Share

Surga Bagi Para Pria

Penulis: Falisha Ashia
last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-11 15:32:31

Suara langkah kaki terdengar dari luar rumah kayu tua itu. Bukan hanya satu atau dua orang, ini seperti sekelompok orang yang datang bersama.

  Pintu rumah terbuka. Surapati, dengan tubuh tegap dan dada membusung, melangkah keluar lebih dulu. Empat pengawal di belakangnya juga bersiaga, tangan mereka menggenggam gagang pedang, mata mereka tajam mengamati setiap gerakan mencurigakan.

  “Ada apa ini?” tanya Surapati lantang. “kenapa kalian datang segerombol?”

  Dari rombongan orang yang datang, seorang pria berkulit putih dengan rambut keperakan melangkah ke depan. Pakaiannya sederhana, tapi bersih dan rapi. Sorot matanya tajam namun damai, dan senyumnya menyiratkan keramahan yang tulus.

  “Aku Kepala Desa Gunung Jaran,” ucap pria itu dengan suara berat dan tegas. “namaku Arwan.”

  “Kepala desa?” tanya Tama.

  “Apa yang membawanya ke sini?” tanya Ranjani.

  Bisik-bisik penuh tanya langsung menyebar di antara para anak buah Rajendra.

  Surapati tetap berdiri tegak tanpa ada rasa takut sedikitpun. Namun dia berusaha bersikap sopan dan ramah.

“Apa maksud kedatangan kalian? Jika maksudnya adalah karena kami datang tanpa laporan, itu karena kami akan melapor pagi ini,” ucap Surapati.

  Arwan menyapu pandangannya ke sekeliling, lalu menatap langsung ke arah rumah tempat Rajendra tinggal. “Aku ingin bertemu pemimpin kalian. Apakah itu kamu?’

  Langkah tenang terdengar dari dalam rumah. Rajendra muncul dengan jubah luar yang tipis, namun tubuh tegap dan aura wibawanya membuat semua mata langsung tertuju padanya.

 Rajendra ttidak memakai perhiasan ataupun simbol kebangsawanan. Dia tahu, menyembunyikan identitas untuk saat ini adalah pilihan paling aman.

  “Aku Rajendra,” katanya singkat. “aku pemimpin rombongan ini.”

  “Aku meminta maaf. Aku tahu, kami belum mengajukan izin untuk tinggal. Itu karena terlalu malam kami datangnya,” lanjut Rajendra.

  Arwan memandangi pria muda itu dengan seksama. Alih-alih curiga, wajahnya justru memancarkan kegembiraan. Senyumnya mengembang.

  “Bukan itu maksud kedatangan kami. Jadi kami datang untuk mengucapkan terima kasih karena kalian telah membawa ketenangan ke desa kami,” jelas Arwan.

  Rajendra mengerutkan alis. “Ketenteraman?”

  Arwan tertawa ringan. “Baron. Pria itu sudah lama menjadi duri dalam daging kami. Semalam kami mendengar bahwa dia dihajar habis-habisan hingga lari terbirit-birit dari desa.”

  Seketika para warga di belakang Arwan bersorak kecil. Beberapa dari mereka maju sambil membawa karung kecil, keranjang anyaman, dan bahkan seekor ayam hutan hidup yang diikat kakinya.

  “Ini hadiah dari kami,” ucap seorang wanita tua sambil menyerahkan seikat bayam segar.

  “Beras dan sayuran untuk bekal kalian,” ucap pria lain.

  Rajendra menahan napas, tersentuh oleh ketulusan mereka. Namun ia mengangkat tangan, menolak dengan halus. “Kalian tidak perlu repot. Kami hanya kebetulan berada di tempat yang sama saat itu.”

  “Tetap saja, ini harus diterima,” kata Arwan tegas. “Kalau tidak, kami akan merasa tak enak hati.”

  Akhirnya Rajendra mengangguk pelan. “Kalau begitu, terima kasih. Kami sangat menghargainya.”

  “Ngomong-ngomong, kalian sedang dalam perjalanan ke mana?” tanya Arwan dengan wajah yang bersahabat.

  Rajendra sedikit ragu. Ia tahu, satu jawaban salah bisa menimbulkan kecurigaan. Namun sebelum ia sempat menjawab, Surapati melangkah maju.

