LOGINSaat Revan menggenggam tangannya, Anya merasakan sengatan dingin yang menjalar, bukan karena sentuhan kulit mereka, melainkan karena kepalsuan yang begitu nyata. Senyum di wajah Revan adalah mahakarya seorang aktor; hangat, tulus, dan penuh puja. Itu adalah senyum yang sama sekali tidak pernah ia tunjukkan padanya saat mereka hanya berdua.
Pintu mahoni raksasa terbuka, menampakkan ruang keluarga yang lebih luas dari seluruh butik Anya. Perapian marmer menyala lembut di satu sisi, dan sebuah piano besar berdiri megah di sudut lain. Di tengah ruangan, di atas sofa beludru berwarna krem, duduk seorang pria tua dengan rambut putih keperakan dan sepasang mata yang, meskipun dibingkai keriput, masih memancarkan ketajaman yang luar biasa. Di sampingnya, seorang wanita muda yang sangat cantik dengan gaun merah menyala menatap kedatangan mereka dengan ekspresi yang sulit diartikan.
"Revan, akhirnya kau datang juga," sapa pria tua itu, suaranya serak namun penuh wibawa. Ia bangkit perlahan, tatapannya langsung tertuju pada Anya.
Revan mengeratkan genggamannya di tangan Anya, menariknya maju dengan lembut. "Eyang, kenalkan. Ini Anya Maheswari, calon istriku."
Anya merasakan pipinya memanas saat mengucapkan salam. "Selamat malam, Eyang."
Suryo Adhitama tersenyum, senyum yang tulus dan hangat, sangat berbeda dari senyum sinis cucunya. "Selamat datang di rumah kami, Nak Anya. Panggil saja Eyang. Revan sudah banyak bercerita tentangmu, tapi sepertinya dia sengaja menyembunyikan betapa cantiknya dirimu."
"Eyang bisa saja," balas Anya, sedikit rileks oleh sambutan hangat itu.
"Jadi, ini wanita yang akhirnya berhasil menjinakkan cucu liarku ini?" Suryo menepuk bahu Revan. "Bagaimana kalian bertemu? Revan hanya bilang di sebuah pameran, cerita yang sangat tidak biasa untuknya."
Ini dia. Ujian pertama. Anya merasakan jantungnya berdebar, tetapi ia sudah menghafal naskahnya. "Benar, Eyang. Di pameran seni rupa di galeri nasional. Waktu itu saya sedang membuat sketsa, dan Revan tidak sengaja..."
"Menumpahkan segelas white wine ke karya terbaiknya," potong Revan, tertawa kecil sambil melingkarkan lengannya di pinggang Anya. Gerakan itu begitu alami hingga membuat Anya merinding. "Itu cara paling mahal yang pernah kulakukan untuk berkenalan dengan seorang wanita. Aku harus mentraktirnya makan malam setiap minggu selama sebulan penuh hanya untuk mendapatkan maafnya."
Suryo tertawa terbahak-bahak. "Bagus! Wanita memang harus jual mahal. Aku suka semangatmu, Anya."
Anya hanya bisa tersenyum kaku, merasa bersalah karena membohongi pria tua yang baik hati ini.
"Kak Revan, kau tidak mau mengenalkanku?" Suara wanita muda bergaun merah itu memecah suasana. Ia melangkah maju, mengulurkan tangan yang lentik pada Anya. "Aku Rania, adiknya Revan."
"Anya," balas Anya, menjabat tangannya yang terasa dingin.
Senyum Rania manis, tapi matanya menatap Anya dengan tajam, seperti sedang memindai setiap inci dirinya. "Pameran seni, ya? Kebetulan sekali. Aku juga ada di sana akhir pekan itu. Pameran yang menampilkan instalasi 'Gema Waktu' itu, kan? Aku tidak melihat Kak Revan di sana."
Perangkap itu terpasang begitu cepat dan halus. Anya merasakan darahnya seolah surut dari wajahnya. Ia tahu nama pamerannya, tapi ia tidak melakukan riset sedalam itu. Ia tidak tahu apa-apa tentang instalasi 'Gema Waktu'.
"Ah, itu karena..." Anya mulai panik, otaknya kosong.
"Karena kami tidak lama di sana," Revan menyela dengan mulus, senyumnya tak goyah sedikit pun. Ia menarik Anya lebih dekat, seolah sedang berbagi rahasia. "Anya lebih tertarik pada lukisan-lukisan di ruang sebelah. Dan sejujurnya, aku lebih tertarik padanya daripada pada karya seni mana pun. Kami hanya sebentar di dalam, lalu memutuskan untuk pergi mencari kopi. Benar kan, Sayang?"
Ia menatap Anya dengan tatapan penuh cinta palsu, sebuah isyarat agar Anya mengikuti alurnya.
"Be-benar," jawab Anya, suaranya nyaris tak terdengar. "Lukisan-lukisannya... lebih menarik."
