Share

Baju Yang Basah

Author: Falisha Ashia
last update Last Updated: 2025-04-11 15:29:45

Rajendra berdiri canggung di tepi sungai, kedua pipinya memerah, sementara Kirana menatapnya dengan wajah heran.

"Apakah Yang Mulia yakin tak butuh bantuanku?" tanya Kirana, kepalanya sedikit dimiringkan, rambut panjangnya melambai tertiup angin.

Wanita itu polos. Dia tidak pernah berpikir jauh. Dan selalu menganggap semuanya itu sebagai hal yang lumrah.

Rajendra buru-buru menarik tangan Kirana yang nyaris membuka celananya.

"Aku bisa sendiri!" kata Raka gugup, separuh berteriak.

Kirana mengerutkan kening. Dia berkata dengan suara yang pelan, “Biasanya Yang Mulia tak pernah segan. Bahkan saat kita berada di tengah keramaian sekalipun.”

“Tidak apa-apa. Aku hanya sedang tidak mau,” kata Rajendra.

Kirana pun mundur beberapa langkah, menggaruk kepalanya, bingung bukan main. Di matanya, pangeran Rajendra yang ia kenal tak pernah peduli tempat atau waktu. Bila menginginkan sesuatu, maka ia akan melakukannya, termasuk tubuh wanita.

Rajendra menarik napas dalam-dalam. Dia benar-benar masih mencoba memahami situasinya saat ini.

Dulu dia adalah Raka Adiwangsa, pria penyendiri, seorang detektif pembunuhan yang lebih akrab dengan buku forensik daripada perempuan. Kini, dia berada dalam tubuh bangsawan yang dikelilingi wanita-wanita secantik bidadari.

Dunia ini benar-benar gila.

Setelah selesai, Rajendra berjalan pelan kembali ke atas tebing kecil di mana yang lainnya berkumpul.

Langkahnya sedikit tertatih. Luka di lengan dan kakinya masih perih.

Ranjani segera menyambut dan membantu menahan tubuh sang pangeran.

“Yang Mulia, biar aku bantu.”

Namun belum sempat bergerak, Kirana datang dengan ekspresi panik. “Aku bantu juga. Ranjani tak bisa sendiri.”

Rajendra hendak menolak, tapi sebelum sempat bicara, Kirana menginjak sebuah batu licin yang membuatnya terjatuh.

Bruuk!

Tubuh mungil itu terpeleset dan tergelincir ke dalam sungai. Suara cipratan air membuat semua orang terkejut.

“Tuan Putri Kirana!” teriak beberapa pengawal hendak maju.

Namun tanpa pikir panjang, Rajendra melompat. Dia sama sekali tidak memikirkan tentang kondisinya yang sedang terluka.

Rajendra langsung menarik Kirana agar tidak terseret air. Meskipun tidak deras, namun bisa saja menghanyutkan tubuh Kirana.

“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Rajendra cemas, memeriksa wajah pucat Kirana.

Kirana menggigil, rambutnya yang basah menempel di pipi. “Ampun, Yang Mulia. Maafkan aku. Aku bodoh karena tidak berhati-hati.”

“Untuk apa minta maaf?” Rajendra mengerutkan kening.

“Aku terjatuh dan membuat bajuku basah,” jawab Kirana ketakutan. “aku sungguh tidak berguna. Maafkan aku.”

Rajendra menarik napas dalam, membantunya berdiri. “Tidak apa-apa. Jangan terlalu keras pada dirimu.”

Kirana terus menunduk. Dia tahu pangeran Rajendra dulu pernah menghukumnya hanya karena menjatuhkan teh panas yang membasahi sedikit baju Rajendra. Dan kini, baju Rajendra bagian bawahnya sedikit basah terkena bajunya yang basah saat menolong tadi.

Kirana sangat ketakutan hingga nyaris menangis.

Namun berbeda dari yang ditakutkan, Rajendra justru memapahnya naik ke atas. Ranjani telah menunggu di atas tebing dan membantu menarik Kirana.

