Share

Kita Dijual

Author: Falisha Ashia
last update Last Updated: 2025-04-11 15:30:35

Langkah Ranjani menghentak tanah berbatu ketika ia kembali ke arah rombongan. Wajahnya muram, rahangnya mengeras, dan matanya menyala penuh amarah.

“Jangan percaya pada sikap baiknya!” kata Ranjani, tajam. “Pangeran Rajendra masih sama. Semua ini hanya sandiwara belaka!”

Kirana mengangkat alisnya seraya bertanya, “Apa maksudmu, Ranjani?”

Ranjani menunjuk ke arah Rajendra yang sedang berbicara dengan Baron. Lalu dia berkata, “Dia hendak menukarkan salah satu dari kita kepada preman itu demi mendapatkan tempat menginap.”

Wajah Kirana langsung memucat setelah mendengarnya.

“Tidak mungkin…” gumam Kirana.

“Tidak mungkin? Kamu terlalu polos, Kirana. Apa kamu lupa apa yang telah dilakukan olehnya kepada kakak pertama dan adik terakhir?” Ranjani bicara dengan kesal.

Kirana terdiam. Seketika, wanita itu menutupi wajahnya, isak tangis yang membuat hati nyeri pun terdengar.

Suasana semakin panas. Surapati menatap Rajendra yang kini sudah berada di sana. Dia khawatir dengan tindakan yang akan dilakukan oleh sang pangeran.

Rajendra terdiam. Dia mendengar apa yang dikatakan oleh Ranjani dan hal itu membuatnya menerka-nerka seberapa jahat Rajendra yang dulu.

Kirana menarik napas dalam. Lalu dia berkata, “Kita tak bisa pergi begitu saja. Kita ini istri sah Pangeran Rajendra. Jika kita tinggalkan dia tanpa izin resmi dari istana, maka kita dianggap pengkhianat dan kita bisa dihukum mati.”

“Aku lebih baik mati daripada dijual seperti barang murahan oleh pria yang mengaku suamiku!” ucap Ranjani dengan tegas.

Amarah, kecewa dan rasa muak, telah menyelimuti diri Ranjani.

“Yang Mulia Putri Ranjani, jaga ucapan Anda!” seru Surapati dengan tegas. Dia takut pangeran Rajendra murka.

Namun Ranjani tak gentar. “Aku muak! Jangan bicara padaku seolah Paman lebih tahu!”

“Cukup.” Suara Rajendra memotong.

Surapati diam. Rajendra melangkah ke tengah rombongan. Wajahnya tak menunjukkan kemarahan, hanya ketegasan.

“Aku tidak pernah bernegosiasi dengan preman itu,” kata Rajendra. “dia yang meminta salah satu dari kalian. Dan aku tidak akan pernah menyerahkan kalian, bahkan jika harus tidur di jalanan sekalipun.”

Kirana menunduk dengan napas lega. Namun Ranjani, dia tidak percaya dengan kata-kata itu.

“Tentu saja kamu akan berkata begitu sekarang, setelah semua mendengarnya,” kata Ranjani.

Sebelum Rajendra bisa menjawab, Baron muncul sambil mengunyah daging kering. Ia menyeringai lebar.

Baron menatap para wanita itu dengan mata licik lalu mengangkat bahu.

“Rajendra sudah setuju, kalian tahu? Dia bilang, dia akan menyerahkan salah satu dari wanita ini untukku. Aku tinggal pilih saja, katanya,” ucap Baron sambil berjalan mendekat.

Suara Baron meledak seperti petir di siang bolong. Wajah Ranjani langsung berubah dingin.

“Benar, kan?” kata Ranjani, getir. “Dia tidak berubah. Tidak akan pernah.”

Ranjani menarik napas dalam-dalam. “Selama satu hari ini kita tertipu dengan sikap manisnya.”

Kirana memejamkan mata seraya menggigit bibirnya. Hati wanita itu dipenuhi keraguan dan juga luka.

Tidak ada yang lebih buruk dibandingkan dengan dijual oleh suami sendiri.

“Cukup!” Rajendra melangkah maju, matanya berkilat. “jangan fitnah aku, Baron!”

Baron tertawa, “Fitnah? Hahaha! Aku hanya bilang apa yang terjadi!”

“Mulutmu busuk, seperti jiwamu!” desis Rajendra.

