Suara langkah kaki terdengar dari luar rumah kayu tua itu. Bukan hanya satu atau dua orang, ini seperti sekelompok orang yang datang bersama.
Pintu rumah terbuka. Surapati, dengan tubuh tegap dan dada membusung, melangkah keluar lebih dulu. Empat pengawal di belakangnya juga bersiaga, tangan mereka menggenggam gagang pedang, mata mereka tajam mengamati setiap gerakan mencurigakan. “Ada apa ini?” tanya Surapati lantang. “kenapa kalian datang segerombol?” Dari rombongan orang yang datang, seorang pria berkulit putih dengan rambut keperakan melangkah ke depan. Pakaiannya sederhana, tapi bersih dan rapi. Sorot matanya tajam namun damai, dan senyumnya menyiratkan keramahan yang tulus. “Aku Kepala Desa Gunung Jaran,” ucap pria itu dengan suara berat dan tegas. “namaku Arwan.” “Kepala desa?” tanya Tama. “Apa yang membawanya ke sini?” tanya Ranjani. Bisik-bisik penuh tanya langsung menyebar di antara para anak buah Rajendra. Surapati tetap berdiri tegak tanpa ada rasa takut sedikitpun. Namun dia berusaha bersikap sopan dan ramah. “Apa maksud kedatangan kalian? Jika maksudnya adalah karena kami datang tanpa laporan, itu karena kami akan melapor pagi ini,” ucap Surapati. Arwan menyapu pandangannya ke sekeliling, lalu menatap langsung ke arah rumah tempat Rajendra tinggal. “Aku ingin bertemu pemimpin kalian. Apakah itu kamu?’ Langkah tenang terdengar dari dalam rumah. Rajendra muncul dengan jubah luar yang tipis, namun tubuh tegap dan aura wibawanya membuat semua mata langsung tertuju padanya. Rajendra ttidak memakai perhiasan ataupun simbol kebangsawanan. Dia tahu, menyembunyikan identitas untuk saat ini adalah pilihan paling aman. “Aku Rajendra,” katanya singkat. “aku pemimpin rombongan ini.” “Aku meminta maaf. Aku tahu, kami belum mengajukan izin untuk tinggal. Itu karena terlalu malam kami datangnya,” lanjut Rajendra. Arwan memandangi pria muda itu dengan seksama. Alih-alih curiga, wajahnya justru memancarkan kegembiraan. Senyumnya mengembang. “Bukan itu maksud kedatangan kami. Jadi kami datang untuk mengucapkan terima kasih karena kalian telah membawa ketenangan ke desa kami,” jelas Arwan. Rajendra mengerutkan alis. “Ketenteraman?” Arwan tertawa ringan. “Baron. Pria itu sudah lama menjadi duri dalam daging kami. Semalam kami mendengar bahwa dia dihajar habis-habisan hingga lari terbirit-birit dari desa.” Seketika para warga di belakang Arwan bersorak kecil. Beberapa dari mereka maju sambil membawa karung kecil, keranjang anyaman, dan bahkan seekor ayam hutan hidup yang diikat kakinya. “Ini hadiah dari kami,” ucap seorang wanita tua sambil menyerahkan seikat bayam segar. “Beras dan sayuran untuk bekal kalian,” ucap pria lain. Rajendra menahan napas, tersentuh oleh ketulusan mereka. Namun ia mengangkat tangan, menolak dengan halus. “Kalian tidak perlu repot. Kami hanya kebetulan berada di tempat yang sama saat itu.” “Tetap saja, ini harus diterima,” kata Arwan tegas. “Kalau tidak, kami akan merasa tak enak hati.” Akhirnya Rajendra mengangguk pelan. “Kalau begitu, terima kasih. Kami sangat menghargainya.” “Ngomong-ngomong, kalian sedang dalam perjalanan ke mana?” tanya Arwan dengan wajah yang bersahabat. Rajendra sedikit ragu. Ia tahu, satu jawaban salah bisa menimbulkan kecurigaan. Namun sebelum ia sempat menjawab, Surapati