“Seharusnya kamu tidak perlu membantu. Badanmu kecil. Bahkan untuk menarik kambing kecil pun kamu tak sanggup,” kata Ranjani.

“Maafkan aku!” ucap Kirana.

Rajendra tidak berbicara apa-apa. Dia tetap membantu Kirana dengan memapahnya.

“Aku tidak apa-apa,” gumam Kirana. “aku bisa berjalan. Jangan karena aku, perjalanan jadi terlambat.”

Kirana menatap Rajendra dengan hati-hati. Dirinya, dan yang lain menunggu reaksi yang biasa; amarah, bentakan, atau perintah hukuman. Namun yang terjadi, kembali di luar dugaan mereka semua.

Rajendra melepaskan jubah dalamnya, lalu menyerahkannya kepada Kirana. Sedangkan dia hanya mengenakan jubah luar yang jauh lebih tipis.

“Pakai ini. Jangan sampai kedinginan,” kata Rajendra dengan tenang.

Semua orang membelalak.

“A-aku tak bisa. Baju ini milik Yang Mulia,” ucap Kirana.

“Pakai saja. Kita sedang dalam pelarian. Tak ada yang boleh sakit, Kirana,” kata Rajendra.

Surapati yang menyaksikan dari kejauhan segera memberi perintah kepada anak buahnya, “Kalian! Beri ruang! Jangan ada yang mengintip saat Putri mengganti pakaian!”

Para pengawal mundur dan membalikan badan.

Rajendra hendak pergi juga, tapi Surapati menahannya.

“Yang Mulia, Anda harus tetap di sini. Takutnya jika musuh menyerang tiba-tiba, tak ada yang melindungi.”

“Tapi, dia sedang ganti baju.”

Surapati mengerutkan kening. “Dia istrimu, Yang Mulia. Bukankah sudah biasa melihatnya tanpa busana?”

Rajendra menelan saliva. Dia tidak bisa membantah karena itu adalah kenyataan. Dia adalah seorang suami bagi Kirana dan Ranjani.

Raka menunduk, berdiri di hadapan kedua wanitanya.

Kirana pun berganti pakaian dengan bantuan Ranjani yang posisinya memunggungi Rajendra.

Namun saat Kirana sedang berusaha mengenakan jubah yang kepanjangan untuknya itu, tak sengaja Kirana menginjak batu tajam.

“Aww!”

Refleks, Rajendra mendongak untuk melihat apa yang terjadi. Saat itulah, matanya menangkap bayangan tubuh Kirana yang putih, mulus, dan kurva sempurna yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah pemandangan surgawi yang langsung membuat tenggorokannya tercekat.

Rajendra buru-buru membuang wajah agar tidak dilihat oleh para istrinya. Pipinya kini menjadi merah padam.

Tak lama kemudian, semua selesai. Kirana kini mengenakan pakaian Rajendra. Dia terlihat sangat canggung namun tak berani menolak.

“Kita tak bisa berlama-lama di sini. Kita harus cari tempat berlindung,” kata Rajendra.

Surapati mengangguk, setuju. Dia pun berkata, “Di seberang sungai ada desa kecil. Wilayahnya masuk ke kerajaan Angkara. Kita bisa coba meminta izin untuk menginap semalam.”

“Tidak ada pilihan lain. Ayo kita ke sana!” seru Rajendra.

Rombongan segera bergerak menuju jembatan bambu yang menghubungkan kedua wilayah. Saat melewati gerbang desa, suasana mulai terasa berbeda.

Namun tiba-tiba seorang pria tambun dengan mata merah karena mabuk, berdiri menghadang.

“Hei! Siapa kalian?” tanya pria itu dengan wajah yang tidak bersahabat.

Surapati maju. “Kami hanya ingin melewati desa ini dan mencari tempat beristirahat untuk sementara.”

