“Itu anak gadismu? Damn. Dia akan menjadi primadona di sekolah setelah besar nanti.”
Perhatian Roki tak pernah luput dari tiga bocah yang sedang bermain di halaman belakang rumahnya. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan akan mendapati Abihirt membawa anak kembar dan bagaimana akhirnya mereka ada di sana.Suara tawa yang keras sesekali terdengar. Roki bisa melihat sendiri bagaimana Franciss, yang punya kebiasaan serupa, persis seperti dirinya, berusaha mendekati Lore yang terlalu polos—ketika berusaha menghindar, tetapi tidak benar – benar pergi. Masih ada keinginan besar untuk bermain. Demikian pula Arias, yang mencoba mencegah Franciss dari sekadar memusatkan perhatian kepada Lore. “Kau sebaiknya singkirkan mata kotormu dari anakku.” Kemudian, Abihirt menambahkan sebagai bentuk perlindungan kepada anak perempuan sendiri. Roki punya pandangan berbeda. Agak liar, meski segera melakukan pembelaan diri, “Apa yang salah? Aku hanya berpikir kalau Franciss mu“Anakmu? Mengapa aku tidak tahu?” tanya Menesis seolah menuntut jawaban pasti. “Kami baru bertemu. Aku tidak punya kewajiban untuk memberitahumu masalah pribadiku.” Sungkar dimengerti bahwa wanita itu bersikap seperti tidak melakukan sesuatu yang buruk. Semalam, Abihirt perlu mati – matia menahan diri dan bahkan ... nyaris membuat hubungannya dan Moreau, yang belum selangkah baik – baik saja, menjadi runyam. Memang ada kelegaan bahwa Moreau tak benar – benar marah. Lagi pula, Abihirt tidak pernah ingin membahasnya di sini. Hanya berharap Menesis segera pergi. “Apa mereka anak dari mantan istrimu?” Sebuah pertanyaan tak terduga tanpa sadar membuat Abihirt mengepalkan tangan erat. Lore dan Arias tidak pernah terikat bersama Barbara, tidak akan pernah. Namun, dia tidak akan mengatakan apa pun, sampai Roki segera berbisik, “Ibu mereka adalah seseorang yang tidak bisa Abi lupakan sampai saat ini, Mene. Mereka kembali bertemu setelah berpisah selama lima tahun. Kau
“Itu anak gadismu? Damn. Dia akan menjadi primadona di sekolah setelah besar nanti.” Perhatian Roki tak pernah luput dari tiga bocah yang sedang bermain di halaman belakang rumahnya. Dia sama sekali tidak pernah membayangkan akan mendapati Abihirt membawa anak kembar dan bagaimana akhirnya mereka ada di sana. Suara tawa yang keras sesekali terdengar. Roki bisa melihat sendiri bagaimana Franciss, yang punya kebiasaan serupa, persis seperti dirinya, berusaha mendekati Lore yang terlalu polos—ketika berusaha menghindar, tetapi tidak benar – benar pergi. Masih ada keinginan besar untuk bermain. Demikian pula Arias, yang mencoba mencegah Franciss dari sekadar memusatkan perhatian kepada Lore. “Kau sebaiknya singkirkan mata kotormu dari anakku.” Kemudian, Abihirt menambahkan sebagai bentuk perlindungan kepada anak perempuan sendiri. Roki punya pandangan berbeda. Agak liar, meski segera melakukan pembelaan diri, “Apa yang salah? Aku hanya berpikir kalau Franciss mu
