Rajendra berdiri canggung di tepi sungai, kedua pipinya memerah, sementara Kirana menatapnya dengan wajah heran.
"Apakah Yang Mulia yakin tak butuh bantuanku?" tanya Kirana, kepalanya sedikit dimiringkan, rambut panjangnya melambai tertiup angin. Wanita itu polos. Dia tidak pernah berpikir jauh. Dan selalu menganggap semuanya itu sebagai hal yang lumrah. Rajendra buru-buru menarik tangan Kirana yang nyaris membuka celananya. "Aku bisa sendiri!" kata Raka gugup, separuh berteriak. Kirana mengerutkan kening. Dia berkata dengan suara yang pelan, “Biasanya Yang Mulia tak pernah segan. Bahkan saat kita berada di tengah keramaian sekalipun.” “Tidak apa-apa. Aku hanya sedang tidak mau,” kata Rajendra. Kirana pun mundur beberapa langkah, menggaruk kepalanya, bingung bukan main. Di matanya, pangeran Rajendra yang ia kenal tak pernah peduli tempat atau waktu. Bila menginginkan sesuatu, maka ia akan melakukannya, termasuk tubuh wanita. Rajendra menarik napas dalam-dalam. Dia benar-benar masih mencoba memahami situasinya saat ini. Dulu dia adalah Raka Adiwangsa, pria penyendiri, seorang detektif pembunuhan yang lebih akrab dengan buku forensik daripada perempuan. Kini, dia berada dalam tubuh bangsawan yang dikelilingi wanita-wanita secantik bidadari. Dunia ini benar-benar gila. Setelah selesai, Rajendra berjalan pelan kembali ke atas tebing kecil di mana yang lainnya berkumpul. Langkahnya sedikit tertatih. Luka di lengan dan kakinya masih perih. Ranjani segera menyambut dan membantu menahan tubuh sang pangeran. “Yang Mulia, biar aku bantu.” Namun belum sempat bergerak, Kirana datang dengan ekspresi panik. “Aku bantu juga. Ranjani tak bisa sendiri.” Rajendra hendak menolak, tapi sebelum sempat bicara, Kirana menginjak sebuah batu licin yang membuatnya terjatuh. Bruuk! Tubuh mungil itu terpeleset dan tergelincir ke dalam sungai. Suara cipratan air membuat semua orang terkejut. “Tuan Putri Kirana!” teriak beberapa pengawal hendak maju. Namun tanpa pikir panjang, Rajendra melompat. Dia sama sekali tidak memikirkan tentang kondisinya yang sedang terluka. Rajendra langsung menarik Kirana agar tidak terseret air. Meskipun tidak deras, namun bisa saja menghanyutkan tubuh Kirana. “Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Rajendra cemas, memeriksa wajah pucat Kirana. Kirana menggigil, rambutnya yang basah menempel di pipi. “Ampun, Yang Mulia. Maafkan aku. Aku bodoh karena tidak berhati-hati.” “Untuk apa minta maaf?” Rajendra mengerutkan kening. “Aku terjatuh dan membuat bajuku basah,” jawab Kirana ketakutan. “aku sungguh tidak berguna. Maafkan aku.” Rajendra menarik napas dalam, membantunya berdiri. “Tidak apa-apa. Jangan terlalu keras pada dirimu.” Kirana terus menunduk. Dia tahu pangeran Rajendra dulu pernah menghukumnya hanya karena menjatuhkan teh panas yang membasahi sedikit baju Rajendra. Dan kini, baju Rajendra bagian bawahnya sedikit basah terkena bajunya yang basah saat menolong tadi. Kirana sangat ketakutan hingga nyaris menangis. Namun berbeda dari yang ditakutkan, Rajendra justru memapahnya naik ke atas. Ranjani telah menunggu di atas tebing dan membantu menarik Kirana. “Seharusnya kamu tidak perlu membantu. Badanmu kecil. Bahkan untuk menarik kambing kecil pun kamu tak sanggup,” kata Ranjani. “Maafkan aku!” ucap Kirana. Rajendra tidak berbicara apa-apa. Dia tetap membantu Kirana dengan memapahnya. “Aku tidak apa-apa,” gumam Kirana. “aku bisa berjalan. Jangan karena aku, perjalanan