Share

CHAPTER 7 : Orang Misterius

Penulis: soareii
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-12 03:03:22

Empat hari perjalanan terasa panjang dan melelahkan meski rombongan iring-iringan Rhanora sering berhenti untuk istirahat demi kenyamanan perjalanan Rhanora. Iring-iringan mereka bergerak melewati lembah berselimut kabut dan jembatan batu yang membelah sungai-sungai besar. Langit mulai gelap ketika iring-iringan kereta Rhanora melewati lembah terakhir sebelum gerbang utama ibu kota Thagon. Senja sudah padam, hanya nyala obor dan suara langkah kuda yang memecah keheningan. Di kejauhan, siluet tembok kota mulai tampak samar.

Di dalam kereta, Rhanora membuka tirai jendela, menatap rembulan yang menggantung di langit kelabu.

Jenderal Bai yang menunggang kudanya di samping kereta kuda tempat menoleh.  “Kita akan tiba sebelum malam, Yang Mulia. Kaisar telah men—”

Ledakan keras mengguncang tanah. Kereta berguncang hebat hingga hampir terbalik. Teriakan para pengawal terdengar di luar, disusul suara logam beradu dan deru panah melesat.

“Lindungi Yang Mulia!” teriak salah satu pengawal.

“Yang Mulia! Tetap di dalam!” seru Jenderal Bai dari luar.

Namun sebelum Rhanora sempat menjawab, salah satu roda kereta dihantam, membuat pintunya terbuka paksa. Angin dingin malam menembus ke dalam. Ia melihat sekelebat bayangan berlari cepat—prajurit bertopeng, mengenakan jubah hitam pekat.

“Yang Mulia, anda harus tetap disini, saya akan melindungi anda dari luar.” Linlin berdiri dari duduknya sambil mengeluarkan sebuah belati yang tersembunyi di pahanya. 

Rhanora menggeleng, tidak setuju dengan ucapan Linlin. “Akan lebih baik aku keluar, kalau tetap berdiam di dalam dimana aku tidak bisa bergerak bebas, aku hanya akan jadi sasaran empuk.”

Linlin nampak menimbang namun belum sempat mengambil keputusan, Rhanora sudah berdiri dan berjalan keluar.

“Yang Mulia—”

“Jangan khawatir, meski tidak bisa bela diri aku punya kekuatan mengendalikan air.”

Akhirnya Linlin pun hanya bisa mengangguk. “Baiklah, tapi anda harus tetap berada di dekat saya dan gunakan kekuatan anda untuk melindungi diri anda sendiri, keselamatan anda yang paling utama.” Linlin pun berjalan mendahului Rhanora dan turun sambil melihat keadaan di luar.

Ketika keduanya keluar, hal yang pertama kali Rhanora lihat adalah darah dan beberapa tubuh tergeletak, Rhanora tidak yakin apakah tubuh itu masih bernapas atau tidak dan apakah kebanyakan dari mereka berasal dari pihak musuh atau bukan.

Rhanora hanya bisa berharap yang terbaik. 

Beberapa musuh menyadari bahwa target mereka keluar dari kereta, dan segera saja belasan pasang mata liar menoleh ke arah Rhanora. “Yang Mulia, mundur!” seru Linlin, menangkis tebasan pedang pertama yang datang dari sisi kanan. Percikan api beterbangan di udara ketika logam beradu.

Rhanora spontan mengangkat tangannya. Air dari kabut dan embun di sekitar mulai menggumpal di udara, membentuk pusaran jernih yang berkilau diterpa cahaya api. Ia mengarahkan pusaran itu ke tiga orang penyerang terdekat. Dalam sekejap, air itu menghantam mereka dan membeku seolah jadi rantai es yang melilit kaki-kaki mereka hingga tak bisa bergerak.

Namun jumlah musuh terlalu banyak. Dari balik kabut, lebih banyak lagi muncul, berlari cepat dengan panah dan pedang. Linlin kewalahan dengan begitu banyak musuh yang berdatangan tanpa henti.

“Jenderal Bai!” teriak Linlin.

Jenderal Bai masih menunggang kudanya, menangkis serangan dari empat arah. Ia tampak kelelahan, meski matanya tetap fokus. “Bawa Yang Mulia pergi! Cepat!”

