Share

Dua

Dua hari berikutnya Amanda menjalani rutinitasnya seperti robot. Dia bangun pagi-pagi sekali, berangkat kerja satu jam lebih awal untuk menghindari Galen. Di kantor dia hanya menghabiskan sepanjang waktu di belakang meja, bersembunyi di balik tumpukan dokumen pekerjaan.

Di malam hari, Amanda mendistraksi otaknya dari memikirkan kisah cintanya dengan menonton film komedi di n*****x, meski sepanjang tayangan dia tidak dapat membuat dirinya tertawa. Kemudian dia akan tertidur tanpa menggosok gigi dan terbangun keesokan harinya dengan televisi masih menyala.

Amanda benar-benar hidup tanpa gairah sama sekali belakangan ini. Dia berhenti membuka sosial media karena enggan membaca pesan Galen yang tersebar di seluruh akun miliknya. Wanita itu dalam hati mengakui kegigihan mantan pacarnya itu.

But, tetap Amanda tidak akan kembali kepada lelaki itu semudah mengganti channel televisi.

Hari ini Amanda lebih bersantai dari hari sebelumnya, karena ini weekend.

Sebelum hubungannya dengan Galen kandas, weekend adalah hari di mana mereka berdua akan quality time bersama di apartemen lelaki itu. No sex, just cuddle. Sekarang karena Amanda di rumah dan bukan di kantor, lubang menganga di hatinya terasa seratus kali lebih lebar.

Hari ini dia tidak memiliki rencana untuk keluar rumah dan hanya bergelung di kasur seharian. Yeah, sudah bisa ditebak sebenarnya.

Amanda baru saja memejamkan mata untuk menyambung tidur saat telinganya mendengar suara bel pintu.

Berpikir bahwa mungkin pelakunya adalah si mantan brengseknya, dia mengabaikan suara itu sepenuhnya.

"Manda!"

Bel pintu itu kembali berbunyi. Kali ini disertai dengan suara yang samar-samar kedengaran terlalu feminim untuk ukuran lelaki dewasa.

Amanda memaksa dirinya untuk bangun dan berjalan ke arah pintu. Dari lubang pintu seukuran cincin dia melihat seorang perempuan berambut ikal yang berdiri menunggu di luar pintu apartemen Amanda. Tangannya bergerak membuka kunci dan melihat raut kesal seorang perempuan yang sudah begitu familiar di matanya.

"Lama lo!" perempuan itu mencebikkan bibir. "Lo lagi ngapain sih gue panggil dari tadi sampai tenggorokan gue kering nggak nyaut-nyaut? Tega lo, sampai serak suara gue."

Padahal suara perempuan itu memang sudah serak sejak Amanda mengenalnya di bangku kuliah dulu.

Amanda diam saja, bukan karena apa, tapi perempuan di depannya ini tidak membiarkan Amanda menjawab karena terlalu asik mengomel.

".. gue telpon lo dari kemarin nggak diangkat, pesan gue juga nggak dibales sama sekali, sahabat macam apa lo biarin gue gabut di rumah sendiri, pas gue punya suami aja gue masih inget lo lah ini gue sampe bela-belain ke apart lo cuma bu---ASTAGA!"

Perempuan yang lebih pendek dari Amanda itu, berbalik sambil melotot pada Amanda yang baru saja menutup pintu di belakangnya. Tangannya menunjuk ruang tengah yang masih belum dia bereskan dari kekacauan semalam.

"What the--Ini habis tsunami apa gimana?"

"Iya iya gue tahu. Jangan komen dulu, please. Ntar gue beresin kok,"

"Kapan?!"

Amanda berpikir sejenak, "Nanti,"

"Nanti kapan?!"

Amanda memutar matanya. Dia lupa kalau sahabatnya itu adalah pencinta kebersihan. Dengan malas dia mulai membereskan tempat itu seadanya. Dia menyingkirkan baju kotor yang bertebaran di sekitar sofa sebelum membuangnya di keranjang cucian. Dia juga menyingkirkan remah-remah yang mungkin tersisa dari atas sofa dan menyingkirkan sapah plastik bekas makanan di atas meja sebelum mempersilakan tamunya duduk.

"Lo yakin itu udah bersih?"

"Lo mau berdiri aja juga nggak papa."

