Suara langkah kaki terdengar dari luar rumah kayu tua itu. Bukan hanya satu atau dua orang, ini seperti sekelompok orang yang datang bersama.
Pintu rumah terbuka. Surapati, dengan tubuh tegap dan dada membusung, melangkah keluar lebih dulu. Empat pengawal di belakangnya juga bersiaga, tangan mereka menggenggam gagang pedang, mata mereka tajam mengamati setiap gerakan mencurigakan. “Ada apa ini?” tanya Surapati lantang. “kenapa kalian datang segerombol?” Dari rombongan orang yang datang, seorang pria berkulit putih dengan rambut keperakan melangkah ke depan. Pakaiannya sederhana, tapi bersih dan rapi. Sorot matanya tajam namun damai, dan senyumnya menyiratkan keramahan yang tulus. “Aku Kepala Desa Gunung Jaran,” ucap pria itu dengan suara berat dan tegas. “namaku Arwan.” “Kepala desa?” tanya Tama. “Apa yang membawanya ke sini?” tanya Ranjani. Bisik-bisik penuh tanya langsung menyebar di antara para anak buah Rajendra. Surapati tetap berdiri tegak tanpa ada rasa takut sedikitpun. Namun dia berusaha bersikap sopan dan ramah. “Apa maksud kedatangan kalian? Jika maksudnya adalah karena kami datang tanpa laporan, itu karena kami akan melapor pagi ini,” ucap Surapati. Arwan menyapu pandangannya ke sekeliling, lalu menatap langsung ke arah rumah tempat Rajendra tinggal. “Aku ingin bertemu pemimpin kalian. Apakah itu kamu?’ Langkah tenang terdengar dari dalam rumah. Rajendra muncul dengan jubah luar yang tipis, namun tubuh tegap dan aura wibawanya membuat semua mata langsung tertuju padanya. Rajendra ttidak memakai perhiasan ataupun simbol kebangsawanan. Dia tahu, menyembunyikan identitas untuk saat ini adalah pilihan paling aman. “Aku Rajendra,” katanya singkat. “aku pemimpin rombongan ini.” “Aku meminta maaf. Aku tahu, kami belum mengajukan izin untuk tinggal. Itu karena terlalu malam kami datangnya,” lanjut Rajendra. Arwan memandangi pria muda itu dengan seksama. Alih-alih curiga, wajahnya justru memancarkan kegembiraan. Senyumnya mengembang. “Bukan itu maksud kedatangan kami. Jadi kami datang untuk mengucapkan terima kasih karena kalian telah membawa ketenangan ke desa kami,” jelas Arwan. Rajendra mengerutkan alis. “Ketenteraman?” Arwan tertawa ringan. “Baron. Pria itu sudah lama menjadi duri dalam daging kami. Semalam kami mendengar bahwa dia dihajar habis-habisan hingga lari terbirit-birit dari desa.” Seketika para warga di belakang Arwan bersorak kecil. Beberapa dari mereka maju sambil membawa karung kecil, keranjang anyaman, dan bahkan seekor ayam hutan hidup yang diikat kakinya. “Ini hadiah dari kami,” ucap seorang wanita tua sambil menyerahkan seikat bayam segar. “Beras dan sayuran untuk bekal kalian,” ucap pria lain. Rajendra menahan napas, tersentuh oleh ketulusan mereka. Namun ia mengangkat tangan, menolak dengan halus. “Kalian tidak perlu repot. Kami hanya kebetulan berada di tempat yang sama saat itu.” “Tetap saja, ini harus diterima,” kata Arwan tegas. “Kalau tidak, kami akan merasa tak enak hati.” Akhirnya Rajendra mengangguk pelan. “Kalau begitu, terima kasih. Kami sangat menghargainya.” “Ngomong-ngomong, kalian sedang dalam perjalanan ke mana?” tanya Arwan dengan wajah yang bersahabat. Rajendra sedikit ragu. Ia tahu, satu jawaban salah bisa menimbulkan kecurigaan. Namun sebelum ia sempat menjawab, Surapati melangkah maju. “Kami berasal dari wilayah timur,” kata Surapati dengan mantap. “di sana sedang terjadi perang saudara. Banyak bangsawan saling berebut