Baron melipat tangan di dada. “Kalau begitu, kita selesaikan seperti pria. Duel satu lawan satu.”

Belum sempat Rajendra menjawab, Tama, pengawal muda yang selalu setia di sisinya, maju dan mengepalkan tangan.

“Biar aku saja, Yang Mulia! Aku akan melawan dia untukmu!” ucap Tama.

Tama tahu, Pangeran Rajendra tidak bisa berkelahi. Dia tidak pernah mendapatkan pelajaran ilmu beladiri selama ini. Jadi, tidak mungkin membiarkan pangeran Rajendra berduel satu lawan satu dengan seorang preman seperti Baron.

Baron terbahak. “Yang Mulia? Pfft! Dia ini Pangeran? Tidak pantas sama sekali. Bahkan tak punya uang untuk menyuap seekor anjing!”

Rajendra menatap Tama. “Tidak. Ini bukan urusanmu.”

Surapati hendak maju, tapi Rajendra menahannya.

“Tidak ada yang bergerak. Biarkan aku yang melawannya.”

Baron melangkah ke tengah tanah lapang. “Ayo, Tuan Pangeran. Tunjukkan kalau kau punya nyali.”

Pertarungan dimulai.

Baron menyerang dengan brutal, mengandalkan kekuatan besar dan gerakan liar. Tapi Rajendra menghindar dengan cekatan. Ia membaca setiap gerakan lawannya seperti buku terbuka.

Sekali pukulan telak mendarat di perut Baron. Lalu satu tendangan keras menghantam lututnya. Baron ambruk dalam waktu kurang dari satu menit.

Semua orang ternganga.

“Tidak mungkin…” bisik Kirana. “Pangeran tidak pernah bisa bela diri. Kenapa dia bisa begitu hebat?”

Surapati tersenyum tipis. “Bakat memang menurun dari leluhur. Aku seperti melihat kakeknya Pangeran yang telah moksa.”

Sebagai mantan pelatih bela diri modern, Rajendra memang punya kemampuan tinggi. Dan sekarang, ia tak segan memanfaatkannya.

Rajendra mendekat ke arah Baron yang masih tergeletak. “Katakan yang sebenarnya. Sekarang.”

Baron mengerang kesakitan. “Baik, baik, aku bohong! Dia tidak pernah menawarkan wanita-wanita itu. Aku hanya ingin mempermalukannya. Ampuni aku.”

Rajendra menatap kedua istrinya. “Kalian dengar sendiri. Aku tidak akan menjual kalian. Aku mungkin banyak kekurangan, tapi aku tidak sekeji itu.”

Kirana menunduk, penuh rasa bersalah. Bahkan dia mulai menitikkan air matanya.

“Maafkan kami, Yang Mulia,” ucap Kirana dengan pelan. “kami sempat meragukanmu.”

Tapi Ranjani masih berdiri dengan ekspresi keras. Ia memalingkan wajah.

“Aku belum percaya. Mungkin ini hanya bagian dari permainan berikutnya.”

Rajendra tak berkata apa-apa lagi. Dia hanya memberi perintah singkat.

“Kita istirahat malam ini di rumah itu.”

Rumah kayu yang jadi tempat istirahat mereka ternyata kecil. Hanya ada satu kamar dan satu ruangan besar di tengah.

Kirana melirik Rajendra. “Apakah ini berarti, kita semua akan tidur bersama?”

“Kamu saja yang tidur di dalam bersama dengannya. Aku akan tidur di luar,” kata Ranjani.

“Tidak boleh Ranjani. Kamu seorang wanita dan istri Pangeran. Mana mungkin kamu tidur di luar. Tetap tidur di dalam,” kata Kirana melarang.

“Itu benar. Kamu tidur di dalam saja. Aku yang akan tidur di luar,” kata Rajendra.

Namun kemudian Surapati angkat bicara. “Yang Mulia tidak boleh tidur di lantai. Jangan mencoreng leluhurmu.”

Akhirnya, Rajendra pasrah dan tidur di kamar sempit itu. Ia duduk bersandar di dinding, matanya memejam, mencoba tidur. Namun keheningan malah membuat pikirannya melayang.

Aroma harum yang lembut tercium dari kanan dan kiri. Wewangian kerajaan yang tahan lama meski terkena peluh, dipakai oleh para istri. Hal ini membuat Rajendra menelan ludah.

