Masuk“Apakah kau bisa mempertemukanku dengan orang yang telah menyelamatkanku?” Tanya Rhanora sehari setelah penyergapan yang jelas-jelas tujuannya adalah untuk membunuh Rhanora.
Sehari telah berlalu sejak penyergapan itu—serangan mendadak yang jelas ditujukan untuk menghabisinya. Kini, ia dan rombongannya sudah tiba di ibu kota Thagon. Dengan pertimbangan keamanan, Rhanora setuju untuk memasuki kota secara diam-diam tanpa arak-arakan, tanpa dentuman genderang penyambutan yang seharusnya menggema di jalan utama. Mereka kini beristirahat di kediaman sementara yang telah disiapkan sebelum ia resmi masuk ke istana.
Namun, dalam hati Rhanora ada keraguan yang sulit diabaikan. Ia merasa penyergapan itu bukan sekadar upaya pembunuhan. Mungkin seseorang menginginkan agar ia tiba di ibu kota tanpa kemegahan, tanpa sorak rakyat yang menyambut calon permaisuri mereka agar kedatangannya terlihat seperti aib, bukan kehormatan.
Bai Heng terdiam cukup lama, ia tampak berhati-hati memilih kata yang paling tepat agar tak menyinggung sang calon permaisuri. “Itu sudah merupakan kewajiban dan tugas seorang prajurit bayangan Kaisar Naga.” Sang Jenderal menolak halus permintaan Rhanora namun perempuan berambut emas itu tidak gentar.
Rhanora menatap Bai Heng dengan tatapan tenang namun penuh tekad. “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih secara langsung,” ucapnya, suaranya lembut tapi mengandung tekanan halus yang sulit diabaikan.
Jenderal Bai menunduk sedikit, seperti menimbang jawabannya. “Yang Mulia, pasukan bayangan bukan prajurit biasa. Mereka hidup di antara bayang-bayang dan hanya tunduk pada perintah Kaisar. Bahkan aku sendiri tidak berhak memanggil atau mempertemukan mereka dengan siapa pun tanpa izin langsung dari Yang Mulia Kaisar.”
Rhanora menatap keluar jendela, ke arah taman yang mulai diselimuti kabut senja. “Jadi aku harus menunggu izin dari Kaisar untuk sekadar menyampaikan rasa terima kasih?” tanyanya dengan nada datar, meski sorot matanya menunjukkan sedikit kekecewaan.
“Begitulah aturan di Thagon,” jawab Bai Heng hati-hati. “Dan saya rasa, orang yang menyelamatkan Anda tidak mengharapkan balasan. Mereka bekerja dalam diam dan akan menghilang setelah tugas selesai.”
Rhanora terdiam. Jemarinya tanpa sadar menyentuh kalung pemberian Winona di lehernya —liontin kecil berisi tetesan air yang selalu tampak berkilau meski tanpa cahaya. Hatinya terasa berat. Entah karena ucapan Bai Heng, atau karena sosok bertopeng biru itu masih menghantui pikirannya.
“Aku mengerti, Jenderal Bai,” katanya akhirnya. “Kalau begitu, tolong sampaikan pada Kaisar, aku ingin bertemu dengannya secepat mungkin.”
Nada suaranya lembut tapi ada kekuatan yang baru di sana, sesuatu yang bahkan membuat Bai Heng menunduk lebih dalam sebelum menjawab, “Perintah anda akan saya sampaikan, Yang Mulia.”
Rhanora menatap langit senja yang semakin gelap. Entah mengapa, ia merasa langkahnya untuk memasuki Istana Kekaisaran Thagon tidak akan berjalan semudah yang ia bayangkan.
****
Dua hari setelah permintaannya untuk bertemu orang yang telah menyelamatkannya, Rhanora akhirnya mendapat kabar dari Bai Heng bahwa Kaisar sendiri telah memberikan izin khusus untuk mempertemukannya dengan salah satu prajurit bayangan yang telah menolongnya dalam serangan itu.
Rhanora tidak tahu alasan perubahan keputusan itu, tapi ia menerimanya tanpa banyak bertanya. Barangkali Kaisar ingin menunjukkan kemurahan hatinya, atau mungkin hanya bentuk sopan santun diplomatik.
Pertemuan itu diatur di taman bagian timur kediaman sementara yang dijaganya. Matahari merangkak naik ke puncak, menciptakan kilau keemasan di antara dedaunan maple. Di tengah taman di bawah naungan paviliun kayu berukir bunga peony seorang pria berlutut dengan kepala tertunduk, mengenakan jubah biru tua yang sama seperti yang ia lihat dua malam lalu. Topeng rubah itu masih menutupi wajahnya.