tahta. Kami memutuskan untuk meninggalkan tanah itu dan mencari tempat baru.” Arwan mengangguk paham. “Perang memang menyakitkan. Tapi kalian beruntung bisa pergi lebih awal.” Arwan menoleh pada Rajendra. Lalu dia berkata, “Jika kalian belum punya tujuan tetap, kenapa bisa tinggal di sini untuk sementara.” Rajendra terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kami tidak ingin menyusahkan. Kami hanya sementara saja. Mungkin besok sudah pergi lagi.” “Tidak sama sekali,” sahut Arwan cepat. “kalian bisa menempati rumah tua itu. Lagipula kami memang butuh bantuan.” “Bantuan?” Rajendra bertanya. Arwan menatap langit sejenak, lalu menghela napas. “Di desa ini, perbandingan pria dan wanita sangat timpang. Dari seratus orang, hanya tiga puluh pria. Dan dari tiga puluh itu, hanya lima belas yang sudah dewasa.” “Karena itu, Baron bisa berbuat semena-mena. Kami tidak punya kekuatan untuk melawannya,” lanjutnya. Mendengar itu, Rajendra memahami situasi desa ini dengan lebih jelas. Ketimpangan gender bukan hanya membuat desa rentan tapi juga membuka peluang bagi orang sepertinya untuk membangun pengaruh. “Dengan kalian di sini,” lanjut Arwan, “desa ini terasa lebih aman. Kehadiran kalian ibarat perisai baru.” “Terima kasih atas kepercayaan itu,” ucap Rajendra sopan. Arwan menyeringai. “Dan kalau kalian ingin menetap lebih lama, banyak wanita di sini yang siap dinikahi.” Rajendra nyaris tersedak. Dia tertawa pelan, tapi refleks menutup mulutnya saat teringat pada para istrinya yang mungkin sedang menguping dari dalam rumah. “Ehm … sayangnya, aku sudah menikah,” kata Rajendra buru-buru. “tapi banyak anak buahku yang lajang.” “Begitu ya?” Arwan tertawa kecil. “kalau begitu, nanti akan kami kenalkan pada beberapa gadis desa.” Setelah beberapa tawa ringan dan obrolan singkat, warga mulai kembali ke rumah masing-masing. Keranjang berisi beras dan sayuran pun dibawa ke dapur. Kedua istri Rajendra segera sigap membantu anak buah yang lain memasak. Sementara aroma tumisan dan rebusan mulai memenuhi rumah, Rajendra duduk di ruang tengah bersama Surapati dan Tama. Ketiganya tampak serius. “Kita tidak bisa tinggal diam selamanya,” ucap Rajendra pelan. “kita harus memikirkan bagaimana cara untuk kembali merebut kejayaan kita.” Surapati mengangguk. “Sebelum itu, kita harus tahu dulu seperti apa situasi Bharaloka sekarang. Apakah pangeran Gantara sudah duduk di tahta? Siapa saja yang mendukungnya?” “Kita perlu informasi,” tambah Tama. “dan lebih dari itu, kita perlu kekuatan.” Rajendra mengangguk dalam. “Aku tidak mau kembali dengan tangan kosong. Kalau kita datang hanya dengan sepuluh orang, itu bunuh diri.” Tama menatap lurus ke depan. “Aku akan mulai mencari orang-orang yang bisa dipercaya. Kita latih mereka. Bangun pasukan kecil.” Surapati menatap Rajendra dengan tatapan ragu. “Tapi semua itu butuh waktu dan dana besar.” Rajendra terdiam sejenak, lalu menatap mereka berdua dengan mata yang tajam. “Kalau begitu, kita bangun saja kerajaan baru.” Surapati dan Tama terkejut. “Yang Mulia ingin apa?” tanya Surapati. Rajendra mencondongkan tubuhnya. “Mendirikan kerajaan baru. Di tempat ini, di sekitar desa ini. Kita tanam kekuatan pelan-pelan. Rekrut rakyat, latih mereka, lindungi mereka. Lama-lama kita akan menjadi kekuatan yang tak bisa diabaikan.” “Yang Mulia,” bisik Tama. “itu tidak mudah. Perlu banyak uang. Perlu pengaruh.” “Aku akan cari caranya,” kata Rajendra. “ada sesuatu yang bisa