Share

Siapa Yang Akan Kau Bela?

Author: MasAhong
last update Last Updated: 2025-01-15 15:22:41

“K-Kata bapak saya. Kata bapak saya begitu. Zaman bapak dulu, suami tidak punya muka kalau tidak menafkahi istrinya.”

Cakra berharap Anne percaya pada ucapannya yang tidak sepenuhnya bohong. Papa memang pernah berpesan seperti itu.

“Pikir dulu sebelum bicara! Orang bisa berpikir kalau kau itu tidak waras.” Anne menatap lembaran 500 gulden bergambar wayang di tangan Cakra.

“Dari mana kau dapatkan uang itu? Kau mencuri?” tanyanya ketus.

“Tidak, Nona. Aku menjual barang milikku yang paling berharga. Jadi tolong terima ini.” Cakra mengambil tangan Anne. Memberikan uang itu kepada sang istri.

Sejenak manik mereka saling bersitatap. Beberapa detik yang membuat Cakra menyadari kalau mata Anne mirip dengan Arabella. Keduanya memiliki mata kecoklatan. Bulu mata tebal dan lentik serta sinar mata penuh kehangatan.

“Lain kali tidak perlu melakukan apapun untukku. Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Anne tetap pada mode ketusnya. Ia mengambil uang dari Cakra dan menyimpannya di sebuah guci kecil yang ada di atas meja rias. Wanita itu kemudian pergi.

Cakra tidak menunda, sore itu juga ia mengelilingi kota. Meminjam sepeda milik tuan Pieter. Tentu saja, ia mendapat omelan panjang dari sang mertua sampai akhirnya diijinkan untuk membawa sepeda.

Cakra mendatangi satu per satu tanah kosong. Mencari tahu pemiliknya. Pun begitu dengan rumah yang sepertinya tidak berpenghuni.

Ia bertanya ke orang-orang sekitar sekiranya ada warga pribumi yang mau menjual rumahnya.

“Pergi!” Seorang pria tua mengangkat tongkat yang ia buat sendiri. Ia mengayunkan tongkat hendak memukul Cakra.

“Rumah saya tidak dijual! Kalian ini pengkhianat kenapa tidak pernah berhenti mengganggu kami!” Ia berteriak marah. Mengayun-ayunkan tongkatnya mengusir Cakra keluar dari pekarangan rumah.

“Kau ini, bukannya membela saudara sebangsa malah menjual kami kepada kompeni!” Pria tua itu terus berteriak membuat orang-orang disekitar keluar rumah dan melihat apa yang terjadi.

Beberapa kali Cakra terkena pukulan si pria tua. Kadang berhasil menghindari tongkat kayu yang terbuat dari dahan pohon.

“A-Apa maksud, Bapak? Saya bukan pengkhianat?”

“Gundulmu! Kamu pikir kami bodoh, hah?!”

Warga sekitar masuk ke dalam halaman rumah pak tua. Pekarangan rumah diberi pagar dari bambu itu mendadak ramai dengan orang.

Suara dukungan untuk bapak tua terdengar. Setuju kalau Cakra adalah pengkhianat.

“Tenang! Tenang saudara-saudara! Saya tidak seperti itu. Saya pastikan kalau bapak akan mendapatkan harga yang pantas.”

“Ini tanah saya. Saya lahir dan akan mati disini.”

Cakra mengedarkan pandangannya. Melihat sekitar rumah itu. Lokasi rumah ini sangat cocok untuk usaha. Hanya lima menit dari pasar. Letaknya di tepi jalan yang menjadi penghubung dengan desa yang lain. Dekat juga dengan stasiun kereta hanya 30 menit dengan berjalan kaki. Selain itu tidak ada toko kain di sekitar sini.

“Apa bapak tidak memikirkan cucu, Bapak?” Cakra melihat bayi yang dalam gendongan istri bapak tua. Melihat keadaan rumah yang sudah tidak layak, sangat buruk untuk perkembangan bayi mungil itu.

