Share

Tidur Bersama Dua Istri

Author: Falisha Ashia
last update Huling Na-update: 2025-04-11 15:31:21

Rajendra, pria dari dunia modern yang kini terperangkap dalam tubuh pangeran dari kerajaan Bharaloka, terbaring di antara dua istrinya yang cantik jelita.

Seharusnya ini adalah anugerah, bahkan mimpi bagi sebagian pria. Namun baginya, ini adalah penyiksaan yang tak berujung.

Kepalanya mendidih. Dadanya sesak. Nafasnya berat. Dan ... adiknya di bawah sana menegang.

Rasanya, dia ingin sekali menyentuh mereka. Dia ingin membenamkan diri dalam kenikmatan yang selama ini hanya ia ketahui lewat imajinasi. Tapi ... ia malu.

Bagaimana caranya membuka pakaian di depan wanita? Lebih dari itu, bagaimana mungkin ia melakukannya saat ada wanita lain yang bisa melihat?

Malu. Itu yang ia rasakan. Malu sebagai pria yang tak berpengalaman. Malu sebagai pangeran yang harusnya sudah biasa memimpin di ranjang.

Jika saat melakukannya dan dia tidak ahli, apa yang akan dikatakan oleh keempat istrinya itu? Mau ditaruh mana wajahnya?

Rajendra berusaha memejamkan mata. Dia mencoba mengusir semua gambaran menggoda itu dari pikirannya. Namun tubuhnya tidak berbohong. Rasa panas menjalari perutnya, naik ke dada, dan membuat pikirannya terus-menerus memikirkan hal-hal tak pantas.

Saat sedang tegang-tegangnya, tiba-tiba, sebuah tangan lembut menyentuh pahanya. Rajendra menelan saliva.

Rajendra kembali dibuat tersentak tatkala tangan itu kembali naik, kini lebih ke atas. Mata Rajendra terbuka lebar, jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Ia menoleh dan melihat Kirana masih terpejam matanya, menandakan wanita itu sedang berada di alam lain. Yang mungkin saja lebih indah dari dunia nyata.

“Kirana...?” bisik Rajendra, nyaris tak terdengar.

Wanita itu tidak menjawab. Tapi tangan mungilnya merayap sedikit lebih tinggi hingga membuat Rajendra semakin menggeliat.

Rajendra memandangi wajah Kirana yang damai, lalu matanya secara tak sadar bergerak turun.

Jubah yang dikenakan Kirana itu kebesaran sehingga memperlihatkan garis tubuhnya dengan sempurna. Bukit indah itu naik-turun seiring napas lembut Kirana, dan Rajendra nyaris kehilangan kendali.

“Tidak. Ini salah. Ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan itu. Aku harus menjauh.” Batin Rajendra.

Dengan gerakan cepat, Rajendra bangkit dari ranjang. Namun langkahnya terhenti saat suara lembut memanggilnya.

“Yang Mulia, mau ke mana?” tanya Kirana yang terbangun karena gerakan kasar dari sang pangeran.

Kirana membuka matanya dan menatapnya dengan sorot mengantuk namun jelas penasaran.

Rajendra gugup. “Eh, ini ... aku gerah. Ingin ambil udara segar.”

Mendengar keributan, membuat Ranjani pun terbangun. “Ada apa? Apakah sudah pagi?”

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya gerah. Maaf sudah membangunkan kalian,” jawab Rajendra, gugup.

Kirana bangkit dan duduk di tempat tidur, rambut panjangnya terurai, dan matanya setengah menyipit menggoda. “Kalau gerah, buka saja baju Yang Mulia. Aku bisa mengipasi agar tidak gerah lagi.”

Nada suaranya pelan, tetapi mengandung maksud yang dalam. Rajendra terpaku, menatap mata Kirana, lalu perlahan turun ke bibirnya, leher jenjangnya, dan lekuk tubuhnya yang membangkitkan gairah terpendam.

Rajendra menelan ludah.

Lalu, dengan suara setengah berbisik, kirana bertanya, “Bagaimana? Apakah Yang Mulia mau?

“Mau? Mau apa?” tanya Rajendra, bingung. Otak liarnya sedang bekerja saat ini.

Kirana menyeringai kecil, dan tubuhnya mulai mendekat. Tapi sebelum sempat ada jarak yang terhapus, sebuah suara datar memotong momen itu.

