Share

Tidur Bersama Dua Istri

Penulis: Falisha Ashia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-11 15:31:21

Rajendra, pria dari dunia modern yang kini terperangkap dalam tubuh pangeran dari kerajaan Bharaloka, terbaring di antara dua istrinya yang cantik jelita.

Seharusnya ini adalah anugerah, bahkan mimpi bagi sebagian pria. Namun baginya, ini adalah penyiksaan yang tak berujung.

Kepalanya mendidih. Dadanya sesak. Nafasnya berat. Dan ... adiknya di bawah sana menegang.

Rasanya, dia ingin sekali menyentuh mereka. Dia ingin membenamkan diri dalam kenikmatan yang selama ini hanya ia ketahui lewat imajinasi. Tapi ... ia malu.

Bagaimana caranya membuka pakaian di depan wanita? Lebih dari itu, bagaimana mungkin ia melakukannya saat ada wanita lain yang bisa melihat?

Malu. Itu yang ia rasakan. Malu sebagai pria yang tak berpengalaman. Malu sebagai pangeran yang harusnya sudah biasa memimpin di ranjang.

Jika saat melakukannya dan dia tidak ahli, apa yang akan dikatakan oleh keempat istrinya itu? Mau ditaruh mana wajahnya?

Rajendra berusaha memejamkan mata. Dia mencoba mengusir semua gambaran menggoda itu dari pikirannya. Namun tubuhnya tidak berbohong. Rasa panas menjalari perutnya, naik ke dada, dan membuat pikirannya terus-menerus memikirkan hal-hal tak pantas.

Saat sedang tegang-tegangnya, tiba-tiba, sebuah tangan lembut menyentuh pahanya. Rajendra menelan saliva.

Rajendra kembali dibuat tersentak tatkala tangan itu kembali naik, kini lebih ke atas. Mata Rajendra terbuka lebar, jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Ia menoleh dan melihat Kirana masih terpejam matanya, menandakan wanita itu sedang berada di alam lain. Yang mungkin saja lebih indah dari dunia nyata.

“Kirana...?” bisik Rajendra, nyaris tak terdengar.

Wanita itu tidak menjawab. Tapi tangan mungilnya merayap sedikit lebih tinggi hingga membuat Rajendra semakin menggeliat.

Rajendra memandangi wajah Kirana yang damai, lalu matanya secara tak sadar bergerak turun.

Jubah yang dikenakan Kirana itu kebesaran sehingga memperlihatkan garis tubuhnya dengan sempurna. Bukit indah itu naik-turun seiring napas lembut Kirana, dan Rajendra nyaris kehilangan kendali.

“Tidak. Ini salah. Ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan itu. Aku harus menjauh.” Batin Rajendra.

Dengan gerakan cepat, Rajendra bangkit dari ranjang. Namun langkahnya terhenti saat suara lembut memanggilnya.

“Yang Mulia, mau ke mana?” tanya Kirana yang terbangun karena gerakan kasar dari sang pangeran.

Kirana membuka matanya dan menatapnya dengan sorot mengantuk namun jelas penasaran.

Rajendra gugup. “Eh, ini ... aku gerah. Ingin ambil udara segar.”

Mendengar keributan, membuat Ranjani pun terbangun. “Ada apa? Apakah sudah pagi?”

“Tidak ada apa-apa. Aku hanya gerah. Maaf sudah membangunkan kalian,” jawab Rajendra, gugup.

Kirana bangkit dan duduk di tempat tidur, rambut panjangnya terurai, dan matanya setengah menyipit menggoda. “Kalau gerah, buka saja baju Yang Mulia. Aku bisa mengipasi agar tidak gerah lagi.”

Nada suaranya pelan, tetapi mengandung maksud yang dalam. Rajendra terpaku, menatap mata Kirana, lalu perlahan turun ke bibirnya, leher jenjangnya, dan lekuk tubuhnya yang membangkitkan gairah terpendam.

Rajendra menelan ludah.

Lalu, dengan suara setengah berbisik, kirana bertanya, “Bagaimana? Apakah Yang Mulia mau?