melangkah maju. “Kami berasal dari wilayah timur,” kata Surapati dengan mantap. “di sana sedang terjadi perang saudara. Banyak bangsawan saling berebut tahta. Kami memutuskan untuk meninggalkan tanah itu dan mencari tempat baru.” Arwan mengangguk paham. “Perang memang menyakitkan. Tapi kalian beruntung bisa pergi lebih awal.” Arwan menoleh pada Rajendra. Lalu dia berkata, “Jika kalian belum punya tujuan tetap, kenapa bisa tinggal di sini untuk sementara.” Rajendra terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kami tidak ingin menyusahkan. Kami hanya sementara saja. Mungkin besok sudah pergi lagi.” “Tidak sama sekali,” sahut Arwan cepat. “kalian bisa menempati rumah tua itu. Lagipula kami memang butuh bantuan.” “Bantuan?” Rajendra bertanya. Arwan menatap langit sejenak, lalu menghela napas. “Di desa ini, perbandingan pria dan wanita sangat timpang. Dari seratus orang, hanya tiga puluh pria. Dan dari tiga puluh itu, hanya lima belas yang sudah dewasa.” “Karena itu, Baron bisa berbuat semena-mena. Kami tidak punya kekuatan untuk melawannya,” lanjutnya. Mendengar itu, Rajendra memahami situasi desa ini dengan lebih jelas. Ketimpangan gender bukan hanya membuat desa rentan tapi juga membuka peluang bagi orang sepertinya untuk membangun pengaruh. “Dengan kalian di sini,” lanjut Arwan, “desa ini terasa lebih aman. Kehadiran kalian ibarat perisai baru.” “Terima kasih atas kepercayaan itu,” ucap Rajendra sopan. Arwan menyeringai. “Dan kalau kalian ingin menetap lebih lama, banyak wanita di sini yang siap dinikahi.” Rajendra nyaris tersedak. Dia tertawa pelan, tapi refleks menutup mulutnya saat teringat pada para istrinya yang mungkin sedang menguping dari dalam rumah. “Ehm … sayangnya, aku sudah menikah,” kata Rajendra buru-buru. “tapi banyak anak buahku yang lajang.” “Begitu ya?” Arwan tertawa kecil. “kalau begitu, nanti akan kami kenalkan pada beberapa gadis desa.” Setelah beberapa tawa ringan dan obrolan singkat, warga mulai kembali ke rumah masing-masing. Keranjang berisi beras dan sayuran pun dibawa ke dapur. Kedua istri Rajendra segera sigap membantu anak buah yang lain memasak. Sementara aroma tumisan dan rebusan mulai memenuhi rumah, Rajendra duduk di ruang tengah bersama Surapati dan Tama. Ketiganya tampak serius. “Kita tidak bisa tinggal diam selamanya,” ucap Rajendra pelan. “kita harus memikirkan bagaimana cara untuk kembali merebut kejayaan kita.” Surapati mengangguk. “Sebelum itu, kita harus tahu dulu seperti apa situasi Bharaloka sekarang. Apakah pangeran Gantara sudah duduk di tahta? Siapa saja yang mendukungnya?” “Kita perlu informasi,” tambah Tama. “dan lebih dari itu, kita perlu kekuatan.” Rajendra mengangguk dalam. “Aku tidak mau kembali dengan tangan kosong. Kalau kita datang hanya dengan sepuluh orang, itu bunuh diri.” Tama menatap lurus ke depan. “Aku akan mulai mencari orang-orang yang bisa dipercaya. Kita latih mereka. Bangun pasukan kecil.” Surapati menatap Rajendra dengan tatapan ragu. “Tapi semua itu butuh waktu dan dana besar.” Rajendra terdiam sejenak, lalu menatap mereka berdua dengan mata yang tajam. “Kalau begitu, kita bangun saja kerajaan baru.” Surapati dan Tama terkejut. “Yang Mulia ingin apa?” tanya Surapati. Rajendra mencondongkan tubuhnya. “Mendirikan kerajaan baru. Di tempat ini, di