“Tolong jangan ribut. Kalau mau berbuat sesuatu, simpan untuk nanti. Besok masih akan menjadi hari yang panjang. Kita perlu istirahat.” Ranjani menyuarakan kejengkelannya.

Rajendra langsung panik. “Tidak perlu, aku keluar saja sebentar. Setelah tidak gerah, aku akan kembali.”

Rajendra pun bergegas keluar, meninggalkan kamar dengan wajah memerah.

“Apa yang terjadi padanya?” tanya Kirana, dengan ekspresi wajah yang bingung.

Kirana kemudian menoleh ke arah Ranjani. “Apa kamu pikir dia gegar otak?”

“Mungkin saja. Dia cukup aneh seharian ini,” jawab Ranjani.

“Ya. Aku pikir dia seperti orang asing. Bahkan seperti takut pada kita. Padahal kalau dulu, dialah yang selalu membuat kita takut. Bahkan urusan ranjang pun, dia selalu memaksa tanpa tahu situasi dan kondisi,” kata Kirana.

“Itu bagus.” Ranjani menutup matanya kembali. “lebih baik jadi pria asing yang baik daripada suami kita sebelumnya yang kasar.”

Di luar, Rajendra duduk di tangga rumah kayu itu, menatap langit berbintang. Udara dingin menyapu kulitnya, namun pikirannya tetap panas.

Rajendra menyadari satu hal. Tubuh ini bukan hanya tubuh baru, tapi warisan dari seorang pangeran yang penuh masalah.

Rajendra menatap ke kejauhan, lalu melihat dua orang pengawal berjaga. Keduanya menoleh dan segera berdiri tegak saat melihatnya.

“Yang Mulia, apakah Anda tidak bisa tidur?” tanya salah satu pengawal.

Rajendra mengangguk pelan. Lalu dia bertanya, “Aku ingin bertanya sesuatu. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kerajaan bisa diserang?”

Kedua prajurit itu saling pandang, ragu.

“Apa maksud Yang Mulia?”

“Aku tidak ingat semuanya. Hanya kilasan. Kudeta, suara-suara, percakapan terakhir dengan Raja. Lalu gelap.”

Salah satu dari mereka menarik napas dalam-dalam. “Yang Mulia, Anda memang pingsan cukup lama. Tapi, apakah Anda benar-benar tidak mengingat bahwa sepupu Yang Mulia, pangeran Gantara, memimpin kudeta?”

Rajendra terdiam. Nama itu, Gantara, seperti bara yang tiba-tiba menyala dalam dadanya.

“Pangeran Gantara menguasai militer. Dia punya pengaruh besar di kalangan prajurit. Kami tidak bisa melawan. Kami hanya bisa menyelamatkan Anda, demi harapan masa depan kejaraan Bharaloka.”

Amarah menyusup dalam dada Rajendra. Dia tak punya kenangan atau emosi terhadap kerajaan itu. Namun entah kenapa, mendengar tentang pengkhianatan itu membuatnya marah. Seolah tubuh ini mengingat segalanya meski pikirannya tidak.

“Aku akan merebut kembali kerajaanku,” katanya pelan tapi pasti. “Apa pun caranya.”

Para prajurit itu menunduk hormat. “Kami siap mengorbankan nyawa kami.”

Malam terus berputar. Rajendra tidak tidur. Ia duduk di sana, menatap langit, mengenang sisa-sisa ingatan yang belum utuh. Ia tahu satu hal pasti, jalan di depannya panjang dan berdarah.

Saat fajar menyingsing, Rajendra masuk kembali ke dalam rumah. Istrinya sudah bangun. Tapi mereka semua tampak lemas, pucat, dan lesu.

“Kami lapar...” lirih Kirana.

“Aku juga,” sambung Ranjani. “perutku keroncongan.”

Rajendra tak tahan melihat mereka seperti itu. “Aku akan cari makan.”

Rajendra bergegas keluar kamar dan menemui Tama yang sedang memeriksa senjata.

“Tama, apa kita punya cadangan makanan?” tanya Rajendra.

“Tidak ada, Yang Mulia. Kami baru akan berburu hari ini, tapi ada sedikit masalah. Ini wilayah orang. Kami belum tahu kondisi sekitar,” jawab Tama.