Rajendra membuka mata sedikit. Ranjani di sebelah kiri tertidur dengan damai. Sementara di sebelah kanan, ada Kirana. Bajunya agak terbuka karena kebesaran, memperlihatkan belahan dada yang menggoda. Kulitnya lembut seperti porselen, napasnya halus.

“Ya Tuhan…” gumam Rajendra. “Ini ujian macam apa?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Tidur Bersama Dua Istri

    Rajendra, pria dari dunia modern yang kini terperangkap dalam tubuh pangeran dari kerajaan Bharaloka, terbaring di antara dua istrinya yang cantik jelita. Seharusnya ini adalah anugerah, bahkan mimpi bagi sebagian pria. Namun baginya, ini adalah penyiksaan yang tak berujung. Kepalanya mendidih. Dadanya sesak. Nafasnya berat. Dan ... adiknya di bawah sana menegang. Rasanya, dia ingin sekali menyentuh mereka. Dia ingin membenamkan diri dalam kenikmatan yang selama ini hanya ia ketahui lewat imajinasi. Tapi ... ia malu. Bagaimana caranya membuka pakaian di depan wanita? Lebih dari itu, bagaimana mungkin ia melakukannya saat ada wanita lain yang bisa melihat? Malu. Itu yang ia rasakan. Malu sebagai pria yang tak berpengalaman. Malu sebagai pangeran yang harusnya sudah biasa memimpin di ranjang. Jika saat melakukannya dan dia tidak ahli, apa yang akan dikatakan oleh keempat istrinya itu? Mau ditaruh mana wajahnya? Rajendra berusaha memejamkan mata. Dia mencoba mengusir semua g

    Last Updated : 2025-04-11
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Surga Bagi Para Pria

    Suara langkah kaki terdengar dari luar rumah kayu tua itu. Bukan hanya satu atau dua orang, ini seperti sekelompok orang yang datang bersama. Pintu rumah terbuka. Surapati, dengan tubuh tegap dan dada membusung, melangkah keluar lebih dulu. Empat pengawal di belakangnya juga bersiaga, tangan mereka menggenggam gagang pedang, mata mereka tajam mengamati setiap gerakan mencurigakan. “Ada apa ini?” tanya Surapati lantang. “kenapa kalian datang segerombol?” Dari rombongan orang yang datang, seorang pria berkulit putih dengan rambut keperakan melangkah ke depan. Pakaiannya sederhana, tapi bersih dan rapi. Sorot matanya tajam namun damai, dan senyumnya menyiratkan keramahan yang tulus. “Aku Kepala Desa Gunung Jaran,” ucap pria itu dengan suara berat dan tegas. “namaku Arwan.” “Kepala desa?” tanya Tama. “Apa yang membawanya ke sini?” tanya Ranjani. Bisik-bisik penuh tanya langsung menyebar di antara para anak buah Rajendra. Surapati tetap berdiri tegak tanpa ada rasa takut se

    Last Updated : 2025-04-11
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Makan Bersama

    Dalam perjalanan menuju Desa Gunung Jaran, dia melihat ada beberapa tanah lapang yang tidak terurus. Dia berpikir di sana dia bisa melakukan sesuatu. Meski belum terpikirkan akan melakukan apa.Aroma masakan dari dapur mulai tercium. Beberapa anak buah Rajendra menyebut aromanya harum dan membuat mereka lapar.Namun bagi Rajendra, aroma masakannya sama sekali tidak menggugah selera.“Untung saja penduduk desa memberi hadiah. Jadi, kita bisa makan,” ucap Tama, bersemangat.Surapati mengangguk dengan penuh senyuman. “Setidaknya menyelamatkan kita hari ini.”Kemudian Surapati menatap ke arah Tama dan beberapa prajuritnya yang lain sambil berkata, “Jadi, setelah makan, kita harus mencari sesuatu untuk dimakan besok. Kita berburu ke hutan. Siapa tahu di sana ada ayam atau kelinci. Jika tidak ada, mungkin ada tikus.”Semuanya setuju.Rajendra mengerutkan keningnya. Dia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Surapati.“Kalian makan tikus?” tanya Rajendra dengan mimik wajah kaget bercampur j

    Last Updated : 2025-04-19
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Saling Menindih Tanpa Busana