Rumah bapak tua itu lebih mirip gubuk. Semi permanen, terbuat dari batu bata merah di bagian bawah yang tingginya kurang dari satu meter, sedang sisanya sampai atap terbuat dari anyaman bambu.

“Saya bisa menawarkan harga yang bagus. Harga yang cukup untuk memulai hidup baru yang lebih layak.”

Pria tua itu mendecih. Mengejek Cakra. Ia sudah sering mendengar rayuan seperti itu agar bersedia melepaskan rumah dan tanahnya.

“Kami mungkin miskin, tetapi kami tidak bodoh. Semua ucapan indah itu hanya rayuan, kan? Seperti sebelumnya.” Seorang warga yang mendukung bapak tua ikut bersuara. Diikuti ucapan ‘betul’ oleh warga yang lainnya.

Tebakan Cakra, sudah ada orang lain yang juga ingin menjual tanah milik si bapak tua atau setidaknya warga lain di daerah ini tetapi orang itu tidak benar-benar melaksanakan janjinya.

Hanya omon-omon!

“Begini saja, saya akan kembali besok pagi dengan harga terbaik yang bisa saya tawarkan. Setelah itu keputusannya terserah bapak. Bagaimana?” Cakra belum menyerah. Jiwa sales-nya meronta.

Sudah ribuan unit rumah dan tanah yang berhasil ia jual dengan harga bagus. Ia tidak akan merusak rekor penjualannya sendiri.

Dia adalah si raja properti di zamannya. Di tahun 2024. Urusan menjual beli tanah dan rumah adalah keahliannya.

“Cih! Tidak usah berjanji. Buktikan ucapanmu.” Pria tua pemilik rumah mengambil batu kerikil dan melempar Cakra. Mengusirnya seperti mengusir anjing liar.

Kata menyerah tidak ada di kamus Cakra. Mau diusir seperti apapun, ia akan mengusahakan sekuat tenaga sampai titik terakhir.

Ia bisa memenangkan banyak tender. Jatuh bangun membangun perusahaan yang nyaris bangkrut, proyek hampir gagal karena kurang investor karena gigih.

Setelah dari rumah bapak tua, Cakra mengunjungi kenalan barunya, Frans—si penjual jam.

“Apa ada jam tangan lain yang ingin kau jual, Anak Muda?” Frans sedang duduk santai di salah satu meja yang ada di tokonya. Meja yang letaknya bersebelahan dengan jendela besar. Dari tempatnya duduk, Frans bisa melihat orang lalu lalang.

Wangi melati dari teh menyeruak. Ternyata pria itu sedang menikmati teh sore sambil membaca buku.

“Aku ingin bertanya sesuatu,” tanya Cakra langsung pada tujuan kedatangannya.

Frans melirik Cakra dari balik kacamata. Lalu lanjut membaca, menunggu pertanyaan Cakra.

“Apa kau tahu berapa harga tanah di daerah ini?”

Pertanyaan Cakra menarik perhatian Frans. Pria itu menutup buku yang sedang ia baca lalu meletakkannya di meja. Pria itu bersandar santai pada kursi sambil mengamati Cakra.

Frans menyesap teh dari cangkirnya dengan tata krama. “Entahlah. Tergantung lokasinya, aku rasa.”

“Kau tahu, kabar sangat cepat menyebar di daerah ini. Dan, berita kalau seorang pribumi yang kebetulan adalah menantu Tuan Van Der Meer membuat Tuan Benjamins marah menjadi berita hangat beberapa jam belakangan.”

“Katakan saja berapa harga yang pantas untuk sepetak tanah di daerah ini? Benjamins akan menjadi urusanku.” Cakra menarik kursi yang ada di hadapan Frans. Sikap seriusnya seperti sedang menangani proyek miliaran.

“Pantas memiliki arti yang berbeda, Anak muda. Setiap kasta memiliki kepantasannya sendiri. Orang Belanda, Jepang dan pribumi. Masing-masing memiliki nilainya sendiri.”