Rajendra mengangguk. Tapi sebelum sempat berkata lagi, suara langkah kaki terdengar. Beberapa pria dengan pakaian lusuh mendekat, membawa keranjang anyaman.

Tama waspada, tapi Rajendra mengangkat tangannya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Kaugnay na kabanata

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Surga Bagi Para Pria

    Suara langkah kaki terdengar dari luar rumah kayu tua itu. Bukan hanya satu atau dua orang, ini seperti sekelompok orang yang datang bersama. Pintu rumah terbuka. Surapati, dengan tubuh tegap dan dada membusung, melangkah keluar lebih dulu. Empat pengawal di belakangnya juga bersiaga, tangan mereka menggenggam gagang pedang, mata mereka tajam mengamati setiap gerakan mencurigakan. “Ada apa ini?” tanya Surapati lantang. “kenapa kalian datang segerombol?” Dari rombongan orang yang datang, seorang pria berkulit putih dengan rambut keperakan melangkah ke depan. Pakaiannya sederhana, tapi bersih dan rapi. Sorot matanya tajam namun damai, dan senyumnya menyiratkan keramahan yang tulus. “Aku Kepala Desa Gunung Jaran,” ucap pria itu dengan suara berat dan tegas. “namaku Arwan.” “Kepala desa?” tanya Tama. “Apa yang membawanya ke sini?” tanya Ranjani. Bisik-bisik penuh tanya langsung menyebar di antara para anak buah Rajendra. Surapati tetap berdiri tegak tanpa ada rasa takut se

    Huling Na-update : 2025-04-11
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Makan Bersama

    Dalam perjalanan menuju Desa Gunung Jaran, dia melihat ada beberapa tanah lapang yang tidak terurus. Dia berpikir di sana dia bisa melakukan sesuatu. Meski belum terpikirkan akan melakukan apa.Aroma masakan dari dapur mulai tercium. Beberapa anak buah Rajendra menyebut aromanya harum dan membuat mereka lapar.Namun bagi Rajendra, aroma masakannya sama sekali tidak menggugah selera.“Untung saja penduduk desa memberi hadiah. Jadi, kita bisa makan,” ucap Tama, bersemangat.Surapati mengangguk dengan penuh senyuman. “Setidaknya menyelamatkan kita hari ini.”Kemudian Surapati menatap ke arah Tama dan beberapa prajuritnya yang lain sambil berkata, “Jadi, setelah makan, kita harus mencari sesuatu untuk dimakan besok. Kita berburu ke hutan. Siapa tahu di sana ada ayam atau kelinci. Jika tidak ada, mungkin ada tikus.”Semuanya setuju.Rajendra mengerutkan keningnya. Dia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Surapati.“Kalian makan tikus?” tanya Rajendra dengan mimik wajah kaget bercampur j

    Huling Na-update : 2025-04-19
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Saling Menindih Tanpa Busana

    "Maaf, Yang Mulia. Ini salahku." Kirana menunduk dalam-dalam. Suaranya bergetar, tubuh mungilnya menegang seperti daun kering yang siap diterbangkan angin.Rajendra meletakkan sendoknya. Bubur gandum itu hambar, kental seperti lumpur, dan menyisakan pahit aneh di ujung lidah. Tapi bukan itu yang membuatnya mengernyit. Melainkan ekspresi Kirana yang seolah menanti dicambuk di depan umum.Ranjani tidak mau Kirana dihukum. Sebab Kirana sangat lemah. Oleh karena itu dia pun buru-buru membuka mulutnya."Yang Mulia, ini salahku. Kirana hanya membantu. Jika harus dihukum, hukum aku saja. Aku yang bertanggung jawab,” ucap Ranjani.Rajendra memandangi kedua istrinya. Kirana yang ringkih seperti anak kecil kelaparan, dan Ranjani yang duduk tegak penuh keberanian, meski lehernya menegang dan telapak tangannya bergetar halus.“Jadi apakah rasanya memang seperti ini? Atau kalian lupa menambahkan bumbu?” Rajendra menatap Ranjani, tak menunjukkan amarah, hanya rasa penasaran yang serius.Ranjani men

    Huling Na-update : 2025-04-20
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Aku Bisa!