aku manfaatkan.” Surapati memandangi Rajendra lama. “Kalau itu pilihan Yang Mulia, kami akan ikut.” Rajendra tersenyum tipis. Selama perjalanan kemarin, dia melihat ada beberapa hal yang bisa dia manfaatkan dan dia yakin akan mendapatkan banyak uang dari sana.Dalam perjalanan menuju Desa Gunung Jaran, dia melihat ada beberapa tanah lapang yang tidak terurus. Dia berpikir di sana dia bisa melakukan sesuatu. Meski belum terpikirkan akan melakukan apa.Aroma masakan dari dapur mulai tercium. Beberapa anak buah Rajendra menyebut aromanya harum dan membuat mereka lapar.Namun bagi Rajendra, aroma masakannya sama sekali tidak menggugah selera.“Untung saja penduduk desa memberi hadiah. Jadi, kita bisa makan,” ucap Tama, bersemangat.Surapati mengangguk dengan penuh senyuman. “Setidaknya menyelamatkan kita hari ini.”Kemudian Surapati menatap ke arah Tama dan beberapa prajuritnya yang lain sambil berkata, “Jadi, setelah makan, kita harus mencari sesuatu untuk dimakan besok. Kita berburu ke hutan. Siapa tahu di sana ada ayam atau kelinci. Jika tidak ada, mungkin ada tikus.”Semuanya setuju.Rajendra mengerutkan keningnya. Dia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Surapati.“Kalian makan tikus?” tanya Rajendra dengan mimik wajah kaget bercampur j
"Maaf, Yang Mulia. Ini salahku." Kirana menunduk dalam-dalam. Suaranya bergetar, tubuh mungilnya menegang seperti daun kering yang siap diterbangkan angin.Rajendra meletakkan sendoknya. Bubur gandum itu hambar, kental seperti lumpur, dan menyisakan pahit aneh di ujung lidah. Tapi bukan itu yang membuatnya mengernyit. Melainkan ekspresi Kirana yang seolah menanti dicambuk di depan umum.Ranjani tidak mau Kirana dihukum. Sebab Kirana sangat lemah. Oleh karena itu dia pun buru-buru membuka mulutnya."Yang Mulia, ini salahku. Kirana hanya membantu. Jika harus dihukum, hukum aku saja. Aku yang bertanggung jawab,” ucap Ranjani.Rajendra memandangi kedua istrinya. Kirana yang ringkih seperti anak kecil kelaparan, dan Ranjani yang duduk tegak penuh keberanian, meski lehernya menegang dan telapak tangannya bergetar halus.“Jadi apakah rasanya memang seperti ini? Atau kalian lupa menambahkan bumbu?” Rajendra menatap Ranjani, tak menunjukkan amarah, hanya rasa penasaran yang serius.Ranjani men
Tatapan mata Rajendra menusuk. Ranjani yang awalnya hendak melompat turun dari tempat tidur, kini membeku di bawah tubuh suaminya sendiri. Napasnya tercekat, dadanya naik-turun dengan cepat. Tubuhnya yang polos menempel langsung pada dada Rajendra yang kencang dan hangat.“Yang Mulia…” bisik Ranjani dengan suara gemetar. Wajahnya memerah, bukan karena malu semata, tapi karena tubuhnya menghangat, didorong rasa yang selama ini dia sembunyikan.Rajendra sendiri menelan ludah. Tubuhnya menegang. Otaknya tahu ini salah waktu, tapi tubuhnya menolak bergerak.Hangat tubuh Ranjani, aroma kulitnya, dan kedekatan yang membutakan, semua bercampur menjadi gelombang aneh di dalam dada Rajendra.Sejak pernikahan, Rajendra dulu memang telah menyentuh Ranjani. Tapi hanya sekali. Dan itu pun dalam kondisi marah. Sisanya, ia lebih sering tidur bersama para istrinya yang lain yang lebih nurut.Saat tangan Rajendra hendak bergerak turun untuk menyentuh tubuh Ranjani, pintu kamar tiba-tiba terbuka.“Ranj