Rania mengangkat sebelah alisnya, senyumnya masih terpasang. "Oh, begitu. Sayang sekali, padahal instalasinya adalah bintang utama pameran itu."
Makan malam terasa seperti berjalan di atas ladang ranjau. Suryo banyak bertanya tentang latar belakang Anya dan butiknya, yang bisa Anya jawab dengan jujur. Namun, Rania terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan kecil yang menjebak, menanyakan tentang restoran favorit mereka, film pertama yang mereka tonton, atau hadiah ulang tahun yang Revan berikan. Setiap kali, Revan berhasil membelokkan atau menjawabnya dengan sebuah anekdot romantis yang terdengar begitu meyakinkan.
Anya hanya bisa mengikuti permainannya, tertawa di saat yang tepat, dan sesekali menatap Revan dengan tatapan memuja yang membuatnya mual. Ia merasa seperti boneka, dan Revan adalah dalangnya.
Saat mereka akhirnya pamit dan kembali ke dalam mobil, keheningan yang turun terasa begitu berat. Senyum di wajah Revan lenyap seketika, digantikan oleh ekspresi dingin yang familier. Ia melepaskan genggaman tangannya seolah tangan Anya baru saja berubah menjadi bara api.
"Kau hampir mengacaukannya," kata Revan, matanya menatap lurus ke jalanan yang gelap.
Anya tersentak. Setelah semua akting yang ia lakukan, setelah semua kebohongan yang ia ucapkan demi pria itu, ini yang ia dapatkan?
"Aku bukan aktris profesional," balas Anya tajam, amarahnya yang terpendam sepanjang malam akhirnya meluap. "Dan adikmu itu seperti jaksa penuntut."
"Rania memang seperti itu. Dia tidak percaya aku bisa jatuh cinta," kata Revan datar. "Dan penampilanmu tadi memberinya alasan untuk curiga."
"Maaf jika aktingku tidak sesuai standar Oscar-mu!"
Revan akhirnya menoleh, menatap Anya di bawah temaram lampu jalanan. "Kau tidak dibayar untuk berakting. Kau dibayar untuk meyakinkan mereka. Malam ini kau lolos karena aku. Lain kali, lakukan risetmu dengan lebih baik. Baca kembali kontraknya. Peranmu adalah menjadi calon istriku, bukan tameng yang harus terus-menerus kulindungi."
Mobil itu kembali hening. Kata-kata Revan menusuk lebih dalam dari yang Anya duga. Bukan tameng yang harus terus-menerus kulindungi. Anehnya, kalimat itu menyiratkan bahwa malam ini, di tengah semua kebohongan itu, Revan memang telah melindunginya. Dan entah kenapa, perasaan itu terasa lebih membingungkan daripada amarahnya.
Pagi terakhir di Bali terasa seperti pengkhianatan. Langit masih biru cemerlang, ombak masih berdebur dengan irama yang menenangkan, dan bunga kamboja masih menebarkan aroma manisnya di udara pagi yang jernih. Tapi bagi Anya, semua keindahan itu terasa hampa, sebuah ejekan kejam yang tertutupi oleh gema dingin dari dua kata yang diucapkan Revan semalam: Kita tidak bisa.Ia tidak tidur semalaman. Ia hanya berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit, pikirannya terus memutar ulang momen di tepi kolam. Sentuhan lembut Revan di pipinya, tatapannya yang penuh kerinduan, kehangatan yang nyaris ia rasakan di bibirnya... lalu penolakan yang tiba-tiba dan brutal itu. Rasa sakitnya terasa aneh, lebih dalam dari sekadar kekecewaan. Ini bukan tentang ciuman yang gagal terjadi. Ini tentang sebuah pintu yang baru saja terbuka, memperlihatkan secercah harapan, lalu dibanting tertutup tepat di depan wajahnya.Ia sengaja datang terlambat ke meja sarapan, berharap Revan sudah selesai dan ia bisa me
Pagi setelah momen matahari terbenam terasa seperti fajar di dunia yang baru. Saat Anya melangkah ke teras sarapan yang terbuka, ia mendapati Revan sudah di sana, duduk sendirian menghadap ke lautan biru yang tak berujung. Pria itu tidak sedang membaca berita di tabletnya atau menelepon. Ia hanya duduk diam, secangkir kopi di tangannya, menatap cakrawala. Sebuah pemahaman tanpa kata melintas di antara mereka saat ia mendongak dan melihat Anya. Tidak ada lagi kecanggungan yang kaku, hanya kesadaran bersama bahwa sesuatu telah bergeser secara fundamental."Pagi," sapa Revan, suaranya tenang, senyum kecil yang tulus tersungging di bibirnya."Pagi," balas Anya, hatinya terasa ringan. "Sudah lama menunggu?""Baru saja. Aku ingin menikmati ini sebelum yang lain bangun," katanya, menunjuk ke arah pemandangan dengan cangkirnya.Tak lama kemudian, Eyang Suryo dan Rania bergabung dengan mereka. Eyang Suryo menatap mereka berdua dengan senyum puas, sementara Rania hanya mengaduk-aduk jus jerukny
