Share

Tiga

"Please... "

"No,"

"Pleaseeee~"

"I said n-"

"Stevan!" Larissa melepaskan diri dari lengan sang tunangan ketika wanita itu tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "Cuma semalam, Steve. Ralat cuma beberapa jam aja. Dan kamu bahkan nggak mau kasih itu buat aku?"

Lelaki yang dipanggil Steve itu mengurut pangkal hidungnya dengan pelan. Kepalanya pusing karena pekerjaan yang menumpuk dan sekarang seorang wanita manja yang sayangnya berstatus sebagai tunangannya sejak dua bulan yang lalu malah merengek tidak jelas seperti ini.

"Gu-Aku lagi banyak kerjaan, La. Kamu kan bisa ke sana sama teman-teman kamu."

"Beda, sayang. Aku maunya sama calon suami aku, not friends. Selama dua bulan ini kita belum pernah keluar kan?"

"Kita pergi dinner hampir tiap malam."

Yang membuat beban pekerjaan lelaki itu menumpuk karena harus ditunda tiap kali Larissa merengek. Sayangnya kalimat itu hanya Steve ucapkan di dalam hati.

"Dinner cuma berdua dan kita bahkan nggak kemana-mana, cuma makan. Ini party sahabat aku, di sana juga bakal ada teman-teman aku yang lain. Aku pengin kasih lihat mereka betapa serasinya kita, kamu nggak mau?"

Yeah, serasi as hell. Pikir Steve.

"Kerjaan ak-"

Larissa mengentakkan kedua kakinya kesal sementara tangannya mengeluarkan ponsel dan menggunakannya untuk mengancam lelaki itu. "Its always about your work. 'm gonna tell your mom."

Steve melebarkan mata. Lelaki itu mengangkat tangan dan Larissa tahu dia menang.

"Oke, terserah kamu."

"Gitu dong. Love u!" Larissa tersenyum cerah dan mengecup pipi sang tunangan dengan mesra.

Steve tidak menjawab dan Larissa memang tidak membutuhkan jawaban.

Wanita itu menggoyangkan pinggulnya keluar dari ruangan kerja lelaki itu.

Tepat setelah itu, Steve kembali tenggelam dalam pekerjaan. Lelaki itu selalu hebat dalam pekerjaan namun tidak pernah beres dengan masalah percintaan.

Dia melirik undangan pesta yang tergeletak di meja, mengernyit saat tidak mengenal siapa itu Isabelle dan memutuskan menyingkirkan kertas itu dari pandangan secepat mungkin.

Baru beberapa menit dia berkutat dengan angka-angka yang ada di komputernya, pintu ruangannya kembali diketuk dari luar. "Masuk." ucap Steve.

Seorang lelaki sepantaran Steve masuk dengan cengiran penasaran di wajahnya. "Yo, what's up!"

Steve hanya bergumam, tidak berminat untuk menjawab sapaan lelaki itu.

"Gue barusan lihat calon istri lo dari sini, kali ini dia minta apa lagi sama lo?" dia bertanya penasaran.

Steve memperhatikan saat si lawan bicara mendudukkan diri di sofa yang memang tersedia di sana. "Lo mau apa ke sini?" dia balik bertanya.

"Nggak ada kok." jawab si lelaki. "Gue mau numpang tidur di sini bentar."

Lelaki itu kemudian merebahkan diri di atas sofa dan mulai memejamkan mata. Steve yang sudah mengenal lelaki itu sejak bayi membiarkan dia meminjam ruangannya untuk tidur, ini bukan kali pertama dia melakukan itu. Sudah menjadi sebuah kebiasaan saat lelaki itu sedang dalam suasana hati yang buruk, dia memilih untuk tidur di tempat Steve, entah di ruangan kantor atau bahkan rumah Steve.

Steve sebagai pihak yang lebih tua tiga tahun dari lelaki itu memutuskan mengalah dan membiarkan dia berbuat sesukanya.

Sungguh, kebiasaan mengalah semacam ini terkadang membuatnya kerepotan sendiri.