“Kau boleh berdiri.”
Pria itu pun berdiri tegap setelah Rhanora memperbolehkannya. “Aku ucapkan terima kasih banyak karena telah menyelamatkan nyawaku.” Ucap Rhanora dengan senyuman kecil melukis wajahnya yang jelita.
Pria itu mengangguk dan membungkuk hormat lalu mengangkat tangan dan membentuk gerakan dengan jarinya, gerakan yang Rhanora kenali sebagai bahasa isyarat ‘Bukan masalah, itu sudah merupakan tugas saya.’
Alis Rhanora sedikit terangkat. Bahasa isyarat? Apa orang ini sedang mengujiku? pikirnya, menatap lebih saksama.
Namun Rhanora tidak menunjukkan keraguan itu di wajahnya. Sebaliknya, ia membalas dengan gerakan tangan yang anggun. ‘Aku tahu itu adalah tugas tapi aku tetap harus berterima kasih.’
Meski pria ini terkejut, ia tidak memperlihatkannya dari gerak-gerik tubuhnya. Topeng rubah itu menutupi seluruh wajahnya, menyembunyikan setiap ekspresi yang mungkin muncul. Bahkan dari balik celah sempit topeng itu, manik matanya tetap datar —tenang seperti air yang tak beriak seolah tidak ada satu pun hal di dunia ini yang mampu mengguncangnya.
Rhanora mungkin tidak tahu siapa pria dibalik topeng rubah itu, tapi intuisinya berbisik pelan kalau orang ini bukan prajurit bayangan biasa.
Bai Heng dan Linlin berdiri di kejauhan memperhatikan keduanya tanpa suara. Saat waktu yang ditentukan sudah berakhir, Bai Heng berkata singkat. “Sudah waktunya, Yang Mulia.”
Rhanora mengangguk pelan dan berjalan pergi setelah berterima kasih sekali lagi kepada pria yang telah menyelamtkannya, tanpa menyadari bahwa orang itu terus memperhatikannya bahkan ketika Rhanora berjalan pergi meninggalkan paviliun.
Dayang Chu mempersilakan Rhanora maju terlebih dulu, sementara Linlin dan Yiyi mengikuti di belakang dengan membawa kotak hadiah —sebuah tradisi kecil sebagai ramah tamah ketika mengunjungi seseorang yang lebih tua.Lorong menuju paviliun Selir Agung Wen tenang namun atmosfernya berbeda jauh dari area kediaman Rhanora. Semakin jauh mereka melangkah, semakin banyak pelayan yang berhenti, membungkuk dalam-dalam, lalu menyingkir ke samping. Status calon Permaisuri benar-benar terasa di sini.Namun, Rhanora tidak membiarkan hal itu memengaruhi langkahnya.Begitu mereka berhenti di depan pintu besar berlapis kayu gelap, Dayang Mi membungkuk dalam sebelum berbicara.“Yang Mulia, Selir Agung Wen telah menanti kehadiran anda.”Rhanora mengangguk, tangan halusnya mengepal kecil di balik lengan hanfu untuk meredakan gugup yang tak ingin ia tunjukkan.Dayang Mi mengetuk dua kali lalu mendorong pintu perlahan.Aroma bunga osmanthus lembut keluar dari dalam ruangan.Rhanora melangkah masuk dengan
“Yang Mulia, hamba Dayang Chu mulai sekarang akan menjadi kepala dayang yang akan melayani anda. Saya juga membawa beberapa dayang dan kasim atas perintah Yang Mulia Kaisar.”Keesokan paginya ketika Rhanora sedang sarapan pagi, Dayang Chu datang membawa beberapa dayang dan kasim yang berjajar rapi di belakang Dayang Chu.Sesaat setelah Dayang Chu berkata, para dayang dan kasim yang dikirim melayani Rhanora pun berlutut dan berkowtow memberi salam kepada calon Permaisuri Kekaisaran Thagon.“Salam kepada kekasih jiwa Kaisar Naga, panjang umur ratusan tahun!”Mau sampai kapanpun Rhanora tidak akan terbiasa dengan cara penghormatan seperti ini.Seperti yang diajarkan oleh Dayang Chu, Rhanora menunggu sebentar sebelum membiarkan para pelayan untuk berdiri. Rhanora lalu menatap Dayang Chu, “kau bisa mengatur mereka sesuai keahlian mereka masing-masing.”“Hamba mengerti Yang Mulia.”****“Yang Mulia bagaimana dengan warna kain ini?”“Yang Mulia bunga-bunga yang dikirim Perbendaharaan sudah d
