Rajendra, pria dari dunia modern yang kini terperangkap dalam tubuh pangeran dari kerajaan Bharaloka, terbaring di antara dua istrinya yang cantik jelita.
Seharusnya ini adalah anugerah, bahkan mimpi bagi sebagian pria. Namun baginya, ini adalah penyiksaan yang tak berujung. Kepalanya mendidih. Dadanya sesak. Nafasnya berat. Dan ... adiknya di bawah sana menegang. Rasanya, dia ingin sekali menyentuh mereka. Dia ingin membenamkan diri dalam kenikmatan yang selama ini hanya ia ketahui lewat imajinasi. Tapi ... ia malu. Bagaimana caranya membuka pakaian di depan wanita? Lebih dari itu, bagaimana mungkin ia melakukannya saat ada wanita lain yang bisa melihat? Malu. Itu yang ia rasakan. Malu sebagai pria yang tak berpengalaman. Malu sebagai pangeran yang harusnya sudah biasa memimpin di ranjang. Jika saat melakukannya dan dia tidak ahli, apa yang akan dikatakan oleh keempat istrinya itu? Mau ditaruh mana wajahnya? Rajendra berusaha memejamkan mata. Dia mencoba mengusir semua gambaran menggoda itu dari pikirannya. Namun tubuhnya tidak berbohong. Rasa panas menjalari perutnya, naik ke dada, dan membuat pikirannya terus-menerus memikirkan hal-hal tak pantas. Saat sedang tegang-tegangnya, tiba-tiba, sebuah tangan lembut menyentuh pahanya. Rajendra menelan saliva. Rajendra kembali dibuat tersentak tatkala tangan itu kembali naik, kini lebih ke atas. Mata Rajendra terbuka lebar, jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Ia menoleh dan melihat Kirana masih terpejam matanya, menandakan wanita itu sedang berada di alam lain. Yang mungkin saja lebih indah dari dunia nyata. “Kirana...?” bisik Rajendra, nyaris tak terdengar. Wanita itu tidak menjawab. Tapi tangan mungilnya merayap sedikit lebih tinggi hingga membuat Rajendra semakin menggeliat. Rajendra memandangi wajah Kirana yang damai, lalu matanya secara tak sadar bergerak turun. Jubah yang dikenakan Kirana itu kebesaran sehingga memperlihatkan garis tubuhnya dengan sempurna. Bukit indah itu naik-turun seiring napas lembut Kirana, dan Rajendra nyaris kehilangan kendali. “Tidak. Ini salah. Ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan itu. Aku harus menjauh.” Batin Rajendra. Dengan gerakan cepat, Rajendra bangkit dari ranjang. Namun langkahnya terhenti saat suara lembut memanggilnya. “Yang Mulia, mau ke mana?” tanya Kirana yang terbangun karena gerakan kasar dari sang pangeran. Kirana membuka matanya dan menatapnya dengan sorot mengantuk namun jelas penasaran. Rajendra gugup. “Eh, ini ... aku gerah. Ingin ambil udara segar.” Mendengar keributan, membuat Ranjani pun terbangun. “Ada apa? Apakah sudah pagi?” “Tidak ada apa-apa. Aku hanya gerah. Maaf sudah membangunkan kalian,” jawab Rajendra, gugup. Kirana bangkit dan duduk di tempat tidur, rambut panjangnya terurai, dan matanya setengah menyipit menggoda. “Kalau gerah, buka saja baju Yang Mulia. Aku bisa mengipasi agar tidak gerah lagi.” Nada suaranya pelan, tetapi mengandung maksud yang dalam. Rajendra terpaku, menatap mata Kirana, lalu perlahan turun ke bibirnya, leher jenjangnya, dan lekuk tubuhnya yang membangkitkan gairah terpendam. Rajendra menelan ludah. Lalu, dengan suara setengah berbisik, kirana bertanya, “Bagaimana? Apakah Yang Mulia mau? “Mau? Mau apa?” tanya