Pria itu menyeringai. “Semua yang masuk ke desa ini harus bayar upeti padaku.”

“Kami tak membawa uang,” jawab Surapati. “kami dalam pelarian.”

“Pelarian, ya?” Pria itu mendekat, mengamati rombongan. Matanya menatap tajam ke arah Kirana dan Ranjani. “Hmm … wanita-wanitamu cantik semua.”

Rajendra menyipitkan mata.

Preman yang bernama Baron itu tertawa, menunjuk sebuah rumah kecil kosong di tepi desa.

Baron melihat seorang yang memegang kendali rombongan adalah pria tampan di tengah-tengah mereka itu.

“Kamu! Ikut aku jika mau mendapat tempat tinggal,” kata Baron kepada Rajendra.

Surapati langsung mencegah. “Tidak bisa. Jika ingin bicara di sini saja.”

Rajendra melihat ini adalah sebuah kesempatan. Oleh sebab itu, dia pun menuruti keingin Baron.

“Tidak masalah, Paman. Aku akan bicara dengannya!” seru Rajendra.

Baron melangkah sedikit menjauh.

“Kalian bisa tinggal di sana malam ini. Tapi dengan satu syarat,” kata Baron.

“Apa itu? Kalau uang, aku tidak punya,” tanya Rajendra.

“Berikan salah satu wanita itu untuk menemaniku semalam saja,” kata Baron seraya menyeringai.

Rajendra mengepalkan tangan karena merasa tersinggung. Tapi sebelum ia bicara, sebuah suara tajam terdengar dari belakangnya.

“Jadi ini niatmu sebenarnya?”

Rajendra menoleh.

Ranjani berdiri dengan wajah dingin. Matanya menyala. “Kupikir kamu sudah berubah. Tapi ternyata, kamu masih sama busuknya seperti dulu. Kamu bahkan mau menyerahkan kami juga seperti kamu menyerahkan istri pertama dan keempat.”

“Ranjani, bukan begitu—”

“Diam!” serunya. “aku dengar dengan telingaku sendiri kalau kamu mau memberikan kami kepada pria itu.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Kita Dijual

    Langkah Ranjani menghentak tanah berbatu ketika ia kembali ke arah rombongan. Wajahnya muram, rahangnya mengeras, dan matanya menyala penuh amarah. “Jangan percaya pada sikap baiknya!” kata Ranjani, tajam. “Pangeran Rajendra masih sama. Semua ini hanya sandiwara belaka!” Kirana mengangkat alisnya seraya bertanya, “Apa maksudmu, Ranjani?” Ranjani menunjuk ke arah Rajendra yang sedang berbicara dengan Baron. Lalu dia berkata, “Dia hendak menukarkan salah satu dari kita kepada preman itu demi mendapatkan tempat menginap.” Wajah Kirana langsung memucat setelah mendengarnya. “Tidak mungkin…” gumam Kirana. “Tidak mungkin? Kamu terlalu polos, Kirana. Apa kamu lupa apa yang telah dilakukan olehnya kepada kakak pertama dan adik terakhir?” Ranjani bicara dengan kesal. Kirana terdiam. Seketika, wanita itu menutupi wajahnya, isak tangis yang membuat hati nyeri pun terdengar. Suasana semakin panas. Surapati menatap Rajendra yang kini sudah berada di sana. Dia khawatir dengan tindaka

    Last Updated : 2025-04-11
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Tidur Bersama Dua Istri

