Suara tawa yang menyimpan begitu banyaknya luka, menggema di lorong ruangan. Di sana, terlihat seorang wanita paruh baya nan cantik, berjalan perlahan entah mau kemana. Dia terus berjalan, kulit wajahnya begitu putih tak ubah seperti etnis belanda. Bibirnya merah, alisnya tebal, dan hidung mungil yang mancung.
Mata indah wanita itu begitu liar. Mulutnya tidak berhenti bernyanyi pelan. Mendendangkan sebuah lagu yang selalu sama setiap hari. Di usianya yang belum terlalu tua, wanita berumur 45 tahun itu, sudah melupakan segalanya. Dia tidak ingat siapa dirinya, apalagi keluarga. Yang dilakukan wanita baya itu, setiap hari hanyalah bersenandung, seakan dunia tidak pernah jahat dan selalu baik terhadapnya. Setelah beberapa langkah berjalan, mata wanita bernama Renata itu terhenti pada satu ruangan. Ruangan yang bernuansa sangat nyentrik. Matanya berbinar, sambil tertawa, dia berjalan perlahan dan mondar-mandir di depan pintu. “Kenapa pintunya tidak dibukakan untukku?” gumamnya setelah berdiri cukup lama di depan sana. Dengan dahi yang berkerut, matanya berubah merah nyalang. Tak sabaran, tangan keriput wanita tersebut meraih gagang pintu dan menariknya berulang kali. Arghhh!!! Renata menjerit, matanya semakin nyalang. Hidungnya kembang-kempis dan dahinya semakin mengkerut. “Buka pintunya!” Dia berteriak histeris. Semburat kemerahan terpampang nyata di wajah Renata. Hatinya begitu kesal sekaligus gelisah. “Buka!” teriaknya terus menerus. Mendengar suara orang yang sangat dikenalnya, Reihan yang sedang duduk sambil merokok, langsung berdiri dan berlari menghampiri sumber suara. Sesampainya di sana, langkah kaki Reihan terhenti tak jauh dari seseorang yang sudah melahirkan dirinya ke dunia. Dia menatap sang ibu dari belakang, “Ibu,” ujar Reihan sendu, hingga tak sadar menitikkan bulir air mata. Sesaat kemudian, Reihan menghampiri sang ibu, “Jangan ganggu gadis itu, Bu,” ujar Reihan lirih. Mendengar kata ‘gadis’, mata Renata membelalak. Mata yang awal mulanya merah tajam, kini berubah menjadi mata yang dipenuhi rasa takut. “Gadis? Kamu membawa gadis? Cepat usir gadis itu! Sebelum nenek memenggal kepalamu,” ucap Renata tergesa. Kata ‘gadis’ adalah kata yang sukses mengingatkan Renata bahwa dirinya masih memiliki keluarga. Reihan tersenyum miris, dia tak menggubris ucapan sang ibu. Yang Reihan lakukan hanya mengangkat tubuh wanita yang dipanggilnya ibu itu, lalu membawa kembali ke dalam kamar. “Maafkan Reihan, ya, Bu. Reihan ngga bermaksud mengunci ibu di dalam sini. Tapi, semua demi kebaikanmu, Bu.” Mata Reihan berkaca-kaca. Dia tidak sanggup menahan rasa sedih itu. Reihan berjalan keluar, ditutupnya pintu tersebut dengan penuh hati-hati. Ceklek! Suara pintu yang terkunci, beriringan dengan suara teriakan Renata yang tak terima selalu mendekam di dalam sana. “Anak durhaka!” teriaknya lantang. …. Anna terbangun, hal pertama yang dilihatnya adalah kegelapan. Mati lampu, rumah sebagus dan sebesar ini bisa kehabisan listrik. Sementara, teriakan terdengar dari luar sana. Anna sangat mengenal suara tersebut. Samentha, nenek tua yang sangat hobi melayangkan tongkat itu, berteriak tanpa henti. “Cepat beli token listriknya, aku tidak suka suasana ini. Ah, sial kenapa harus ada malam.” ocehnya. Anna turun dari kasur, tangannya meraba-raba sekitar. Mata Anna menyapu seluruh sudut yang hampir tidak terlihat sedikit pun. Dengan hati-hati, kaki Anna melangkah perlahan menuju pintu. Dia meraba-raba pintu tersebut berniat mencari di mana gagangnya. Setelah beberapa detik mencari, akhirnya Anna menemukan gagang pintu tersebut. Lalu menekannya ke arah bawah dan pintu pun terbuka. Anna keluar, hanya bermodalkan nekat