Cakra terbelalak. Tidak percaya kalau perbedaan kewarganegaraan sangat berpengaruh di tahun ini. Warna kulit dan asal muasal keluarga menjadi sangat penting dalam menentukan strata sosial.

“Sekarang tinggal kau yang memilih. Kau berada di pihak siapa? Warga Melayu? Atau memilih pendatang seperti tuan Benjamins yang akan memberikan banyak uang asal kau bisa memenuhi keinginannya?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Perjalanan Waktu Sang Raja Properti   Tanah Bermasalah

    Lepaskan dia.”Suara Raden Panji terdengar tegas, penuh wibawa. Ia mengibaskan tangan, memberi isyarat pada anak buahnya untuk mundur. Seketika, para pengawal yang tadi menahan Cakra melepaskan cengkeraman mereka, membiarkan lelaki itu jatuh tersungkur ke lantai dengan napas terengah.Aiden menatap Raden Panji dengan sorot mata tajam, nyaris menembus ke dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Apa begini kelakuan seorang Bupati?” tanyanya dengan nada dingin, penuh sindiran yang menusuk.Raden Panji tetap berdiri tegak, tetapi ada ketegangan tipis yang melintas di wajahnya. “Aku hanya menjalankan tugas,” balasnya, suaranya sedikit bergetar, entah karena amarah atau sesuatu yang lain.Cakra yang masih tersungkur, mencoba bangkit dengan sisa tenaganya. Tangannya terangkat, menyeka darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Napasnya berat, tubuhnya sedikit bergetar karena perlakuan kasar yang baru saja ia terima. Namun, tatapanny

  • Perjalanan Waktu Sang Raja Properti   Tuan Jaksa

    “Siapa Anda? Jangan ikut campur dalam urusan ini!” Raden Panji melayangkan tatapan tajam penuh kuasa kepada pria asing yang baru saja datang. Tanpa membuang waktu, ia memberi isyarat pada anak buahnya untuk melanjutkan pekerjaan mereka—memukuli Cakra hingga pria itu jera.Cakra yang sudah terhuyung nyaris tersungkur kembali merasakan hantaman keras di perutnya. Ia meringis, darah merembes dari sudut bibirnya, tetapi matanya tetap menyala penuh perlawanan. Anne menjerit histeris, berusaha meronta dari cengkeraman yang menahannya.Saat itulah langkah kaki terdengar di ambang pintu. Tuan Edgar memasuki ruangan dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan ekspresi berlebihan, tetapi kehadirannya langsung menarik perhatian.Melihat pria Belanda itu, Bimo segera melangkah mendekat. Dengan senyum penuh hormat, ia menjabat tangan Tuan Edgar. “Tuan ada di Soerabaja?” tanyanya heran, suaranya berusaha terdengar akrab.Raden Panji menoleh, matanya menyipit, mencoba menilai siapa tamu baru ini. Bimo,

  • Perjalanan Waktu Sang Raja Properti   Bukti Opium!

    Raden Panji menyeringai tipis, matanya tetap tertuju pada Anne. "Tentu saja aku ingat siapa kau, Nona Anne," ujarnya, suaranya penuh misteri. "Tapi ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya. Aku masih punya urusan yang lebih mendesak."Anne terdiam. Harapan yang sempat menyala di matanya meredup seketika. Ia melangkah mundur dengan ragu sebelum akhirnya kembali duduk di kursinya. Bahunya sedikit merosot, tetapi ia berusaha tetap tenang.Cakra yang sejak tadi memperhatikannya semakin dibuat bingung. Hubungan seperti apa yang dimiliki Anne dengan Raden Panji? Mengapa sikapnya begitu kaku di hadapan pria itu? Keningnya berkerut, berbagai pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut untuk bertanya, suara Raden Panji kembali mengisi ruangan.Seorang anak buahnya melangkah masuk, wajahnya menunjukkan ekspresi enggan. Ia membungkuk hormat sebelum melaporkan hasil pencarian mereka. "Kami sudah menggeledah seluruh ruangan di rumah ini, Raden," lapornya. "Tap