    Rajendra, pria dari dunia modern yang kini terperangkap dalam tubuh pangeran dari kerajaan Bharaloka, terbaring di antara dua istrinya yang cantik jelita. Seharusnya ini adalah anugerah, bahkan mimpi bagi sebagian pria. Namun baginya, ini adalah penyiksaan yang tak berujung. Kepalanya mendidih. Dadanya sesak. Nafasnya berat. Dan ... adiknya di bawah sana menegang. Rasanya, dia ingin sekali menyentuh mereka. Dia ingin membenamkan diri dalam kenikmatan yang selama ini hanya ia ketahui lewat imajinasi. Tapi ... ia malu. Bagaimana caranya membuka pakaian di depan wanita? Lebih dari itu, bagaimana mungkin ia melakukannya saat ada wanita lain yang bisa melihat? Malu. Itu yang ia rasakan. Malu sebagai pria yang tak berpengalaman. Malu sebagai pangeran yang harusnya sudah biasa memimpin di ranjang. Jika saat melakukannya dan dia tidak ahli, apa yang akan dikatakan oleh keempat istrinya itu? Mau ditaruh mana wajahnya? Rajendra berusaha memejamkan mata. Dia mencoba mengusir semua g

    Last Updated : 2025-04-11
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Surga Bagi Para Pria

    Suara langkah kaki terdengar dari luar rumah kayu tua itu. Bukan hanya satu atau dua orang, ini seperti sekelompok orang yang datang bersama. Pintu rumah terbuka. Surapati, dengan tubuh tegap dan dada membusung, melangkah keluar lebih dulu. Empat pengawal di belakangnya juga bersiaga, tangan mereka menggenggam gagang pedang, mata mereka tajam mengamati setiap gerakan mencurigakan. “Ada apa ini?” tanya Surapati lantang. “kenapa kalian datang segerombol?” Dari rombongan orang yang datang, seorang pria berkulit putih dengan rambut keperakan melangkah ke depan. Pakaiannya sederhana, tapi bersih dan rapi. Sorot matanya tajam namun damai, dan senyumnya menyiratkan keramahan yang tulus. “Aku Kepala Desa Gunung Jaran,” ucap pria itu dengan suara berat dan tegas. “namaku Arwan.” “Kepala desa?” tanya Tama. “Apa yang membawanya ke sini?” tanya Ranjani. Bisik-bisik penuh tanya langsung menyebar di antara para anak buah Rajendra. Surapati tetap berdiri tegak tanpa ada rasa takut se

    Last Updated : 2025-04-11
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Makan Bersama

    Dalam perjalanan menuju Desa Gunung Jaran, dia melihat ada beberapa tanah lapang yang tidak terurus. Dia berpikir di sana dia bisa melakukan sesuatu. Meski belum terpikirkan akan melakukan apa.Aroma masakan dari dapur mulai tercium. Beberapa anak buah Rajendra menyebut aromanya harum dan membuat mereka lapar.Namun bagi Rajendra, aroma masakannya sama sekali tidak menggugah selera.“Untung saja penduduk desa memberi hadiah. Jadi, kita bisa makan,” ucap Tama, bersemangat.Surapati mengangguk dengan penuh senyuman. “Setidaknya menyelamatkan kita hari ini.”Kemudian Surapati menatap ke arah Tama dan beberapa prajuritnya yang lain sambil berkata, “Jadi, setelah makan, kita harus mencari sesuatu untuk dimakan besok. Kita berburu ke hutan. Siapa tahu di sana ada ayam atau kelinci. Jika tidak ada, mungkin ada tikus.”Semuanya setuju.Rajendra mengerutkan keningnya. Dia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Surapati.“Kalian makan tikus?” tanya Rajendra dengan mimik wajah kaget bercampur j

    Last Updated : 2025-04-19
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Saling Menindih Tanpa Busana

    "Maaf, Yang Mulia. Ini salahku." Kirana menunduk dalam-dalam. Suaranya bergetar, tubuh mungilnya menegang seperti daun kering yang siap diterbangkan angin.Rajendra meletakkan sendoknya. Bubur gandum itu hambar, kental seperti lumpur, dan menyisakan pahit aneh di ujung lidah. Tapi bukan itu yang membuatnya mengernyit. Melainkan ekspresi Kirana yang seolah menanti dicambuk di depan umum.Ranjani tidak mau Kirana dihukum. Sebab Kirana sangat lemah. Oleh karena itu dia pun buru-buru membuka mulutnya."Yang Mulia, ini salahku. Kirana hanya membantu. Jika harus dihukum, hukum aku saja. Aku yang bertanggung jawab,” ucap Ranjani.Rajendra memandangi kedua istrinya. Kirana yang ringkih seperti anak kecil kelaparan, dan Ranjani yang duduk tegak penuh keberanian, meski lehernya menegang dan telapak tangannya bergetar halus.“Jadi apakah rasanya memang seperti ini? Atau kalian lupa menambahkan bumbu?” Rajendra menatap Ranjani, tak menunjukkan amarah, hanya rasa penasaran yang serius.Ranjani men

