Desingan tajam anak panah yang meluncur ke arah Rajendra seolah menghentikan waktu. Semua yang melihat hanya bisa mematung, menyaksikan maut mendekat dalam garis lurus yang sempurna menuju jantung sang pangeran.
Namun mereka salah. Sebuah gerakan cepat yang hampir tak terlihat, dilakukan oleh Rajendra. Dengan satu tangan, dia meraih anak panah itu di udara, menggenggamnya kuat sebelum ujungnya sempat menyentuh kulitnya. Suasana hutan mendadak sunyi. Bahkan angin pun seolah berhenti berhembus. Rajendra melempar anak panah itu ke tanah, matanya menyala dengan amarah. “Sialan! Siapa kau? Keluar jika berani!” teriaknya. “Lindungi Yang Mulia!” pekik Tama. Prajurit yang lain langsung membentuk formasi defensif, membentuk lingkaran dengan pedang terhunus dan busur yang siap melesat, menjaga Rajendra di tengah-tengah mereka. Namun Rajendra juga tidak lengah. Matanya menyisir semak-semak, mengamati setiap gerakan dedaunan dengan ketajaman seekor elang. Dari balik semak, dua orang pria melangkah keluar perlahan. Yang satu membawa busur panjang berukir motif kepala ular, sementara yang satunya lagi menenteng tombak dengan hiasan kain merah di pangkalnya. Rajendra menatap tajam. “Siapa kalian?” Pria dengan busur tersenyum kecil. Wajahnya tirus, rambut panjang dikepang ke belakang, auranya tenang namun tajam seperti senjatanya. “Namaku Aghara,” katanya ringan. “dan ini saudara lelakiku, Bagala.” Bagala yang membawa tombak menatap Rajendra tanpa gentar. “Kalian terlalu berisik. Kalian mengganggu ketenangan wilayah kami.” Rajendra mengerutkan dahi. “Wilayah kalian?” Aghara mengangguk, lalu menunjuk ke sekeliling hutan dengan ujung busurnya. “Hutan ini milik keluarga kami sejak tiga generasi. Tidak ada yang boleh berburu di sini tanpa izin.” Tama maju setengah langkah. “Omong kosong! Ini hutan liar! Tak ada yang memilikinya!” Bagala terkekeh. “Itu yang kalian kira. Tapi sekarang, kalian tahu yang sebenarnya.” Rajendra tetap diam. Matanya masih menatap lekat-lekat Aghara. Ada sesuatu yang berbeda dari pria ini. Bukan hanya keahliannya memanah, tapi juga cara bicaranya yang tidak seperti petani desa biasa. Terlalu tenang. Terlalu terlatih. Aghara berjalan mendekat, perlahan, namun tetap dalam jarak aman. “Gerakanmu cepat. Bahkan aku tak pernah melihat orang menangkap anak panahku sebelumnya. Kau bukan orang biasa.” Rajendra tak menjawab. Dia tahu itu pujian. Tapi dia juga tahu, pujian adalah senjata yang lebih berbahaya dari tombak. Satu detik saja dia terlena, maka dia akan menjadi mangsa. “Aku tak butuh pujian darimu. Jelaskan apa maumu.” Suara Rajendra tegas, berwibawa, seperti seorang raja yang sedang mengadili bawahannya. Aghara tersenyum lagi, namun kali ini lebih dingin. “Yang kami mau sederhana. Jangan sentuh hutan ini. Jika kalian lapar, berburu saja di tempat lain. Jika tetap melanggar, maka kalian akan berburu dengan nyawa kalian sendiri sebagai gantinya.” “Apakah itu sebuah ancaman?” tanya Tama sambil mengangkat pedangnya. “Hanya sebuah peringatan,” jawab Bagala. Nada suaranya datar, tapi matanya tak main-main. Rajendra mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Tama agar menahan diri. “Kami tidak tahu tempat ini kalian klaim. Tapi ini pertama dan terakhir kali