kaki Anna melangkah. Dia belum mengenal dengan baik rumah ini. Jadi, Anna pun berjalan hanya mengikuti kemana insting akan membawanya. “Sial! Rumah ini besar sekali,” ocehnya. “Kemana aku harus melangkah, semua tempat terasa sama saja,” racau Anna, bibirnya dimajukan pertanda gadis itu sangat kesal. Dia terus melangkah, hingga berpindah jauh dari tempat awal dirinya berada. Tangan Anna meraba kesembarang arah. Hingga tangan mulus itu sampai pada gumpalan kain berukuran besar. Makin lama, gumpalan kain itu berubah tekstur. Benda itu tak terasa seperti kain lagi. Anna terus meraba, hingga jarinya sampai pada benda lunak namun sedikit runcing. Tanpa ragu, gadis polos itu menekan benda tersebut lumayan keras. Arghh!! “Sakit!” teriak seorang pria dari dalam selimut. Dan, yap! Benda lunak namun runcing itu adalah hidung Reihan yang sedang terlelap berkerumun di balik selimut tebal miliknya. Dan Anna sudah mengganggu tidur tuan muda kaya raya tersebut. Anna gelagapan, dengan tergesa dia beranjak dari kasur empuk milik Reihan. “Maaf! Aku tidak sengaja.” Reihan bangun dari tidurnya. Tangan pemuda itu meraba nakas dan mengambil handphone yang tergeletak di atas sana. Dengan sigap, Reihan menghidupkan senter dari Hanphone tersebut. Ketika senter menyala, hal pertama yang dilihat Reihan adalah wajah Anna. Wajah lugu dan mata polos itu menatap Reihan tanpa berkedip sedikit pun. Pipinya memerah. Anna reflek menutup kedua matanya dan langsung berbalik badan. “Maaf! Aku sama sekali tidak melihatnya, aku berani sumpah!” Reihan menghela napas jengah. Dia berjalan menuju lemari dan mengambil celana berukuran panjang, lalu memakainya. Dada bidang pria tersebut dibiarkan telanjang. “Sudah, buka saja matamu!” ujar Reihan. Anna tidak melepaskan telapak tangan dari matanya. Dia berlari cepat hendak keluar dari tempat itu. Namun … BRAK! Benturan yang cukup keras, berhasil membuat kepala Anna pusing bukan kepalang. Anna terhuyung, kaki gadis itu tidak mampu mengendalikan badannya sendiri. Reihan langsung berlari menghampiri Anna. Dia menyambut tubuh Anna yang oleng ke sana kemari. “Dasar gadis bodoh!” ocehnya. …. Tak! Tak! Tak! Perlahan namun pasti, suara tongkat milik Samentha berjalan keluar menuju ruang tengah. Nenek tua itu, sungguh terlihat kesal. “Kenapa kalian sampai lupa mengisi token listriknya?” Suaranya pelan namun tajam. Semua pegawai yang duduk di ruang tengah, hanya tertunduk takut. Tak ada seorang pun yang berani bersuara. Sekarang sudah larut malam, dan tidak ada satu pun gerai yang buka. “Duh, Nek! Reihan muak dengan semua drama ini. Hal kecil seperti ini kenapa harus dipermasalahkan?” ujar Reihan sembari berjalan menghampiri sang nenek. Disampingnya terdapat Anna yang tertunduk lesu dengan kening yang sedikit bengkak dan membiru. “Kenapa Nenek melarang mereka membeli lewat aplikasi?” tanya Reihan. Pemuda itu mendudukkan Anna di sofa paling ujung. Dia berjalan menuju nakas dan mengambil dua batang lilin dan korek api. Dengan telaten, tangan pria tersebut menyalakan lilin dan menaruhnya di dua tempat yang berbeda. “Kenapa kau membawa gadis ini ke sini, Amor!” Mata Samentha menyalang lebar. Jemari keriput nenek tua itu menunjuk Anna angkuh. Anna melonjak kaget, sakit di kepalanya sudah sangat membuat suasana hatinya tak nyaman. Ditambah bentakan tiba-tiba dari Samentha yang dengan terang-terangan memberitahu bahwa dia sangat membenci Anna. “Kalau di zamanku, mati lampu tengah malam itu pertanda tidak baik. Nenek harus menyembangi tempat penampungan orang terlantar, agar hidup nenek tidak terkena sial,” ucap Anna polos. Sesaat kemudian Samentha berdiri, berjalan perlahan menghampiri Anna. Arghh!!!! “Nenek!” teriak