Desingan tajam anak panah yang meluncur ke arah Rajendra seolah menghentikan waktu. Semua yang melihat hanya bisa mematung, menyaksikan maut mendekat dalam garis lurus yang sempurna menuju jantung sang pangeran.Namun mereka salah.Sebuah gerakan cepat yang hampir tak terlihat, dilakukan oleh Rajendra. Dengan satu tangan, dia meraih anak panah itu di udara, menggenggamnya kuat sebelum ujungnya sempat menyentuh kulitnya.Suasana hutan mendadak sunyi. Bahkan angin pun seolah berhenti berhembus.Rajendra melempar anak panah itu ke tanah, matanya menyala dengan amarah. “Sialan! Siapa kau? Keluar jika berani!” teriaknya.“Lindungi Yang Mulia!” pekik Tama.Prajurit yang lain langsung membentuk formasi defensif, membentuk lingkaran dengan pedang terhunus dan busur yang siap melesat, menjaga Rajendra di tengah-tengah mereka.Namun Rajendra juga tidak lengah. Matanya menyisir semak-semak, mengamati setiap gerakan dedaunan dengan ketajaman seekor elang.Dari balik semak, dua orang pria melangka
Rajendra duduk bersandar di dinding kayu rumah. Di tangannya masih tersisa aroma tanah dari sore yang panjang di hutan.Rajendra memejamkan mata sejenak, membayangkan biji-biji gandum itu digiling menjadi tepung putih halus, lalu diolah menjadi roti hangat yang mengepul di pagi hari.“Yang Mulia,” suara lembut itu membuyarkan lamunannya.Kirana bersimpuh di ambang pintu kamar, tubuhnya dibalut kain tipis tidur yang sederhana. Rambutnya terurai, dan di bawah cahaya pelita, wajahnya tampak tenang. Namun ada sesuatu di dalamnya. Ada kecemasan yang disembunyikan.“Ayo tidur. Ini sudah malam,” ucap Kirana, pelan dan lembut.Rajendra membuka mata. Tatapannya bertemu mata Kirana. Jantungnya berdetak, cepat dan tak karuan.Ia mengalihkan pandangan. “Sebentar lagi.”Kirana menatap wajah Rajendra. Dia ingin mengajak suaminya lagi untuk tidur, namun Ranjani berdiri di belakangnya dan menyahut tajam.“Sudahlah, Kirana. Jangan paksa Yang Mulia tidur kalau dia tak ingin. Biarkan saja mau tidur atau
Nada lembut itu menusuk langsung ke dalam jantung Rajendra. Suara Kirana terasa seperti bisikan angin musim semi yang menyentuh kulit, terlalu halus dan terlalu manja untuk didengar dalam kamar sempit dengan dua wanita yang bersamanya. “Yang Mulia menginginkan sesuatu malam ini?” tanya Kirana lagi, masih dalam nada rendah yang membuat darah Rajendra mengalir ke tempat-tempat yang tak seharusnya. Rajendra mengalihkan tatapannya. “Tidak. A-aku hanya ingin tidur.” Kirana terdiam sejenak. Lalu ia menggeser tubuhnya, memberikan ruang. “Maafkan aku, mungkin aku membuat tempat tidur ini jadi terlalu sempit.” “Tidak apa-apa,” balas Rajendra singkat, tanpa menatap istrinya. Rajendra hanya ingin malam itu berlalu cepat. Sebab dia belum siap. Meskipun tubuhnya merespons dengan liar, pikirannya masih terlalu bingung dan dipenuhi ketakutan. Rajendra takut mengecewakan, takut tidak cukup baik, dan takut menjadi lelucon di ranjang. Akhirnya Rajendra berbaring di atas kasur dengan perl
“I-itu bukan maksudku...” Suara wanita itu bergetar, matanya menunduk, suara manja yang sebelumnya keluar kini tergantikan nada ketakutan.Suaminya masih berdiri di ambang pintu, tubuh tegapnya menahan cahaya pagi.“Aku tidak genit. Aku hanya bilang, kalau orang yang meminjam seharusnya orang yang butuh. Bukan menyuruh orang lain,” lanjutnya pelan, jemari meremas sudut kain di tangannya.Pria itu terdiam. Tatapannya tak lagi marah, tapi masih menyimpan kekecewaan dan rasa curiga.Setelah beberapa saat, dia menghela napas.“Hati-hati kalau bicara. Orang luar bisa salah paham,” katanya pada akhirnya. Nada suaranya mereda, meski ketegangan belum sepenuhnya hilang.Anak buah Rajendra yang mendengar hanya berdiri kikuk. Mereka tak tahu harus bicara atau diam.Salah satu anak buah Rajendra mencoba membuka percakapan, “Kalau tidak boleh, kami akan mencari ke rumah lain. Kami tidak ingin merepotkan.”Pria itu menoleh. “Berapa lama kalian butuh alat itu?”“Besok pagi akan kami akan kembalikan,