    Last Updated : 2025-04-20
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Aku Bisa!

    Tatapan mata Rajendra menusuk. Ranjani yang awalnya hendak melompat turun dari tempat tidur, kini membeku di bawah tubuh suaminya sendiri. Napasnya tercekat, dadanya naik-turun dengan cepat. Tubuhnya yang polos menempel langsung pada dada Rajendra yang kencang dan hangat.“Yang Mulia…” bisik Ranjani dengan suara gemetar. Wajahnya memerah, bukan karena malu semata, tapi karena tubuhnya menghangat, didorong rasa yang selama ini dia sembunyikan.Rajendra sendiri menelan ludah. Tubuhnya menegang. Otaknya tahu ini salah waktu, tapi tubuhnya menolak bergerak.Hangat tubuh Ranjani, aroma kulitnya, dan kedekatan yang membutakan, semua bercampur menjadi gelombang aneh di dalam dada Rajendra.Sejak pernikahan, Rajendra dulu memang telah menyentuh Ranjani. Tapi hanya sekali. Dan itu pun dalam kondisi marah. Sisanya, ia lebih sering tidur bersama para istrinya yang lain yang lebih nurut.Saat tangan Rajendra hendak bergerak turun untuk menyentuh tubuh Ranjani, pintu kamar tiba-tiba terbuka.“Ranj

    Last Updated : 2025-04-21
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Tanah Yang Diklaim

    Desingan tajam anak panah yang meluncur ke arah Rajendra seolah menghentikan waktu. Semua yang melihat hanya bisa mematung, menyaksikan maut mendekat dalam garis lurus yang sempurna menuju jantung sang pangeran.Namun mereka salah.Sebuah gerakan cepat yang hampir tak terlihat, dilakukan oleh Rajendra. Dengan satu tangan, dia meraih anak panah itu di udara, menggenggamnya kuat sebelum ujungnya sempat menyentuh kulitnya.Suasana hutan mendadak sunyi. Bahkan angin pun seolah berhenti berhembus.Rajendra melempar anak panah itu ke tanah, matanya menyala dengan amarah. “Sialan! Siapa kau? Keluar jika berani!” teriaknya.“Lindungi Yang Mulia!” pekik Tama.Prajurit yang lain langsung membentuk formasi defensif, membentuk lingkaran dengan pedang terhunus dan busur yang siap melesat, menjaga Rajendra di tengah-tengah mereka.Namun Rajendra juga tidak lengah. Matanya menyisir semak-semak, mengamati setiap gerakan dedaunan dengan ketajaman seekor elang.Dari balik semak, dua orang pria melangka

    Last Updated : 2025-04-21
  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Harapan Baru

    Rajendra duduk bersandar di dinding kayu rumah. Di tangannya masih tersisa aroma tanah dari sore yang panjang di hutan.Rajendra memejamkan mata sejenak, membayangkan biji-biji gandum itu digiling menjadi tepung putih halus, lalu diolah menjadi roti hangat yang mengepul di pagi hari.“Yang Mulia,” suara lembut itu membuyarkan lamunannya.Kirana bersimpuh di ambang pintu kamar, tubuhnya dibalut kain tipis tidur yang sederhana. Rambutnya terurai, dan di bawah cahaya pelita, wajahnya tampak tenang. Namun ada sesuatu di dalamnya. Ada kecemasan yang disembunyikan.“Ayo tidur. Ini sudah malam,” ucap Kirana, pelan dan lembut.Rajendra membuka mata. Tatapannya bertemu mata Kirana. Jantungnya berdetak, cepat dan tak karuan.Ia mengalihkan pandangan. “Sebentar lagi.”Kirana menatap wajah Rajendra. Dia ingin mengajak suaminya lagi untuk tidur, namun Ranjani berdiri di belakangnya dan menyahut tajam.“Sudahlah, Kirana. Jangan paksa Yang Mulia tidur kalau dia tak ingin. Biarkan saja mau tidur atau

