Langkah Ranjani menghentak tanah berbatu ketika ia kembali ke arah rombongan. Wajahnya muram, rahangnya mengeras, dan matanya menyala penuh amarah.
“Jangan percaya pada sikap baiknya!” kata Ranjani, tajam. “Pangeran Rajendra masih sama. Semua ini hanya sandiwara belaka!” Kirana mengangkat alisnya seraya bertanya, “Apa maksudmu, Ranjani?” Ranjani menunjuk ke arah Rajendra yang sedang berbicara dengan Baron. Lalu dia berkata, “Dia hendak menukarkan salah satu dari kita kepada preman itu demi mendapatkan tempat menginap.” Wajah Kirana langsung memucat setelah mendengarnya. “Tidak mungkin…” gumam Kirana. “Tidak mungkin? Kamu terlalu polos, Kirana. Apa kamu lupa apa yang telah dilakukan olehnya kepada kakak pertama dan adik terakhir?” Ranjani bicara dengan kesal. Kirana terdiam. Seketika, wanita itu menutupi wajahnya, isak tangis yang membuat hati nyeri pun terdengar. Suasana semakin panas. Surapati menatap Rajendra yang kini sudah berada di sana. Dia khawatir dengan tindakan yang akan dilakukan oleh sang pangeran. Rajendra terdiam. Dia mendengar apa yang dikatakan oleh Ranjani dan hal itu membuatnya menerka-nerka seberapa jahat Rajendra yang dulu. Kirana menarik napas dalam. Lalu dia berkata, “Kita tak bisa pergi begitu saja. Kita ini istri sah Pangeran Rajendra. Jika kita tinggalkan dia tanpa izin resmi dari istana, maka kita dianggap pengkhianat dan kita bisa dihukum mati.” “Aku lebih baik mati daripada dijual seperti barang murahan oleh pria yang mengaku suamiku!” ucap Ranjani dengan tegas. Amarah, kecewa dan rasa muak, telah menyelimuti diri Ranjani. “Yang Mulia Putri Ranjani, jaga ucapan Anda!” seru Surapati dengan tegas. Dia takut pangeran Rajendra murka. Namun Ranjani tak gentar. “Aku muak! Jangan bicara padaku seolah Paman lebih tahu!” “Cukup.” Suara Rajendra memotong. Surapati diam. Rajendra melangkah ke tengah rombongan. Wajahnya tak menunjukkan kemarahan, hanya ketegasan. “Aku tidak pernah bernegosiasi dengan preman itu,” kata Rajendra. “dia yang meminta salah satu dari kalian. Dan aku tidak akan pernah menyerahkan kalian, bahkan jika harus tidur di jalanan sekalipun.” Kirana menunduk dengan napas lega. Namun Ranjani, dia tidak percaya dengan kata-kata itu. “Tentu saja kamu akan berkata begitu sekarang, setelah semua mendengarnya,” kata Ranjani. Sebelum Rajendra bisa menjawab, Baron muncul sambil mengunyah daging kering. Ia menyeringai lebar. Baron menatap para wanita itu dengan mata licik lalu mengangkat bahu. “Rajendra sudah setuju, kalian tahu? Dia bilang, dia akan menyerahkan salah satu dari wanita ini untukku. Aku tinggal pilih saja, katanya,” ucap Baron sambil berjalan mendekat. Suara Baron meledak seperti petir di siang bolong. Wajah Ranjani langsung berubah dingin. “Benar, kan?” kata Ranjani, getir. “Dia tidak berubah. Tidak akan pernah.” Ranjani menarik napas dalam-dalam. “Selama satu hari ini kita tertipu dengan sikap manisnya.” Kirana memejamkan mata seraya menggigit bibirnya. Hati wanita itu dipenuhi keraguan dan juga luka. Tidak ada yang lebih buruk dibandingkan dengan dijual oleh suami sendiri. “Cukup!” Rajendra melangkah maju, matanya berkilat. “jangan fitnah aku, Baron!” Baron tertawa, “Fitnah? Hahaha! Aku hanya bilang apa yang terjadi!” “Mulutmu