Share

Bab 4: Di Sarang Singa

Penulis: Fantashyt
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-05 03:48:23

Saat Revan menggenggam tangannya, Anya merasakan sengatan dingin yang menjalar, bukan karena sentuhan kulit mereka, melainkan karena kepalsuan yang begitu nyata. Senyum di wajah Revan adalah mahakarya seorang aktor; hangat, tulus, dan penuh puja. Itu adalah senyum yang sama sekali tidak pernah ia tunjukkan padanya saat mereka hanya berdua.

Pintu mahoni raksasa terbuka, menampakkan ruang keluarga yang lebih luas dari seluruh butik Anya. Perapian marmer menyala lembut di satu sisi, dan sebuah piano besar berdiri megah di sudut lain. Di tengah ruangan, di atas sofa beludru berwarna krem, duduk seorang pria tua dengan rambut putih keperakan dan sepasang mata yang, meskipun dibingkai keriput, masih memancarkan ketajaman yang luar biasa. Di sampingnya, seorang wanita muda yang sangat cantik dengan gaun merah menyala menatap kedatangan mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan.

"Revan, akhirnya kau datang juga," sapa pria tua itu, suaranya serak namun penuh wibawa. Ia bangkit perlahan, tatapannya langsung tertuju pada Anya.

Revan mengeratkan genggamannya di tangan Anya, menariknya maju dengan lembut. "Eyang, kenalkan. Ini Anya Maheswari, calon istriku."

Anya merasakan pipinya memanas saat mengucapkan salam. "Selamat malam, Eyang."

Suryo Adhitama tersenyum, senyum yang tulus dan hangat, sangat berbeda dari senyum sinis cucunya. "Selamat datang di rumah kami, Nak Anya. Panggil saja Eyang. Revan sudah banyak bercerita tentangmu, tapi sepertinya dia sengaja menyembunyikan betapa cantiknya dirimu."

"Eyang bisa saja," balas Anya, sedikit rileks oleh sambutan hangat itu.

"Jadi, ini wanita yang akhirnya berhasil menjinakkan cucu liarku ini?" Suryo menepuk bahu Revan. "Bagaimana kalian bertemu? Revan hanya bilang di sebuah pameran, cerita yang sangat tidak biasa untuknya."

Ini dia. Ujian pertama. Anya merasakan jantungnya berdebar, tetapi ia sudah menghafal naskahnya. "Benar, Eyang. Di pameran seni rupa di galeri nasional. Waktu itu saya sedang membuat sketsa, dan Revan tidak sengaja..."

"Menumpahkan segelas white wine ke karya terbaiknya," potong Revan, tertawa kecil sambil melingkarkan lengannya di pinggang Anya. Gerakan itu begitu alami hingga membuat Anya merinding. "Itu cara paling mahal yang pernah kulakukan untuk berkenalan dengan seorang wanita. Aku harus mentraktirnya makan malam setiap minggu selama sebulan penuh hanya untuk mendapatkan maafnya."

Suryo tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Wanita memang harus jual mahal. Aku suka semangatmu, Anya."

Anya hanya bisa tersenyum kaku, merasa bersalah karena membohongi pria tua yang baik hati ini.

"Kak Revan, kau tidak mau mengenalkanku?" Suara wanita muda bergaun merah itu memecah suasana. Ia melangkah maju, mengulurkan tangan yang lentik pada Anya. "Aku Rania, adiknya Revan."

"Anya," balas Anya, menjabat tangannya yang terasa dingin.

Senyum Rania manis, tapi matanya menatap Anya dengan tajam, seperti sedang memindai setiap inci dirinya. "Pameran seni, ya? Kebetulan sekali. Aku juga ada di sana akhir pekan itu. Pameran yang menampilkan instalasi 'Gema Waktu' itu, kan? Aku tidak melihat Kak Revan di sana."

Perangkap itu terpasang begitu cepat dan halus. Anya merasakan darahnya seolah surut dari wajahnya. Ia tahu nama pamerannya, tapi ia tidak melakukan riset sedalam itu. Ia tidak tahu apa-apa tentang instalasi 'Gema Waktu'.

"Ah, itu karena..." Anya mulai panik, otaknya kosong.

"Karena kami tidak lama di sana," Revan menyela dengan mulus, senyumnya tak goyah sedikit pun. Ia menarik Anya lebih dekat, seolah sedang berbagi rahasia. "Anya lebih tertarik pada lukisan-lukisan di ruang sebelah. Dan sejujurnya, aku lebih tertarik padanya daripada pada karya seni mana pun. Kami hanya sebentar di dalam, lalu memutuskan untuk pergi mencari kopi. Benar kan, Sayang?"

Ia menatap Anya dengan tatapan penuh cinta palsu, sebuah isyarat agar Anya mengikuti alurnya.

"Be-benar," jawab Anya, suaranya nyaris tak terdengar. "Lukisan-lukisannya... lebih menarik."

Rania mengangkat sebelah alisnya, senyumnya masih terpasang. "Oh, begitu. Sayang sekali, padahal instalasinya adalah bintang utama pameran itu."