jadi terlambat.” Kirana menatap Rajendra dengan hati-hati. Dirinya, dan yang lain menunggu reaksi yang biasa; amarah, bentakan, atau perintah hukuman. Namun yang terjadi, kembali di luar dugaan mereka semua. Rajendra melepaskan jubah dalamnya, lalu menyerahkannya kepada Kirana. Sedangkan dia hanya mengenakan jubah luar yang jauh lebih tipis. “Pakai ini. Jangan sampai kedinginan,” kata Rajendra dengan tenang. Semua orang membelalak. “A-aku tak bisa. Baju ini milik Yang Mulia,” ucap Kirana. “Pakai saja. Kita sedang dalam pelarian. Tak ada yang boleh sakit, Kirana,” kata Rajendra. Surapati yang menyaksikan dari kejauhan segera memberi perintah kepada anak buahnya, “Kalian! Beri ruang! Jangan ada yang mengintip saat Putri mengganti pakaian!” Para pengawal mundur dan membalikan badan. Rajendra hendak pergi juga, tapi Surapati menahannya. “Yang Mulia, Anda harus tetap di sini. Takutnya jika musuh menyerang tiba-tiba, tak ada yang melindungi.” “Tapi, dia sedang ganti baju.” Surapati mengerutkan kening. “Dia istrimu, Yang Mulia. Bukankah sudah biasa melihatnya tanpa busana?” Rajendra menelan saliva. Dia tidak bisa membantah karena itu adalah kenyataan. Dia adalah seorang suami bagi Kirana dan Ranjani. Raka menunduk, berdiri di hadapan kedua wanitanya. Kirana pun berganti pakaian dengan bantuan Ranjani yang posisinya memunggungi Rajendra. Namun saat Kirana sedang berusaha mengenakan jubah yang kepanjangan untuknya itu, tak sengaja Kirana menginjak batu tajam. “Aww!” Refleks, Rajendra mendongak untuk melihat apa yang terjadi. Saat itulah, matanya menangkap bayangan tubuh Kirana yang putih, mulus, dan kurva sempurna yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Sebuah pemandangan surgawi yang langsung membuat tenggorokannya tercekat. Rajendra buru-buru membuang wajah agar tidak dilihat oleh para istrinya. Pipinya kini menjadi merah padam. Tak lama kemudian, semua selesai. Kirana kini mengenakan pakaian Rajendra. Dia terlihat sangat canggung namun tak berani menolak. “Kita tak bisa berlama-lama di sini. Kita harus cari tempat berlindung,” kata Rajendra. Surapati mengangguk, setuju. Dia pun berkata, “Di seberang sungai ada desa kecil. Wilayahnya masuk ke kerajaan Angkara. Kita bisa coba meminta izin untuk menginap semalam.” “Tidak ada pilihan lain. Ayo kita ke sana!” seru Rajendra. Rombongan segera bergerak menuju jembatan bambu yang menghubungkan kedua wilayah. Saat melewati gerbang desa, suasana mulai terasa berbeda. Namun tiba-tiba seorang pria tambun dengan mata merah karena mabuk, berdiri menghadang. “Hei! Siapa kalian?” tanya pria itu dengan wajah yang tidak bersahabat. Surapati maju. “Kami hanya ingin melewati desa ini dan mencari tempat beristirahat untuk sementara.” Pria itu menyeringai. “Semua yang masuk ke desa ini harus bayar upeti padaku.” “Kami tak membawa uang,” jawab Surapati. “kami dalam pelarian.” “Pelarian, ya?” Pria itu mendekat, mengamati rombongan. Matanya menatap tajam ke arah Kirana dan Ranjani. “Hmm … wanita-wanitamu cantik semua.” Rajendra menyipitkan mata. Preman yang bernama Baron itu tertawa, menunjuk sebuah rumah kecil kosong di tepi desa. Baron melihat seorang yang memegang kendali rombongan adalah pria tampan di tengah-tengah mereka itu. “Kamu! Ikut aku jika mau mendapat tempat tinggal,” kata Baron kepada Rajendra. Surapati langsung mencegah. “Tidak bisa. Jika ingin bicara di sini saja.” Rajendra melihat ini adalah sebuah kesempatan. Oleh sebab