Aroma gosong tipis bercampur hangatnya asap kayu memenuhi udara pagi. Di atas batu pipih yang telah memerah karena panas, adonan roti pipih Rajendra mulai matang.Semua orang berkumpul dalam diam. Mata mereka terpaku pada roti bundar tipis berwarna cokelat muda dengan beberapa titik hitam gosong di sana-sini.Rajendra membalikkan adonan sekali lagi, memastikan setiap sisi matang sempurna. Matanya tajam, penuh fokus, seolah sedang menangani benda pusaka langka.“Yang Mulia,” ucap Ranjani dengan alisnya sedikit mengernyit, “apakah memang harus gosong begini? Ini seperti ayam bakar yang lupa diangkat.”Kirana melirik cepat ke arah Ranjani. Dia khawatir suaminya marah kepada Ranjani karena merasa diremehkan.“Diamlah. Jangan bikin Yang Mulia tersinggung. Ini baru pertama kali dia membuatnya. Kita bisa mencobanya nanti,” bisik Kirana pelan.“Aku hanya bertanya,” sahut Ranjani dengan cepat, nada suaranya tetap tajam meski ditahan.Rajendra tak menanggapi hal itu. Ia tahu ini adalah makanan
Untuk menjaga keamanan desa malam itu, Rajendra menunjuk enam orang pengikutnya untuk berjaga secara bergilir. Ia sendiri memilih untuk tidak ikut berjaga. Kekhawatiran akan kondisi kedua istrinya yang tampak ketakutan membuatnya ingin segera pulang dan memastikan mereka baik-baik saja.Rajendra kembali ke rumah bersama Banyu dan dua orang pengikut lainnya. Mereka akan berjaga besok pagi sampai sore hari.Sesampainya di rumah, Rajendra disambut oleh Ranjani dan Kirana dengan tatapan mata yang penuh tanda tanya dan kecemasan.“Yang Mulia, apa yang terjadi?” sapa Ranjani dengan nada sedikit tegang.Rajendra tidak langsung menjawab. Dia merasakan aura ketakutan yang menyelimuti rumahnya.“Aku takut, Yang Mulia,” lirih Kirana sambil memeluk lengan Rajendra erat-erat.Rajendra mengusap lembut kepala Kirana dan juga Ranjani secara bergantian. “Tidak ada apa-apa. Semuanya akan baik-baik saja. Kalian tidak perlu khawatir.”“Bagaimana bisa baik-baik saja, Yang Mulia? Bambu keramat itu telah di
Mendengar cerita mengerikan dari pria tua itu tentang orang yang menghilang setelah menebang bambu keramat, bulu kuduk para pengikut Rajendra langsung meremang. Mereka tanpa sadar mempercepat langkah untuk segera kembali ke desa, menjauhi hutan yang kini terasa angker.Namun, di benak mereka, terlintas kekhawatiran yang sama: bagaimana dengan Dipa yang masih terpaku di luar desa?“Cepat masuk ke rumah kalian semua! Jangan ada yang berani keluar malam ini!” seru pria tua itu dengan nada panik sebelum akhirnya berlari masuk ke dalam rumahnya dan menutup pintu dengan tergesa-gesa.Para pengikut Rajendra saling bertukar pandang dengan ekspresi kebingungan dan ketidakpastian. Mereka semua menunggu keputusan apa yang akan diambil oleh sang pangeran.“Jangan tinggalkan aku di sini, kumohon…” lirih Dipa dengan suara bergetar, air mata mulai membasahi pipinya.Ia kemudian menoleh ke arah Rajendra dengan tatapan memelas. “Yang Mulia … jangan tinggalkan saya. Sungguh, saya sangat takut.”Hati pa