“Mau? Mau apa?” tanya Rajendra, bingung. Otak liarnya sedang bekerja saat ini.

Kirana menyeringai kecil, dan tubuhnya mulai mendekat. Tapi sebelum sempat ada jarak yang terhapus, sebuah suara datar memotong momen itu.

“Tolong jangan ribut. Kalau mau berbuat sesuatu, simpan untuk nanti. Besok masih akan menjadi hari yang panjang. Kita perlu istirahat.” Ranjani menyuarakan kejengkelannya.

Rajendra langsung panik. “Tidak perlu, aku keluar saja sebentar. Setelah tidak gerah, aku akan kembali.”

Rajendra pun bergegas keluar, meninggalkan kamar dengan wajah memerah.

“Apa yang terjadi padanya?” tanya Kirana, dengan ekspresi wajah yang bingung.

Kirana kemudian menoleh ke arah Ranjani. “Apa kamu pikir dia gegar otak?”

“Mungkin saja. Dia cukup aneh seharian ini,” jawab Ranjani.

“Ya. Aku pikir dia seperti orang asing. Bahkan seperti takut pada kita. Padahal kalau dulu, dialah yang selalu membuat kita takut. Bahkan urusan ranjang pun, dia selalu memaksa tanpa tahu situasi dan kondisi,” kata Kirana.

“Itu bagus.” Ranjani menutup matanya kembali. “lebih baik jadi pria asing yang baik daripada suami kita sebelumnya yang kasar.”

Di luar, Rajendra duduk di tangga rumah kayu itu, menatap langit berbintang. Udara dingin menyapu kulitnya, namun pikirannya tetap panas.

Rajendra menyadari satu hal. Tubuh ini bukan hanya tubuh baru, tapi warisan dari seorang pangeran yang penuh masalah.

Rajendra menatap ke kejauhan, lalu melihat dua orang pengawal berjaga. Keduanya menoleh dan segera berdiri tegak saat melihatnya.

“Yang Mulia, apakah Anda tidak bisa tidur?” tanya salah satu pengawal.

Rajendra mengangguk pelan. Lalu dia bertanya, “Aku ingin bertanya sesuatu. Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kerajaan bisa diserang?”

Kedua prajurit itu saling pandang, ragu.

“Apa maksud Yang Mulia?”

“Aku tidak ingat semuanya. Hanya kilasan. Kudeta, suara-suara, percakapan terakhir dengan Raja. Lalu gelap.”

Salah satu dari mereka menarik napas dalam-dalam. “Yang Mulia, Anda memang pingsan cukup lama. Tapi, apakah Anda benar-benar tidak mengingat bahwa sepupu Yang Mulia, pangeran Gantara, memimpin kudeta?”

Rajendra terdiam. Nama itu, Gantara, seperti bara yang tiba-tiba menyala dalam dadanya.

“Pangeran Gantara menguasai militer. Dia punya pengaruh besar di kalangan prajurit. Kami tidak bisa melawan. Kami hanya bisa menyelamatkan Anda, demi harapan masa depan kejaraan Bharaloka.”

Amarah menyusup dalam dada Rajendra. Dia tak punya kenangan atau emosi terhadap kerajaan itu. Namun entah kenapa, mendengar tentang pengkhianatan itu membuatnya marah. Seolah tubuh ini mengingat segalanya meski pikirannya tidak.

“Aku akan merebut kembali kerajaanku,” katanya pelan tapi pasti. “Apa pun caranya.”

Para prajurit itu menunduk hormat. “Kami siap mengorbankan nyawa kami.”

Malam terus berputar. Rajendra tidak tidur. Ia duduk di sana, menatap langit, mengenang sisa-sisa ingatan yang belum utuh. Ia tahu satu hal pasti, jalan di depannya panjang dan berdarah.

Saat fajar menyingsing, Rajendra masuk kembali ke dalam rumah. Istrinya sudah bangun. Tapi mereka semua tampak lemas, pucat, dan lesu.

“Kami lapar...” lirih Kirana.

“Aku juga,” sambung Ranjani. “perutku keroncongan.”

Rajendra tak tahan melihat mereka seperti itu. “Aku akan cari makan.”