Waktu baru menunjukkan pukul lima sore saat Larissa kembali memunculkan batang hidung di ruangan Steve. Lelaki itu bahkan sampai harus melirik pergelangan tangannya sekali lagi barangkali matanya yang salah menafsirkan jarum jam itu. Lelaki yang lebih muda yang menumpang tidur di ruangan Steve sudah pergi sejak lima belas menit yang lalu, kini menyisakan Steve seorang diri di ruangan bersama pekerjaannya.

"Aku udah kasih tahu Tante Sarah kalo kamu bakal pergi ke pesta bareng aku, kita bakal siap-siap sekarang." Larissa berkata dengan senyum cerah di wajahnya.

Steve mengernyit tidak suka ketika Larissa menyebut nama ibunya. Sayangnya, wanita itu tidak begitu memperhatikan karena terlalu sibuk mengambil gambar dengan kamera depan ponselnya.

"Ini baru jam lima, pestanya jam delapan." Steve berkata.

"Lebih cepat lebih baik," Larissa tersenyum pada ponselnya. "Aku mau kita perfect buat nanti malam."

"Masih ada empat jam?"

"Its okay,"

"Dan lagi siap siap seperti apa yang kamu maksud?"

"Of course, kita harus beli tuxedo baru buat kamu. And a gorgeous dress for me?"

"I have a lot of tuxedos. Dan g-aku yakin kamu punya banyak gaun." Steve menolak.

"But, still! Kita harus kelihatan perfect."

"Ini bahkan bukan pesta kamu, La." Steve tidak tahu mengapa mereka harus perfect di pesta orang--yang bahkan tidak Steve kenal.

"Aku nggak mau nerima penolakan apapun dari kamu. Kamu udah janji sama aku sebelumnya!"

Steve menutup mulut karena tahu dia tidak akan menang berdebat dengan wanita di depannya itu. Dua bulan bersama. Larissa sungguh menguras kesabarannya dengan cepat.

Dia membiarkan sang tunangan menyeretnya keluar ruangan dan memandunya entah kemana. Selama perjalanan Steve tidak banyak berbicara dan hanya menanggapi seadanya.

Ada satu alasan besar kenapa Steve membiarkan Larissa berbuat sesuka hati seperti ini.

Perusahaan.

Ayahnya menolak memberikan perusahaan kepada Steve sebelum lelaki itu menikah. That's it!

Perjanjian ini tidak ada yang tahu selain ayah dan anak itu. Steve jelas tidak kesulitan mencari wanita yang mau menikahinya. Masalahnya adalah lelaki itu terlalu tenggelam dalam pekerjaan hingga tidak memiliki waktu untuk mencari pasangan yang tepat.

Dia bertemu Larissa berkat seorang temannya yang bernama Gilang yang memang kenal banyak wanita. Latar belakang wanita itu terjamin aman dan Steve tidak masalah.

Ibunya tidak begitu suka dengan Larissa, meski dia tidak menunjukkan itu terang-terangan karena jujur saja Sarah akan setuju siapapun pasangan Steve asal putra tunggalnya itu bahagia. Andai saja dia tahu alasan Steve menikahi Larissa, sudah pasti akan beda cerita.

Tapi yang terpenting ayahnya sudah setuju dan itu yang terpenting.

Meski agak skeptis tapi akhirnya dia membiarkan keduanya bertunangan. Baru dua bulan dan Steve mulai kehilangan akal sehatnya dalam menghadapi Larissa. Wanita itu sungguh manja luar biasa dan jelas bukan tipe idealnya sama sekali.

Dia hanya butuh mereka menikah dan kemudian perusahaan akan beralih menjadi miliknya seutuhnya. Setelah itu tidak ada perjanjian untuk mempertahankan pernikahan apalagi memiliki anak, kan?

Steve tersenyum dengan pemikiran itu.

Katakanlah dia brengsek tapi Steve memang satu bagian dari spesies mereka.

Larissa benar-benar memanfaatkan Steve untuk dirinya sendiri sore itu. Wanita itu membuat Steve mati kebosanan menunggu di salon sementara wanita itu melakukan tetek bengek kebutuhan wanita.