Makan malam terasa seperti berjalan di atas ladang ranjau. Suryo banyak bertanya tentang latar belakang Anya dan butiknya, yang bisa Anya jawab dengan jujur. Namun, Rania terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan kecil yang menjebak, menanyakan tentang restoran favorit mereka, film pertama yang mereka tonton, atau hadiah ulang tahun yang Revan berikan. Setiap kali, Revan berhasil membelokkan atau menjawabnya dengan sebuah anekdot romantis yang terdengar begitu meyakinkan.

Anya hanya bisa mengikuti permainannya, tertawa di saat yang tepat, dan sesekali menatap Revan dengan tatapan memuja yang membuatnya mual. Ia merasa seperti boneka, dan Revan adalah dalangnya.

Saat mereka akhirnya pamit dan kembali ke dalam mobil, keheningan yang turun terasa begitu berat. Senyum di wajah Revan lenyap seketika, digantikan oleh ekspresi dingin yang familier. Ia melepaskan genggaman tangannya seolah tangan Anya baru saja berubah menjadi bara api.

"Kau hampir mengacaukannya," kata Revan, matanya menatap lurus ke jalanan yang gelap.

Anya tersentak. Setelah semua akting yang ia lakukan, setelah semua kebohongan yang ia ucapkan demi pria itu, ini yang ia dapatkan?

"Aku bukan aktris profesional," balas Anya tajam, amarahnya yang terpendam sepanjang malam akhirnya meluap. "Dan adikmu itu seperti jaksa penuntut."

"Rania memang seperti itu. Dia tidak percaya aku bisa jatuh cinta," kata Revan datar. "Dan penampilanmu tadi memberinya alasan untuk curiga."

"Maaf jika aktingku tidak sesuai standar Oscar-mu!"

Revan akhirnya menoleh, menatap Anya di bawah temaram lampu jalanan. "Kau tidak dibayar untuk berakting. Kau dibayar untuk meyakinkan mereka. Malam ini kau lolos karena aku. Lain kali, lakukan risetmu dengan lebih baik. Baca kembali kontraknya. Peranmu adalah menjadi calon istriku, bukan tameng yang harus terus-menerus kulindungi."

Mobil itu kembali hening. Kata-kata Revan menusuk lebih dalam dari yang Anya duga. Bukan tameng yang harus terus-menerus kulindungi. Anehnya, kalimat itu menyiratkan bahwa malam ini, di tengah semua kebohongan itu, Revan memang telah melindunginya. Dan entah kenapa, perasaan itu terasa lebih membingungkan daripada amarahnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 6: Sangkar Emas dan Aturan Mainnya

    Anya terbangun karena cahaya. Bukan cahaya matahari pagi yang hangat yang biasa menyelinap melalui jendela apartemennya, melainkan cahaya abu-abu yang dingin dan menyilaukan yang membanjiri ruangan melalui dinding kaca raksasa. Untuk sesaat, ia bingung. Seprai sutra terasa asing di kulitnya, dan keheningan di sekelilingnya begitu total hingga terdengar seperti desingan.Lalu ia ingat. Ini bukan kamarnya. Ini adalah kamar utama di penthouse Revan Adhitama. Sangkar emasnya.Ia meraih ponselnya di meja nakas marmer. Notifikasi dari bank masih ada di sana, deretan angka nol yang terasa seperti vonis. Dengan satu ketukan, ia mentransfer sejumlah uang untuk melunasi utang bank, lalu mengirim pesan kepada Bu Sari, sang penjahit, memberitahukan bahwa gaji yang tertunda akan segera dibayarkan. Seharusnya ia merasa lega, bahagia, bahkan menang. Tapi yang ada hanyalah kehampaan yang aneh.Dengan langkah gontai, ia menjelajahi apartemen itu. Ruang tamunya yang luas terasa seperti lobi hotel binta

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 5: Harga Sebuah Mimpi

    Sisa perjalanan pulang diselimuti keheningan yang lebih dingin daripada AC mobil yang berembus kencang. Anya membuang muka ke arah jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang berkelip menjadi sapuan warna yang kabur. Setiap kilatan cahaya terasa seperti menyoroti kebohongan yang baru saja mereka pentaskan. Di sampingnya, Revan kembali menjadi patung es, jari-jarinya mengetuk layar ponsel dengan ritme yang tajam dan tak sabar. Lengan jasnya sesekali menyentuh lengan Anya, dan setiap sentuhan terasa seperti sengatan listrik statis yang tidak menyenangkan.Tidak ada lagi "Sayang." Tidak ada lagi genggaman tangan yang protektif. Hanya ada dua orang asing yang terikat oleh sebuah kontrak, kembali ke peran mereka yang sesungguhnya.Mobil berhenti di basement gedung apartemen mewah yang menjulang ke langit malam. "Penthouse," kata Revan singkat saat mereka melangkah ke dalam lift pribadi yang langsung membawa mereka ke lantai teratas.Pintu lift terbuka langsung ke dalam sebuah ruangan yang m