sekitar desa ini. Kita tanam kekuatan pelan-pelan. Rekrut rakyat, latih mereka, lindungi mereka. Lama-lama kita akan menjadi kekuatan yang tak bisa diabaikan.” “Yang Mulia,” bisik Tama. “itu tidak mudah. Perlu banyak uang. Perlu pengaruh.” “Aku akan cari caranya,” kata Rajendra. “ada sesuatu yang bisa aku manfaatkan.” Surapati memandangi Rajendra lama. “Kalau itu pilihan Yang Mulia, kami akan ikut.” Rajendra tersenyum tipis. Selama perjalanan kemarin, dia melihat ada beberapa hal yang bisa dia manfaatkan dan dia yakin akan mendapatkan banyak uang dari sana.Suara tawa menyeramkan itu membuat Bhaskara merinding. Ia menoleh, melihat Aditya tertawa terbahak-bahak dengan mata melotot. Tawanya seperti iblis yang siap mencabik-cabik."Diam kau!" bentak Bhaskara, lalu menampar wajah Aditya dengan keras. "Jaga bicaramu!"Aditya tidak berhenti. Tawanya malah semakin keras. "Kau akan mati, Bhaskara! Kau akan ditelan bumi hidup-hidup! Tubuhmu akan dikuliti! Kau akan mati!" teriaknya.Bhaskara yang tadinya sangar, kini mulai ciut. Ia mundur selangkah, menatap Aditya dengan mata penuh ketakutan. Ekspresi Aditya begitu mengerikan, seperti iblis yang telah bangkit dari neraka."Kau akan mati. Tubuhmu akan dikuliti!" bisik Aditya, lalu sedetik kemudian, ia tertawa lagi.Bhaskara tidak tahan. Ia menampar wajah Aditya sekali lagi, kali ini lebih keras dari sebelumnya. Ia tidak ingin mendengar lagi suara tawa itu. Ia tidak ingin mendengar lagi ancaman itu. Ia pun menjauh, membiarkan Aditya sendirian.Tiba-tiba, suara perempuan menangis sambil berlari terde
Arwan menghela napas. Ia menatap wajah-wajah bingung di hadapannya. Ia tahu, mereka tidak akan mengerti jika ia tidak menjelaskan semuanya. Ia harus meyakinkan mereka, ia harus membuat mereka percaya."Mereka datang ke sini," ucap Arwan, suaranya tenang dan tegas, "karena mereka ingin perubahan dalam hidup mereka. Selama ini, mereka tertindas di desa mereka sendiri. Kepala desa mereka serakah dan kejam, mengambil hak-hak mereka, membiarkan mereka kelaparan, dan hidup dalam ketakutan. Mereka datang ke sini karena mereka tahu, di sini, mereka akan menemukan kehidupan yang lebih baik."Seorang warga, seorang pria yang memegang parang, mengerutkan kening. "Tapi kenapa harus ke sini? Desa kita ini adalah desa terpencil, Kepala Desa. Seharusnya mereka pergi ke kota, di sana mereka bisa mendapatkan pekerjaan, di sana mereka bisa hidup lebih layak."Arwan tersenyum. Senyum penuh makna. "Kau salah, saudaraku. Justru di sini adalah permulaan dari kejayaan dan kesejahteraan. Di sini, kita akan m
Rajendra menatap Ranting dengan lembut. "Angkat kepalamu, Nak," ucapnya dengan nada menenangkan. "Aku ingin melihat wajahmu."Ranting perlahan mengangkat kepalanya. Matanya yang sembab bertemu dengan tatapan hangat Rajendra. Rasa malu masih terlihat jelas di wajahnya. "Maafkan saya, Tuan," lirih Ranting."Maaf untuk apa, Ranting?" tanya Rajendra, mengerutkan kening. "Kau sama sekali tidak bersalah dalam hal ini. Justru, ini adalah tugas kami untuk menyelamatkanmu. Jangan pernah merasa bersalah karena mencari pertolongan."Ranting menunduk lagi, memainkan jemarinya. "Tapi ... tapi seharusnya saya tidak kabur ke Desa Ranjagiri. Itu sama saja menyerahkan diri saya sendiri ke dalam bahaya. Seharusnya... seharusnya saya meminta bantuan pada Anda, Tuan."Rajendra menghela napas. Ia baru menyadari, ada sesuatu yang lebih dalam di balik kaburnya Ranting. Laporan dari ayahnya, Wiraga, hanyalah bahwa Ranting diculik oleh seorang pria tak dikenal."Ranting," kata Rajendra lembut, "sebelumnya aku