    "Maaf, Yang Mulia. Ini salahku." Kirana menunduk dalam-dalam. Suaranya bergetar, tubuh mungilnya menegang seperti daun kering yang siap diterbangkan angin.Rajendra meletakkan sendoknya. Bubur gandum itu hambar, kental seperti lumpur, dan menyisakan pahit aneh di ujung lidah. Tapi bukan itu yang membuatnya mengernyit. Melainkan ekspresi Kirana yang seolah menanti dicambuk di depan umum.Ranjani tidak mau Kirana dihukum. Sebab Kirana sangat lemah. Oleh karena itu dia pun buru-buru membuka mulutnya."Yang Mulia, ini salahku. Kirana hanya membantu. Jika harus dihukum, hukum aku saja. Aku yang bertanggung jawab,” ucap Ranjani.Rajendra memandangi kedua istrinya. Kirana yang ringkih seperti anak kecil kelaparan, dan Ranjani yang duduk tegak penuh keberanian, meski lehernya menegang dan telapak tangannya bergetar halus.“Jadi apakah rasanya memang seperti ini? Atau kalian lupa menambahkan bumbu?” Rajendra menatap Ranjani, tak menunjukkan amarah, hanya rasa penasaran yang serius.Ranjani men

    Last Updated : 2025-04-20
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Aku Bisa!

    Tatapan mata Rajendra menusuk. Ranjani yang awalnya hendak melompat turun dari tempat tidur, kini membeku di bawah tubuh suaminya sendiri. Napasnya tercekat, dadanya naik-turun dengan cepat. Tubuhnya yang polos menempel langsung pada dada Rajendra yang kencang dan hangat.“Yang Mulia…” bisik Ranjani dengan suara gemetar. Wajahnya memerah, bukan karena malu semata, tapi karena tubuhnya menghangat, didorong rasa yang selama ini dia sembunyikan.Rajendra sendiri menelan ludah. Tubuhnya menegang. Otaknya tahu ini salah waktu, tapi tubuhnya menolak bergerak.Hangat tubuh Ranjani, aroma kulitnya, dan kedekatan yang membutakan, semua bercampur menjadi gelombang aneh di dalam dada Rajendra.Sejak pernikahan, Rajendra dulu memang telah menyentuh Ranjani. Tapi hanya sekali. Dan itu pun dalam kondisi marah. Sisanya, ia lebih sering tidur bersama para istrinya yang lain yang lebih nurut.Saat tangan Rajendra hendak bergerak turun untuk menyentuh tubuh Ranjani, pintu kamar tiba-tiba terbuka.“Ranj

    Last Updated : 2025-04-21
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Tanah Yang Diklaim

    Desingan tajam anak panah yang meluncur ke arah Rajendra seolah menghentikan waktu. Semua yang melihat hanya bisa mematung, menyaksikan maut mendekat dalam garis lurus yang sempurna menuju jantung sang pangeran.Namun mereka salah.Sebuah gerakan cepat yang hampir tak terlihat, dilakukan oleh Rajendra. Dengan satu tangan, dia meraih anak panah itu di udara, menggenggamnya kuat sebelum ujungnya sempat menyentuh kulitnya.Suasana hutan mendadak sunyi. Bahkan angin pun seolah berhenti berhembus.Rajendra melempar anak panah itu ke tanah, matanya menyala dengan amarah. “Sialan! Siapa kau? Keluar jika berani!” teriaknya.“Lindungi Yang Mulia!” pekik Tama.Prajurit yang lain langsung membentuk formasi defensif, membentuk lingkaran dengan pedang terhunus dan busur yang siap melesat, menjaga Rajendra di tengah-tengah mereka.Namun Rajendra juga tidak lengah. Matanya menyisir semak-semak, mengamati setiap gerakan dedaunan dengan ketajaman seekor elang.Dari balik semak, dua orang pria melangka

    Last Updated : 2025-04-21
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Harapan Baru