Mendengar teriakan panik Dipa, langkah Rajendra yang sedang memeriksa bambu-bambu yang sudah ditebang terhenti. Ia segera menghampiri Dipa yang masih mematung dengan wajah pucat pasi. “Ada apa, Dipa? Tenanglah,” tanya Rajendra berusaha menenangkan. “Y-Yang Mulia … a-aku … aku baru saja menebang pohon keramat,” jawab Dipa dengan suara bergetar hebat, matanya memandang nanar ke arah bambu yang mengeluarkan cairan merah pekat. Rasa dingin langsung menjalar di tulang belakang para pengikut Rajendra yang lain. Mereka membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin terjadi setelah melanggar pantangan desa. Banyu yang merupakan sepupu Dipa langsung menyalahkan pemuda itu dengan nada panik. “Bodoh kamu, Dip! Kenapa tidak hati-hati! Sekarang bagaimana ini?!” Surapati mendekati bambu yang mengeluarkan cairan merah itu. Ia mengamatinya dengan seksama, namun raut wajahnya menunjukkan kebingungan. “Ini aneh. Aku tidak pernah melihat bambu yang mengeluarkan darah. Mungkin benar, bambu ini t
Arwan menghela napas panjang, raut wajahnya menggambarkan beban berat yang selama ini ia pikul bersama warganya. “Kami harus menyetor upeti sebesar lima belas Orun emas setiap empat bulan sekali, Yang Mulia. Itu artinya, tiga kali dalam setahun kami harus menyerahkan total empat puluh lima Orun emas kepada kerajaan.”Mendengar nominal tersebut, Rajendra yang tidak familiar dengan mata uang di zaman itu, dia hanya bisa menerka-nerka nilainya.Namun, dari nada bicara Arwan yang penuh keputusasaan dan ekspresi wajahnya yang menggambarkan penderitaan, ia tahu pasti bahwa jumlah itu sangatlah besar dan memberatkan bagi perekonomian desa.“Dengan jumlah penduduk yang sedikit dan sebagian besar warga hidup dalam kondisi pas-pasan, upeti sebesar itu benar-benar mencekik kami, Yang Mulia,” lanjut Arwan dengan nada lirih.Rajendra mengerutkan keningnya, merasa iba dengan nasib warga Desa Gunung Jaran.“Apakah kalian sudah pernah mencoba meminta keringanan kepada raja?” tanya Rajendra dengan nad
Suryakusuma yang mendengar nada bicara Kepala Desa Arwan yang penuh keramahan, mencoba meluruskan kesalahpahaman yang mungkin timbul. Ia tidak ingin dianggap tidak menghargai pemimpin desanya.Namun, alasan sebenarnya di balik penolakannya untuk berkenalan dengan Rajendra adalah prasangka buruk yang sudah mengakar di benaknya.“Bukan begitu maksud saya, Kepala Desa,” kata Suryakusuma dengan nada dibuat-buat menyesal. “saya sangat menghormatimu. Hanya saja, saya sudah terlalu sering bertemu dengan orang-orang seperti dia, orang asing yang datang dengan wajah polos namun menyimpan niat tersembunyi.”Kepala Desa Arwan mengerutkan keningnya, merasa bingung dengan ucapan Suryakusuma.“Memangnya apa yang salah dengan Rajendra, Juragan? Saya melihatnya sebagai orang yang sopan dan memiliki niat baik untuk membantu desa kita,” tanya Arwan.“Mereka itu penuh dengan kemunafikan, Kepala Desa,” balas Suryakusuma dengan nada sinis. “mereka berpura-pura baik dan peduli pada awalnya, tapi pada akhir
Pertanyaan Rajendra menggantung di udara, menciptakan keheningan yang mencekam di antara mereka.Ranjani dan Kirana saling pandang, raut wajah mereka dipenuhi dengan kesedihan dan keprihatinan. Mereka tahu, ingatan Pangeran mereka perlahan mulai kembali, membawa serta luka lama yang belum sepenuhnya sembuh.“Apakah aku … punya empat istri?” tanya Rajendra sekali lagi, nadanya penuh harap namun juga tersirat ketakutan akan jawaban yang mungkin ia terima. “aku baru saja mengingat kilasan masa lalu di mana ada 4 wanita di sampingku.”Ranjani menghela napas pelan sebelum menjawab dengan suara lirih, “Iya, Yang Mulia memiliki empat orang istri.”“Di mana … di mana yang dua lagi?” tanya Rajendra dengan wajah yang kini dipenuhi kepanikan.Bayangan samar-samar tentang kejadian mengerikan di malam kudeta mulai berputar lagi di benaknya.Tiba-tiba, air mata Kirana mengalir deras membasahi pipinya. Ia terisak pelan, mengingat kedua sahabatnya yang kini tidak lagi bersama mereka. Kenangan akan ma