Reihan.Pohon palem berjajar rapi di tepi jalan masuk rumah paling besar di desa. Beberapa obor menyala menciptakan bayangan yang menggetarkan hati setiap orang yang melihatnya. Anna duduk seorang diri memandangi api dari obor yang bergerak ke sana kemari diterpa angin.Jari lentik gadis cantik berambut panjang yang dikepang dua, memainkan pulpen berwarna hitam yang sedari tadi dipeganginya. Mata cantik Anna beralih menatap buku kosong dengan tatapan sendu."Apa pilihan hanya diciptakan untuk orang-orang punya keluarga yang sangat mencintai anaknya? Aku juga mempunyai keluarga, tapi kenapa aku tidak disediakan pilihan juga? Apa itu berarti bahwa mereka semua tidak pernah menyayangi aku?"Mulut gadis itu bergumam sembari jemarinya bermain menuliskan tulisan yang diucapkan mulut dan hati Anna.Anna menghapus air matanya yang entah dari kapan mengalir. Dia berdiri dan masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang gelisah.Sesampainya dia di ruang tengah, suara sang ayah bergema di telinga Anna."Ann
"BRAK!!” Suara benturan mengguncang udara yang penuh dengan debu. Anna terlonjak mundur, matanya membelalak melihat serpihan logam beterbangan. Asap mengepul dari sesuatu yang baru saja menabrak di tengah jalan. Orang-orang berteriak histeris, mereka berlari bersama raut wajah khawatir. Tapi Anna hanya berdiri terpaku di tepi badan logam berukuran besar yang sudah penyok dan berderai. Jantungnya berdegup kencang. Dia belum pernah melihat kejadian semengerikan ini. “Itu apa ya?” Anna bermonolog dalam hati. Anna semakin dibuat bingung. Sebenarnya apa yang telah terjadi di dunia yang baru saja didatanginya ini. Karena takut, Anna bergegas pergi dari tempat itu dan melanjutkan perjalanannya. Namun, baru selangkah Anna berjalan, ada yang menarik tangannya dari belakang. Anna terkejut, dia sontak menoleh. “Maaf, ada apa, ya?” “Lo masih nanya ada apa? Otak lo di mana?” ucap seorang wanita berambut pendek dan berpenampilan seperti laki-laki. “Maaf, Mas! Tapi Aku salah apa ya, M
Seketika ruangan besar yang bergema itu pun hening. Semua mata pria yang ada di sana, tertuju pada satu ruang, tempat dimana suara misterius terdengar. Begitu juga dengan Anna. Gadis berambut panjang itu ikut menolehkan kepalanya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Reihan menggedor pintu berwarna coklat muda tersebut tak sabaran. Masalah bertubi-tubi menghampirinya hari ini. Rasanya kesabaran Reihan pun sudah mulai habis. Seperti dia ingin menebas kepala orang-orang yang menghalangi pandangannya saat ini juga. Pukulan pada pintu semakin menuntut, namun tak ada tanda-tanda seseorang akan keluar. Karena tak kunjung terbuka, Reihan pun mengangkat kaki sebelah kanan dan mendobrak pintu di depannya sekuat tenaga. “Arghh! Tidak sopan!” teriak seseorang dari dalam. Pria berambut panjang yang di kepang banyak menggunakan karet berwarna-warni keluar dari dalam toilet. Semua orang yang melihat, sontak tertawa ulah penampilan konyol pria berbadan gemuk tersebut. “Kenapa kalian ribut-ribut
“Ayo pulang Tuan Amor, ini perintah nenek.” seorang pria berbadan kekar membungkuk di depan Reihan yang dipanggilnya Amor. Reihan berdecak, “Berhenti menakuti teman-temanku!” ucap Reihan sembari mengacak rambutnya kesal. “Kami tidak menakuti Tuan, kami hanya menjalankan perintah,” ucap pria tersebut. “Bilang ke nenek, aku tidak seperti keparat tua itu. Jadi, nenek tidak perlu mengekangku!” seru Reihan. Sementara itu, Anna yang berdiri sedikit jauh di belakang, hanya diam terpaku. Dia masih terkejut dan tidak pernah menyangka akan adanya peluru yang melayang di atas kepalanya. Suasana berubah menjadi mencekam. Semakin lama Reihan berdebat dengan pria berpakaian hitam tersebut, maka semakin berdegup jantung Anna. Anna benar-benar tidak tau apa yang sedang terjadi. Bukannya para pria berseragam serba gelap tersebut ingin membunuh mereka berdua? Tapi, kenapa Reihan tidak mencoba untuk berlari dan kabur untuk menyelamatkan diri? Sungguh aneh, Anna tidak dapat memprediksi tingkah lak