    Rajendra duduk bersandar di dinding kayu rumah. Di tangannya masih tersisa aroma tanah dari sore yang panjang di hutan.Rajendra memejamkan mata sejenak, membayangkan biji-biji gandum itu digiling menjadi tepung putih halus, lalu diolah menjadi roti hangat yang mengepul di pagi hari.“Yang Mulia,” suara lembut itu membuyarkan lamunannya.Kirana bersimpuh di ambang pintu kamar, tubuhnya dibalut kain tipis tidur yang sederhana. Rambutnya terurai, dan di bawah cahaya pelita, wajahnya tampak tenang. Namun ada sesuatu di dalamnya. Ada kecemasan yang disembunyikan.“Ayo tidur. Ini sudah malam,” ucap Kirana, pelan dan lembut.Rajendra membuka mata. Tatapannya bertemu mata Kirana. Jantungnya berdetak, cepat dan tak karuan.Ia mengalihkan pandangan. “Sebentar lagi.”Kirana menatap wajah Rajendra. Dia ingin mengajak suaminya lagi untuk tidur, namun Ranjani berdiri di belakangnya dan menyahut tajam.“Sudahlah, Kirana. Jangan paksa Yang Mulia tidur kalau dia tak ingin. Biarkan saja mau tidur atau

    Last Updated : 2025-04-22
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Berkeringat

    Nada lembut itu menusuk langsung ke dalam jantung Rajendra. Suara Kirana terasa seperti bisikan angin musim semi yang menyentuh kulit, terlalu halus dan terlalu manja untuk didengar dalam kamar sempit dengan dua wanita yang bersamanya. “Yang Mulia menginginkan sesuatu malam ini?” tanya Kirana lagi, masih dalam nada rendah yang membuat darah Rajendra mengalir ke tempat-tempat yang tak seharusnya. Rajendra mengalihkan tatapannya. “Tidak. A-aku hanya ingin tidur.” Kirana terdiam sejenak. Lalu ia menggeser tubuhnya, memberikan ruang. “Maafkan aku, mungkin aku membuat tempat tidur ini jadi terlalu sempit.” “Tidak apa-apa,” balas Rajendra singkat, tanpa menatap istrinya. Rajendra hanya ingin malam itu berlalu cepat. Sebab dia belum siap. Meskipun tubuhnya merespons dengan liar, pikirannya masih terlalu bingung dan dipenuhi ketakutan. Rajendra takut mengecewakan, takut tidak cukup baik, dan takut menjadi lelucon di ranjang. Akhirnya Rajendra berbaring di atas kasur dengan perl

    Last Updated : 2025-04-22

Latest chapter

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Roti Manis

    Untuk menjaga keamanan desa malam itu, Rajendra menunjuk enam orang pengikutnya untuk berjaga secara bergilir. Ia sendiri memilih untuk tidak ikut berjaga. Kekhawatiran akan kondisi kedua istrinya yang tampak ketakutan membuatnya ingin segera pulang dan memastikan mereka baik-baik saja.Rajendra kembali ke rumah bersama Banyu dan dua orang pengikut lainnya. Mereka akan berjaga besok pagi sampai sore hari.Sesampainya di rumah, Rajendra disambut oleh Ranjani dan Kirana dengan tatapan mata yang penuh tanda tanya dan kecemasan.“Yang Mulia, apa yang terjadi?” sapa Ranjani dengan nada sedikit tegang.Rajendra tidak langsung menjawab. Dia merasakan aura ketakutan yang menyelimuti rumahnya.“Aku takut, Yang Mulia,” lirih Kirana sambil memeluk lengan Rajendra erat-erat.Rajendra mengusap lembut kepala Kirana dan juga Ranjani secara bergantian. “Tidak ada apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir.”“Bagaimana bisa baik-baik saja, Yang Mulia? Bambu keramat itu telah di

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Keputusan Rajendra

    Mendengar cerita mengerikan dari pria tua itu tentang orang yang menghilang setelah menebang bambu keramat, bulu kuduk para pengikut Rajendra langsung meremang. Mereka tanpa sadar mempercepat langkah untuk segera kembali ke desa, menjauhi hutan yang kini terasa angker.Namun, di benak mereka, terlintas kekhawatiran yang sama: bagaimana dengan Dipa yang masih terpaku di luar desa?“Cepat masuk ke rumah kalian semua! Jangan ada yang berani keluar malam ini!” seru pria tua itu dengan nada panik sebelum akhirnya berlari masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu dengan tergesa-gesa.Para pengikut Rajendra saling bertukar pandang dengan ekspresi kebingungan dan ketidakpastian. Mereka semua menunggu keputusan apa yang akan diambil oleh sang pangeran.“Jangan tinggalkan aku di sini, kumohon…” lirih Dipa dengan suara bergetar, air mata mulai membasahi pipinya.Ia kemudian menoleh ke arah Rajendra dengan tatapan memelas. “Yang Mulia … jangan tinggalkan saya. Sungguh, saya sangat takut.”Hati pa