    Last Updated : 2025-04-22

Latest chapter

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Semakin Mencekam

    Mendengar teriakan panik Dipa, langkah Rajendra yang sedang memeriksa bambu-bambu yang sudah ditebang terhenti. Ia segera menghampiri Dipa yang masih mematung dengan wajah pucat pasi.“Ada apa, Dipa? Tenanglah,” tanya Rajendra berusaha menenangkan.“Y-Yang Mulia … a-aku … aku baru saja menebang pohon keramat,” jawab Dipa dengan suara bergetar hebat, matanya memandang nanar ke arah bambu yang mengeluarkan cairan merah pekat.Rasa dingin langsung menjalar di tulang belakang para pengikut Rajendra yang lain. Mereka membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi setelah melanggar pantangan desa.Banyu yang merupakan sepupu Dipa langsung menyalahkan pemuda itu dengan nada panik. “Bodoh kamu, Dip! Kenapa tidak hati-hati! Sekarang bagaimana ini?!”Surapati mendekati bambu yang mengeluarkan cairan merah itu. Ia mengamatinya dengan seksama, namun raut wajahnya menunjukkan kebingungan.“Ini aneh. Aku tidak pernah melihat bambu yang mengeluarkan darah. Mungkin benar, bambu ini terkutuk,” k

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Bambu Keramat

    Arwan menghela napas panjang, raut wajahnya menggambarkan beban berat yang selama ini ia pikul bersama warganya. “Kami harus menyetor upeti sebesar lima belas Orun emas setiap empat bulan sekali, Yang Mulia. Itu artinya, tiga kali dalam setahun kami harus menyerahkan total empat puluh lima Orun emas kepada kerajaan.”Mendengar nominal tersebut, Rajendra yang tidak familiar dengan mata uang di zaman itu, dia hanya bisa menerka-nerka nilainya.Namun, dari nada bicara Arwan yang penuh keputusasaan dan ekspresi wajahnya yang menggambarkan penderitaan, ia tahu pasti bahwa jumlah itu sangatlah besar dan memberatkan bagi perekonomian desa.“Dengan jumlah penduduk yang sedikit dan sebagian besar warga hidup dalam kondisi pas-pasan, upeti sebesar itu benar-benar mencekik kami, Yang Mulia,” lanjut Arwan dengan nada lirih.Rajendra mengerutkan keningnya, merasa iba dengan nasib warga Desa Gunung Jaran.“Apakah kalian sudah pernah mencoba meminta keringanan kepada raja?” tanya Rajendra dengan nad

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Penolakan

    Suryakusuma yang mendengar nada bicara Kepala Desa Arwan yang penuh keramahan, mencoba meluruskan kesalahpahaman yang mungkin timbul. Ia tidak ingin dianggap tidak menghargai pemimpin desanya.Namun, alasan sebenarnya di balik penolakannya untuk berkenalan dengan Rajendra adalah prasangka buruk yang sudah mengakar di benaknya.“Bukan begitu maksud saya, Kepala Desa,” kata Suryakusuma dengan nada dibuat-buat menyesal. “saya sangat menghormatimu. Hanya saja, saya sudah terlalu sering bertemu dengan orang-orang seperti dia, orang asing yang datang dengan wajah polos namun menyimpan niat tersembunyi.”Kepala Desa Arwan mengerutkan keningnya, merasa bingung dengan ucapan Suryakusuma.“Memangnya apa yang salah dengan Rajendra, Juragan? Saya melihatnya sebagai orang yang sopan dan memiliki niat baik untuk membantu desa kita,” tanya Arwan.“Mereka itu penuh dengan kemunafikan, Kepala Desa,” balas Suryakusuma dengan nada sinis. “mereka berpura-pura baik dan peduli pada awalnya, tapi pada akhir

