Share

Empat

Amanda terbangun keesokan harinya dalam keadaan hangover parah. Dia mengerang dan berlari ke dalam kamar mandi yang memang tersambung dengan kamar tidur.

"Hoek... "

Mulutnya terasa begitu pahit dan tenggorokannya panas terbakar. Bukan hanya itu, sekarang perutnya juga terasa panas melilit seiring dengan cairan lambung yang naik ke kerongkongan. Hal itu berlangsung beberapa saat hingga hilang sepenuhnya.

Saat membasuh mulutnya di wastafel, dia memekik tertahan ketika melihat pantulan wajahnya di cermin.

Wajahnya bengkak dan kotor karena tidur tanpa menghapus make up. Rambutnya adalah definisi sarang burung yang baru saja tersapu angin. Intinya saat ini Amanda kelihatan amat sangat jelek.

Jujur saja Amanda tidak begitu mengingat detail kejadian semalam, memorinya hanya sebatas situasi sebelum dirinya dikuasai alkohol. Selebihnya hanya berupa lubang gelap di kepalanya. Dia bahkan tidak ingat di gelas ke berapa dia mulai mabuk.

Weekend membuat Amanda merasa lebih santai untuk bisa memulihkan tubuhnya yang terasa remuk, seolah dia pulang dengan berlari dari rumah Isabelle.

Dia masih tidak percaya dia pergi ke pesta Isabelle dan parahnya membuat dirinya mabuk.

Hell.

Salahkan Isabelle yang menaruh alkohol di pestanya. Jika diingat kembali, saat Amanda dan Iris tiba di tempat Isabelle sudah ada beberapa anak yang mabuk. Seharusnya dia tidak begitu memalukan dirinya sendiri, kan?

Selesai membersihkan diri, Amanda beralih memakai kaos oversize yang hampir menutupi celana pendek yang dia kenakan, menampilkan paha mulus wanita itu. Sebuah handuk membalut rambutnya yang basah sehabis keramas.

Dia berjalan ke arah dapur dan mengambil susu dari dalam lemari es, kemudian menenggaknya, menikmati sensasi dingin yang turun melewati kerongkongannya.

Amanda berpikir untuk membuat sarapan, namun dia terlalu malas. Bahan baku di dapurnya telah menipis, dia belum sempat berbelanja beberapa minggu ini. Biasanya dia akan pergi berbelanja dengan Galen layaknya sebuah pasangan.

Wanita itu menghela napas berat, mencoba mengusir nama itu dari kepalanya.

Amanda berjalan ke ruang tengah dan menjatuhkan diri ke atas sofa.

Ada beberapa pesan dari Iris saat Amanda membuka ponselnya. Dia baru saja akan mengirimkan balasan, namun pesan di atasnya menarik atensi wanita itu. Dia membaca tulisan itu sekilas dan menekan panggilan di nomor Iris.

"Halo," suara serak Iris yang khas seketika menyapa pendengaran Amanda dibarengi suara anak kecil yang menjadi latar belakang. Amanda mengenalinya sebagai suara Lili, anak perempuan Iris yang berusia tiga tahun. Amanda menyapanya sekilas.

"Lo pulang sama suami lo semalem?" Amanda melemparkan pertanyaan yang menjadi alasan dia menelpon sang sahabat.

Di seberang sana Iris menjawab, "Iya, gue udah chat lo kan pas itu, lo juga udah bales. Suami gue jemput karena udah kemaleman, lo kan tahu dia kayak gimana."

Amanda memutar bola matanya. Suami Iris adalah tipe strict husband yang berbeda jauh dari semua mantan kekasih Iris sebelumnya. Makanya, ketika Amanda mendapat kabar mereka akan menikah, wanita itu lumayan terkejut, tidak menyangka Iris akan menjatuhkan pilihan pada lelaki yang kini menjadi suaminya.

"He's hot." kata Iris waktu itu ketika ditanya alasan kenapa dia mau menikahi lelaki itu.

Well, she's not wrong, tho.

"Kenapa?" tanya Iris. "Serin beneran nganter lo sampe rumah kan?"

"Serin?" Amanda mengangkat sebelah alisnya. Informasi itu baru baginya.

"Iya. Gue minta tolong Serin buat jagain lo pas gue balik. Lo sih di kamar mandi lama banget, jadinya gue duluan deh. Sorry ya," jelas Iris.