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Semakin Mencekam

    Mendengar teriakan panik Dipa, langkah Rajendra yang sedang memeriksa bambu-bambu yang sudah ditebang terhenti. Ia segera menghampiri Dipa yang masih mematung dengan wajah pucat pasi. “Ada apa, Dipa? Tenanglah,” tanya Rajendra berusaha menenangkan. “Y-Yang Mulia … a-aku … aku baru saja menebang pohon keramat,” jawab Dipa dengan suara bergetar hebat, matanya memandang nanar ke arah bambu yang mengeluarkan cairan merah pekat. Rasa dingin langsung menjalar di tulang belakang para pengikut Rajendra yang lain. Mereka membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi setelah melanggar pantangan desa. Banyu yang merupakan sepupu Dipa langsung menyalahkan pemuda itu dengan nada panik. “Bodoh kamu, Dip! Kenapa tidak hati-hati! Sekarang bagaimana ini?!” Surapati mendekati bambu yang mengeluarkan cairan merah itu. Ia mengamatinya dengan seksama, namun raut wajahnya menunjukkan kebingungan. “Ini aneh. Aku tidak pernah melihat bambu yang mengeluarkan darah. Mungkin benar, bambu ini t

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Bambu Keramat

    Arwan menghela napas panjang, raut wajahnya menggambarkan beban berat yang selama ini ia pikul bersama warganya. “Kami harus menyetor upeti sebesar lima belas Orun emas setiap empat bulan sekali, Yang Mulia. Itu artinya, tiga kali dalam setahun kami harus menyerahkan total empat puluh lima Orun emas kepada kerajaan.”Mendengar nominal tersebut, Rajendra yang tidak familiar dengan mata uang di zaman itu, dia hanya bisa menerka-nerka nilainya.Namun, dari nada bicara Arwan yang penuh keputusasaan dan ekspresi wajahnya yang menggambarkan penderitaan, ia tahu pasti bahwa jumlah itu sangatlah besar dan memberatkan bagi perekonomian desa.“Dengan jumlah penduduk yang sedikit dan sebagian besar warga hidup dalam kondisi pas-pasan, upeti sebesar itu benar-benar mencekik kami, Yang Mulia,” lanjut Arwan dengan nada lirih.Rajendra mengerutkan keningnya, merasa iba dengan nasib warga Desa Gunung Jaran.“Apakah kalian sudah pernah mencoba meminta keringanan kepada raja?” tanya Rajendra dengan nad

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Penolakan

    Suryakusuma yang mendengar nada bicara Kepala Desa Arwan yang penuh keramahan, mencoba meluruskan kesalahpahaman yang mungkin timbul. Ia tidak ingin dianggap tidak menghargai pemimpin desanya.Namun, alasan sebenarnya di balik penolakannya untuk berkenalan dengan Rajendra adalah prasangka buruk yang sudah mengakar di benaknya.“Bukan begitu maksud saya, Kepala Desa,” kata Suryakusuma dengan nada dibuat-buat menyesal. “saya sangat menghormatimu. Hanya saja, saya sudah terlalu sering bertemu dengan orang-orang seperti dia, orang asing yang datang dengan wajah polos namun menyimpan niat tersembunyi.”Kepala Desa Arwan mengerutkan keningnya, merasa bingung dengan ucapan Suryakusuma.“Memangnya apa yang salah dengan Rajendra, Juragan? Saya melihatnya sebagai orang yang sopan dan memiliki niat baik untuk membantu desa kita,” tanya Arwan.“Mereka itu penuh dengan kemunafikan, Kepala Desa,” balas Suryakusuma dengan nada sinis. “mereka berpura-pura baik dan peduli pada awalnya, tapi pada akhir