aku diberi tahu dengan cara pengecut seperti tadi.” Rajendra maju selangkah. Mata elangnya mengunci pada dua pria itu. “Jika kalian ingin dihormati sebagai pemilik hutan, maka datanglah seperti lelaki. Bukan seperti pembunuh bayaran dari bayang-bayang,” ucap Rajendra. Aghara mengangkat alis, jelas terkesan. “Kau bicara seperti raja. Tapi kau datang ke sini hanya dengan tujuh orang. Apa tak takut kami punya lebih banyak orang tersembunyi di balik pepohonan?” Rajendra menyeringai tipis. Lalu dia berkata, “Kau kira jumlah bisa menakuti orang yang sudah kehilangan segalanya?” Bagala dan Aghara saling pandang. Hening sesaat. Lalu Aghara menunduk sedikit, memberi hormat. “Rajamu telah mengajarkan keberanian yang langka. Tapi keberanian tanpa kebijaksanaan hanya akan membawa kematian,” ucap Aghara. Rajendra membalas dengan tatapan dingin. “Kematian lebih baik daripada hidup sebagai pengecut.” Keduanya tidak menjawab. Aghara hanya membalikkan badan dan berjalan kembali ke semak. Bagala menyusulnya, tapi sebelum menghilang, dia berkata, “Hari ini kau tamu. Tapi lain kali, jangan masuk tanpa undangan.” Mereka menghilang begitu saja, seakan lenyap ditelan hutan. Para prajurit langsung mengepung Rajendra, menanyakan keadaannya. “Aku baik-baik saja,” jawab Rajendra. “Tapi kita harus pergi dari sini. Cepat.” Mereka mulai bergerak cepat, meninggalkan lokasi itu. Tapi Rajendra tak bisa berhenti memikirkan Aghara dan Bagala. ‘Gerakannya terlalu bersih. Bahkan tak terdengar saat mereka muncul. Itu bukan orang biasa.’ Di tengah perjalanan pulang, Rajendra kembali melirik ladang gandum yang tadi mereka lewati. Matanya menyipit. “Kita akan kembali ke ladang itu besok,” katanya pada Tama. “Untuk apa, Yang Mulia?” tanya Tama. “Untuk mulai mengolahnya. Kita butuh makanan, dan aku tak mau hanya bergantung pada berburu di hutan yang telah diklaim oleh orang lain. Apalagi jumlah kita sedikit,” jelas Rajendra. Tama tampak ragu. “Tapi gandumnya tidak enak, Yang Mulia. Hambar dan pahit.” Rajendra tersenyum. “Karena belum diolah dengan benar. Aku tahu caranya. Tapi kita butuh alat. Kita butuh tempat menggiling. Dan kita butuh perempuan-perempuan yang bisa membuat adonan.” Tama masih tidak mengerti. “Adonan?” “Untuk roti,” jawab Rajendra pendek. Malam itu, di rumah sederhana tempat mereka tinggal, suasana tegang masih terasa. Ranjani duduk di sudut ruangan sambil membersihkan sayuran. Kirana sedang menyiapkan tungku. Surapati memeriksa senjatanya dengan waspada. Rajendra masuk, menggantungkan busur dan ayam hutan yang berhasil dia tangkap. Wajahnya serius. “Kita tidak bisa mengandalkan hutan untuk makanan. Kita harus mengolah tanah. Membuat sesuatu yang bisa disimpan dan dijual,” katanya tegas. Surapati mengangguk pelan. “Apa Yang Mulia punya rencana?” “Aku akan menggiling gandum untuk membuat tepung. Dari tepung, kita bisa buat roti. Dan roti … bisa jadi makanan pokok dan juga komoditas,” jelas Rajendra dengan optimisme tinggi. Semua orang terdiam. Gagasan itu terdengar aneh. Tidak masuk akal. Tapi dari cara Rajendra mengatakannya, tidak ada yang berani membantah. Ranjani meletakkan sayuran dan berdiri. “Kalau Yang Mulia yakin, maka aku akan membantu.” Kirana menyusul. “Aku juga akan