Hal itu berakhir ketika mereka akhirnya keluar dari mobil yang dia kendarai dan masuk ke gedung bergaya modern yang menjadi tempat digelarnya pesta.

Larissa langsung menempel padanya sesaat setelah mereka menginjakkan kaki di lantai pesta. Wanita itu membawanya ke seorang wanita mirip barbie yang mengenakan gaun berwarna pink cerah.

"Isabelle!" panggil Larissa. "Happy Birthday, princess! I'm so happy for you." Mereka saling memeluk dan berbicara satu sama lain dengan nata tinggi yang terdengar aneh di telinga Steve.

"Who is he?"

Larissa tersenyum bangga dan menggamit lengan Steve dengan manja. "Tunangan aku. Kami bakal menikah bulan depan."

Mata biru wanita bernama Isabelle itu melebar---Steve cukup yakin itu hanya softlens, mengingat Larissa sering memakai benda itu di depannya---dia terlihat terkejut dan ... cemburu?

Steve mengernyit ketika kata terakhir terasa salah diotaknya karena mereka baru pertemu malam ini sehingga tidak mungkin wanita itu merasa seperti itu.

"Oh.. congrats." Isabelle tersenyum palsu kemudian berpamitan untuk menyapa tamu yang lain.

Setelah kepergian si pemilik pesta, Larissa kemudian menyeretnya secara harfiah menuju kumpulan wanita yang sedang cekikikan bersama seperti kawanan sapi mabuk. Steve tidak dapat mengenali satu wajah pun di sana dan itu membuat Steve merasa risih luar biasa.

Dia terbiasa pergi ke pesta formal untuk membicarakan kebutuhan bisnis bersama para kolega sang ayah. Ini adalah pengalaman baru baginya berada di antara kumpulan wanita yang terang-terangan meliriknya dan terkikik dengan nada tinggi yang seragam sementara semua hal yang melekat pada tubuh mereka hampir sama berkilaunya dengan lampu pesta.

"I need to go to the bathroom, baby." Steve melepaskan lengan Larissa yang melilit lengannya sedari tadi. Kepalanya terasa sakit dan dia butuh udara segar secepatnya.

Begitu Steve keluar dari pandangan, teman Larissa yang ada di sana langsung menyerbu wanita itu dengan sederet komentar.

"Tunangan lo hot as fuck. Sial lo lucky banget."

"Oh my god. Kaki gue serasa jadi jelly lihat tatapan laki lo,"

"Sial, gue iri!"

"You're a lucky bitch, aren't you?"

Larissa tertawa pelan. Kepercayaan dirinya naik seiring dengan pujian yang dilontarkan.

Jujur saja, siapapun akan iri dengan Larissa karena menikahi Steve. Lelaki itu memiliki wajah tampan khas foreign, dengan body terbentuk sempurna, dan yang terpenting dia seorang pewaris tunggal perusahaan besar. Nilai tambahan lelaki itu lebih mudah ditaklukkan dari yang Larissa kira. Gila saja jika Larissa menolak tangkapan sebesar ini, thanks to Gilang, pikir Larissa.

Steve berbelok ke arah koridor sebaliknya dari yang seharusnya. Lorong itu membawanya ke tempat yang lebih sepi di halaman belakang rumah mewah itu. Dia mengedarkan pandang ke sekitar sebelum mengeluarkan bungkusan cigarette dari saku jasnya. Padahal Steve hanya asal comot dari atas meja---barangkali milik lelaki yang tadi siang numpang tidur di kantornya---siapa yang tahu benda itu akan sangat berguna karena jujur saja Steve tidak begitu suka merokok.

Belakang rumah itu terdiri dari taman rumput yang luasnya separuh lapangan bola. Ada berbagai jenis bunga yang pasti akan terlihat cantik saat tersiram sinar matahari dan juga properti lain seperti bangku dan lampu taman yang hanya memberi penerangan secukupnya. Suasana di luar sangat berbanding terbalik dengan kebisingan di dalam bangunan.