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Berkeliling Desa

    Pertanyaan Rajendra menggantung di udara, menciptakan keheningan yang mencekam di antara mereka.Ranjani dan Kirana saling pandang, raut wajah mereka dipenuhi dengan kesedihan dan keprihatinan. Mereka tahu, ingatan Pangeran mereka perlahan mulai kembali, membawa serta luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.“Apakah aku … punya empat istri?” tanya Rajendra sekali lagi, nadanya penuh harap namun juga tersirat ketakutan akan jawaban yang mungkin ia terima. “aku baru saja mengingat kilasan masa lalu di mana ada 4 wanita di sampingku.”Ranjani menghela napas pelan sebelum menjawab dengan suara lirih, “Iya, Yang Mulia memiliki empat orang istri.”“Di mana … di mana yang dua lagi?” tanya Rajendra dengan wajah yang kini dipenuhi kepanikan.Bayangan samar-samar tentang kejadian mengerikan di malam kudeta mulai berputar lagi di benaknya.Tiba-tiba, air mata Kirana mengalir deras membasahi pipinya. Ia terisak pelan, mengingat kedua sahabatnya yang kini tidak lagi bersama mereka. Kenangan akan ma

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Kilasan Masa Lalu

    Melihat nada bicara dan tatapan mata Suryakusuma yang merendahkan, Surapati yang berdiri di belakang Rajendra tidak bisa tinggal diam.Insting seorang prajuritnya kembali muncul. Ia khawatir jika Pangeran Rajendra yang menanggapi langsung, emosi masa lalunya bisa saja kembali menguasai. Lebih baik ia yang maju dan menghadapi orang sombong ini.Dengan langkah mantap, Surapati mendekat ke arah Suryakusuma. Matanya menatap dengan tajam.“Maafkan kelancangan saya, Tuan,” ucap Surapati dengan nada sopan namun tegas. “kami datang ke desa ini tidak dengan niat mengganggu. Sebaliknya, kami justru ingin memberikan kontribusi yang baik bagi kemajuan dan keamanan desa ini.”Suryakusuma menoleh dengan tatapan merendahkan ke arah Surapati.“Siapa kau berani bicara denganku? Apa kau salah satu anak buah orang asing ini?” tanya Suryakusuma dengan mata melotot sambil menunjuk wajah Rajendra dengan jari telunjuknya.“Benar, Tuan. Saya adalah salah satu pengikut Tuan Rajendra. Dan saya bertanggung jawa

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Ancaman Dari Suryakusuma

    Mendengar kata-kata Wira yang penuh dengan racun dan hasutan, telinga Suryakusuma terasa panas. Julukan “idola baru” bagaikan duri yang menusuk hatinya yang selama ini haus akan pengakuan dan puja-puji. Ia merasa terancam, seolah ada seseorang yang berani merebut tahta popularitasnya di desa ini.“Siapa orang itu? Di mana rumahnya?” tanya Suryakusuma dengan nada suara yang meninggi, menyiratkan kemarahan yang mulai membara.Wira merasakan kegembiraan yang luar biasa dalam hatinya melihat reaksinya. Rencananya untuk memanfaatkan kekayaan dan pengaruh Suryakusuma untuk menjatuhkan Rajendra tampak berjalan sesuai harapan. Namun, di hadapan Juragan, ia tetap mempertahankan ekspresi datar dan penuh keprihatinan palsu.“Namanya Rajendra, Juragan. Dia tinggal di rumah kosong yang dulu ditempati oleh preman Baron. Mereka merebut rumah itu setelah berhasil mengalahkan Baron dan anak buahnya,” jelas Wira dengan nada hati-hati, seolah takut menyinggung perasaan Suryakusuma.Mata Suryakusuma mem

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Dukungan

    Rajendra akhirnya hanya bisa tertawa saja untuk merespon harapan kepala desa itu. Arwan tampak sedikit bingung melihat reaksi Rajendra yang tidak terduga. Ia khawatir kalau perkataannya tadi menyinggung perasaan pemuda itu. “Maafkan saya jika perkataan saya kurang pantas, Rajendra,” ucap Arwan dengan nada menyesal. “saya hanya memikirkan yang terbaik untuk desa ini…” Belum sempat Arwan melanjutkan perkataannya, tiba-tiba muncul Dipa, seorang pemuda berbadan tegap yang merupakan sepupu Banyu. Dipa datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah piring berisi dua potong roti pipih yang masih hangat. Aroma gurih yang bercampur dengan aroma Bakaran, langsung menyeruak, membuat perut Arwan yang belum terisi sejak pagi bergejolak. “Tuan, ini rotinya,” kata Dipa dengan sopan sambil menyodorkan piring tersebut kepada Rajendra. Rajendra menerima piring itu dan tersenyum kepada Dipa. Kemudian, ia mengulurkan piring itu kepada Arwan. “Kepala Desa, perkenalkan, ini adalah makanan buata

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status