Keheningan malam sukses membuat rumah yang jauh dari keramaian, menjadi sangat mencekam. Rumah besar tersebut di kelilingi kolam ikan yang sangat tidak terurus, hingga menghasilkan bau yang membuat hidung tidak nyaman.Samentha, nyonya besar yang memegang semua kendali di rumah itu, berdiri di tepi kolam. “Keberanian apa yang merasukimu, hingga bisa membawa cucuku kabur?” DegSatu pertanyaan yang sukses membuat Anna terpaku. Dia tidak mampu menjawab, dan tubuhnya begitu gemetar. Anna berdiri di antara dua pria yang baru saja ditemuinya dan menyeretnya ke rumah besar tak terurus tersebut. Padahal pemiliknya memiliki asisten rumah tangga, namun tetap saja rumah tersebut kotor dan berantakan.Entah apa yang dipikirkan nenek tua itu. Sepertinya yang berguna di rumah tersebut hanyalah para bodyguardnya.“Kenapa kamu diam? Ayo jawab pertanyaan saya!” serunya sedikit keras. Samentha yang awalnya berdiri membelakangi Anna pun berbalik, dia berjalan perlahan mendekati gadis tersebut.Dengan g
Suara tawa yang menyimpan begitu banyaknya luka, menggema di lorong ruangan. Di sana, terlihat seorang wanita paruh baya nan cantik, berjalan perlahan entah mau kemana. Dia terus berjalan, kulit wajahnya begitu putih tak ubah seperti etnis belanda. Bibirnya merah, alisnya tebal, dan hidung mungil yang mancung. Mata indah wanita itu begitu liar. Mulutnya tidak berhenti bernyanyi pelan. Mendendangkan sebuah lagu yang selalu sama setiap hari. Di usianya yang belum terlalu tua, wanita berumur 45 tahun itu, sudah melupakan segalanya. Dia tidak ingat siapa dirinya, apalagi keluarga. Yang dilakukan wanita baya itu, setiap hari hanyalah bersenandung, seakan dunia tidak pernah jahat dan selalu baik terhadapnya. Setelah beberapa langkah berjalan, mata wanita bernama Renata itu terhenti pada satu ruangan. Ruangan yang bernuansa sangat nyentrik. Matanya berbinar, sambil tertawa, dia berjalan perlahan dan mondar-mandir di depan pintu. “Kenapa pintunya tidak dibukakan untukku?” gumamnya setelah
Keheningan malam sukses membuat rumah yang jauh dari keramaian, menjadi sangat mencekam. Rumah besar tersebut di kelilingi kolam ikan yang sangat tidak terurus, hingga menghasilkan bau yang membuat hidung tidak nyaman.Samentha, nyonya besar yang memegang semua kendali di rumah itu, berdiri di tepi kolam. “Keberanian apa yang merasukimu, hingga bisa membawa cucuku kabur?” DegSatu pertanyaan yang sukses membuat Anna terpaku. Dia tidak mampu menjawab, dan tubuhnya begitu gemetar. Anna berdiri di antara dua pria yang baru saja ditemuinya dan menyeretnya ke rumah besar tak terurus tersebut. Padahal pemiliknya memiliki asisten rumah tangga, namun tetap saja rumah tersebut kotor dan berantakan.Entah apa yang dipikirkan nenek tua itu. Sepertinya yang berguna di rumah tersebut hanyalah para bodyguardnya.“Kenapa kamu diam? Ayo jawab pertanyaan saya!” serunya sedikit keras. Samentha yang awalnya berdiri membelakangi Anna pun berbalik, dia berjalan perlahan mendekati gadis tersebut.Dengan g