Itu terlalu jauh untuk dipikirkan. Moreau menggeleng singkat, berharap bisa tetap serius, tetapi apa yang perlu dia lakukan? Semua sudah selesai. Hanya perlu memanggil anak – anak untuk memulai sarapan bersama. “Lore, Arias, kemarilah, Sayang,” panggil Moreau, tanpa berusaha menanggapi pernyataan Caroline. Mungkin akan ada saat di mana hubungan bersama Abihirt diberi kesempatan lebih krusial. Namun, tidak sekarang. Dia tidak ingin sekarang. “Ya, Mommy.” Suara anak – anak kompak terdengar. Mereka sudah berada sangat dekat, tetapi keberadaan Abihirt tidak terlihat di mana pun. “Di mana Paman Abi?” tanya Moreau lambat. Dia memang tidak melibatkan pria itu saat memanggil anak – anak. Bagaimanapun, terlalu buruk membiarkan mantan suami Barbara pergi tanpa menawarkan sarapan bersama. “Daddy tadi menerima panggilan telepon dari seseorang. Apa Mommy ingin aku memanggilnya?” Lore menambahkan. Tidak ada yang Moreau katakan selain mengangguk, tentu saja. Bu
“Aku tidak pernah melihat Tuan Abi sebahagia ini. Anak – anak seperti membawa kehidupan baru untuknya.” Caroline berkomentar saat mereka sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi di dapur. Moreau menghela napas kasar. Mengakui apa pun yang Caroline katakan benar. Abihirt tidak pernah terlihat sebahagia ini. Tidak selama lima tahun belakangan. Tidak sampai keberadaan anak – anak melengkapi kehidupan mereka. Perlu Moreau garis bawahi; mereka .... ... secara teknis memang seperti itu. Dari arah dapur ke ruang tamu, tidak sulit mendapati pemandangan di mana pria itu telaten memberi perhatian khusus kepada Lore dan Arias. Membantu mereka berpakaian; menyisir rambut Arias, dan sekarang adalah giliran Lore. Si gadis kecil membelakangi ayahnya, sementara Abihirt terlihat serius saat sedang mengepang. Moreau tidak akan meragukan kemampuan pria itu. Abihirt sering melakukan hal yang sama kepadanya, dulu; saat mereka berada di ruang merah. Apa kabar, tempat yang meny
Moreau tak memungkiri bahwa dia ingin menertawakan Abihirt. Wajah pria itu penuh coretan dan pada akhirnya dia diam – diam menahan senyum; berharap mantan suami Barbara tidak menyadari apa pun yang sedang berusaha dia sembunyikan. Namun, di sini, Lore masih menunduk. Benar – benar terlihat sedih dan berusaha tidak menangis. “Ada apa denganmu, Lore?” Abihirt begitu ingin tahu. Kembali mengajukan petanyaan dan pada akhirnya membuat Lore takut – takut menatap ke arah Moreau. Tidak ada komentar saat mata kelabu Abihirt tampak menelusuri situasi di sekitar. Alat make-up yang masih terlihat berserak jelas telah ditangkap langsung oleh pria itu; keterdiaman singkat barangkali merupakan bagian dari cara Abihirt menarik kesimpulan, dan pria tersebut segera berkata, “Kau memarahi Lore?” Ya, bukan tanpa alasan .... Moreau ingin mengatakan secara gamblang, tetapi memutuskan untuk memberi tahu dengan cara berbeda. “Kau bisa lihat wajahmu sendiri daripada bert
Wanita paruh baya itu tersenyum, kemudian berkata, “Syukurlah mereka juga belum bangun. Kalau tidak, Tuan Abi pasti akan segera dibangunkan.” Sebelah alis Moreau terangkat tinggi. Menduga – duga bahwa Caroline secara tidak langsung melibatkan Lore ke dalam percakapan. Gadis kecil itu terlalu centil untuk menggoda ayahnya yang tidur, supaya segera terbangun. “Kau yakin? Anak – anak biasanya sudah berkeliaran di jam – jam seperti ini.” Dia mengendarkan pemandangan ke sekitar. Dapur sangat jarang menjadi tempat persinggahan Lore dan Arias, kecuali mereka melakukan kegiatan berlarian, maka di sinilah ruang kesukaan untuk memutari meja. Tempat di mana Arias akan mengadu kepadanya, jika bocah lelaki itu kelelahan mengejar sang adik perempuan. “Sebelum ke pasar. Aku sempat memastikan mereka. Anak – anakmu memang masih tidur. Dan sekarang, tanpa mendengar suara mereka ... aku yakin mereka masih tidur.” Barangkali Caroline benar. Moreau menatap wanita paruh bay