    Tatapan mata Rajendra menusuk. Ranjani yang awalnya hendak melompat turun dari tempat tidur, kini membeku di bawah tubuh suaminya sendiri. Napasnya tercekat, dadanya naik-turun dengan cepat. Tubuhnya yang polos menempel langsung pada dada Rajendra yang kencang dan hangat.“Yang Mulia…” bisik Ranjani dengan suara gemetar. Wajahnya memerah, bukan karena malu semata, tapi karena tubuhnya menghangat, didorong rasa yang selama ini dia sembunyikan.Rajendra sendiri menelan ludah. Tubuhnya menegang. Otaknya tahu ini salah waktu, tapi tubuhnya menolak bergerak.Hangat tubuh Ranjani, aroma kulitnya, dan kedekatan yang membutakan, semua bercampur menjadi gelombang aneh di dalam dada Rajendra.Sejak pernikahan, Rajendra dulu memang telah menyentuh Ranjani. Tapi hanya sekali. Dan itu pun dalam kondisi marah. Sisanya, ia lebih sering tidur bersama para istrinya yang lain yang lebih nurut.Saat tangan Rajendra hendak bergerak turun untuk menyentuh tubuh Ranjani, pintu kamar tiba-tiba terbuka.“Ranj

    Huling Na-update : 2025-04-21
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Tanah Yang Diklaim

    Desingan tajam anak panah yang meluncur ke arah Rajendra seolah menghentikan waktu. Semua yang melihat hanya bisa mematung, menyaksikan maut mendekat dalam garis lurus yang sempurna menuju jantung sang pangeran.Namun mereka salah.Sebuah gerakan cepat yang hampir tak terlihat, dilakukan oleh Rajendra. Dengan satu tangan, dia meraih anak panah itu di udara, menggenggamnya kuat sebelum ujungnya sempat menyentuh kulitnya.Suasana hutan mendadak sunyi. Bahkan angin pun seolah berhenti berhembus.Rajendra melempar anak panah itu ke tanah, matanya menyala dengan amarah. “Sialan! Siapa kau? Keluar jika berani!” teriaknya.“Lindungi Yang Mulia!” pekik Tama.Prajurit yang lain langsung membentuk formasi defensif, membentuk lingkaran dengan pedang terhunus dan busur yang siap melesat, menjaga Rajendra di tengah-tengah mereka.Namun Rajendra juga tidak lengah. Matanya menyisir semak-semak, mengamati setiap gerakan dedaunan dengan ketajaman seekor elang.Dari balik semak, dua orang pria melangka

    Huling Na-update : 2025-04-21
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Harapan Baru

    Rajendra duduk bersandar di dinding kayu rumah. Di tangannya masih tersisa aroma tanah dari sore yang panjang di hutan.Rajendra memejamkan mata sejenak, membayangkan biji-biji gandum itu digiling menjadi tepung putih halus, lalu diolah menjadi roti hangat yang mengepul di pagi hari.“Yang Mulia,” suara lembut itu membuyarkan lamunannya.Kirana bersimpuh di ambang pintu kamar, tubuhnya dibalut kain tipis tidur yang sederhana. Rambutnya terurai, dan di bawah cahaya pelita, wajahnya tampak tenang. Namun ada sesuatu di dalamnya. Ada kecemasan yang disembunyikan.“Ayo tidur. Ini sudah malam,” ucap Kirana, pelan dan lembut.Rajendra membuka mata. Tatapannya bertemu mata Kirana. Jantungnya berdetak, cepat dan tak karuan.Ia mengalihkan pandangan. “Sebentar lagi.”Kirana menatap wajah Rajendra. Dia ingin mengajak suaminya lagi untuk tidur, namun Ranjani berdiri di belakangnya dan menyahut tajam.“Sudahlah, Kirana. Jangan paksa Yang Mulia tidur kalau dia tak ingin. Biarkan saja mau tidur atau

    Huling Na-update : 2025-04-22
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Berkeringat

    Nada lembut itu menusuk langsung ke dalam jantung Rajendra. Suara Kirana terasa seperti bisikan angin musim semi yang menyentuh kulit, terlalu halus dan terlalu manja untuk didengar dalam kamar sempit dengan dua wanita yang bersamanya. “Yang Mulia menginginkan sesuatu malam ini?” tanya Kirana lagi, masih dalam nada rendah yang membuat darah Rajendra mengalir ke tempat-tempat yang tak seharusnya. Rajendra mengalihkan tatapannya. “Tidak. A-aku hanya ingin tidur.” Kirana terdiam sejenak. Lalu ia menggeser tubuhnya, memberikan ruang. “Maafkan aku, mungkin aku membuat tempat tidur ini jadi terlalu sempit.” “Tidak apa-apa,” balas Rajendra singkat, tanpa menatap istrinya. Rajendra hanya ingin malam itu berlalu cepat. Sebab dia belum siap. Meskipun tubuhnya merespons dengan liar, pikirannya masih terlalu bingung dan dipenuhi ketakutan. Rajendra takut mengecewakan, takut tidak cukup baik, dan takut menjadi lelucon di ranjang. Akhirnya Rajendra berbaring di atas kasur dengan perl