Melihat nada bicara dan tatapan mata Suryakusuma yang merendahkan, Surapati yang berdiri di belakang Rajendra tidak bisa tinggal diam.Insting seorang prajuritnya kembali muncul. Ia khawatir jika Pangeran Rajendra yang menanggapi langsung, emosi masa lalunya bisa saja kembali menguasai. Lebih baik ia yang maju dan menghadapi orang sombong ini.Dengan langkah mantap, Surapati mendekat ke arah Suryakusuma. Matanya menatap dengan tajam.“Maafkan kelancangan saya, Tuan,” ucap Surapati dengan nada sopan namun tegas. “kami datang ke desa ini tidak dengan niat mengganggu. Sebaliknya, kami justru ingin memberikan kontribusi yang baik bagi kemajuan dan keamanan desa ini.”Suryakusuma menoleh dengan tatapan merendahkan ke arah Surapati.“Siapa kau berani bicara denganku? Apa kau salah satu anak buah orang asing ini?” tanya Suryakusuma dengan mata melotot sambil menunjuk wajah Rajendra dengan jari telunjuknya.“Benar, Tuan. Saya adalah salah satu pengikut Tuan Rajendra. Dan saya bertanggung jawa
Mendengar kata-kata Wira yang penuh dengan racun dan hasutan, telinga Suryakusuma terasa panas. Julukan “idola baru” bagaikan duri yang menusuk hatinya yang selama ini haus akan pengakuan dan puja-puji. Ia merasa terancam, seolah ada seseorang yang berani merebut tahta popularitasnya di desa ini.“Siapa orang itu? Di mana rumahnya?” tanya Suryakusuma dengan nada suara yang meninggi, menyiratkan kemarahan yang mulai membara.Wira merasakan kegembiraan yang luar biasa dalam hatinya melihat reaksinya. Rencananya untuk memanfaatkan kekayaan dan pengaruh Suryakusuma untuk menjatuhkan Rajendra tampak berjalan sesuai harapan. Namun, di hadapan Juragan, ia tetap mempertahankan ekspresi datar dan penuh keprihatinan palsu.“Namanya Rajendra, Juragan. Dia tinggal di rumah kosong yang dulu ditempati oleh preman Baron. Mereka merebut rumah itu setelah berhasil mengalahkan Baron dan anak buahnya,” jelas Wira dengan nada hati-hati, seolah takut menyinggung perasaan Suryakusuma.Mata Suryakusuma mem
Rajendra akhirnya hanya bisa tertawa saja untuk merespon harapan kepala desa itu. Arwan tampak sedikit bingung melihat reaksi Rajendra yang tidak terduga. Ia khawatir kalau perkataannya tadi menyinggung perasaan pemuda itu. “Maafkan saya jika perkataan saya kurang pantas, Rajendra,” ucap Arwan dengan nada menyesal. “saya hanya memikirkan yang terbaik untuk desa ini…” Belum sempat Arwan melanjutkan perkataannya, tiba-tiba muncul Dipa, seorang pemuda berbadan tegap yang merupakan sepupu Banyu. Dipa datang menghampiri mereka sambil membawa sebuah piring berisi dua potong roti pipih yang masih hangat. Aroma gurih yang bercampur dengan aroma Bakaran, langsung menyeruak, membuat perut Arwan yang belum terisi sejak pagi bergejolak. “Tuan, ini rotinya,” kata Dipa dengan sopan sambil menyodorkan piring tersebut kepada Rajendra. Rajendra menerima piring itu dan tersenyum kepada Dipa. Kemudian, ia mengulurkan piring itu kepada Arwan. “Kepala Desa, perkenalkan, ini adalah makanan buata