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 4: Di Sarang Singa

    Saat Revan menggenggam tangannya, Anya merasakan sengatan dingin yang menjalar, bukan karena sentuhan kulit mereka, melainkan karena kepalsuan yang begitu nyata. Senyum di wajah Revan adalah mahakarya seorang aktor; hangat, tulus, dan penuh puja. Itu adalah senyum yang sama sekali tidak pernah ia tunjukkan padanya saat mereka hanya berdua.Pintu mahoni raksasa terbuka, menampakkan ruang keluarga yang lebih luas dari seluruh butik Anya. Perapian marmer menyala lembut di satu sisi, dan sebuah piano besar berdiri megah di sudut lain. Di tengah ruangan, di atas sofa beludru berwarna krem, duduk seorang pria tua dengan rambut putih keperakan dan sepasang mata yang, meskipun dibingkai keriput, masih memancarkan ketajaman yang luar biasa. Di sampingnya, seorang wanita muda yang sangat cantik dengan gaun merah menyala menatap kedatangan mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan."Revan, akhirnya kau datang juga," sapa pria tua itu, suaranya serak namun penuh wibawa. Ia bangkit perlahan, tat

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 3: Gaun Sutra dan Aturan Main

    Sabtu sore datang lebih cepat dari yang Anya harapkan. Tepat pukul empat, bel apartemennya berbunyi. Di depan pintu berdiri seorang kurir berjaket kulit, memegang kotak gaun berwarna hitam pekat yang begitu besar hingga nyaris menutupi tubuhnya. Tidak ada nama pengirim, hanya inisial "R.A." yang terukir elegan dengan tinta perak di sudut kotak.Di dalam, terbungkus kertas sutra, terbaring sebuah gaun. Anya menahan napas saat mengangkatnya. Gaun itu terbuat dari satin berwarna zamrud gelap, dengan potongan sederhana namun sempurna yang jatuh seperti air. Terasa dingin dan berat di tangannya—harga gaun ini mungkin bisa membayar sewa butiknya selama setahun. Di sampingnya, ada sebuah kotak beludru kecil berisi sepasang anting berlian dan sebuah catatan singkat yang ditulis dengan tulisan tangan yang tegas dan miring.Pakai ini. Jangan terlambat. R.Tidak ada kata "tolong" atau "semoga kamu suka." Hanya perintah. Gaun itu indah, tetapi terasa seperti seragam, sebuah kostum untuk peran yan

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 2: Dua Puluh Empat Jam dan Satu Tanda Tangan

    Lift yang membawanya turun dari lantai 50 terasa seperti mesin waktu yang bergerak terlalu cepat, mengembalikannya dari dunia fantasi yang dingin dan berkilauan ke realitasnya yang pahit. Begitu pintu lobi Adhitama Tower terbuka dan udara lembap Jakarta menyambutnya, kemegahan gedung itu seolah mencair di belakangnya, meninggalkan Anya sendirian dengan map biru di genggaman tangannya yang berkeringat.Perjalanan pulang terasa kabur. Pikirannya berputar, mengulang setiap kata yang diucapkan Revan Adhitama. Setiap orang punya harga. Kalimat itu menusuk harga dirinya, membuatnya merasa murah dan kotor. Namun, kalimat berikutnya lebih menyakitkan. Berapa harga mimpi ibu Anda?Anya tiba di butik dan langsung naik ke apartemen kecilnya di lantai dua. Ruangan itu, yang biasanya menjadi tempat perlindungannya, kini terasa sempit dan menyesakkan. Tumpukan sketsa desain gaun berserakan di meja, palet warna yang ceria seolah mengejek suasana hatinya yang kelabu. Ia melempar map biru itu ke atas

  • Perjanjian Hati: Nikah kontrak dengan CEO muda Arogan   Bab 1: Surat Merah dan Panggilan Tak Terduga

    Aroma lavender dan kertas pola yang familier—wangi yang dulu selalu berhasil menenangkan jiwa Anya Maheswari—kini terasa mencekik. Wangi itu adalah wangi kenangan, wangi ibunya, dan wangi sebuah mimpi yang perlahan mati di depan matanya.Ia menatap sekeliling butik kecil itu, "Kainara," nama yang diberikan ibunya, yang berarti "cahaya dari dalam." Ironis. Saat ini, satu-satunya cahaya di dalam butik ini berasal dari lampu LED murah yang berkedip-kedip di atas tumpukan kain sutra yang belum terjual. Di luar, hujan bulan September tanpa ampun mengguyur jalanan Jakarta, seolah ikut meratapi nasibnya.Di atas meja kasir kayu yang sudah usang, tergeletak musuh terbesarnya: setumpuk surat dengan stempel merah menyala. Surat peringatan dari bank, tagihan dari pemasok kain, tunggakan sewa ruko. Setiap amplop terasa seperti batu bata yang menekan dadanya, membuatnya sulit bernapas. Tiga tahun setelah ibunya meninggal, Anya telah berjuang sekuat tenaga untuk mempertahankan warisan tunggal ini.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status