Rajendra bergegas keluar kamar dan menemui Tama yang sedang memeriksa senjata.

“Tama, apa kita punya cadangan makanan?” tanya Rajendra.

“Tidak ada, Yang Mulia. Kami baru akan berburu hari ini, tapi ada sedikit masalah. Ini wilayah orang. Kami belum tahu kondisi sekitar,” jawab Tama.

Rajendra mengangguk. Tapi sebelum sempat berkata lagi, suara langkah kaki terdengar. Beberapa pria dengan pakaian lusuh mendekat, membawa keranjang anyaman.

Tama waspada, tapi Rajendra mengangkat tangannya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Ayo Kita Melakukannya Di sana

    "Ranjani," bisik Rajendra di telinganya, suaranya serak menahan hasrat, "bolehkah aku melakukannya?"Ranjani hanya sedikit mendesah, sebuah embusan napas yang nyaris tak terdengar, namun itu sudah cukup sebagai tanda jika dia menyetujuinya. Hatinya berdebar, memberikan izin tanpa kata.Rajendra pun semakin bergairah. Dengan izin yang tak terucap itu, dia mulai menyentuh Ranjani ke bagian-bagian yang lebih sensitif, dengan sentuhan yang lebih hangat dan intens.Jari-jari Rajendra menjelajahi lekuk tubuh istrinya, membangkitkan sensasi yang membakar.Ranjani semakin melayang merasakan getaran cinta yang dalam. Sensasi menyenangkan menjalar ke setiap saraf di tubuhnya. Bayangan akan kenikmatan puncak, sudah ada di kepalanya, sebuah janji yang menggiurkan.Namun, ketika mereka semakin intens dan akan melangkah ke inti permainan, sebuah suara melengking memecah keheningan malam."Aaa... kecoa!"Kirana berteriak nyaring dari ranjang di samping mereka.Rajendra dan Ranjani langsung terbangun

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Memeluk Ranjani Menaikan Hasrat

    Setelah insiden dengan repeating crossbow, Rajendra kembali ke rumah bersama Tama dan Surapati. Sesampainya di ambang pintu, dia disambut hangat oleh kedua istrinya, Kirana dan Ranjani.Kirana menyambut dengan senyum ceria, wajahnya memancarkan kelegaan melihat suaminya pulang. Namun, Ranjani memiliki mata yang lebih jeli. Dia melihat sesuatu yang tidak semestinya di tangan Rajendra, meskipun lukanya sudah hampir sembuh."Yang Mulia, apakah kamu terluka?" tanya Ranjani, nada suaranya dipenuhi kekhawatiran yang mendalam.Sebelum Rajendra sempat menjawab, Ranjani sudah menarik tangan Rajendra untuk melihat lebih dekat bekas luka samar yang ada. Matanya meneliti setiap detailnya."Ini jelas-jelas adalah luka baru meskipun sudah kering," kata Ranjani, suaranya sedikit meninggi. "apa yang sebenarnya terjadi, Yang Mulia? Mengapa tanganmu terluka?"Kirana mengerutkan keningnya, ikut mendekat. "Benarkah Yang Mulia terluka? Memangnya Yang Mulia baru saja bertarung? Sepertinya tidak ada tanda-t

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Semua Bermula

    Suara ledakan yang nyaring itu mengejutkan semua orang. Bukan suara tembakan panah yang mulus, melainkan suara pecahan beso dan desingan logam. Repeating crossbow di tangan Rajendra pecah berkeping-keping.Rangkanya, yang tidak mampu menahan daya gesekan busur saat ditarik secara tiba-tiba, hancur berkeping-keping. Mekanisme yang seharusnya melontarkan anak panah dengan cepat justru meledak ke luar.Pecahan rangka itu melesat tak terkendali, dan naasnya, mengenai tangan Rajendra sehingga membuatnya berdarah cukup banyak. Darah segar langsung mengucur dari luka di telapak tangannya."Yang Mulia!" seru Tama dan Surapati serempak, mata mereka membulat panik. Asmaran pun ikut terkesiap. Mereka bertiga langsung berlari menghampiri Rajendra, wajah mereka diselimuti cemas."Yang Mulia, baik-baik saja?" tanya Tama dengan panik, matanya menatap khawatir pada luka di tangan Rajendra.Surapati, dengan sigap, merobek lengan baju panjangnya bagian kiri. Tanpa ragu, dia langsung melilitkannya ke l