    Huling Na-update : 2025-04-22
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Sebuah Awal

    “I-itu bukan maksudku...” Suara wanita itu bergetar, matanya menunduk, suara manja yang sebelumnya keluar kini tergantikan nada ketakutan.Suaminya masih berdiri di ambang pintu, tubuh tegapnya menahan cahaya pagi.“Aku tidak genit. Aku hanya bilang, kalau orang yang meminjam seharusnya orang yang butuh. Bukan menyuruh orang lain,” lanjutnya pelan, jemari meremas sudut kain di tangannya.Pria itu terdiam. Tatapannya tak lagi marah, tapi masih menyimpan kekecewaan dan rasa curiga.Setelah beberapa saat, dia menghela napas.“Hati-hati kalau bicara. Orang luar bisa salah paham,” katanya pada akhirnya. Nada suaranya mereda, meski ketegangan belum sepenuhnya hilang.Anak buah Rajendra yang mendengar hanya berdiri kikuk. Mereka tak tahu harus bicara atau diam.Salah satu anak buah Rajendra mencoba membuka percakapan, “Kalau tidak boleh, kami akan mencari ke rumah lain. Kami tidak ingin merepotkan.”Pria itu menoleh. “Berapa lama kalian butuh alat itu?”“Besok pagi akan kami akan kembalikan,

    Huling Na-update : 2025-04-23

Pinakabagong kabanata

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Roti Manis

    Untuk menjaga keamanan desa malam itu, Rajendra menunjuk enam orang pengikutnya untuk berjaga secara bergilir. Ia sendiri memilih untuk tidak ikut berjaga. Kekhawatiran akan kondisi kedua istrinya yang tampak ketakutan membuatnya ingin segera pulang dan memastikan mereka baik-baik saja.Rajendra kembali ke rumah bersama Banyu dan dua orang pengikut lainnya. Mereka akan berjaga besok pagi sampai sore hari.Sesampainya di rumah, Rajendra disambut oleh Ranjani dan Kirana dengan tatapan mata yang penuh tanda tanya dan kecemasan.“Yang Mulia, apa yang terjadi?” sapa Ranjani dengan nada sedikit tegang.Rajendra tidak langsung menjawab. Dia merasakan aura ketakutan yang menyelimuti rumahnya.“Aku takut, Yang Mulia,” lirih Kirana sambil memeluk lengan Rajendra erat-erat.Rajendra mengusap lembut kepala Kirana dan juga Ranjani secara bergantian. “Tidak ada apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir.”“Bagaimana bisa baik-baik saja, Yang Mulia? Bambu keramat itu telah di

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Keputusan Rajendra

    Mendengar cerita mengerikan dari pria tua itu tentang orang yang menghilang setelah menebang bambu keramat, bulu kuduk para pengikut Rajendra langsung meremang. Mereka tanpa sadar mempercepat langkah untuk segera kembali ke desa, menjauhi hutan yang kini terasa angker.Namun, di benak mereka, terlintas kekhawatiran yang sama: bagaimana dengan Dipa yang masih terpaku di luar desa?“Cepat masuk ke rumah kalian semua! Jangan ada yang berani keluar malam ini!” seru pria tua itu dengan nada panik sebelum akhirnya berlari masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu dengan tergesa-gesa.Para pengikut Rajendra saling bertukar pandang dengan ekspresi kebingungan dan ketidakpastian. Mereka semua menunggu keputusan apa yang akan diambil oleh sang pangeran.“Jangan tinggalkan aku di sini, kumohon…” lirih Dipa dengan suara bergetar, air mata mulai membasahi pipinya.Ia kemudian menoleh ke arah Rajendra dengan tatapan memelas. “Yang Mulia … jangan tinggalkan saya. Sungguh, saya sangat takut.”Hati pa