membantu.” Surapati tersenyum. “Kalau begitu, kita mulai dari mana, Yang Mulia?” Rajendra menatap keluar jendela. Malam yang dingin menyelimuti desa, tapi dalam hatinya, bara semangat mulai menyala. “Kita mulai dari besok. Kita ambil gandum itu. Kita belajar membuat tepung. Dan dari sana … kita bangun segalanya dari awal.” Di tengah kegelapan malam, Rajendra berdiri tegak. Bukan hanya sebagai pelarian dari istana. Tapi sebagai pemimpin dari awal yang baru.Raja Wicaksana tersentak di kursinya, tatapannya terpaku pada pintu kayu yang baru saja menelan dua pengawal terakhirnya. Pikirannya dipenuhi gambaran efisiensi iblis Rajendra.“Bodoh!” geram Raja Wicaksana, suaranya parau, dipenuhi rasa frustrasi dan teror yang mematikan. “Mereka mencari ke mana?! Rajendra ada di sini! Di Istana! Dia ada di luar pintu ini! Aku dikepung!”Baru saja kalimat itu keluar dari mulutnya, Rajendra mengirimkan pesan yang jauh lebih mengerikan dari sekadar teriakan.BRRUUUUK!Sebuah benda tumpul dan berat dilempar keras ke lantai menara. Benda itu menggelinding ke depan Raja Wicaksana yang sedang duduk.Raja Wicaksana menatap benda itu dengan mata melebar. Itu adalah kepala manusia. Wajahnya sangat ia kenal—itu adalah kepala pengawal yang baru keluar tadi untuk memeriksa! Wajahnya kaku dengan ekspresi ketakutan yang abadi, matanya terbuka lebar seolah melihat neraka sebelum mati.Raja Wicaksana menjerit. Teriakan itu bukan teriakan Raja, tetapi jeritan ngeri s
Tama tersenyum lebar. Keputusan Rajendra untuk berbalik dan menggunakan pasukan pengejar sebagai perisai adalah strategi yang brilian, menghidupkan kembali harapan dan optimisme di tengah tim kecil itu.“Itu benar, Yang Mulia,” kata Tama, suaranya dipenuhi semangat yang membara. “Kita akan menjadi pemburu Raja. Bukankah ini jauh lebih menyenangkan daripada melarikan diri seperti tikus?”Ekspresi optimis terpancar di wajah Tama. Ia sangat percaya diri bahwa momen balas dendam terhadap Raja Wicaksana akan segera tiba. Bahkan, di dalam hatinya yang paling dalam, Tama telah bersumpah:Jika Yang Mulia Rajendra ragu untuk mengambil nyawa tiran itu, aku sendiri yang akan melakukannya. Kehormatan Putri Ayana adalah kehormatan seluruh pasukan Rajendra!Surapati mendekat, pandangannya dingin dan fokus. “Kita bergerak sekarang, Yang Mulia?” tanyanya. “Kita lewat jalur belakang. Jika masih ada kelompok kecil yang tertinggal di belakang, kita habisi saja satu per satu. Kita harus membuat jalan yan
Kemarahan Rajendra menular. Bukan hanya urat di lehernya yang menegang, tetapi juga suasana di sekitar mereka. Kata-kata Ayana tentang pemukulan itu adalah minyak yang disiramkan ke api kebencian yang sudah membara.Bukan hanya Rajendra dan Ranjani yang tersulut. Tama yang mendengarkan di belakang ikut mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Surapati, meskipun wajahnya kaku, matanya berkilat mematikan.Bahkan Sarno, bocah jalanan yang baru beberapa jam mengenal mereka, ikut merasakan amarah yang sama. Ia melihat bagaimana seorang wanita bangsawan diperlakukan seperti pengemis, sama hinanya dengan ibunya yang sakit di rumah.“Aku tidak terima!” geram Tama, maju selangkah. “Kalau mau kembali lagi, masih keburu, Yang Mulia! Raja Wicaksana pasti masih lumpuh dan terikat di Menara! Kalau mau, kita bergerak sekarang dan habisi dia!”“Ya, saya akan mengantarnya agar bisa lebih cepat sampai!” seru Sarno, matanya dipenuhi tekad balas dendam. “Saya tahu jalan yang lebih cepat dari Jalan Naga Bu