  • Perjalanan Waktu Sang Raja Properti   Penggerebekan

    Cakra hendak melangkah mendatangi Bimo, tetapi tiba-tiba sebuah tangan kekar mencengkeram lengannya, menahannya di tempat."Kau sebaiknya berpikir dua kali sebelum melakukan hal bodoh," suara berat anak buah Tuan Tong berbisik di telinganya. Cakra menoleh, menatap pria itu tajam, tetapi genggaman di lengannya semakin kuat, seolah memperingatkan."Pria itu dekat dengan Bupati," lanjut pria itu dengan nada rendah namun penuh tekanan. "Dan kau tahu, di sini, Bupati seperti raja. Dia bisa melakukan apa saja."Cakra menghela napas panjang, mencoba meredam gejolak di dadanya. Ia tahu situasinya tidak menguntungkan. Mau tidak mau, ia harus bermain cerdik, bukan gegabah.Namun, rupanya kehadirannya tak luput dari perhatian. Dari kejauhan, Bimo melirik ke arahnya dengan senyum miring penuh kemenangan. Dengan langkah santai, pria itu berjalan menghampiri Cakra, seolah menikmati momen ini."Kukira kau sudah pulang dengan tangan kosong," sindir Bimo. "Atau kau masih berharap bisa menyaingiku?"“A

  • Perjalanan Waktu Sang Raja Properti   Pasar Terbakar

    "Semalam, pasar terbakar. Tidak ada satu pun yang tersisa," ujar orang kepercayaan Tuan Tong dengan nada serius. "Bahkan, tiga nyawa melayang akibat peristiwa itu."Cakra mengerutkan kening, hatinya terusik oleh kabar tersebut. Ia menajamkan pendengarannya, memastikan dirinya tidak terlewat satu kata pun."Apa pendapat Tuan mengenai kejadian ini?" lanjut orang kepercayaan itu.Terdengar suara Tuan Tong menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab, suaranya tetap tenang meskipun mengandung ketegasan yang tak terbantahkan. "Aku sudah bisa menebak siapa dalang di balik kebakaran tersebut."Orang kepercayaannya tampak terkejut. "Siapa yang Tuan maksud?"Tuan Tong tidak langsung menjawab. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih dalam. "Aku dengar Bupati baru saja menerima tamu dari jauh. Ada banyak hal penting yang kami bahas malam itu."Cakra menyipitkan mata. Pernyataan itu seolah mengarah pada sesuatu yang lebih besar."Menariknya," lanjut Tuan Ton

  • Perjalanan Waktu Sang Raja Properti   Penderitaan Tiada Akhir

    Senja mulai turun ketika Bimo duduk santai di pendopo rumah seorang bupati, ditemani oleh Raden Panji dan seorang pelayan yang setia berdiri di belakangnya. Angin sore berembus lembut, membawa aroma teh melati yang baru saja dituangkan ke dalam cangkir porselen.Bimo menyesap tehnya dengan perlahan, menikmati rasa hangat yang menyentuh lidahnya sebelum akhirnya membuka pembicaraan. “Aku sedang mencari tanah yang cukup luas,” ujarnya santai, seolah-olah itu bukan urusan besar.Raden Panji mengangkat alis, matanya berbinar penuh antusias. “Hmm... pekerjaan besar, ya?” katanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu jati. “Kau memang selalu punya ambisi tinggi, Bimo.”Bimo tersenyum tipis, tapi ia menggeleng pelan. “Belum pasti,” sahutnya, suaranya tetap tenang. “Justru itu sebabnya aku datang ke sini. Aku butuh tanah dengan lokasi strategis, tapi harga tetap rendah. Semakin murah kita mendapatkannya, semakin besar keuntungan yang bisa kita kantongi.”Raden Panji terkekeh kecil. Ia me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status