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Semakin Mencekam

    Mendengar teriakan panik Dipa, langkah Rajendra yang sedang memeriksa bambu-bambu yang sudah ditebang terhenti. Ia segera menghampiri Dipa yang masih mematung dengan wajah pucat pasi. “Ada apa, Dipa? Tenanglah,” tanya Rajendra berusaha menenangkan. “Y-Yang Mulia … a-aku … aku baru saja menebang pohon keramat,” jawab Dipa dengan suara bergetar hebat, matanya memandang nanar ke arah bambu yang mengeluarkan cairan merah pekat. Rasa dingin langsung menjalar di tulang belakang para pengikut Rajendra yang lain. Mereka membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi setelah melanggar pantangan desa. Banyu yang merupakan sepupu Dipa langsung menyalahkan pemuda itu dengan nada panik. “Bodoh kamu, Dip! Kenapa tidak hati-hati! Sekarang bagaimana ini?!” Surapati mendekati bambu yang mengeluarkan cairan merah itu. Ia mengamatinya dengan seksama, namun raut wajahnya menunjukkan kebingungan. “Ini aneh. Aku tidak pernah melihat bambu yang mengeluarkan darah. Mungkin benar, bambu ini t

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Bambu Keramat

    Arwan menghela napas panjang, raut wajahnya menggambarkan beban berat yang selama ini ia pikul bersama warganya. “Kami harus menyetor upeti sebesar lima belas Orun emas setiap empat bulan sekali, Yang Mulia. Itu artinya, tiga kali dalam setahun kami harus menyerahkan total empat puluh lima Orun emas kepada kerajaan.”Mendengar nominal tersebut, Rajendra yang tidak familiar dengan mata uang di zaman itu, dia hanya bisa menerka-nerka nilainya.Namun, dari nada bicara Arwan yang penuh keputusasaan dan ekspresi wajahnya yang menggambarkan penderitaan, ia tahu pasti bahwa jumlah itu sangatlah besar dan memberatkan bagi perekonomian desa.“Dengan jumlah penduduk yang sedikit dan sebagian besar warga hidup dalam kondisi pas-pasan, upeti sebesar itu benar-benar mencekik kami, Yang Mulia,” lanjut Arwan dengan nada lirih.Rajendra mengerutkan keningnya, merasa iba dengan nasib warga Desa Gunung Jaran.“Apakah kalian sudah pernah mencoba meminta keringanan kepada raja?” tanya Rajendra dengan nad

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Penolakan

    Suryakusuma yang mendengar nada bicara Kepala Desa Arwan yang penuh keramahan, mencoba meluruskan kesalahpahaman yang mungkin timbul. Ia tidak ingin dianggap tidak menghargai pemimpin desanya.Namun, alasan sebenarnya di balik penolakannya untuk berkenalan dengan Rajendra adalah prasangka buruk yang sudah mengakar di benaknya.“Bukan begitu maksud saya, Kepala Desa,” kata Suryakusuma dengan nada dibuat-buat menyesal. “saya sangat menghormatimu. Hanya saja, saya sudah terlalu sering bertemu dengan orang-orang seperti dia, orang asing yang datang dengan wajah polos namun menyimpan niat tersembunyi.”Kepala Desa Arwan mengerutkan keningnya, merasa bingung dengan ucapan Suryakusuma.“Memangnya apa yang salah dengan Rajendra, Juragan? Saya melihatnya sebagai orang yang sopan dan memiliki niat baik untuk membantu desa kita,” tanya Arwan.“Mereka itu penuh dengan kemunafikan, Kepala Desa,” balas Suryakusuma dengan nada sinis. “mereka berpura-pura baik dan peduli pada awalnya, tapi pada akhir