“Ayo pulang Tuan Amor, ini perintah nenek.” seorang pria berbadan kekar membungkuk di depan Reihan yang dipanggilnya Amor. Reihan berdecak, “Berhenti menakuti teman-temanku!” ucap Reihan sembari mengacak rambutnya kesal. “Kami tidak menakuti Tuan, kami hanya menjalankan perintah,” ucap pria tersebut. “Bilang ke nenek, aku tidak seperti keparat tua itu. Jadi, nenek tidak perlu mengekangku!” seru Reihan. Sementara itu, Anna yang berdiri sedikit jauh di belakang, hanya diam terpaku. Dia masih terkejut dan tidak pernah menyangka akan adanya peluru yang melayang di atas kepalanya. Suasana berubah menjadi mencekam. Semakin lama Reihan berdebat dengan pria berpakaian hitam tersebut, maka semakin berdegup jantung Anna. Anna benar-benar tidak tau apa yang sedang terjadi. Bukannya para pria berseragam serba gelap tersebut ingin membunuh mereka berdua? Tapi, kenapa Reihan tidak mencoba untuk berlari dan kabur untuk menyelamatkan diri? Sungguh aneh, Anna tidak dapat memprediksi tingkah lak
Seketika ruangan besar yang bergema itu pun hening. Semua mata pria yang ada di sana, tertuju pada satu ruang, tempat dimana suara misterius terdengar. Begitu juga dengan Anna. Gadis berambut panjang itu ikut menolehkan kepalanya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Reihan menggedor pintu berwarna coklat muda tersebut tak sabaran. Masalah bertubi-tubi menghampirinya hari ini. Rasanya kesabaran Reihan pun sudah mulai habis. Seperti dia ingin menebas kepala orang-orang yang menghalangi pandangannya saat ini juga. Pukulan pada pintu semakin menuntut, namun tak ada tanda-tanda seseorang akan keluar. Karena tak kunjung terbuka, Reihan pun mengangkat kaki sebelah kanan dan mendobrak pintu di depannya sekuat tenaga. “Arghh! Tidak sopan!” teriak seseorang dari dalam. Pria berambut panjang yang di kepang banyak menggunakan karet berwarna-warni keluar dari dalam toilet. Semua orang yang melihat, sontak tertawa ulah penampilan konyol pria berbadan gemuk tersebut. “Kenapa kalian ribut-ribut
"BRAK!!” Suara benturan mengguncang udara yang penuh dengan debu. Anna terlonjak mundur, matanya membelalak melihat serpihan logam beterbangan. Asap mengepul dari sesuatu yang baru saja menabrak di tengah jalan. Orang-orang berteriak histeris, mereka berlari bersama raut wajah khawatir. Tapi Anna hanya berdiri terpaku di tepi badan logam berukuran besar yang sudah penyok dan berderai. Jantungnya berdegup kencang. Dia belum pernah melihat kejadian semengerikan ini. “Itu apa ya?” Anna bermonolog dalam hati. Anna semakin dibuat bingung. Sebenarnya apa yang telah terjadi di dunia yang baru saja didatanginya ini. Karena takut, Anna bergegas pergi dari tempat itu dan melanjutkan perjalanannya. Namun, baru selangkah Anna berjalan, ada yang menarik tangannya dari belakang. Anna terkejut, dia sontak menoleh. “Maaf, ada apa, ya?” “Lo masih nanya ada apa? Otak lo di mana?” ucap seorang wanita berambut pendek dan berpenampilan seperti laki-laki. “Maaf, Mas! Tapi Aku salah apa ya, M
Pohon palem berjajar rapi di tepi jalan masuk rumah paling besar di desa. Beberapa obor menyala menciptakan bayangan yang menggetarkan hati setiap orang yang melihatnya. Anna duduk seorang diri memandangi api dari obor yang bergerak ke sana kemari diterpa angin.Jari lentik gadis cantik berambut panjang yang dikepang dua, memainkan pulpen berwarna hitam yang sedari tadi dipeganginya. Mata cantik Anna beralih menatap buku kosong dengan tatapan sendu."Apa pilihan hanya diciptakan untuk orang-orang punya keluarga yang sangat mencintai anaknya? Aku juga mempunyai keluarga, tapi kenapa aku tidak disediakan pilihan juga? Apa itu berarti bahwa mereka semua tidak pernah menyayangi aku?"Mulut gadis itu bergumam sembari jemarinya bermain menuliskan tulisan yang diucapkan mulut dan hati Anna.Anna menghapus air matanya yang entah dari kapan mengalir. Dia berdiri dan masuk ke dalam rumah dengan perasaan yang gelisah.Sesampainya dia di ruang tengah, suara sang ayah bergema di telinga Anna."Ann