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Berkeliling Desa

    Pertanyaan Rajendra menggantung di udara, menciptakan keheningan yang mencekam di antara mereka.Ranjani dan Kirana saling pandang, raut wajah mereka dipenuhi dengan kesedihan dan keprihatinan. Mereka tahu, ingatan Pangeran mereka perlahan mulai kembali, membawa serta luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.“Apakah aku … punya empat istri?” tanya Rajendra sekali lagi, nadanya penuh harap namun juga tersirat ketakutan akan jawaban yang mungkin ia terima. “aku baru saja mengingat kilasan masa lalu di mana ada 4 wanita di sampingku.”Ranjani menghela napas pelan sebelum menjawab dengan suara lirih, “Iya, Yang Mulia memiliki empat orang istri.”“Di mana … di mana yang dua lagi?” tanya Rajendra dengan wajah yang kini dipenuhi kepanikan.Bayangan samar-samar tentang kejadian mengerikan di malam kudeta mulai berputar lagi di benaknya.Tiba-tiba, air mata Kirana mengalir deras membasahi pipinya. Ia terisak pelan, mengingat kedua sahabatnya yang kini tidak lagi bersama mereka. Kenangan akan ma

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Kilasan Masa Lalu

    Melihat nada bicara dan tatapan mata Suryakusuma yang merendahkan, Surapati yang berdiri di belakang Rajendra tidak bisa tinggal diam.Insting seorang prajuritnya kembali muncul. Ia khawatir jika Pangeran Rajendra yang menanggapi langsung, emosi masa lalunya bisa saja kembali menguasai. Lebih baik ia yang maju dan menghadapi orang sombong ini.Dengan langkah mantap, Surapati mendekat ke arah Suryakusuma. Matanya menatap dengan tajam.“Maafkan kelancangan saya, Tuan,” ucap Surapati dengan nada sopan namun tegas. “kami datang ke desa ini tidak dengan niat mengganggu. Sebaliknya, kami justru ingin memberikan kontribusi yang baik bagi kemajuan dan keamanan desa ini.”Suryakusuma menoleh dengan tatapan merendahkan ke arah Surapati.“Siapa kau berani bicara denganku? Apa kau salah satu anak buah orang asing ini?” tanya Suryakusuma dengan mata melotot sambil menunjuk wajah Rajendra dengan jari telunjuknya.“Benar, Tuan. Saya adalah salah satu pengikut Tuan Rajendra. Dan saya bertanggung jawa

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Ancaman Dari Suryakusuma

    Mendengar kata-kata Wira yang penuh dengan racun dan hasutan, telinga Suryakusuma terasa panas. Julukan “idola baru” bagaikan duri yang menusuk hatinya yang selama ini haus akan pengakuan dan puja-puji. Ia merasa terancam, seolah ada seseorang yang berani merebut tahta popularitasnya di desa ini.“Siapa orang itu? Di mana rumahnya?” tanya Suryakusuma dengan nada suara yang meninggi, menyiratkan kemarahan yang mulai membara.Wira merasakan kegembiraan yang luar biasa dalam hatinya melihat reaksinya. Rencananya untuk memanfaatkan kekayaan dan pengaruh Suryakusuma untuk menjatuhkan Rajendra tampak berjalan sesuai harapan. Namun, di hadapan Juragan, ia tetap mempertahankan ekspresi datar dan penuh keprihatinan palsu.“Namanya Rajendra, Juragan. Dia tinggal di rumah kosong yang dulu ditempati oleh preman Baron. Mereka merebut rumah itu setelah berhasil mengalahkan Baron dan anak buahnya,” jelas Wira dengan nada hati-hati, seolah takut menyinggung perasaan Suryakusuma.Mata Suryakusuma mem