Iris Rahayu adalah teman sekaligus sahabat Amanda sejak kuliah. Persahabatan mereka awet bahkan setelah Iris lebih dulu membangun keluarga kecilnya.

Wanita itu terpaut dua tahun lebih tua dari Amanda. Dia memiliki paras cantik namun jutek jika baru pertama kali bertemu. Namun percayalah Iris memiliki humor yang lebih anjlok dari Amanda. Meski telah bersuami dan memiliki seorang anak perempuan berumur tiga tahun yang lucu, Iris masih terlihat se-enerjik seperti saat mereka pertama bertemu di bangku kuliah.

"So, kenapa kelakuan lo tiba-tiba jadi jorok begini? Lo bukan tipe yang biasa aja lihat rumah berantakan kek gini." Iris bertanya setelah menaruh bokongnya di samping Amanda.

Amanda menghela napas berat. Aksinya yang menutup diri dari sosial media ternyata juga berdampak pada Iris yang juga berusaha menghubungi Amanda sejak kemarin. "Gue putus."

Iris melebarkan mata saat mendengar dua kata itu. "Are you joking?"

Amanda menoleh menatap Iris dengan raut seserius mungkin yang dia punya. "He's gay."

Iris mengumpat saat menyadari bahwa Amanda sedang tidak mengarang cerita. Ibu satu anak itu memeluk Amanda yang memang sedang berusaha menahan tangis.

Its weird.

Amanda hanya menangis satu kali ketika di taksi saat itu, seterusnya meski wanita itu terbengong sendirian di kamar dia tidak pernah menangis. Sekarang ketika Amanda merasakan kehangatan tubuh sahabatnya, matanya dengan cepat menjadi berair dan sedetik kemudian dia sudah tersedu sambil memeluk Iris.

"G-gue lihat p-pas me-mereka lag-i c-cium-an... hiks.. n-naked-- hiks.." Amanda terbata saat berusaha menjelaskan di sela tangisnya.

"Shhh its okay," Iris mengelus punggung Amanda dengan lembut, sementara Amanda masih menangis hingga cegukan. "Tarik napas, terus buang pelan-pelan.. "

Amanda menuruti instruksi Iris. Beberapa saat kemudian dia mulai berhenti menangis dan menyisakan senggukan kecil. Iris pergi ke dapur Amanda dan mengambilkan air hangat untuk wanita itu.

"Lebih baik?"

Amanda mengangguk kemudian menaruh gelasnya di atas meja. Dia menggumam terima kasih yang dibalas 'no problem' oleh Iris.

"Mau cerita?" Iris bertanya hati-hati. Tidak ingin memaksa.

Amanda mengangguk lagi. "Gue niatnya mau kasih surprise buat dia waktu itu. Gue ke apartemen dan langsung masuk, lo tahu kan kalau dia emang kasih sandinya ke gue, so gue langsung masuk aja. Pas gue masuk-" Amanda menggerakan tangannya dengan raut frustasi yang tergambar di wajahnya. "Gue bahkan nggak kenal siapa cowok itu, Ris."

Selama Amanda bercerita, Iris dengan telaten tetap memberikan afeksi yang mungkin dia butuhkan. Iris diam saja menunggu Amanda merampungkan cerita.

"Gue udah boleh kasih komentar?" tanya Iris. Saat melihat Amanda mengangguk, Iris langsung meledak. "Brengsek! Jadi selama ini Galen pacaran sama lo cuma buat nutupin orientasi seksualnya yang asli apa gimana hah?! He's totally son of bitch!"

Iris bangkit dari sofa sambil berteriak, "Jangan tahan gue, Nda! Gue bakal habisin tuh bocah brengsek ampe mampus! Sialan beraninya dia nyakitin bestie gue hah?!"

Iris berakting seolah seseorang sedang memegangi tangannya padahal tidak ada. Sementara Amanda kini tertawa sambil menangis melihat tingkah sahabatnya.

"Stop it!" kata Amanda di sela tawa dan tangisnya. Dia melemparkan sebuah bantal kepada Iris dengan lemah.

Iris menghentikan aksinya dan tersenyum saat melihat Amanda sudah bisa tertawa. Wanita yang lebih tua itu kembali menghampiri Amanda dan memeluknya. "Nah gitu dong, jangan sedih lagi. Bajingan kayak gitu nggak pantes buat ditangisin. Masih ada banyak lelaki di luar sana yang lebih baik daripada tai kayak dia."

