Aku hanya diam, ‘tak menimpali perkataannya. Aku bergegas menuju kamar untuk menidurkan Neli, lalu kembali ke depan, mengambil alih Nela yang berada dalam gendongan Pak Hasan.“Terima kasih, Pak. Terima kasih juga untuk liburan hari ini.” Aku tidak mempersilakan Pak Hasan masuk ke dalam. Aku takut akan timbul fitnah kalau ada tetangga yang melihat.“Jangan berterima kasih. Justru aku bahagia saat bersama kalian. Rei, pertimbangkanlah permintaanku. Aku akan menunggumu, hingga kau siap untuk kembali menikah. Aku pulang dulu. Assalamualaikum.”Tanpa menunggu jawabanku, Pak Hasan berjalan menuju mobilnya. Aku pun masuk ke dalam.***Selesai mandi dan Salat Isya, aku merebahkan diri di samping Nela dan Neli.Pernyataan Pak Hasan terus saja berputar di pikiranku. Aku bingung harus memberi jawaban apa padanya. Dia memang pria yang baik dan penuh tanggung jawab. Namun, hatiku masih ragu untuk memulai cinta yang baru.***
Setelah mengantarkanku pagi tadi, Pak Hasan seharian tidak kembali ke kantor. Ada perasaan lega karena tidak perlu mencari alasan untuk menghindari pria itu. Jam menunjukkan pukul empat sore. Sudah saatnya aku bersiap untuk pulang. Sifa dan karyawan lain yang bertugas di depan pun sudah menutup butik.“Mei, aku pulang dulu ya!” pamitku pada Meisa. “Hati-hati, Rei.” Perlahan aku membuka pintu kaca butik, keluar dari sana. Aku merasa ada yang hilang saat ini.Selama berjalan menuju jalan raya, aku merasakan ada yang menganjal perasaanku. Apakah aku merindukan kehadiran Pak Hasan. Hampir setiap hari pria itu datang di sela-sela waktunya ke butik. Setiap hari pula aku menggantikan Meisa untuk membuatkannya kopi.“Awas!” Sebuah tangan kekar menarikku saat aku akan menyeberang jalan. Tanpa sengaja badanku jatuh ke pelukannya. Aku bangun dan menghindarinya.“Kalau mau menyeberang jalan itu jangan melamun. Apa yang ada di otakmu, ha!” Pria
“Mas, sudahlah. Mereka takut kepadamu. Nanti aku akan menjelaskan semua pada mereka, agar mereka mau kembali menerimamu,” terangku.“Baiklah, tapi ingat kata-kataku, kalian tidak akan mungkin bisa bersama,” ancam Mas Randi sebelum pergi meninggalkan kami.Mas Randi itu sungguh jahat. Dia telah menghianatiku, tapi sekarang di kembali hadir menjadi bayang-bayang kehidupanku.Aku juga ingin seperti wanita lain, yang memiliki seorang pria yang mampu mengayomi dan imam terbaik bagi keluarganya.“Jangan dengarkan dia. Yakinlah jika kita berjodoh, Allah pasti akan menyatukan kita.” Pak Hasan meraih Neli dan menggendongnya.Kami akhirnya memutuskan untuk pulang setelah membayar makanan dan minuman yang kami pesan. Selama di perjalanan Nela dan Neli tampak diam. Mereka sepertinya ketakutan melihat keributan tadi.“Bunda, apa ayah akan menyakiti, Bunda lagi?” ucap Nela.Aku menggelengkan kepala. “Tidak sa
“Maaf, kalau aku menyinggung perasaanmu.” Pak Hasan memandangku.“Oh iya, dari mana Bapak kenal Mila?” tanyaku.“Dia janda kaya, kafenya ada dimana-mana, siapa yang tidak kenal dengannya. Aku juga terkadang meetting bersama klien di kafenya.”“Oh begitu, ya.” Aku memandangnya.“Aku kira ....”“Kamu kira aku suka sama dia.” Belum selesai berbicara Pak Hasan menyela. “Bukan begitu.”“Kamu cemburu?” tanya Pak Hasan.“Ehem ....” Pak Mahmud melirikku. Walaupun kau ada bersamaku Ku takkan berhenti menunggumu Katakan padaku katakanlah cintaUntukku untukkuKatakan padaku katakalah cinta untukkuKu dengar kau bicaraPak Mahmud menyanyikan lagu Ipang yang berjudul ‘Kalau Cinta Harus Bicara’ aku tahu pria itu sedang menyindir kami berdua. “Suara Pak Mahmud merdu ya, kenapa tidak jadi penyanyi saja,” godaku.“Iya Kek, suara Kakek bagus. Enggak kaya suara Bunda.”Pak Mahmud dan Pak Hasan tertawa.“Emang suara Bunda jelek ya, kalau nyanyi?,” tanya Pak Hasan.“Bukanya jelek lagi. Suaranya bisa