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Berkeliling Desa

    Pertanyaan Rajendra menggantung di udara, menciptakan keheningan yang mencekam di antara mereka.Ranjani dan Kirana saling pandang, raut wajah mereka dipenuhi dengan kesedihan dan keprihatinan. Mereka tahu, ingatan Pangeran mereka perlahan mulai kembali, membawa serta luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.“Apakah aku … punya empat istri?” tanya Rajendra sekali lagi, nadanya penuh harap namun juga tersirat ketakutan akan jawaban yang mungkin ia terima. “aku baru saja mengingat kilasan masa lalu di mana ada 4 wanita di sampingku.”Ranjani menghela napas pelan sebelum menjawab dengan suara lirih, “Iya, Yang Mulia memiliki empat orang istri.”“Di mana … di mana yang dua lagi?” tanya Rajendra dengan wajah yang kini dipenuhi kepanikan.Bayangan samar-samar tentang kejadian mengerikan di malam kudeta mulai berputar lagi di benaknya.Tiba-tiba, air mata Kirana mengalir deras membasahi pipinya. Ia terisak pelan, mengingat kedua sahabatnya yang kini tidak lagi bersama mereka. Kenangan akan ma

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Kilasan Masa Lalu

    Melihat nada bicara dan tatapan mata Suryakusuma yang merendahkan, Surapati yang berdiri di belakang Rajendra tidak bisa tinggal diam.Insting seorang prajuritnya kembali muncul. Ia khawatir jika Pangeran Rajendra yang menanggapi langsung, emosi masa lalunya bisa saja kembali menguasai. Lebih baik ia yang maju dan menghadapi orang sombong ini.Dengan langkah mantap, Surapati mendekat ke arah Suryakusuma. Matanya menatap dengan tajam.“Maafkan kelancangan saya, Tuan,” ucap Surapati dengan nada sopan namun tegas. “kami datang ke desa ini tidak dengan niat mengganggu. Sebaliknya, kami justru ingin memberikan kontribusi yang baik bagi kemajuan dan keamanan desa ini.”Suryakusuma menoleh dengan tatapan merendahkan ke arah Surapati.“Siapa kau berani bicara denganku? Apa kau salah satu anak buah orang asing ini?” tanya Suryakusuma dengan mata melotot sambil menunjuk wajah Rajendra dengan jari telunjuknya.“Benar, Tuan. Saya adalah salah satu pengikut Tuan Rajendra. Dan saya bertanggung jawa

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Ancaman Dari Suryakusuma

    Mendengar kata-kata Wira yang penuh dengan racun dan hasutan, telinga Suryakusuma terasa panas. Julukan “idola baru” bagaikan duri yang menusuk hatinya yang selama ini haus akan pengakuan dan puja-puji. Ia merasa terancam, seolah ada seseorang yang berani merebut tahta popularitasnya di desa ini.“Siapa orang itu? Di mana rumahnya?” tanya Suryakusuma dengan nada suara yang meninggi, menyiratkan kemarahan yang mulai membara.Wira merasakan kegembiraan yang luar biasa dalam hatinya melihat reaksinya. Rencananya untuk memanfaatkan kekayaan dan pengaruh Suryakusuma untuk menjatuhkan Rajendra tampak berjalan sesuai harapan. Namun, di hadapan Juragan, ia tetap mempertahankan ekspresi datar dan penuh keprihatinan palsu.“Namanya Rajendra, Juragan. Dia tinggal di rumah kosong yang dulu ditempati oleh preman Baron. Mereka merebut rumah itu setelah berhasil mengalahkan Baron dan anak buahnya,” jelas Wira dengan nada hati-hati, seolah takut menyinggung perasaan Suryakusuma.Mata Suryakusuma mem

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Dukungan

    Rajendra akhirnya hanya bisa tertawa saja untuk merespon harapan kepala desa itu. Arwan tampak sedikit bingung melihat reaksi Rajendra yang tidak terduga. Ia khawatir kalau perkataannya tadi menyinggung perasaan pemuda itu. “Maafkan saya jika perkataan saya kurang pantas, Rajendra,” ucap Arwan dengan nada menyesal. “saya hanya memikirkan yang terbaik untuk desa ini…” Belum sempat Arwan melanjutkan perkataannya, tiba-tiba muncul Dipa, seorang pemuda berbadan tegap yang merupakan sepupu Banyu. Dipa datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah piring berisi dua potong roti pipih yang masih hangat. Aroma gurih yang bercampur dengan aroma Bakaran, langsung menyeruak, membuat perut Arwan yang belum terisi sejak pagi bergejolak. “Tuan, ini rotinya,” kata Dipa dengan sopan sambil menyodorkan piring tersebut kepada Rajendra. Rajendra menerima piring itu dan tersenyum kepada Dipa. Kemudian, ia mengulurkan piring itu kepada Arwan. “Kepala Desa, perkenalkan, ini adalah makanan buata

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status