Amanda tidak tahu harus merespons bagaimana karena dia tidak ingat apapun. Seharusnya dia lega sekarang, kan, karena terjawab sudah bagaimana caranya pulang semalam. Tapi entah kenapa perasaan tidak nyaman masih betah menggelayut di hatinya.

"Oh gitu."

"Semua aman kan? Gue belum sempat ngecek keadaan lo, anak gue lagi rewel gara-gara gue tinggal semalem." suara Iris terdengar khawatir.

"Oh iya ... kayaknya."

"Kok kayaknya?"

Amanda menyandarkan kepala ke sandaran sofa. "Gue nggak ingat apa-apa, Ris. Makanya gue agak panik pas baca pesan lo yang bilang kalo lo pulang duluan, tapi kayaknya sih aman-aman aja buktinya gue ada di rumah dengan aman."

"Serius? Ya syukur deh kalo lo baik-baik aja. Lagian lo minum berapa banyak sih? Mentang-mentang minuman gratis lo embat semuanya."

"Haha."

"Coba telepon Serin buat pastiin. Lo pasti belum bilang makasih sama dia pasti lo aja nggak ingat apa-apa."

"Iya, ini mau gue telepon." sahut Amanda.

"Oke, have a nice day, babe."

"Yeah, i will."

Amanda mengakhiri panggilan itu dan beralih mencari nomor Serin di daftar kontaknya.

"Manda?"

"Hi, sorry ganggu, Rin. Gue cuma mau mastiin kalo kata Iris semalem lo yang nganterin gue pulang dari tempat Isabelle, gue mau ngucapin makasih karena udah nganterin gue sampai rumah, semalem juga gue agak mabuk jadi gue minta maaf banget kalo bikin lo repot, lo free kapan ntar gue traktir."

Amanda tidak langsung mendengar balasan dari seberang, membuat keningnya sedikit berkerut dan mengecek koneksi panggilan mereka.

Masih tersambung, batin Amanda.

"Gue nggak enak karena udah ngerepotin lo, please, lagian kita kayaknya udah lama nggak hang out bareng kan hehe,"

"... bukan gue yang nganter lo semalem, Nda."

"Hah?"

"Gue bener-bener minta maaf sama lo, tapi sumpah gue udah cariin lo kemana-mana tapi nggak ada. Gue udah khawatir banget tapi pas gue keluar gue lihat lo masuk ke. mobil bareng cowok, jadi gue kira dia pacar lo?" Serin berkata dengan cepat.

"Hah?"

Amanda terdiam dengan pikiran penuh. Kepalanya kembali pusing. "Lo serius?"

"Iya. Gue bukannya nggak mau nganter lo apa gimana, tapi waktu gue mau susul mobilnya udah keburu jalan, so yeah ... are you okay?"

"Not really," Amanda menggumam lirih. "Lo yakin lihat gue pulang bareng ... pacar gue?"

"Heem. That's what I saw yesterday, gue lupa-lupa inget muka pacar lo gimana, tapi namanya.. Gala? Gale? Ah Galen ya kan?" jawab Serin. "lo gimana sama dia?"

Amanda memilih untuk tidak menjawab. Dia merasa Serin tidak perlu tahu masalah percintaannya yang payah.

"Yeah. we're great, sorry for bothering you. Gue cuma nggak ingat pas gue pulang makanya gue tanya."

"No no no. I'm glad you're okay, coba tanya sama pacar lo, see you next time?"

Amanda mengangguk kemudian tersadar Serin tidak dapat melihatnya. "See you."

Amanda mengakhiri panggilan mereka.

Oke, mari kita runtutkan.

Pertama, Iris bilang kepada Amanda lewat chat bahwa dia akan pulang bersama suaminya dan Amanda juga sudah membalas iya. Amanda tidak ingat bagian dia membalas pesan Iris jadi kemungkinan besar dia sudah mabuk dan sedang tidak bersama mereka. Dari penjelasan Iris waktu itu Amanda tengah berada di kamar mandi.

Kedua, Serin disuruh menjaganya tapi Amanda tidak kunjung kembali dari kamar mandi sehingga wanita itu pergi mencarinya. Kemudian ada yang bilang dia pulang bersama pacarnya, itu berarti Amanda bersama seorang lelaki.

Galen tidak ada di pesta malam itu, Amanda seratus persen yakin.

