya tegas.

Surapati mengangguk pelan. “Apa Yang Mulia punya rencana?”

“Aku akan menggiling gandum untuk membuat tepung. Dari tepung, kita bisa buat roti. Dan roti … bisa jadi makanan pokok dan juga komoditas,” jelas Rajendra dengan optimisme tinggi.

Semua orang terdiam. Gagasan itu terdengar aneh. Tidak masuk akal. Tapi dari cara Rajendra mengatakannya, tidak ada yang berani membantah.

Ranjani meletakkan sayuran dan berdiri. “Kalau Yang Mulia yakin, maka aku akan membantu.”

Kirana menyusul. “Aku juga akan membantu.”

Surapati tersenyum. “Kalau begitu, kita mulai dari mana, Yang Mulia?”

Rajendra menatap keluar jendela. Malam yang dingin menyelimuti desa, tapi dalam hatinya, bara semangat mulai menyala.

“Kita mulai dari besok. Kita ambil gandum itu. Kita belajar membuat tepung. Dan dari sana … kita bangun segalanya dari awal.”

Di tengah kegelapan malam, Rajendra berdiri tegak. Bukan hanya sebagai pelarian dari istana. Tapi sebagai pemimpin dari awal yang baru.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Perubahan Cepat

    Dahana sengaja bergerak sejak pagi buta. Udara dingin menusuk kulit, namun tak sedikitpun mengganggu konsentrasinya. Langkah kakinya begitu ringan, seolah tak menyentuh tanah, melaju cepat namun dengan kesan santai.Ia ingin mengawasi situasi di sekeliling kepala desa terlebih dahulu. Membaca pergerakan, mencari celah, memahami setiap detail kecil. Jadi, nanti malam, saat ia akan mengeksekusi misi utamanya, ia sudah bisa merumuskan rencana yang matang, taktis, dan sempurna.Sejauh ini, setiap misinya selalu berjalan mulus, tanpa hambatan berarti. Ia berharap peruntungan yang sama akan menyertainya kali ini."Target utama: Kepala Desa," gumam Dahana pelan, sebuah senyum tipis terukir di bibirnya. "dan siapa pun yang menghalangiku."Dahana melaju, menembus kabut tipis pagi, menuju batas Desa Gunung Jaran. Semakin dekat, semakin kuat firasat aneh menyelimutinya. Firasat akan sesuatu yang berubah, sesuatu yang tak seharusnya ada.Ketika akhirnya ia tiba di batas desa, Dahana terkejut buka

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Dahana Mulai Bergerak

    Wira berdiri tegak, dadanya membusung, seolah ia adalah pahlawan yang baru saja menggagalkan sebuah kejahatan besar. Matanya menyapu para wanita pencari kerja satu per satu, sorotnya tajam, penuh kemenangan, dan sedikit mencemooh. "Dengar, kalian semua! Kalian harusnya berterima kasih padaku," katanya, menunjuk ke arah mereka dengan jari telunjuknya yang kurus. "Aku ini hanya ingin menyelamatkan kalian dari penipuan. Lihat saja anak muda ini, dia itu tidak punya apa-apa! Datang ke desa ini hanya dengan pakaian di badan, tanpa uang sepeser pun.”“Dan ingat! Rumah yang dia tempati itu pun hanya hasil dari belas kasihan Kepala Desa, hanya dipinjami, bukan miliknya sendiri! Mana mungkin dia bisa membayar kalian dengan benar?" lanjutnya.Beberapa orang yang tadinya menunjukkan antusiasme kini mulai terlihat goyah. Bisikan-bisikan keraguan mulai terdengar. Mereka saling berpandangan, mengingat-ingat bagaimana Rajendra pertama kali datang ke desa ini.Namun, di tengah keraguan itu, seorang

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Datang Meminta Pekerjaan

    Ketika Kirana akan bertanya kepada Ranjani, sebuah sentuhan lembut menghentikannya. Rajendra memegang tangan Kirana, menggenggamnya erat, dan menggelengkan kepalanya, memberikan kode agar Kirana tidak menanyakannya sekarang karena ada Jati dan Tama di sana."Kenapa?" bisik Kirana, matanya dipenuhi rasa ingin tahu, namun ia menghormati isyarat suaminya."Nanti saja saat kalian berdua," jawab Rajendra pelan, bibirnya hampir tidak bergerak.Kirana menganggukkan kepalanya, memahami. Ia membiarkan rasa ingin tahu itu mengendap, mengalihkan fokusnya kembali ke adonan roti yang harus segera disiapkan.Kemudian, Rajendra pun menuju ke kamar mandi. Gemericik air terdengar dari dalam, membersihkan sisa-sisa malam yang panjang dan penuh gairah. Dia ingin membersihkan diri dari keringat kenikmatan semalam, dan menyiapkan dirinya untuk hari baru.Ketika Rajendra selesai mandi, kesegaran membasuh tubuh dan pikirannya. Ia mengenakan pakaian seadanya, masih di dalam kamar. Tiba-tiba, terdengar suara