Amanda tertawa, "Lo kalau di rumah ngomongnya kasar begini nggak?"

"Ya enggaklah, gila! Bisa digeprek suami gue!"

"Haha.. thanks babe,"

"Anytime, darl"

Mereka berdua bertahan dalam posisi itu untuk beberapa lama. Menikmati kehadiran masing-masing di jangkauan lengan mereka.

"Keluarga lo udah tahu?" Iris bertanya setelah mereka melepaskan rangkulan mereka.

Iris melihat Amanda menggeleng. Dia tahu seberapa Amanda berharap bisa menikah dengan Galen. Keluarga Amanda barangkali tidak akan peduli dengan perasaan Amanda dan hanya akan merongrong wanita itu dengan pertanyaan klasik yang berulang.

"Gue bingung gimana ngomongnya." Amanda mengakui. "Umur gue mau dua puluh delapan, bukannya bagiin undangan nikah malah bikin pengumuman putus cinta. Apa kabar orang tua gue?"

Iris mengangguk paham. "Gue nggak bakal maksa lo buat buat jujur ke mereka, tapi lo tau kan kalau lo nggak bisa nyimpen ini selamanya? Mereka pasti bakal tau entah dari mulut lo atau dari orang lain."

Amanda termenung. Hal yang paling dia hindari adalah reaksi keluarga tentang berita ini. Sehancur hatinya karena Galen dia akan lebih hancur lagi saat melihat orang tuanya lagi-lagi kecewa padanya.

"Ris,"

Iris menggumam tanpa menatap Amanda. "Apa gue nyari cowok di club aja yah?"

Iris melebarkan mata kemudian menggeplak kepala wanita yang lebih tinggi darinya itu. "Ngadi-ngadi lo! Lo kira semudah itu apa."

Amanda meringis saat melihat Iris mengamuk. "Di novel yang gue baca pada begitu."

"Open your eyes, its real life, babe! Nggak ada yang kayak begituan, kalo lo nekat yang ada lo goblok. Ketemu jodoh mah enggak, di grepe mah iya!"

"Sante elah!"

"Ya lo ngadi-ngadi!"

"Gue frustasi, Ris! Pengin suami huhu,"

Iris menghela napas berat, tidak tega juga melihat Amanda merengek seperti itu. (read : kok bisa ya dia betah temenan sama Amanda yang modelan kayak begini)

"Jujur deh. Lo nggak pengin suami tapi emak lo yang pengin calon mantu kan?"

Amanda lumayan tersentak dengan pertanyaan Iris. Jauh di dalam hati dia mengakui jika Amanda jauh dari kata siap untuk berkeluarga, yah kalau statusnya masih pacaran dengan Galen sih beda cerita, dia hanya ingin lepas dari pertanyaan kapan nikah yang selalu dilontarkan ayah dan ibunya.

Iris tidak perlu jawaban langsung karena dia bisa membacanya lewat muka Amanda. Wanita itu begitu mudah dibaca.

"Oh!"

Seolah teringat sesuatu, Iris merogoh tasnya untuk mengeluarkan secarik kertas yang tampak seperti sebuah undangan. Dia menyerahkan kertas itu pada Amanda.

"Isabelle ngundang kita buat party di rumah dia," Iris berkata antusias.

"Isabelle?" Amanda mengangkat sebelah alisnya. Dia memiliki sejarah buruk dengan nama itu yang tidak Iris ketahui.

"Yup! Nanti malam jam delapan, ini kesempatan buat lepas penat, Nda!"

Amanda memandang undangan yang didesain dengan sedemikian rupa itu dengan ragu. Undangan itu memiliki style yang sama persis dengan pemiliknya. Barbie doll and bitchy. Tipikal anak cewek tunggal manja dari keluarga kaya.

"Lo yakin dia ngundang kita dan bukan lo aja?" Amanda bertanya skeptis.

Iris terlalu semangat untuk menyadari perubahan nada bicara Amanda. "Iya, bener kok. Ada tulisannya di situ."

Amanda meragukan ide Iris untuk pergi ke tempat Isabelle, kata penolakan sudah berada di ujung lidahnya, namun saat dia melihat antusiasme Iris hatinya merasa tak tega dan akhirnya hanya bisa mengangguk kaku dengan menyedihkan.

Berdoa saja semoga tidak ada kejadian buruk yang menimpanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status