Jadi, siapa?

Di tengah renungannya, bel pintunya mendadak berbunyi. Amanda mengintip pada lubang pintu dan mengernyit saat melihat siluet seorang lelaki. Dia tidak mengenalinya.

Amanda mengambil sebuah tongkat untuk berjaga-jaga dan menyembunyikannya di belakang punggung, dia tidak langsung membuka pintu dengan lebar melainkan hanya separuh, hanya cukup bagi Amanda memperhatikan tamunya dengan jelas.

"Siapa?" tanya Amanda.

Lelaki itu menurunkan masker yang dia pakai hingga ke bawah dagu, menampilkan hidung bangir dan bibir tipisnya. Pakaiannya serba hitam dan dia juga memakai topi dengan warna senada. Matanya menatap Amanda dengan pandangan yang sulit diartikan.

Dari penampilan luar saja sudah terlihat mencurigakan, pikir Amanda.

Lelaki itu memandang Amanda dari atas hingga ujung kaki, kemudian berhenti lebih lama pada paha mulusnya yang tereskpos.

"Muka gue di atas sini bukan di bawah."

Lelaki yang tidak Amanda kenali itu kembali menatap wajah wanita itu yang kini memasang raut terganggu dengan kentara.

"Lo.. nggak ingat gue?"

Amanda mengerutkan kening, "Apa seharusnya kita saling kenal?"

"Yeah," jawab si lelaki. "I mean no. Kita nggak saling kenal."

Jawaban itu justru membuat Amanda semakin curiga.

"Siapa nama lo?" Amanda bertanya.

"Sebelum gue jawab, lo nggak mau nyuruh gue masuk?" lelaki itu bertanya. Ekspresi wajahnya terlihat tidak nyaman karena berdiri terlalu lama di koridor.

Sayangnya, Amanda belum memiliki cukup keyakinan untuk membiarkan lelaki asing di depannya ini masuk ke teritori pribadinya.

"Kenapa nggak jawab aja dulu sebelum gue izinin masuk?" Dia mengeratkan pegangan pada tongkat besi di belakang punggungnya.

"Gue nggak perlu jawab andai lo ingat kejadian semalam."

"Semalam?"

Ingatan wanita itu melayang pada penjelasan Serin ketika di telepon. Lelaki ini yang semalam bersamanya?

Lelaki itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah gantungan kunci yang sangat Amanda kenali. "You drop this."

"Kenapa bisa ada sama lo?"

"Jadi lo emang nggak inget?"

"Inget... apa?" Amanda merasa kepalanya akan meledak karena terlalu sibuk menebak-nebak.

"Lo nggak mau biarin gue masuk?" Lelaki itu bertanya sekali lagi.

"Gue nggak kenal lo."

"Cukup adil. Gue juga nggak kenal lo." kata si lelaki. "Ada sesuatu yang mau gue bicarain, gue bakal tunggu lo di kafe bawah."

"What.. wait?! Hei!"

Tapi lelaki itu sudah keburu menghilang ke arah belokan lift.

Sudah lima belas menit Amanda mondar-mandir memikirkan untuk menuruti lelaki itu atau abaikan saja. Dia mengerang, ingin pergi namun dia masih belum percaya seratus persen omongan lelaki itu. Tapi dia penasaran dengan motif lelaki itu.

Sialan dengan rasa penasarannya! Amanda tidak akan tenang jika tidak mengetahui kebenarannya.

Sepertinya juga lelaki itu tidak akan berbuat jahat pada Amanda, kan?

Maksudnya, di kafe nanti akan ada banyak orang, bukan hanya mereka berdua. Maka dari itu, setelah menarik napas dalam akhirnya wanita itu pergi ke kamar mengambil baju yang lebih pantas.

Sesuai janjinya, lelaki itu ada di kafe, duduk seorang diri sambil memainkan ponsel di sebuah meja di dekat jendela. Di meja sudah tersaji sebuah minuman dingin yang sudah berkeringat karena es batu yang telah mencair.

"Ehem."

Lelaki itu mendongak. Amanda menatap tidak yakin harus duduk di mana jadi dia memutuskan untuk duduk di satu-satunya kursi yang ada di sana--di depan lelaki itu.

"Lo mau pesen apa?" lelaki itu bertanya.

Amanda menggeleng. "Langsung aja. Lo mau ngomong apa?"

"Ayo nikah."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status