Suara alarm Istana yang menggelegar kini terdengar jauh, tertelan oleh labirin permukiman padat di pinggiran Kerajaan Widyaloka. Udara subuh terasa dingin di kulit, namun adrenalin dalam darah mereka membuatnya terasa seperti api.Rajendra merangkul Ayana, tubuhnya yang lemah bersandar erat padanya. Sarno memimpin jalan dengan kecepatan dan keahlian yang mengagumkan, sementara Surapati dan Ranjani menjaga bagian belakang, mata mereka tajam mengawasi setiap gang yang mereka lewati.Setelah berlari beberapa ratus meter dari area kumuh, Sarno berbelok tajam ke sebuah jalan setapak yang dikelilingi kebun kecil. Jalanan ini mulai ramai dengan warga yang bersiap pergi ke pasar.“Berhenti!” seru Rajendra tiba-tiba.Semuanya langsung berhenti, menatap Rajendra dengan bingung. Sarno bahkan tersentak, mengira ada pengejar.“Ada apa, Yang Mulia?” tanya Ranjani, tangannya memegang gagang pedang.Rajendra melepaskan pelukannya pada Ayana sejenak, mengambil napas dalam-dalam.“Kita sudah berada di
Mereka bersembunyi di sudut gelap lantai dua menara yang kosong, tepat di seberang Pintu Besi yang mengunci Ayana. Lantai di bawah mereka menyimpan Kapten Wasesa dan beberapa pengawal elit yang terikat dan dibungkam, umpan yang siap dimakan.“Dia datang,” bisik Ranjani, matanya yang tajam melihat pantulan cahaya obor yang bergerak cepat di halaman luar.Detik-detik berikutnya terasa seperti berjam-jam. Mereka mendengar langkah kaki yang berirama, semakin mendekat, bersamaan dengan suara denting logam yang familier.“Siapkan diri,” Rajendra mengeluarkan perintahnya, suaranya serak namun tegas.Ia menggenggam erat pedangnya, sementara tangan kirinya sudah merogoh saku, memastikan Kunci Besi pertama aman. “Ingat rencana: fokus utama adalah kunci... kunci kedua yang ada di tangan Raja Wicaksana.”Suara derit pintu kayu lantai dasar memecah keheningan. Raja Wicaksana telah masuk.Langkah kaki yang mantap, berwibawa, namun juga menunjukkan urgensi, terdengar menaiki tangga kayu yang tua. Ta
Rajendra tidak memberikan waktu bagi Kapten Wasesa untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan. Teriakan Kapten Wasesa yang keras itu adalah peringatan yang bisa menarik perhatian, dan Rajendra tidak akan membiarkan itu terjadi.“Sekarang!” teriak Rajendra.Kapten Wasesa melompat maju, pedangnya memancarkan kilatan perak. Dia kuat, didukung oleh pelatihan keras Naga Merah khas Widyaloka, tetapi gerakannya lambat dan terprediksi di mata Rajendra.Di mata Rajendra—atau lebih tepatnya, Raka—mantan perwira polisi dari dunia modern, gerakan Kapten Wasesa hanyalah pola yang sudah usang. Rajendra bergerak menggunakan insting bela diri modern yang dilatih untuk melumpuhkan target secepat mungkin.BUUK!Rajendra tidak menggunakan pedang. Ia menggunakan tangan kosong. Ia merunduk di bawah ayunan pedang Kapten Wasesa, menangkis bilah itu dengan sarung lengan, dan melancarkan pukulan siku cepat ke ulu hati Kapten Wasesa.Kapten Wasesa terhuyung. Sebelum ia bisa bernapas, Rajendra sudah ada di belaka