itu, dia pun menuruti keingin Baron. “Tidak masalah, Paman. Aku akan bicara dengannya!” seru Rajendra. Baron melangkah sedikit menjauh. “Kalian bisa tinggal di sana malam ini. Tapi dengan satu syarat,” kata Baron. “Apa itu? Kalau uang, aku tidak punya,” tanya Rajendra. “Berikan salah satu wanita itu untuk menemaniku semalam saja,” kata Baron seraya menyeringai. Rajendra mengepalkan tangan karena merasa tersinggung. Tapi sebelum ia bicara, sebuah suara tajam terdengar dari belakangnya. “Jadi ini niatmu sebenarnya?” Rajendra menoleh. Ranjani berdiri dengan wajah dingin. Matanya menyala. “Kupikir kamu sudah berubah. Tapi ternyata, kamu masih sama busuknya seperti dulu. Kamu bahkan mau menyerahkan kami juga seperti kamu menyerahkan istri pertama dan keempat.” “Ranjani, bukan begitu—” “Diam!” serunya. “aku dengar dengan telingaku sendiri kalau kamu mau memberikan kami kepada pria itu.”Raja Wicaksana tersentak di kursinya, tatapannya terpaku pada pintu kayu yang baru saja menelan dua pengawal terakhirnya. Pikirannya dipenuhi gambaran efisiensi iblis Rajendra.“Bodoh!” geram Raja Wicaksana, suaranya parau, dipenuhi rasa frustrasi dan teror yang mematikan. “Mereka mencari ke mana?! Rajendra ada di sini! Di Istana! Dia ada di luar pintu ini! Aku dikepung!”Baru saja kalimat itu keluar dari mulutnya, Rajendra mengirimkan pesan yang jauh lebih mengerikan dari sekadar teriakan.BRRUUUUK!Sebuah benda tumpul dan berat dilempar keras ke lantai menara. Benda itu menggelinding ke depan Raja Wicaksana yang sedang duduk.Raja Wicaksana menatap benda itu dengan mata melebar. Itu adalah kepala manusia. Wajahnya sangat ia kenal—itu adalah kepala pengawal yang baru keluar tadi untuk memeriksa! Wajahnya kaku dengan ekspresi ketakutan yang abadi, matanya terbuka lebar seolah melihat neraka sebelum mati.Raja Wicaksana menjerit. Teriakan itu bukan teriakan Raja, tetapi jeritan ngeri s
Tama tersenyum lebar. Keputusan Rajendra untuk berbalik dan menggunakan pasukan pengejar sebagai perisai adalah strategi yang brilian, menghidupkan kembali harapan dan optimisme di tengah tim kecil itu.“Itu benar, Yang Mulia,” kata Tama, suaranya dipenuhi semangat yang membara. “Kita akan menjadi pemburu Raja. Bukankah ini jauh lebih menyenangkan daripada melarikan diri seperti tikus?”Ekspresi optimis terpancar di wajah Tama. Ia sangat percaya diri bahwa momen balas dendam terhadap Raja Wicaksana akan segera tiba. Bahkan, di dalam hatinya yang paling dalam, Tama telah bersumpah:Jika Yang Mulia Rajendra ragu untuk mengambil nyawa tiran itu, aku sendiri yang akan melakukannya. Kehormatan Putri Ayana adalah kehormatan seluruh pasukan Rajendra!Surapati mendekat, pandangannya dingin dan fokus. “Kita bergerak sekarang, Yang Mulia?” tanyanya. “Kita lewat jalur belakang. Jika masih ada kelompok kecil yang tertinggal di belakang, kita habisi saja satu per satu. Kita harus membuat jalan yan
Kemarahan Rajendra menular. Bukan hanya urat di lehernya yang menegang, tetapi juga suasana di sekitar mereka. Kata-kata Ayana tentang pemukulan itu adalah minyak yang disiramkan ke api kebencian yang sudah membara.Bukan hanya Rajendra dan Ranjani yang tersulut. Tama yang mendengarkan di belakang ikut mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Surapati, meskipun wajahnya kaku, matanya berkilat mematikan.Bahkan Sarno, bocah jalanan yang baru beberapa jam mengenal mereka, ikut merasakan amarah yang sama. Ia melihat bagaimana seorang wanita bangsawan diperlakukan seperti pengemis, sama hinanya dengan ibunya yang sakit di rumah.“Aku tidak terima!” geram Tama, maju selangkah. “Kalau mau kembali lagi, masih keburu, Yang Mulia! Raja Wicaksana pasti masih lumpuh dan terikat di Menara! Kalau mau, kita bergerak sekarang dan habisi dia!”“Ya, saya akan mengantarnya agar bisa lebih cepat sampai!” seru Sarno, matanya dipenuhi tekad balas dendam. “Saya tahu jalan yang lebih cepat dari Jalan Naga Bu