  “Kami berasal dari wilayah timur,” kata Surapati dengan mantap. “di sana sedang terjadi perang saudara. Banyak bangsawan saling berebut tahta. Kami memutuskan untuk meninggalkan tanah itu dan mencari tempat baru.”

  Arwan mengangguk paham. “Perang memang menyakitkan. Tapi kalian beruntung bisa pergi lebih awal.”

  Arwan menoleh pada Rajendra. Lalu dia berkata, “Jika kalian belum punya tujuan tetap, kenapa bisa tinggal di sini untuk sementara.”

  Rajendra terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kami tidak ingin menyusahkan. Kami hanya sementara saja. Mungkin besok sudah pergi lagi.”

  “Tidak sama sekali,” sahut Arwan cepat. “kalian bisa menempati rumah tua itu. Lagipula kami memang butuh bantuan.”

  “Bantuan?” Rajendra bertanya.

  Arwan menatap langit sejenak, lalu menghela napas. “Di desa ini, perbandingan pria dan wanita sangat timpang. Dari seratus orang, hanya tiga puluh pria. Dan dari tiga puluh itu, hanya lima belas yang sudah dewasa.”

  “Karena itu, Baron bisa berbuat semena-mena. Kami tidak punya kekuatan untuk melawannya,” lanjutnya.

  Mendengar itu, Rajendra memahami situasi desa ini dengan lebih jelas. Ketimpangan gender bukan hanya membuat desa rentan tapi juga membuka peluang bagi orang sepertinya untuk membangun pengaruh.

  “Dengan kalian di sini,” lanjut Arwan, “desa ini terasa lebih aman. Kehadiran kalian ibarat perisai baru.”

  “Terima kasih atas kepercayaan itu,” ucap Rajendra sopan.

  Arwan menyeringai. “Dan kalau kalian ingin menetap lebih lama, banyak wanita di sini yang siap dinikahi.”

  Rajendra nyaris tersedak. Dia tertawa pelan, tapi refleks menutup mulutnya saat teringat pada para istrinya yang mungkin sedang menguping dari dalam rumah.

  “Ehm … sayangnya, aku sudah menikah,” kata Rajendra buru-buru. “tapi banyak anak buahku yang lajang.”

  “Begitu ya?” Arwan tertawa kecil. “kalau begitu, nanti akan kami kenalkan pada beberapa gadis desa.”

  Setelah beberapa tawa ringan dan obrolan singkat, warga mulai kembali ke rumah masing-masing. Keranjang berisi beras dan sayuran pun dibawa ke dapur. Kedua istri Rajendra segera sigap membantu anak buah yang lain memasak.

Sementara aroma tumisan dan rebusan mulai memenuhi rumah, Rajendra duduk di ruang tengah bersama Surapati dan Tama. Ketiganya tampak serius.

“Kita tidak bisa tinggal diam selamanya,” ucap Rajendra pelan. “kita harus memikirkan bagaimana cara untuk kembali merebut kejayaan kita.”

Surapati mengangguk. “Sebelum itu, kita harus tahu dulu seperti apa situasi Bharaloka sekarang. Apakah pangeran Gantara sudah duduk di tahta? Siapa saja yang mendukungnya?”

“Kita perlu informasi,” tambah Tama. “dan lebih dari itu, kita perlu kekuatan.”

Rajendra mengangguk dalam. “Aku tidak mau kembali dengan tangan kosong. Kalau kita datang hanya dengan sepuluh orang, itu bunuh diri.”

Tama menatap lurus ke depan. “Aku akan mulai mencari orang-orang yang bisa dipercaya. Kita latih mereka. Bangun pasukan kecil.”

Surapati menatap Rajendra dengan tatapan ragu. “Tapi semua itu butuh waktu dan dana besar.”

Rajendra terdiam sejenak, lalu menatap mereka berdua dengan mata yang tajam. “Kalau begitu, kita bangun saja kerajaan baru.”

Surapati dan Tama terkejut.

“Yang Mulia ingin apa?” tanya Surapati.