Rajendra melangkah maju, tatapannya menyapu seluruh wajah orang-orang yang dibawa Tama. Matanya tak lagi melihat keraguan atau ketakutan, melainkan sebuah percikan api harapan yang menyala terang.Mereka semua adalah orang-orang yang lelah berjuang, orang-orang yang mencari tempat untuk beristirahat, tempat untuk memulai hidup baru.Rajendra tersenyum. Senyum tulus yang memancar dari hatinya."Selamat datang, saudaraku sekalian," ucap Rajendra, suaranya lantang dan penuh wibawa. "Kalian telah membuat keputusan yang benar. Di sini, di tempat ini, kalian akan mendapatkan kehidupan yang layak, kehidupan yang makmur. Kalian akan menjadi bagian dari kami. Kami akan membangun sebuah kerajaan yang adil, yang makmur, dan yang akan melindungi kalian semua."Warga Desa Ranjagiri bersorak gembira. Mereka membayangkan kehidupan yang lebih baik, di mana mereka tidak perlu lagi takut pada penindasan, di mana mereka bisa hidup dengan damai. Mereka menunduk hormat, mengucapkan terima kasih berulang k
Saat permainan semakin memanas, Rajendra menatap kedua istrinya, wajahnya dipenuhi gairah. Ia tahu, saatnya telah tiba.“Aku ... aku tidak tahan lagi,” bisik Rajendra, suaranya serak. “A-aku... aku akan keluar.”Ranjani dan Kirana mengangguk, mata mereka berbinar. Mereka tahu apa yang Rajendra maksudkan. Ini adalah momen yang paling mereka tunggu-tunggu.“Jangan tahan,” bisik Ranjani. “biarkan saja, Yang Mulia.”“Kami akan membantumu mencapai puncaknya,” sahut Kirana, tangannya membelai paha Rajendra.Mereka pun beraksi. Ranjani mencium leher Rajendra, sementara Kirana mengusap punggungnya. Keduanya bersinergi, seolah telah terbiasa memuaskan Rajendra bersama-sama.Tak butuh waktu lama, suara lenguhan dalam dan panjang lolos dari tenggorokan Rajendra. Seluruh tubuhnya menegang, ia merasakan sensasi yang luar biasa saat cairan cintanya menyembur, membanjiri tubuh kedua istrinya. Ia lemas, terjatuh, namun wajahnya dipenuhi senyum puas.“Terima kasih, istri-istriku,” bisik Rajendra, napa
"Yang Mulia..." Ranjani mengerang, suaranya tercekat. "Pelan-pelan..."Rajendra tidak menggubris. Ia telah tenggelam dalam lautan gairah, pikirannya hanya dipenuhi hasrat untuk mencapai puncaknya. Ia mencium leher Ranjani, gerakannya makin cepat, tak peduli pada permohonan istrinya.Ranjani memejamkan mata, memeluk leher suaminya erat. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menahan desahan yang mendesak keluar dari tenggorokannya. Ia tak mau Kirana, yang terbaring pulas di ranjang sebelah, terbangun."Yang Mulia... aahhh..." Ranjani tak lagi bisa menahan diri. Sebuah desahan panjang lolos dari bibirnya, bersamaan dengan tubuhnya yang menegang dan lemas tak berdaya.Cairan cinta mengalir, membanjiri dirinya dengan sensasi kenikmatan yang memabukkan. Ia jatuh terduduk, lututnya tak sanggup lagi menopang tubuhnya.Di tengah keheningan yang tersisa, mata Kirana terbuka perlahan. Ia duduk, mengerjapkan matanya, dan memandang bingung ke arah sepasang kekasih yang tengah bercinta. Wajahnya polos, t