Suara alarm Istana yang menggelegar kini terdengar jauh, tertelan oleh labirin permukiman padat di pinggiran Kerajaan Widyaloka. Udara subuh terasa dingin di kulit, namun adrenalin dalam darah mereka membuatnya terasa seperti api.Rajendra merangkul Ayana, tubuhnya yang lemah bersandar erat padanya. Sarno memimpin jalan dengan kecepatan dan keahlian yang mengagumkan, sementara Surapati dan Ranjani menjaga bagian belakang, mata mereka tajam mengawasi setiap gang yang mereka lewati.Setelah berlari beberapa ratus meter dari area kumuh, Sarno berbelok tajam ke sebuah jalan setapak yang dikelilingi kebun kecil. Jalanan ini mulai ramai dengan warga yang bersiap pergi ke pasar.“Berhenti!” seru Rajendra tiba-tiba.Semuanya langsung berhenti, menatap Rajendra dengan bingung. Sarno bahkan tersentak, mengira ada pengejar.“Ada apa, Yang Mulia?” tanya Ranjani, tangannya memegang gagang pedang.Rajendra melepaskan pelukannya pada Ayana sejenak, mengambil napas dalam-dalam.“Kita sudah berada di
Mereka bersembunyi di sudut gelap lantai dua menara yang kosong, tepat di seberang Pintu Besi yang mengunci Ayana. Lantai di bawah mereka menyimpan Kapten Wasesa dan beberapa pengawal elit yang terikat dan dibungkam, umpan yang siap dimakan.“Dia datang,” bisik Ranjani, matanya yang tajam melihat pantulan cahaya obor yang bergerak cepat di halaman luar.Detik-detik berikutnya terasa seperti berjam-jam. Mereka mendengar langkah kaki yang berirama, semakin mendekat, bersamaan dengan suara denting logam yang familier.“Siapkan diri,” Rajendra mengeluarkan perintahnya, suaranya serak namun tegas.Ia menggenggam erat pedangnya, sementara tangan kirinya sudah merogoh saku, memastikan Kunci Besi pertama aman. “Ingat rencana: fokus utama adalah kunci... kunci kedua yang ada di tangan Raja Wicaksana.”Suara derit pintu kayu lantai dasar memecah keheningan. Raja Wicaksana telah masuk.Langkah kaki yang mantap, berwibawa, namun juga menunjukkan urgensi, terdengar menaiki tangga kayu yang tua. Ta
Rajendra tidak memberikan waktu bagi Kapten Wasesa untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan. Teriakan Kapten Wasesa yang keras itu adalah peringatan yang bisa menarik perhatian, dan Rajendra tidak akan membiarkan itu terjadi.“Sekarang!” teriak Rajendra.Kapten Wasesa melompat maju, pedangnya memancarkan kilatan perak. Dia kuat, didukung oleh pelatihan keras Naga Merah khas Widyaloka, tetapi gerakannya lambat dan terprediksi di mata Rajendra.Di mata Rajendra—atau lebih tepatnya, Raka—mantan perwira polisi dari dunia modern, gerakan Kapten Wasesa hanyalah pola yang sudah usang. Rajendra bergerak menggunakan insting bela diri modern yang dilatih untuk melumpuhkan target secepat mungkin.BUUK!Rajendra tidak menggunakan pedang. Ia menggunakan tangan kosong. Ia merunduk di bawah ayunan pedang Kapten Wasesa, menangkis bilah itu dengan sarung lengan, dan melancarkan pukulan siku cepat ke ulu hati Kapten Wasesa.Kapten Wasesa terhuyung. Sebelum ia bisa bernapas, Rajendra sudah ada di belaka