Rajendra mencondongkan tubuhnya. “Mendirikan kerajaan baru. Di tempat ini, di sekitar desa ini. Kita tanam kekuatan pelan-pelan. Rekrut rakyat, latih mereka, lindungi mereka. Lama-lama kita akan menjadi kekuatan yang tak bisa diabaikan.”

“Yang Mulia,” bisik Tama. “itu tidak mudah. Perlu banyak uang. Perlu pengaruh.”

“Aku akan cari caranya,” kata Rajendra. “ada sesuatu yang bisa aku manfaatkan.”

Surapati memandangi Rajendra lama. “Kalau itu pilihan Yang Mulia, kami akan ikut.”

Rajendra tersenyum tipis. Selama perjalanan kemarin, dia melihat ada beberapa hal yang bisa dia manfaatkan dan dia yakin akan mendapatkan banyak uang dari sana.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Ini Adalah Awal

    Raja Wicaksana tersentak di kursinya, tatapannya terpaku pada pintu kayu yang baru saja menelan dua pengawal terakhirnya. Pikirannya dipenuhi gambaran efisiensi iblis Rajendra.“Bodoh!” geram Raja Wicaksana, suaranya parau, dipenuhi rasa frustrasi dan teror yang mematikan. “Mereka mencari ke mana?! Rajendra ada di sini! Di Istana! Dia ada di luar pintu ini! Aku dikepung!”Baru saja kalimat itu keluar dari mulutnya, Rajendra mengirimkan pesan yang jauh lebih mengerikan dari sekadar teriakan.BRRUUUUK!Sebuah benda tumpul dan berat dilempar keras ke lantai menara. Benda itu menggelinding ke depan Raja Wicaksana yang sedang duduk.Raja Wicaksana menatap benda itu dengan mata melebar. Itu adalah kepala manusia. Wajahnya sangat ia kenal—itu adalah kepala pengawal yang baru keluar tadi untuk memeriksa! Wajahnya kaku dengan ekspresi ketakutan yang abadi, matanya terbuka lebar seolah melihat neraka sebelum mati.Raja Wicaksana menjerit. Teriakan itu bukan teriakan Raja, tetapi jeritan ngeri s

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Teror Dari Rajendra Datang

    Tama tersenyum lebar. Keputusan Rajendra untuk berbalik dan menggunakan pasukan pengejar sebagai perisai adalah strategi yang brilian, menghidupkan kembali harapan dan optimisme di tengah tim kecil itu.“Itu benar, Yang Mulia,” kata Tama, suaranya dipenuhi semangat yang membara. “Kita akan menjadi pemburu Raja. Bukankah ini jauh lebih menyenangkan daripada melarikan diri seperti tikus?”Ekspresi optimis terpancar di wajah Tama. Ia sangat percaya diri bahwa momen balas dendam terhadap Raja Wicaksana akan segera tiba. Bahkan, di dalam hatinya yang paling dalam, Tama telah bersumpah:Jika Yang Mulia Rajendra ragu untuk mengambil nyawa tiran itu, aku sendiri yang akan melakukannya. Kehormatan Putri Ayana adalah kehormatan seluruh pasukan Rajendra!Surapati mendekat, pandangannya dingin dan fokus. “Kita bergerak sekarang, Yang Mulia?” tanyanya. “Kita lewat jalur belakang. Jika masih ada kelompok kecil yang tertinggal di belakang, kita habisi saja satu per satu. Kita harus membuat jalan yan

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Balik Membalas

    Kemarahan Rajendra menular. Bukan hanya urat di lehernya yang menegang, tetapi juga suasana di sekitar mereka. Kata-kata Ayana tentang pemukulan itu adalah minyak yang disiramkan ke api kebencian yang sudah membara.Bukan hanya Rajendra dan Ranjani yang tersulut. Tama yang mendengarkan di belakang ikut mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Surapati, meskipun wajahnya kaku, matanya berkilat mematikan.Bahkan Sarno, bocah jalanan yang baru beberapa jam mengenal mereka, ikut merasakan amarah yang sama. Ia melihat bagaimana seorang wanita bangsawan diperlakukan seperti pengemis, sama hinanya dengan ibunya yang sakit di rumah.“Aku tidak terima!” geram Tama, maju selangkah. “Kalau mau kembali lagi, masih keburu, Yang Mulia! Raja Wicaksana pasti masih lumpuh dan terikat di Menara! Kalau mau, kita bergerak sekarang dan habisi dia!”“Ya, saya akan mengantarnya agar bisa lebih cepat sampai!” seru Sarno, matanya dipenuhi tekad balas dendam. “Saya tahu jalan yang lebih cepat dari Jalan Naga Bu