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Dukungan

    Rajendra akhirnya hanya bisa tertawa saja untuk merespon harapan kepala desa itu. Arwan tampak sedikit bingung melihat reaksi Rajendra yang tidak terduga. Ia khawatir kalau perkataannya tadi menyinggung perasaan pemuda itu. “Maafkan saya jika perkataan saya kurang pantas, Rajendra,” ucap Arwan dengan nada menyesal. “saya hanya memikirkan yang terbaik untuk desa ini…” Belum sempat Arwan melanjutkan perkataannya, tiba-tiba muncul Dipa, seorang pemuda berbadan tegap yang merupakan sepupu Banyu. Dipa datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah piring berisi dua potong roti pipih yang masih hangat. Aroma gurih yang bercampur dengan aroma Bakaran, langsung menyeruak, membuat perut Arwan yang belum terisi sejak pagi bergejolak. “Tuan, ini rotinya,” kata Dipa dengan sopan sambil menyodorkan piring tersebut kepada Rajendra. Rajendra menerima piring itu dan tersenyum kepada Dipa. Kemudian, ia mengulurkan piring itu kepada Arwan. “Kepala Desa, perkenalkan, ini adalah makanan buata

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Permintaan Untuk Menikah

    Kedatangan kepala desa ini terasa sangat tepat waktu. Ia baru saja berhasil membuat roti yang tidak terlalu mengecewakan, jadi dia akan menyuguhkan roti itu kepada Arwan.Hal itu bisa menjadi kesempatan yang baik untuk menjalin hubungan yang lebih erat dengan pemimpin desa..“Jati,” panggil Rajendra kepada pelayan yang sedang membereskan sisa-sisa bahan masakan. “apakah kamu memperhatikan bagaimana aku membuat roti tadi?”“Ya, Yang Mulia. Saya melihat semuanya dengan saksama,” jawab Jati dengan anggukan mantap. “saya pikir saya bisa melakukannya.”“Bagus sekali!” seru Rajendra dengan nada gembira. “tolong buatkan roti seperti ini dan bawa ke depan. Berikan satu untuk dicicipi oleh Kepala Desa Arwan, dan dua lagi untuk istriku, Kirana dan Ranjani. Sisanya, bagikan saja untuk kalian semua.”“Siap, Yang Mulia!” jawab Jati dengan semangat, segera mengambil sisa adonan dan mulai membentuknya menjadi dua buah roti pipih.Setelah memberikan instruksi kepada Jati, Rajendra segera bergegas ke

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Jauh Lebih Baik

    Setelah berbincang-bincang , para warga warga yang antusias mengikuti latihan bela diri telah membubarkan diri, kembali ke rumah masing-masing dengan tubuh yang lelah namun hati yang bersemangat. Namun, di tengah lapangan yang mulai lengang, tampak dua sosok remaja yang masih enggan beranjak.Yang pertama adalah seorang anak laki-laki bernama Aji. Tubuhnya tergolong kurus, namun tampak memiliki struktur tulang yang kokoh dan gerakan yang lincah saat tadi mencoba menirukan gerakan bela diri. Di samping Aji, berdiri Danu, seorang remaja dengan tubuh tambun dan pipi bulat kemerahan. Meskipun terlihat sedikit kesulitan mengikuti beberapa gerakan, semangatnya tampak tak kalah membara dari Aji. Mereka berdua seolah terpaku di tempat itu, betah berlama-lama di area yang baru saja menjadi saksi bisu semangat persatuan warga desa.Dengan ragu-ragu, Aji memberanikan diri menghampiri Rajendra yang sedang mengawasi beberapa prajurit merapikan peralatan latihan.“Kak Rajendra,” panggilnya dengan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status