Rajendra, bingung. Otak liarnya sedang bekerja saat ini. Kirana menyeringai kecil, dan tubuhnya mulai mendekat. Tapi sebelum sempat ada jarak yang terhapus, sebuah suara datar memotong momen itu. “Tolong jangan ribut. Kalau mau berbuat sesuatu, simpan untuk nanti. Besok masih akan menjadi hari yang panjang. Kita perlu istirahat.” Ranjani menyuarakan kejengkelannya. Rajendra langsung panik. “Tidak perlu, aku keluar saja sebentar. Setelah tidak gerah, aku akan kembali.” Rajendra pun bergegas keluar, meninggalkan kamar dengan wajah memerah. “Apa yang terjadi padanya?” tanya Kirana, dengan ekspresi wajah yang bingung. Kirana kemudian menoleh ke arah Ranjani. “Apa kamu pikir dia gegar otak?” “Mungkin saja. Dia cukup aneh seharian ini,” jawab Ranjani. “Ya. Aku pikir dia seperti orang asing. Bahkan seperti takut pada kita. Padahal kalau dulu, dialah yang selalu membuat kita takut. Bahkan urusan ranjang pun, dia selalu memaksa tanpa tahu situasi dan kondisi,” kata Kirana. “Itu bagus.” Ranjani menutup matanya kembali. “lebih baik jadi pria asing yang baik daripada suami kita sebelumnya yang kasar.” Di luar, Rajendra duduk di tangga rumah kayu itu, menatap langit berbintang. Udara dingin menyapu kulitnya, namun pikirannya tetap panas. Rajendra menyadari satu hal. Tubuh ini bukan hanya tubuh baru, tapi warisan dari seorang pangeran yang penuh masalah. Rajendra menatap ke kejauhan, lalu melihat dua orang pengawal berjaga. Keduanya menoleh dan segera berdiri tegak saat melihatnya. “Yang Mulia, apakah Anda tidak bisa tidur?” tanya salah satu pengawal. Rajendra mengangguk pelan. Lalu dia bertanya, “Aku ingin bertanya sesuatu. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kerajaan bisa diserang?” Kedua prajurit itu saling pandang, ragu. “Apa maksud Yang Mulia?” “Aku tidak ingat semuanya. Hanya kilasan. Kudeta, suara-suara, percakapan terakhir dengan Raja. Lalu gelap.” Salah satu dari mereka menarik napas dalam-dalam. “Yang Mulia, Anda memang pingsan cukup lama. Tapi, apakah Anda benar-benar tidak mengingat bahwa sepupu Yang Mulia, pangeran Gantara, memimpin kudeta?” Rajendra terdiam. Nama itu, Gantara, seperti bara yang tiba-tiba menyala dalam dadanya. “Pangeran Gantara menguasai militer. Dia punya pengaruh besar di kalangan prajurit. Kami tidak bisa melawan. Kami hanya bisa menyelamatkan Anda, demi harapan masa depan kejaraan Bharaloka.” Amarah menyusup dalam dada Rajendra. Dia tak punya kenangan atau emosi terhadap kerajaan itu. Namun entah kenapa, mendengar tentang pengkhianatan itu membuatnya marah. Seolah tubuh ini mengingat segalanya meski pikirannya tidak. “Aku akan merebut kembali kerajaanku,” katanya pelan tapi pasti. “Apa pun caranya.” Para prajurit itu menunduk hormat. “Kami siap mengorbankan nyawa kami.” Malam terus berputar. Rajendra tidak tidur. Ia duduk di sana, menatap langit, mengenang sisa-sisa ingatan yang belum utuh. Ia tahu satu hal pasti, jalan di depannya panjang dan berdarah. Saat fajar menyingsing, Rajendra masuk kembali ke dalam rumah. Istrinya sudah bangun. Tapi mereka semua tampak lemas, pucat, dan lesu. “Kami lapar...” lirih Kirana. “Aku juga,” sambung Ranjani. “perutku keroncongan.” Rajendra tak tahan melihat mereka seperti itu. “Aku akan cari makan.” Rajendra bergegas