Tapi Rhanora tak bisa berpaling. Salah satu musuh menyelinap dari belakang Jenderal Bai, mengangkat pedang tinggi-tinggi, siap menebas punggung sang jenderal. Tanpa pikir panjang, Rhanora mengayunkan tangannya. Udara di sekitarnya bergetar pelan, lalu dari tanah lembap di bawah kaki mereka, air melesat membentuk pusaran biru keperakan. Bunyi angin menggema ketika pusaran itu menahan tebasan musuh, membuat percikan air beterbangan seperti hujan kecil di tengah kegelapan.

Namun sebelum ia sempat menarik napas lega, dua penyerang lain muncul dari sisi kanan, berlari cepat ke arahnya. Cahaya obor memantul di bilah pedang mereka yang terayun ke arah dada Rhanora. Napasnya tercekat — gerakannya terlalu lambat untuk menghindar.

Dari ujung matanya ia melihat Linlin yang berusaha untuk menyelamatkannya namun ia terus dihentikan oleh musuh sehingga Linlin pasti tidak bisa menyelamatkannya.

Tepat saat ujung pedang hampir menyentuh kulitnya, sebuah bayangan biru melesat di antara mereka.

CLANG!

Suara logam beradu menggema nyaring cukup keras untuk memekakkan telinga. Dalam kilatan obor Rhanora melihat sosok itu berdiri di depannya, sosok itu berjubah biru tua berpinggiran perak, kainnya berkilau samar di bawah cahaya bulan. Topeng rubah menutupi seluruh wajahnya, dengan tatapan dingin yang tersembunyi di balik lubang mata topeng.

Gerakannya seperti bayangan. Cepat, tenang, dan mematikan. Dalam satu putaran tubuh, bilah pedang pendeknya berkilat dan satu per satu musuh terhuyung, darah memercik di udara. Ia berbalik tanpa suara, menangkis serangan dari yang lain lalu menancapkan pedangnya ke dada lawan dengan presisi.

Semua terjadi dalam sekejap mata. Banyak tubuh musuh ambruk bersamaan, disusul keheningan yang menegangkan. Api obor berkedip-kedip tertiup angin, menyinari wajah Rhanora yang tercengang. Sosok bertopeng rubah kini berdiri tak jauh dari Rhanora berdiri, sosok itu menoleh sekali ke arah Rhanora namun ia segera kembali menatap lurus lalu melangkah maju menebas panah yang melesat ke arah mereka dan menghilang di antara kabut serta bayangan malam.

Begitu sosok bertopeng itu lenyap di balik kabut, Rhanora masih berdiri mematung. Hembusan angin lembah membawa bau besi dan darah yang menyengat. Ia menatap tubuh musuh yang tergeletak di tanah, darah mereka mengalir pelan membentuk genangan di antara batu dan lumpur.

“Yang Mulia!” Suara Jenderal Bai memecah keheningan. Ia berlari mendekat dengan pedang di tangan dan dada naik turun karena napas berat. “Apakah anda terluka?”

Rhanora menggeleng pelan. “Tidak. Aku diselamatkan oleh seseorang.”

Jenderal Bai sempat menatap sekeliling. Kabut malam mulai menipis, memperlihatkan bekas pertempuran dan tubuh-tubuh yang tak lagi bergerak. “Seseorang?” tanyanya pelan tidak yakin.

“Ya. Ia memakai topeng berbentuk rubah dan jubah biru tua. Gerakannya sangat cepat. Aku bahkan tidak melihat dari mana ia datang.”

Jenderal Bai mengernyit sebentar lalu menghela napas panjang. “Mungkin itu pasukan bayangan kaisar. Mereka sering turun tangan tanpa pemberitahuan ketika keselamatan keluarga kekaisaran terancam.”

Rhanora memandang ke arah kabut, mencoba mencari sosok biru itu di antara bayangan yang bergoyang diterpa angin. Namun tidak ada siapa pun di sana. Hanya nyala obor yang redup dan bunyi gemerincing peralatan para prajurit yang mulai membereskan medan pertempuran.