“Reina, single parent, Umi.” Pak Hasan mewakiliku menjawab pertanyaan Umi.“Pasti tidak mudah untukmu menjadi single parent. Tetap semangat Rei.”Aku hanya tersenyum mendengar ucapan Umi. Memang benar kata Umi. Menjadi single parent itu tak mudah. Aku tak hanya berperan sebagai ibu. Akan tetapi, aku juga berperan sebagai ayah, mencari nafkah untuk mereka.Terkadang aku malu dengan statusku sebagai seorang janda. Tidak sedikit orang yang mencemooh dan menilai rendah diriku.“Terima kasih, Umi.” Aku sedikit membukukan badan.“Umi akan mendoakanmu, semoga Allah memberimu kemudahan, kesehatan, dan kelak Allah juga akan mengirimkan jodoh terbaik untukmu.” Wanita itu menatapku. Melihatnya aku menjadi rindu pada ibu yang telah tiada lima tahun silam.“Kamu di sini tinggal sama siapa?” tanya wanita itu.“Saya hanya tinggal bersama dua putri kembar saya,” terangku.“Kembar!” ucap Umi terkejut. “Pasti mereka cantik dan lucu-lucu. Umur berapa?” Umi begitu antusias saat aku menceritaka
Sayang.” Nela dan Neli berhambur memelukku saat aku tiba di sekolahnya.“Siapa yang mau es krim?” Hari ini rencana aku akan berbelanja kebutuhan rumah. Baru jam lima sore masih ada waktu sebelum magrib, apalagi letak mini market tak jauh dari sekolah anak-anak.“Aku, Bu.” Nela dan Neli berteriak kegirangan mendengarnya.“Tapi jangan terlalu sering ya!”“Siap, Bunda!” Mereka berteriak-teriak kegirangan.***“Bun, itu ada Om Hasan.” Pada saat kami tiba di depan mini market, Nela menunjuk sebuah kafe and resto yang berada di seberang jalan. “Samperin yuk!” ajaknya.“Jangan sayang, Om Hasan lagi kerja.” Aku terpaksa berbohong sama mereka.Pak Hasan sedang duduk berdua dengan wanita yang baru saja aku kenal. Mereka tampak serius saat berbicara.Aku bergegas masuk ke dalam mini market membeli barang-barang yang dibutuhkan.Nela dan Neli tampak cemberut. Pada saat aku menawari mereka es krim. Mereka hanya diam saja, dengan wajah yang
Aku begitu terharu melihat kedekatan anak-anak dengan Pak Hasan. Pria itu berbeda sekali dengan Mas Randi, yang jarang sekali bermain, bercanda, ataupun memerhatikan anak-anak.Dulu ketika pulang kerja, dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah dengan bermain HP. Segala urusan rumah dan anak-anak aku sendiri yang mengurus.“Om, ayo mampir dulu,” ajak Neli.“Terima kasih, Sayang. Nanti lain kali aja, Om mampirnya.Nela dan Neli masuk ke dalam rumah. Aku pun membalikkan badan untuk menyusul mereka.“Rei.” Pak Hasan memanggilku, seketika aku menoleh ke arahnya.Pak Hasan berdiri menatapku. Entah mengapa seketika jantungku berdegup kencang setiap kali pria itu memandangku seperti itu. “Aku akan segera membicarakan hubungan kita dengan, Umi.” Aku begitu terkejut dengan perkataannya. Seserius itukah dia terhadapku.“Pak, tolong pertimbangkanlah dulu perkataan Bapak. Apa tidak terlalu cepat? Aku takut, Umi tidak menerimaku.” “Aku yakin, Umi akan merestui hubungan kita,” ucap
Dia mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang terbuat dari bahan beludru, dari saku jasnya. Pak Hasan mengulurkan kotak tersebut di hadapanku. Dia membukanya. Ada sebuah cincin emas bermata putih di dalamnya.Aku menutup mulut dengan satu tangan karena terharu, melihat kesungguhan Pak Hasan untuk menikahiku. Dia pun tak segan menyatakan perasaannya di hadapan orang banyak.Pengunjung restoran memandang ke arah kami. Kebetulan, siang itu, restoran ramai karena merupakan jam makan siang. Aku memandang ke seluruh ruangan restoran yang tak terlalu luas.“Terima ... terima ....” ucap beberapa pengunjung restoran.Aku merasakan jantungku berdegup kencang diikuti tubuh yang ikut bergetar. Walau hampir setiap hari kami bertemu. Namun, aku selalu merasakannya saat dipandang oleh Pak Hasan. Apalagi pada saat ini seluruh mata tertuju pada kami.Aku menundukkan pandangan, berharap dapat menghilangkan sedikit rasa grogi dalam diri. Aku membaca bismillah dalam hati. Semoga keputusan