busuk, seperti jiwamu!” desis Rajendra. Baron melipat tangan di dada. “Kalau begitu, kita selesaikan seperti pria. Duel satu lawan satu.” Belum sempat Rajendra menjawab, Tama, pengawal muda yang selalu setia di sisinya, maju dan mengepalkan tangan. “Biar aku saja, Yang Mulia! Aku akan melawan dia untukmu!” ucap Tama. Tama tahu, Pangeran Rajendra tidak bisa berkelahi. Dia tidak pernah mendapatkan pelajaran ilmu beladiri selama ini. Jadi, tidak mungkin membiarkan pangeran Rajendra berduel satu lawan satu dengan seorang preman seperti Baron. Baron terbahak. “Yang Mulia? Pfft! Dia ini Pangeran? Tidak pantas sama sekali. Bahkan tak punya uang untuk menyuap seekor anjing!” Rajendra menatap Tama. “Tidak. Ini bukan urusanmu.” Surapati hendak maju, tapi Rajendra menahannya. “Tidak ada yang bergerak. Biarkan aku yang melawannya.” Baron melangkah ke tengah tanah lapang. “Ayo, Tuan Pangeran. Tunjukkan kalau kau punya nyali.” Pertarungan dimulai. Baron menyerang dengan brutal, mengandalkan kekuatan besar dan gerakan liar. Tapi Rajendra menghindar dengan cekatan. Ia membaca setiap gerakan lawannya seperti buku terbuka. Sekali pukulan telak mendarat di perut Baron. Lalu satu tendangan keras menghantam lututnya. Baron ambruk dalam waktu kurang dari satu menit. Semua orang ternganga. “Tidak mungkin…” bisik Kirana. “Pangeran tidak pernah bisa bela diri. Kenapa dia bisa begitu hebat?” Surapati tersenyum tipis. “Bakat memang menurun dari leluhur. Aku seperti melihat kakeknya Pangeran yang telah moksa.” Sebagai mantan pelatih bela diri modern, Rajendra memang punya kemampuan tinggi. Dan sekarang, ia tak segan memanfaatkannya. Rajendra mendekat ke arah Baron yang masih tergeletak. “Katakan yang sebenarnya. Sekarang.” Baron mengerang kesakitan. “Baik, baik, aku bohong! Dia tidak pernah menawarkan wanita-wanita itu. Aku hanya ingin mempermalukannya. Ampuni aku.” Rajendra menatap kedua istrinya. “Kalian dengar sendiri. Aku tidak akan menjual kalian. Aku mungkin banyak kekurangan, tapi aku tidak sekeji itu.” Kirana menunduk, penuh rasa bersalah. Bahkan dia mulai menitikkan air matanya. “Maafkan kami, Yang Mulia,” ucap Kirana dengan pelan. “kami sempat meragukanmu.” Tapi Ranjani masih berdiri dengan ekspresi keras. Ia memalingkan wajah. “Aku belum percaya. Mungkin ini hanya bagian dari permainan berikutnya.” Rajendra tak berkata apa-apa lagi. Dia hanya memberi perintah singkat. “Kita istirahat malam ini di rumah itu.” Rumah kayu yang jadi tempat istirahat mereka ternyata kecil. Hanya ada satu kamar dan satu ruangan besar di tengah. Kirana melirik Rajendra. “Apakah ini berarti, kita semua akan tidur bersama?” “Kamu saja yang tidur di dalam bersama dengannya. Aku akan tidur di luar,” kata Ranjani. “Tidak boleh Ranjani. Kamu seorang wanita dan istri Pangeran. Mana mungkin kamu tidur di luar. Tetap tidur di dalam,” kata Kirana melarang. “Itu benar. Kamu tidur di dalam saja. Aku yang akan tidur di luar,” kata Rajendra. Namun kemudian Surapati angkat bicara. “Yang Mulia tidak boleh tidur di lantai. Jangan mencoreng leluhurmu.” Akhirnya, Rajendra pasrah dan tidur di kamar sempit itu. Ia duduk bersandar di dinding, matanya memejam, mencoba tidur. Namun keheningan malah membuat pikirannya melayang. Aroma harum yang