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Dipaksa Membunuh

    Suara alarm Istana yang menggelegar kini terdengar jauh, tertelan oleh labirin permukiman padat di pinggiran Kerajaan Widyaloka. Udara subuh terasa dingin di kulit, namun adrenalin dalam darah mereka membuatnya terasa seperti api.Rajendra merangkul Ayana, tubuhnya yang lemah bersandar erat padanya. Sarno memimpin jalan dengan kecepatan dan keahlian yang mengagumkan, sementara Surapati dan Ranjani menjaga bagian belakang, mata mereka tajam mengawasi setiap gang yang mereka lewati.Setelah berlari beberapa ratus meter dari area kumuh, Sarno berbelok tajam ke sebuah jalan setapak yang dikelilingi kebun kecil. Jalanan ini mulai ramai dengan warga yang bersiap pergi ke pasar.“Berhenti!” seru Rajendra tiba-tiba.Semuanya langsung berhenti, menatap Rajendra dengan bingung. Sarno bahkan tersentak, mengira ada pengejar.“Ada apa, Yang Mulia?” tanya Ranjani, tangannya memegang gagang pedang.Rajendra melepaskan pelukannya pada Ayana sejenak, mengambil napas dalam-dalam.“Kita sudah berada di

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Menyelamatkan Ayana

    Mereka bersembunyi di sudut gelap lantai dua menara yang kosong, tepat di seberang Pintu Besi yang mengunci Ayana. Lantai di bawah mereka menyimpan Kapten Wasesa dan beberapa pengawal elit yang terikat dan dibungkam, umpan yang siap dimakan.“Dia datang,” bisik Ranjani, matanya yang tajam melihat pantulan cahaya obor yang bergerak cepat di halaman luar.Detik-detik berikutnya terasa seperti berjam-jam. Mereka mendengar langkah kaki yang berirama, semakin mendekat, bersamaan dengan suara denting logam yang familier.“Siapkan diri,” Rajendra mengeluarkan perintahnya, suaranya serak namun tegas.Ia menggenggam erat pedangnya, sementara tangan kirinya sudah merogoh saku, memastikan Kunci Besi pertama aman. “Ingat rencana: fokus utama adalah kunci... kunci kedua yang ada di tangan Raja Wicaksana.”Suara derit pintu kayu lantai dasar memecah keheningan. Raja Wicaksana telah masuk.Langkah kaki yang mantap, berwibawa, namun juga menunjukkan urgensi, terdengar menaiki tangga kayu yang tua. Ta

  • Perjalanan Waktu: Gairah Liar Para Selir!   Ide Nekat

    Rajendra tidak memberikan waktu bagi Kapten Wasesa untuk menyesuaikan diri dengan kegelapan. Teriakan Kapten Wasesa yang keras itu adalah peringatan yang bisa menarik perhatian, dan Rajendra tidak akan membiarkan itu terjadi.“Sekarang!” teriak Rajendra.Kapten Wasesa melompat maju, pedangnya memancarkan kilatan perak. Dia kuat, didukung oleh pelatihan keras Naga Merah khas Widyaloka, tetapi gerakannya lambat dan terprediksi di mata Rajendra.Di mata Rajendra—atau lebih tepatnya, Raka—mantan perwira polisi dari dunia modern, gerakan Kapten Wasesa hanyalah pola yang sudah usang. Rajendra bergerak menggunakan insting bela diri modern yang dilatih untuk melumpuhkan target secepat mungkin.BUUK!Rajendra tidak menggunakan pedang. Ia menggunakan tangan kosong. Ia merunduk di bawah ayunan pedang Kapten Wasesa, menangkis bilah itu dengan sarung lengan, dan melancarkan pukulan siku cepat ke ulu hati Kapten Wasesa.Kapten Wasesa terhuyung. Sebelum ia bisa bernapas, Rajendra sudah ada di belaka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status