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Istrinya Sangat Cantik

    Ide yang diberikan oleh Suryakusuma untuk menarik upeti besar dari bisnis roti Rajendra membuat Giriprana senang. Dia pun kini membayangkan jika dirinya bisa mendapatkan keuntungan besar saat menolong Suryakusuma, sekaligus menunjukkan loyalitas dan kemampuannya kepada raja."Ya, baiklah. Aku akan mengerjai dia habis-habisan!" ucap Giriprana, matanya berkilat licik. "aku akan membuat dia mengerti kalau berurusan dengan Paman Suryakusuma itu berarti berurusan denganku. Dia pasti kapok dan tidak akan berani macam-macam lagi!"Suryakusuma tersenyum puas, rencananya berjalan mulus. Dia pun berkata, "Aku berharap jika Amukti Muda bisa membuat Rajendra mengingat kejadian ini sampai dia mati. Biarkan dia tahu siapa penguasa sejati di desa itu.""Tentu saja, Paman," kata Giriprana, menyeringai. "dia pasti akan menyesal dan tidak akan mengulanginya lagi. Aku akan memastikan itu."Saat ini, Wira yang dendam membara kepada Rajendra karena istrinya tergoda dan mengagumi Rajendra, menilai ini adal

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Fitnah

    Suryakusuma dan Wira langsung pergi menuju sebuah rumah yang berada di wilayah dalam istana, tempat para pejabat rendah kerajaan tinggal. Namun, saat akan masuk wilayah kerajaan, mereka dihadang oleh prajurit kerajaan."Ada apa? Mau bertemu dengan siapa?" tanya seorang prajurit kerajaan dengan tubuh kekar dan kulit sawo matang. Matanya memandang tajam ke arah Suryakusuma dan Wira."Saya ingin bertemu dengan Amukti Muda Giriprana. Ada yang ingin saya sampaikan mengenai Desa Gunung Jaran," ucap Suryakusuma dengan tenang. "saya adalah Juragan Suryakusuma, seorang pedagang dari desa itu."Amukti Muda adalah sebutan bagi Amukti Pener yang masih baru. Amukti Pener itu sendiri adalah pejabat yang bertugas untuk mengumpulkan upeti dari para warga. Untuk Amukti Muda ini, dia bertanggung jawab menarik upeti dari para pedagang. Namun, dia adalah pemimpin, memiliki pengaruh di lingkupnya sendiri.Ada pula Amukti Utama yang bertugas untuk mengambil upeti dari desa-desa, dan Amukti Loka yang bertug

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Berkembang Pesat

    Permana, dengan antusiasme yang membara, langsung bertanya, "Berapa yang harus dideposit, Tuan Rajendra? Saya siap!"Sementara itu, orang-orang lain di antrean juga ikut bersahutan, "Iya, Tuan! Apa syaratnya? Berapa kami harus membayar?"Suara-suara mereka membanjiri udara, dipenuhi harap akan kesempatan bisnis yang menggiurkan.Rajendra mengangguk, senyum tipis terukir di bibirnya. Ia pun menjelaskan, "Kalian harus membayar deposit sebesar 10 Tirra. Uang ini tidak akan hilang, akan dikembalikan setelah 60 hari. Jadi, kalian bisa mengambilnya lagi setelah 60 hari bergabung menjadi reseller kami."Tiba-tiba saja, suasana yang tadinya riuh mendadak menjadi hening. Angka 10 Tirra itu menggema di benak mereka. Uang 10 Tirra itu sangat banyak bagi mereka.Bagi sebagian besar warga desa, bahkan banyak di antara mereka yang hanya memiliki penghasilan sekitar 10 Tirra sebulan. Itu adalah jumlah yang signifikan, mungkin tabungan seumur hidup bagi beberapa orang.Permana pun diam, senyum di waj

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status