keluar kamar dan menemui Tama yang sedang memeriksa senjata. “Tama, apa kita punya cadangan makanan?” tanya Rajendra. “Tidak ada, Yang Mulia. Kami baru akan berburu hari ini, tapi ada sedikit masalah. Ini wilayah orang. Kami belum tahu kondisi sekitar,” jawab Tama. Rajendra mengangguk. Tapi sebelum sempat berkata lagi, suara langkah kaki terdengar. Beberapa pria dengan pakaian lusuh mendekat, membawa keranjang anyaman. Tama waspada, tapi Rajendra mengangkat tangannya.Suara tawa menyeramkan itu membuat Bhaskara merinding. Ia menoleh, melihat Aditya tertawa terbahak-bahak dengan mata melotot. Tawanya seperti iblis yang siap mencabik-cabik."Diam kau!" bentak Bhaskara, lalu menampar wajah Aditya dengan keras. "Jaga bicaramu!"Aditya tidak berhenti. Tawanya malah semakin keras. "Kau akan mati, Bhaskara! Kau akan ditelan bumi hidup-hidup! Tubuhmu akan dikuliti! Kau akan mati!" teriaknya.Bhaskara yang tadinya sangar, kini mulai ciut. Ia mundur selangkah, menatap Aditya dengan mata penuh ketakutan. Ekspresi Aditya begitu mengerikan, seperti iblis yang telah bangkit dari neraka."Kau akan mati. Tubuhmu akan dikuliti!" bisik Aditya, lalu sedetik kemudian, ia tertawa lagi.Bhaskara tidak tahan. Ia menampar wajah Aditya sekali lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Ia tidak ingin mendengar lagi suara tawa itu. Ia tidak ingin mendengar lagi ancaman itu. Ia pun menjauh, membiarkan Aditya sendirian.Tiba-tiba, suara perempuan menangis sambil berlari terde
Arwan menghela napas. Ia menatap wajah-wajah bingung di hadapannya. Ia tahu, mereka tidak akan mengerti jika ia tidak menjelaskan semuanya. Ia harus meyakinkan mereka, ia harus membuat mereka percaya."Mereka datang ke sini," ucap Arwan, suaranya tenang dan tegas, "karena mereka ingin perubahan dalam hidup mereka. Selama ini, mereka tertindas di desa mereka sendiri. Kepala desa mereka serakah dan kejam, mengambil hak-hak mereka, membiarkan mereka kelaparan, dan hidup dalam ketakutan. Mereka datang ke sini karena mereka tahu, di sini, mereka akan menemukan kehidupan yang lebih baik."Seorang warga, seorang pria yang memegang parang, mengerutkan kening. "Tapi kenapa harus ke sini? Desa kita ini adalah desa terpencil, Kepala Desa. Seharusnya mereka pergi ke kota, di sana mereka bisa mendapatkan pekerjaan, di sana mereka bisa hidup lebih layak."Arwan tersenyum. Senyum penuh makna. "Kau salah, saudaraku. Justru di sini adalah permulaan dari kejayaan dan kesejahteraan. Di sini, kita akan m
Rajendra menatap Ranting dengan lembut. "Angkat kepalamu, Nak," ucapnya dengan nada menenangkan. "Aku ingin melihat wajahmu."Ranting perlahan mengangkat kepalanya. Matanya yang sembab bertemu dengan tatapan hangat Rajendra. Rasa malu masih terlihat jelas di wajahnya. "Maafkan saya, Tuan," lirih Ranting."Maaf untuk apa, Ranting?" tanya Rajendra, mengerutkan kening. "Kau sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Justru, ini adalah tugas kami untuk menyelamatkanmu. Jangan pernah merasa bersalah karena mencari pertolongan."Ranting menunduk lagi, memainkan jemarinya. "Tapi ... tapi seharusnya saya tidak kabur ke Desa Ranjagiri. Itu sama saja menyerahkan diri saya sendiri ke dalam bahaya. Seharusnya... seharusnya saya meminta bantuan pada Anda, Tuan."Rajendra menghela napas. Ia baru menyadari, ada sesuatu yang lebih dalam di balik kaburnya Ranting. Laporan dari ayahnya, Wiraga, hanyalah bahwa Ranting diculik oleh seorang pria tak dikenal."Ranting," kata Rajendra lembut, "sebelumnya aku