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Rajendra Yang Perkasa Kembali

    Rajendra merasa seperti dibawa ke sebuah dimensi baru, dimensi kenikmatan yang belum pernah ia jelajahi sebelumnya. Setiap sentuhan Kirana, setiap gerakan, setiap desahan, seolah memicu serangkaian ledakan sensasi yang luar biasa. Ia merasa seperti boneka yang digerakkan oleh benang, namun boneka yang merasakan kenikmatan tiada tara.Namun, di tengah-tengah "permainan" itu, sesuatu yang ajaib terjadi. Secara tak terduga, diri Rajendra yang dulu muncul kembali.Keahliannya dalam memberikan kenikmatan kepada wanita, keahlian yang dulu ia kuasai dengan sempurna, kini entah bagaimana, kembali padanya.Tangan Rajendra bergerak dengan sendirinya, bibirnya tahu tempat yang tepat untuk dicium, bisikannya tahu kata-kata yang paling memabukkan. Ia tidak lagi menjadi boneka yang dibimbing; ia mengambil alih kendali, memimpin Kirana menuju puncak kenikmatan.Rajendra sendiri bingung. Bagaimana bisa? Ia ingat dirinya adalah seorang pemula, seorang yang tidak tahu apa-apa. Namun, tubuhnya bereaksi

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Akhirnya Melakukannya

    Pertanyaan itu, bagai sambaran petir di siang bolong bagi Kirana, membuat wajahnya yang semula putih berseri langsung merah padam. Jantungnya berdetak tak keruan, seolah ingin melompat keluar dari dadanya."Tuanku mau melakukan itu? Apakah yakin?" tanya Kirana, suaranya tercekat, nyaris tak terdengar. Matanya membulat, menatap Rajendra dengan campuran rasa terkejut dan malu.Rajendra mengangguk, gerakan kepalanya pelan dan kaku, seolah mau tidak mau untuk melakukannya. Wajahnya juga tak kalah merah dari Kirana, seperti kepiting rebus."I-iya... a-aku mau," gumamnya, suaranya sedikit bergetar. Dia menelan ludah, kemudian menambahkan, "tapi, bisakah... bisakah kau membimbingku?"Mendengar itu, Kirana terhenyak. Sebuah tawa nyaris lolos dari bibirnya, tawa yang tertahan di tenggorokan karena rasa terkejut yang luar biasa. Cepat-cepat dia menutup mulutnya dengan telapak tangan, berusaha keras menahan gejolak geli yang melanda.Dalam ingatan Kirana, Rajendra adalah seorang ahli dalam hal "

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Menciptakan Garis Keturunan

    Rajendra tersenyum lebar, menepuk pundak Tama dengan keras. "Dengar, Tama, kamu harus manfaatkan kesempatan emas ini! Jadikan dia istrimu! Lalu, kamu cepat-cepat punya anak laki-laki. Kita butuh banyak pasukan untuk membangun dan mempertahankan kerajaan ini di masa depan!"Mendengar apa yang dikatakan oleh Pangeran, wajah Tama semakin memerah. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, pandangannya canggung."Yang Mulia," Tama berkata, suaranya pelan, "menikah itu tidak semudah itu. Belum tentu wanitanya mau, apalagi kalau saya belum punya apa-apa."Rajendra tertawa renyah, menepis keraguan Tama dengan lambaian tangan. "Jangan merendahkan dirimu, Tama. Kamu adalah pria yang tangguh dan setia. Wanita di sini banyak, dan mereka cantik-cantik lagi. Kamu tinggal pilih saja. Sepertinya mereka semua juga akan tertarik padamu, melihat bagaimana kamu bekerja keras untuk desa ini."Tama semakin malu, kepalanya menunduk dalam-dalam. Gumaman malu-malu terdengar dari mulutnya.Kemudian, Rajendra me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status