“Yang mulia.”Suara Linlin membuat Rhanora yang melamun menatap ramainya ibukota Kekaisaran Thagon pun menoleh. Setelah pelajaran tata krama yang melelahkan itu, akhirnya Rhanora pun diizinkan untuk menapaki kaki ke Istana Dalam dan bersiap untuk pernikahannya yang hanya tinggal menghitung hari saja.Pernikahan yang tidak didasari cinta.Sungguh mahal sekali kata cinta itu di kehidupan Rhanora. “Sebentar lagi kita akan memasuki Istana.” Linlin mengingatkan dengan lembut meski wajahnya masih sedatar biasanya, ada kekhawatiran yang terpampang jelas di manik mata segelap tinta itu. Rhanora tersenyum kecil. Senyum yang lebih seperti pengakuan pahit daripada ketenangan, ia menarik napas dan membuangnya perlahan. Ia mengangguk. “Aku tahu Linlin.”Rhanora mengerti dengan jelas begitu melewati gerbang utama itu, kebebasannya akan berakhir. Ia tidak akan bisa keluar lagi tanpa izin dari sang Kaisar—lelaki yang bahkan belum benar-benar ia kenal.Kekaisaran Thagon jauh berbeda dari Valory. Di
Pada malam hari ketika semua orang tidur terlelap, beberapa hari setelah pelatihan tata krama yang dilakukan Rhanora. Di istana dalam Kekaisaran Thagon. Seorang pria duduk di kursi dengan pakaian berwarna hitam bersulam naga emas, sementara itu dihadapan meja kerjanya seorang wanita paruh baya menunduk dalam memberi laporan.“Hamba sudah melatih Yang Mulia kekasih jiwa Kaisar Naga mengenai tata krama, namun hamba belum yakin beliau sudah bisa masuk ke istana atau belum.”“Dayang Chu, kau adalah dayang senior istana dan juga dayang yang telah mengikuti mendiang ibunda semasa ia masih hidup, tapi bahkan kau tidak bisa melatih seseorang yang merupakan Putri Kekaisaran Valory dalam satu minggu?” Dayang Chu segera berkowtow, tubuhnya gemetar hebat. “Hamba memohon maaf Paduka Kaisar. Bukan karena hamba tidak berusaha, tetapi Yang Mulia Rhanora memiliki kebiasaan yang berbeda. Beliau tidak terbiasa dengan cara membungkuk sedalam yang dilakukan di Thagon, dan terkadang ia terlalu berani men
Beberapa jam setelah pertemuan dengan pria bertopeng rubah itu, suasana kediaman Rhanora berubah hening. Udara sore terasa berat ketika pintu geser terbuka perlahan dan beberapa dayang melangkah masuk dengan langkah serempak. Mereka mengenakan jubah sutra warna pucat dengan sabuk biru langit. Di antara mereka, seorang wanita berusia sekitar tiga puluh tahun berjalan paling depan. Langkahnya tenang, penuh wibawa, namun gerakannya menunjukkan penghormatan yang sangat ketat terhadap tata krama. Begitu ia sampai di hadapan Rhanora, sang dayang segera berkowtow menyentuhkan dahinya ke lantai sebelum bersuara dengan lembut namun tegas.“Hamba Dayang Chu, diperintahkan untuk melatih Yang Mulia dalam tata krama dan perilaku keluarga kekaisaran sesuai aturan bangsa Thagon.”Rhanora yang semula duduk santai di kursi kayu berukir sederhana itu spontan menegakkan punggungnya. Ia sempat menatap dayang-dayang di belakang Chu, semuanya menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap langsung.“Melatihku
“Apakah kau bisa mempertemukanku dengan orang yang telah menyelamatkanku?” Tanya Rhanora sehari setelah penyergapan yang jelas-jelas tujuannya adalah untuk membunuh Rhanora.Sehari telah berlalu sejak penyergapan itu—serangan mendadak yang jelas ditujukan untuk menghabisinya. Kini, ia dan rombongannya sudah tiba di ibu kota Thagon. Dengan pertimbangan keamanan, Rhanora setuju untuk memasuki kota secara diam-diam tanpa arak-arakan, tanpa dentuman genderang penyambutan yang seharusnya menggema di jalan utama. Mereka kini beristirahat di kediaman sementara yang telah disiapkan sebelum ia resmi masuk ke istana.Namun, dalam hati Rhanora ada keraguan yang sulit diabaikan. Ia merasa penyergapan itu bukan sekadar upaya pembunuhan. Mungkin seseorang menginginkan agar ia tiba di ibu kota tanpa kemegahan, tanpa sorak rakyat yang menyambut calon permaisuri mereka agar kedatangannya terlihat seperti aib, bukan kehormatan.Bai Heng terdiam cukup lama, ia tampak berhati-hati memilih kata yang palin