Linlin datang dengan wajah khawatir. “Yang Mulia, mari kembali ke kereta. Tempat ini belum sepenuhnya aman.”

Rhanora menatap tangannya yang masih lembap oleh air dari kekuatannya tadi. “Baik,” jawabnya lirih. Tapi pikirannya belum tenang.

Sebelum melangkah pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah lembah yang mulai diselimuti kabut tebal. Hatinya bergetar aneh, entah karena rasa syukur atau rasa penasaran pada sosok bertopeng yang menghilang begitu saja.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Perjanjian Nikah dengan Kaisar Naga   CHAPTER 9 : Pelajaran Tata Krama

    Beberapa jam setelah pertemuan dengan pria bertopeng rubah itu, suasana kediaman Rhanora berubah hening. Udara sore terasa berat ketika pintu geser terbuka perlahan dan beberapa dayang melangkah masuk dengan langkah serempak. Mereka mengenakan jubah sutra warna pucat dengan sabuk biru langit. Di antara mereka, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun berjalan paling depan. Langkahnya tenang, penuh wibawa, namun gerakannya menunjukkan penghormatan yang sangat ketat terhadap tata krama. Begitu ia sampai di hadapan Rhanora, sang dayang segera berkowtow menyentuhkan dahinya ke lantai sebelum bersuara dengan lembut namun tegas.“Hamba Dayang Chu, diperintahkan untuk melatih Yang Mulia dalam tata krama dan perilaku keluarga kekaisaran sesuai aturan bangsa Thagon.”Rhanora yang semula duduk santai di kursi kayu berukir sederhana itu spontan menegakkan punggungnya. Ia sempat menatap dayang-dayang di belakang Chu, semuanya menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap langsung.“Melatihku

  • Perjanjian Nikah dengan Kaisar Naga   CHAPTER 8 : Prajurit Bayangan

    “Apakah kau bisa mempertemukanku dengan orang yang telah menyelamatkanku?” Tanya Rhanora sehari setelah penyergapan yang jelas-jelas tujuannya adalah untuk membunuh Rhanora.Sehari telah berlalu sejak penyergapan itu—serangan mendadak yang jelas ditujukan untuk menghabisinya. Kini, ia dan rombongannya sudah tiba di ibu kota Thagon. Dengan pertimbangan keamanan, Rhanora setuju untuk memasuki kota secara diam-diam tanpa arak-arakan, tanpa dentuman genderang penyambutan yang seharusnya menggema di jalan utama. Mereka kini beristirahat di kediaman sementara yang telah disiapkan sebelum ia resmi masuk ke istana.Namun, dalam hati Rhanora ada keraguan yang sulit diabaikan. Ia merasa penyergapan itu bukan sekadar upaya pembunuhan. Mungkin seseorang menginginkan agar ia tiba di ibu kota tanpa kemegahan, tanpa sorak rakyat yang menyambut calon permaisuri mereka agar kedatangannya terlihat seperti aib, bukan kehormatan.Bai Heng terdiam cukup lama, ia tampak berhati-hati memilih kata yang palin

  • Perjanjian Nikah dengan Kaisar Naga   CHAPTER 7 : Orang Misterius

    Empat hari perjalanan terasa panjang dan melelahkan meski rombongan iring-iringan Rhanora sering berhenti untuk istirahat demi kenyamanan perjalanan Rhanora. Iring-iringan mereka bergerak melewati lembah berselimut kabut dan jembatan batu yang membelah sungai-sungai besar. Langit mulai gelap ketika iring-iringan kereta Rhanora melewati lembah terakhir sebelum gerbang utama ibu kota Thagon. Senja sudah padam, hanya nyala obor dan suara langkah kuda yang memecah keheningan. Di kejauhan, siluet tembok kota mulai tampak samar.Di dalam kereta, Rhanora membuka tirai jendela, menatap rembulan yang menggantung di langit kelabu.Jenderal Bai yang menunggang kudanya di samping kereta kuda tempat menoleh. “Kita akan tiba sebelum malam, Yang Mulia. Kaisar telah men—”Ledakan keras mengguncang tanah. Kereta berguncang hebat hingga hampir terbalik. Teriakan para pengawal terdengar di luar, disusul suara logam beradu dan deru panah melesat.“Lindungi Yang Mulia!” teriak salah satu pengawal.“Yang