lembut tercium dari kanan dan kiri. Wewangian kerajaan yang tahan lama meski terkena peluh, dipakai oleh para istri. Hal ini membuat Rajendra menelan ludah. Rajendra membuka mata sedikit. Ranjani di sebelah kiri tertidur dengan damai. Sementara di sebelah kanan, ada Kirana. Bajunya agak terbuka karena kebesaran, memperlihatkan belahan dada yang menggoda. Kulitnya lembut seperti porselen, napasnya halus. “Ya Tuhan…” gumam Rajendra. “Ini ujian macam apa?”Suara tawa menyeramkan itu membuat Bhaskara merinding. Ia menoleh, melihat Aditya tertawa terbahak-bahak dengan mata melotot. Tawanya seperti iblis yang siap mencabik-cabik."Diam kau!" bentak Bhaskara, lalu menampar wajah Aditya dengan keras. "Jaga bicaramu!"Aditya tidak berhenti. Tawanya malah semakin keras. "Kau akan mati, Bhaskara! Kau akan ditelan bumi hidup-hidup! Tubuhmu akan dikuliti! Kau akan mati!" teriaknya.Bhaskara yang tadinya sangar, kini mulai ciut. Ia mundur selangkah, menatap Aditya dengan mata penuh ketakutan. Ekspresi Aditya begitu mengerikan, seperti iblis yang telah bangkit dari neraka."Kau akan mati. Tubuhmu akan dikuliti!" bisik Aditya, lalu sedetik kemudian, ia tertawa lagi.Bhaskara tidak tahan. Ia menampar wajah Aditya sekali lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Ia tidak ingin mendengar lagi suara tawa itu. Ia tidak ingin mendengar lagi ancaman itu. Ia pun menjauh, membiarkan Aditya sendirian.Tiba-tiba, suara perempuan menangis sambil berlari terde
Arwan menghela napas. Ia menatap wajah-wajah bingung di hadapannya. Ia tahu, mereka tidak akan mengerti jika ia tidak menjelaskan semuanya. Ia harus meyakinkan mereka, ia harus membuat mereka percaya."Mereka datang ke sini," ucap Arwan, suaranya tenang dan tegas, "karena mereka ingin perubahan dalam hidup mereka. Selama ini, mereka tertindas di desa mereka sendiri. Kepala desa mereka serakah dan kejam, mengambil hak-hak mereka, membiarkan mereka kelaparan, dan hidup dalam ketakutan. Mereka datang ke sini karena mereka tahu, di sini, mereka akan menemukan kehidupan yang lebih baik."Seorang warga, seorang pria yang memegang parang, mengerutkan kening. "Tapi kenapa harus ke sini? Desa kita ini adalah desa terpencil, Kepala Desa. Seharusnya mereka pergi ke kota, di sana mereka bisa mendapatkan pekerjaan, di sana mereka bisa hidup lebih layak."Arwan tersenyum. Senyum penuh makna. "Kau salah, saudaraku. Justru di sini adalah permulaan dari kejayaan dan kesejahteraan. Di sini, kita akan m
Rajendra menatap Ranting dengan lembut. "Angkat kepalamu, Nak," ucapnya dengan nada menenangkan. "Aku ingin melihat wajahmu."Ranting perlahan mengangkat kepalanya. Matanya yang sembab bertemu dengan tatapan hangat Rajendra. Rasa malu masih terlihat jelas di wajahnya. "Maafkan saya, Tuan," lirih Ranting."Maaf untuk apa, Ranting?" tanya Rajendra, mengerutkan kening. "Kau sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Justru, ini adalah tugas kami untuk menyelamatkanmu. Jangan pernah merasa bersalah karena mencari pertolongan."Ranting menunduk lagi, memainkan jemarinya. "Tapi ... tapi seharusnya saya tidak kabur ke Desa Ranjagiri. Itu sama saja menyerahkan diri saya sendiri ke dalam bahaya. Seharusnya... seharusnya saya meminta bantuan pada Anda, Tuan."Rajendra menghela napas. Ia baru menyadari, ada sesuatu yang lebih dalam di balik kaburnya Ranting. Laporan dari ayahnya, Wiraga, hanyalah bahwa Ranting diculik oleh seorang pria tak dikenal."Ranting," kata Rajendra lembut, "sebelumnya aku