Rajendra melangkah maju, tatapannya menyapu seluruh wajah orang-orang yang dibawa Tama. Matanya tak lagi melihat keraguan atau ketakutan, melainkan sebuah percikan api harapan yang menyala terang.Mereka semua adalah orang-orang yang lelah berjuang, orang-orang yang mencari tempat untuk beristirahat, tempat untuk memulai hidup baru.Rajendra tersenyum. Senyum tulus yang memancar dari hatinya."Selamat datang, saudaraku sekalian," ucap Rajendra, suaranya lantang dan penuh wibawa. "Kalian telah membuat keputusan yang benar. Di sini, di tempat ini, kalian akan mendapatkan kehidupan yang layak, kehidupan yang makmur. Kalian akan menjadi bagian dari kami. Kami akan membangun sebuah kerajaan yang adil, yang makmur, dan yang akan melindungi kalian semua."Warga Desa Ranjagiri bersorak gembira. Mereka membayangkan kehidupan yang lebih baik, di mana mereka tidak perlu lagi takut pada penindasan, di mana mereka bisa hidup dengan damai. Mereka menunduk hormat, mengucapkan terima kasih berulang k
Saat permainan semakin memanas, Rajendra menatap kedua istrinya, wajahnya dipenuhi gairah. Ia tahu, saatnya telah tiba.“Aku ... aku tidak tahan lagi,” bisik Rajendra, suaranya serak. “A-aku... aku akan keluar.”Ranjani dan Kirana mengangguk, mata mereka berbinar. Mereka tahu apa yang Rajendra maksudkan. Ini adalah momen yang paling mereka tunggu-tunggu.“Jangan tahan,” bisik Ranjani. “biarkan saja, Yang Mulia.”“Kami akan membantumu mencapai puncaknya,” sahut Kirana, tangannya membelai paha Rajendra.Mereka pun beraksi. Ranjani mencium leher Rajendra, sementara Kirana mengusap punggungnya. Keduanya bersinergi, seolah telah terbiasa memuaskan Rajendra bersama-sama.Tak butuh waktu lama, suara lenguhan dalam dan panjang lolos dari tenggorokan Rajendra. Seluruh tubuhnya menegang, ia merasakan sensasi yang luar biasa saat cairan cintanya menyembur, membanjiri tubuh kedua istrinya. Ia lemas, terjatuh, namun wajahnya dipenuhi senyum puas.“Terima kasih, istri-istriku,” bisik Rajendra, napa
"Yang Mulia..." Ranjani mengerang, suaranya tercekat. "Pelan-pelan..."Rajendra tidak menggubris. Ia telah tenggelam dalam lautan gairah, pikirannya hanya dipenuhi hasrat untuk mencapai puncaknya. Ia mencium leher Ranjani, gerakannya makin cepat, tak peduli pada permohonan istrinya.Ranjani memejamkan mata, memeluk leher suaminya erat. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan desahan yang mendesak keluar dari tenggorokannya. Ia tak mau Kirana, yang terbaring pulas di ranjang sebelah, terbangun."Yang Mulia... aahhh..." Ranjani tak lagi bisa menahan diri. Sebuah desahan panjang lolos dari bibirnya, bersamaan dengan tubuhnya yang menegang dan lemas tak berdaya.Cairan cinta mengalir, membanjiri dirinya dengan sensasi kenikmatan yang memabukkan. Ia jatuh terduduk, lututnya tak sanggup lagi menopang tubuhnya.Di tengah keheningan yang tersisa, mata Kirana terbuka perlahan. Ia duduk, mengerjapkan matanya, dan memandang bingung ke arah sepasang kekasih yang tengah bercinta. Wajahnya polos, t