Perjalanan ke Bali dimulai dalam keheningan yang berbeda. Bukan lagi keheningan dingin yang memisahkan, atau keheningan canggung yang menekan. Ini adalah keheningan yang penuh dengan pertanyaan, sebuah ruang kosong yang menunggu untuk diisi. Di dalam kabin jet pribadi yang mewah, dengan kursi kulit berwarna krem dan aksen kayu yang mengilap, Anya menatap hamparan awan putih di luar jendela, merasa seperti melayang di antara dua dunia—dunia nyata yang rumit dan dunia palsu yang akan segera ia masuki. Kesepakatan mereka untuk pergi "tanpa naskah" terasa seperti lompatan dari tebing tanpa tahu apakah ada air di bawahnya. Itu membebaskan sekaligus menakutkan.Di seberang lorong, Revan tampak fokus pada laptopnya. Namun, Anya bisa melihat pria itu tidak benar-benar bekerja. Jarinya hanya melayang di atas keyboard, dan tatapannya kosong, sesekali melirik ke arah jendela seolah mencari jawaban di langit yang tak berujung. Anya bertanya-tanya apa yang ada di pikirannya. Apakah ia menyesali ke
Pagi setelah pengakuan Revan terasa seperti keheningan aneh yang datang setelah badai besar. Udaranya jernih, tetapi pemandangannya penuh dengan puing-puing emosional yang tak terucapkan. Tembok di antara mereka telah runtuh, dan kini mereka berdiri di ruang terbuka yang canggung, tidak yakin bagaimana cara melangkah maju atau bahkan sekadar saling menatap.Revan kembali menjadi bayangan. Ia menghindari mata Anya, menjawab pertanyaannya dengan gumaman singkat, dan menyibukkan diri dengan tabletnya seolah itu adalah satu-satunya benda di dunia. Anya mengerti. Pria itu telah menunjukkan celah di baju zirahnya, sebuah kerentanan yang begitu dalam, dan sekarang ia mati-matian berusaha menambalnya kembali. Ia panik. Ia takut. Anya tidak mendorong, tidak bertanya. Ia hanya memberikan Revan ruang yang sepertinya sangat pria itu butuhkan.Namun, Anya melakukan pemberontakan kecilnya sendiri. Pagi itu, sebelum Bu Lastri datang, ia masuk ke dapur yang sunyi. Alih-alih hanya membuat kopi, ia mem
Beberapa hari setelah kunjungan Rania yang penuh drama, sebuah pergeseran tak terlihat namun kuat terjadi di penthouse itu. Aturan-aturan yang dulu menjadi pilar perjanjian mereka kini terasa seperti reruntuhan kuno yang mereka langkahi dengan hati-hati. Keheningan tidak lagi terasa dingin dan memusuhi, melainkan penuh dengan antisipasi yang membuat jantung berdebar. Mereka seperti dua orang yang baru saja selamat dari badai besar, kini berdiri di tengah puing-puing, tidak yakin bagaimana cara memulai percakapan atau langkah apa yang harus diambil selanjutnya.Suatu pagi, Anya sedang bersiap untuk pergi ke butik. Saat memilih aksesori di depan cermin besar di kamarnya, tangannya berhenti pada kantong kertas berlogo Kainara yang tergeletak di meja riasnya. Di dalamnya ada syal sutra bermotif bunga aster biru yang dibeli Revan. Sebuah pembelian impulsif yang terasa lebih berarti daripada semua gaun mahal di almarinya. Itu adalah pengakuan. Sebuah tanda terima. Sebuah jembatan antara dua
Syal sutra itu tergeletak di atas meja kerja Anya, sebuah pulau warna di lautan sketsa dan potongan kain. Setiap kali matanya melirik ke sana, jantungnya berdebar sedikit lebih cepat. Itu bukan lagi sekadar produk dari butiknya; itu adalah sebuah simbol. Sebuah tanda bahwa Revan Adhitama telah melintasi ambang pintu dunianya, tidak sebagai seorang CEO yang menilai investasi, tetapi sebagai seorang pria yang ingin mengerti.Perubahan itu terasa di udara penthouse yang biasanya dingin. Keheningan di antara mereka tidak lagi kaku dan memusuhi, melainkan penuh dengan kemungkinan yang tak terucapkan. Suatu malam, Anya sedang duduk di sofa ruang tamu yang besar, mencoba menyempurnakan sketsa gaun biru langitnya di bawah cahaya lampu baca yang hangat. Ia begitu tenggelam dalam pekerjaannya hingga tidak mendengar pintu ruang kerja Revan terbuka."Bekerja sampai larut?"Suara Revan yang rendah membuatnya sedikit terlonjak. Biasanya, pria itu akan langsung menuju kamarnya tanpa sepatah kata pun