Rajendra melangkah maju, tatapannya menyapu seluruh wajah orang-orang yang dibawa Tama. Matanya tak lagi melihat keraguan atau ketakutan, melainkan sebuah percikan api harapan yang menyala terang.Mereka semua adalah orang-orang yang lelah berjuang, orang-orang yang mencari tempat untuk beristirahat, tempat untuk memulai hidup baru.Rajendra tersenyum. Senyum tulus yang memancar dari hatinya."Selamat datang, saudaraku sekalian," ucap Rajendra, suaranya lantang dan penuh wibawa. "Kalian telah membuat keputusan yang benar. Di sini, di tempat ini, kalian akan mendapatkan kehidupan yang layak, kehidupan yang makmur. Kalian akan menjadi bagian dari kami. Kami akan membangun sebuah kerajaan yang adil, yang makmur, dan yang akan melindungi kalian semua."Warga Desa Ranjagiri bersorak gembira. Mereka membayangkan kehidupan yang lebih baik, di mana mereka tidak perlu lagi takut pada penindasan, di mana mereka bisa hidup dengan damai. Mereka menunduk hormat, mengucapkan terima kasih berulang k
Saat permainan semakin memanas, Rajendra menatap kedua istrinya, wajahnya dipenuhi gairah. Ia tahu, saatnya telah tiba.“Aku ... aku tidak tahan lagi,” bisik Rajendra, suaranya serak. “A-aku... aku akan keluar.”Ranjani dan Kirana mengangguk, mata mereka berbinar. Mereka tahu apa yang Rajendra maksudkan. Ini adalah momen yang paling mereka tunggu-tunggu.“Jangan tahan,” bisik Ranjani. “biarkan saja, Yang Mulia.”“Kami akan membantumu mencapai puncaknya,” sahut Kirana, tangannya membelai paha Rajendra.Mereka pun beraksi. Ranjani mencium leher Rajendra, sementara Kirana mengusap punggungnya. Keduanya bersinergi, seolah telah terbiasa memuaskan Rajendra bersama-sama.Tak butuh waktu lama, suara lenguhan dalam dan panjang lolos dari tenggorokan Rajendra. Seluruh tubuhnya menegang, ia merasakan sensasi yang luar biasa saat cairan cintanya menyembur, membanjiri tubuh kedua istrinya. Ia lemas, terjatuh, namun wajahnya dipenuhi senyum puas.“Terima kasih, istri-istriku,” bisik Rajendra, napa
"Yang Mulia..." Ranjani mengerang, suaranya tercekat. "Pelan-pelan..."Rajendra tidak menggubris. Ia telah tenggelam dalam lautan gairah, pikirannya hanya dipenuhi hasrat untuk mencapai puncaknya. Ia mencium leher Ranjani, gerakannya makin cepat, tak peduli pada permohonan istrinya.Ranjani memejamkan mata, memeluk leher suaminya erat. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan desahan yang mendesak keluar dari tenggorokannya. Ia tak mau Kirana, yang terbaring pulas di ranjang sebelah, terbangun."Yang Mulia... aahhh..." Ranjani tak lagi bisa menahan diri. Sebuah desahan panjang lolos dari bibirnya, bersamaan dengan tubuhnya yang menegang dan lemas tak berdaya.Cairan cinta mengalir, membanjiri dirinya dengan sensasi kenikmatan yang memabukkan. Ia jatuh terduduk, lututnya tak sanggup lagi menopang tubuhnya.Di tengah keheningan yang tersisa, mata Kirana terbuka perlahan. Ia duduk, mengerjapkan matanya, dan memandang bingung ke arah sepasang kekasih yang tengah bercinta. Wajahnya polos, t