  • Perjanjian Nikah dengan Kaisar Naga   CHAPTER 6 : Wilayah Netral Adendum pt. 1

    Keesokan paginya ketika Rhanora sedang sarapan pagi, ia jadi teringat akan suatu hal sehingga ia memanggil Linlin dan membuat Linlin memastikan tidak ada orang yang menguping pembicaraan mereka.“Beritahu aku tentang hubungan para wanita harem yang kau ketahui, aku yakin kau sudah mencari tahu sebelum kita pergi kesini kan?” Tanya Rhanora sambil mengangkat cangkir teh untuk meminumnya.Linlin terkejut Rhanora akan menanyakan hal ini. “Apa anda ingin mengetahuinya sekarang juga Nona?” Rhanora tersenyum lalu menaruh cangkir teh diatas piring kecil, ia pun menatap Linlin dengan wajah serius walaupun senyuman masih menghias wajah rupawan miliknya. “Tentu, tahu lebih banyak tidak akan melukaiku, malah.. akan sangat membantuku.”Di tempat asing yang memiliki aturan dan kebiasaan yang berbeda, informasi adalah hal yang akan sangat menguntungkan Rhanora yang pendatang baru.“Baik..” Linlin pada akhirnya mengangguk melihat keseriusan Rhanora, yang membuat Linlin jadi teringat dengan Winona. “S

  • Perjanjian Nikah dengan Kaisar Naga   CHAPTER 5 : Wilayah Netral Adendum

    ****Keesokan harinya, suasana rumah keluarga Rhanora terasa lebih lengang dari biasanya. Sejak kabar keberangkatannya ke Kekaisaran Thagon diumumkan, para pelayan sibuk menyiapkan segala yang diperlukan: pakaian perjalanan, dokumen resmi, dan hadiah-hadiah sebagai tanda penghormatan pada keluarga kekaisaran.Rhanora berdiri di depan cermin tinggi di kamarnya. Jemarinya sibuk merapikan rambutnya, tapi sorot matanya terlihat ragu. Gaun perjalanan berwarna biru gelap terbuat dari bahan yang cukup tipis sudah terpasang di tubuhnya, dihiasi sulaman halus di bagian lengan. Meski sederhana, aura bangsawan tetap terpancar dari dirinya.Ketukan pelan terdengar di pintu. “Nona, apa anda sudah sudah siap?” suara pelayan terdengar dari balik pintu. Rhanora tahu siapa itu tanpa harus menoleh, Rhanora pun membiarkan pelayan itu masuk.Seorang pelayan wanita masuk, ia terlihat seusia Rhanora dengan rambut berwarna hitam dan manik mata yang sama kelamnya, orang ini tidak terlihat seperti warga Keka

  • Perjanjian Nikah dengan Kaisar Naga   CHAPTER 4 : Persiapan Pergi

    “Kak Rhanora!” Suara riang dan penuh semangat itu terdengar dari arah belakang ketika Rhanora berjalan pergi untuk meninggalkan istana Kekaisaran. Tanpa menoleh pun Rhanora tahu siapa yang memanggilnya.“Kak!” Orang yang memanggilnya ini adalah Alicia Enna Valor, adik dari Eurion dan putri bungsu dari Kaisar Aurelian.Orang yang seharusnya menikah ke Kekaisaran Thagon namun karena usianya yang bahkan belum genap delapan belas tahun membuatnya tidak akan dikirim kesana. Meski enggan, Rhanora tahu kalau dirinya adalah pilihan terbaik, mulai dari umur Rhanora yang sudah dua puluh tiga tahun hingga sifat Rhanora yang lebih tenang dari Alicia.Selain itu, Alicia terlalu baik dan naif untuk masuk ke sarang naga.“Kak Rhanora! Kakak darimana saja?” Alicia berlari kecil menghampiri, gaun tipis berwarna gadingnya terayun mengikuti gerakan langkah. Wajahnya berseri-seri, mata birunya memantulkan cahaya pagi. “Sudah lama tidak bertemu kakak.”Rhanora berbalik, menyambut senyum itu dengan lembut

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status