Steve memutuskan untuk duduk di salah satu bangku yang ada di sana sembari menghabiskan sebatang cigarette di mulutnya.

Saat tengah sibuk bergelut dengan isi kepalanya, sudut matanya menangkap bayangan siluet seorang wanita sedang berjalan ke arah lelaki itu. Berkat penerangan yang minim, Steve tidak dapat melihat dengan jelas sosok itu hingga kemudian wanita itu mendekat dan duduk di ujung lain bangku yang diduduki Steve.

Wanita itu memakai gaun hitam semata kaki yang mengekspos bahu telanjangnya, kain itu jatuh dengan sempurna membentuk lekuk tubuh si wanita. Meski di dalam pesta ada lebih banyak wanita yang berpakaian lebih terbuka lagi---termasuk Larissa---lelaki itu mendapati dirinya berpikir bahwa wanita itu terlihat seksi.

Oke, lupakan.

Dalam sekali pandang, Steve tahu kalau dia mabuk. Wajahnya yang bulat terlihat memerah dengan mata besarnya yang berair dan tidak fokus.

Seorang wanita mabuk sendirian di tempat gelap, jika Steve berniat jahat sudah pasti wanita itu akan bangun tanpa busana keesokan harinya di sebuah ranjang hotel.

"You're lucky im not interest in you." gumam Steve.

"Excuse me?" Wanita itu menatap Steve dengan pandangan kebingungan. "Are you a gay?"

"What? No."

"Whaat~ liar!" wanita itu mulai cegukan. Bibirnya yang berwarna merah mencebik dengan lucu.

Sial, dia hot, batin Steve.

"If you're not interested in me, then you're gay,"

"I'm not."

"You always told me you love me! Why? Kenapa lo di sini padahal lo gay?"

Steve memandang wanita itu dengan jengkel. Tujuannya ke sini adalah untuk kabur dari kebisingan pesta dan sekarang dia malah disuruh meladeni rengekan wanita entah siapa.

Lelaki itu bangkit berdiri. "Siapa nama teman lo? Gue bakal anter lo ke dia."

Steve tidak setega itu meninggalkan wanita mabuk itu sendirian.

"I don't have one~"

"Stop whining, you-"

Wanita itu menarik jas Steve secara tiba-tiba membuat lelaki itu kehilangan keseimbangan karena tidak siap. Beruntung dia bisa menahan beban tubuhnya sebelum menimpa wanita itu. Namun, hal itu malah membuat jarak keduanya begitu dekat satu sama lain.

Belum cukup lelaki itu memproses kejadian tadi, wanita mabuk itu memajukan wajahnya dan menyatukan bibir mereka.

Steve terlalu terkejut untuk bereaksi dengan semestinya. Otaknya mendadak macet dan dia hanya terdiam seperti orang bodoh di sana.

Steve dapat mencium aroma alkohol yang pekat dari mulut wanita itu, bercampur dengan rasa tembakau yang baru disesapnya tadi. Bibir itu terasa dingin dan lembut bagi Steve. Jarak yang terlampau dekat membuat lelaki itu dapat melihat tiap detail saat kelopak mata itu membuka. Menampilkan sepasang netra gelap yang berkilau memantulkan bayangan mata Steve sendiri.

Prang!

Suara itu menyadarkan Steve dan dia mendapati Larissa berdiri membeku menatap mereka. Kepingan beling di sekitar kaki wanita itu menunjukkan asal suara yang barusan di dengarnya.

Tubuhnya bergerak lebih cepat dari mulutnya saat dia membuat jarak dari wanita itu.

"What the heck--" Larissa sendiri kemudian pergi dari tempat itu tanpa berkata apapun lagi selain umpatan. Namun, Steve dapat melihat air mata yang sempat lolos dari mata Larissa sebelum wanita itu berbalik pergi.

Sial.

Steve ingin beranjak untuk mengejar sang tunangan namun sosok wanita yang baru saja mengacaukan malam itu malah pingsan ke dalam rangkulan Steve.

Shit. Shit. Shit.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status