MasukKepergian Delia meninggalkan keheningan yang memuaskan di dalam ruangan. Kemenangan kecil itu terasa manis, tetapi Rania tidak membiarkan dirinya menikmatinya terlalu lama. Konfrontasi tadi hanyalah sebuah gertakan yang berhasil, sebuah manuver psikologis yang didasarkan pada asumsi dan sedikit informasi. Itu tidak akan cukup untuk jangka panjang. Untuk memenangkan perang, seorang jenderal membutuhkan lebih dari sekadar gertakan; dia membutuhkan data, intelijen, dan mata-mata.
Dia membutuhkan timnya sendiri. Pikirannya yang terbiasa memetakan struktur organisasi langsung bekerja. Dia membutuhkan seorang "analis junior", seseorang yang bisa bergerak di lapangan, mengumpulkan informasi tanpa menarik perhatian. Seseorang yang bisa menjadi mata dan telinganya di istana neraka ini. Dia duduk di kursi kayunya yang keras, memejamkan mata, dan mulai menyisir database ingatan Aurelia. Dia membuang kandidat satu per satu seperti sedang menyeleksi setumpuk CV yang buruk. *Pelayan senior? Tidak, terlalu dekat dengan Delia, loyalitasnya diragukan.* *Para penjaga? Tidak, mereka melapor langsung ke istana utama, terlalu berisiko.* *Juru masak? Terlalu banyak bergosip.* Lalu, sebuah gambar muncul. Seorang gadis muda kurus, dengan rambut cokelat kusam yang selalu diikat berantakan. Wajahnya selalu menunduk, bahunya bungkuk seolah mencoba membuat dirinya tidak terlihat. Namanya Elara. Dalam ingatan Aurelia, gadis ini nyaris tidak ada. Dia hanya bayangan di latar belakang, seringkali menjadi sasaran omelan Delia karena gerakannya yang canggung. Namun, dari sudut pandang seorang manajer HRD, Elara adalah kandidat yang sempurna. *Pertama, dia berada di posisi terendah. Orang yang tidak punya apa-apa adalah yang paling mudah direkrut, karena mereka tidak akan kehilangan apa pun. Kedua, dia tidak terlihat. Orang-orang cenderung mengabaikannya, yang berarti dia bisa mendengar banyak hal. Ketiga, dia tertindas. Dia memiliki motif terpendam untuk membenci manajemen saat ini (Delia). Dia hanya butuh pemimpin baru untuk mengalihkan loyalitasnya.* Keputusan telah dibuat. Rania berjalan ke tali lonceng di dekat tempat tidur dan menariknya sekali. Ini adalah sebuah panggilan, sebuah undangan wawancara kerja yang tidak biasa. Beberapa menit kemudian, pintu berderit terbuka. Elara menyelinap masuk, persis seperti yang ada di ingatan Rania. Dia langsung bersujud, tubuhnya gemetar. "Yang... Yang Mulia memanggil saya? Apakah... apakah saya melakukan kesalahan?" --- ### **BAB 2 (REVISI) - BAGIAN 2 DARI 2** Rania menatap gadis yang ketakutan itu. Dia tidak menyuruhnya berdiri. Dia ingin melihat seberapa dalam rasa takut itu tertanam. "Aku tidak memanggilmu untuk menghukummu," kata Rania, suaranya tenang dan netral. "Aku memanggilmu untuk sebuah kesempatan. Tapi pertama-tama, jawab pertanyaanku. Apakah kau bisa membaca dan menulis?" Pertanyaan itu membuat Elara mengangkat kepalanya sedikit karena terkejut. "B-bisa, Yang Mulia. Ayah saya seorang juru tulis di desa." *Bagus,* pikir Rania. *Melebihi kualifikasi minimum.* "Pertanyaan kedua," lanjut Rania, matanya menatap tajam. "Apakah kau setia pada Puan Delia?" Elara langsung pucat. Ini adalah pertanyaan jebakan. Jika dia bilang ya, Permaisuri mungkin akan marah. Jika dia bilang tidak, dan ternyata Permaisuri hanya mengujinya, Delia akan membuatnya hidup seperti di neraka. Melihat keraguan gadis itu, Rania tahu dia telah menemukan orang yang tepat. "Jawab dengan jujur. Aku tidak tertarik dengan kepatuhan buta. Aku tertarik dengan kebenaran." Setelah hening sesaat, Elara menjawab dengan suara bergetar namun tegas. "Saya... saya patuh pada perintahnya, Yang Mulia. Tapi saya tidak setia padanya." Rania mengangguk puas. "Jawaban yang bagus. Berdirilah, Elara." Elara bangkit dengan canggung. Rania memberi isyarat agar dia mendekat. "Aku akan memberimu dua pilihan, Elara. Anggap ini wawancara kerja," kata Rania, nadanya kini beralih menjadi seorang manajer. "Pilihan A: Kau bisa terus bekerja seperti sekarang. Menunduk, tidak terlihat, dan sesekali menerima amukan Delia. Kau akan aman dalam ketidakberartianmu, sampai suatu hari nanti kau membuat kesalahan dan dikeluarkan dari istana." Dia berhenti sejenak, membiarkan gambaran suram itu meresap. "Pilihan B," lanjutnya, suaranya menurun menjadi bisikan konspiratif, "kau bekerja untukku. Pekerjaannya berbahaya. Kau akan menjadi mata dan telingaku. Kau akan melakukan tugas-tugas yang akan membuatmu gemetaran ketakutan. Jika kau tertangkap, aku mungkin tidak bisa menyelamatkanmu. Tapi jika kau berhasil, aku berjanji padamu, saat aku kembali memegang kekuasaanku, kau tidak akan lagi menjadi pelayan junior. Kau akan berdiri di sisiku." Mata Elara membelalak, terperangkap antara teror dan secercah harapan yang mustahil. Bekerja untuk Permaisuri? Menjadi orang kepercayaannya? Itu adalah fantasi yang bahkan tidak berani ia impikan. "Mengapa... mengapa saya, Yang Mulia?" bisiknya. "Karena kau pintar, kau diremehkan, dan kau punya alasan untuk membenci keadaan saat ini," jawab Rania jujur. "Aku tidak butuh pelayan yang hanya bisa membawa nampan. Aku butuh aset yang cerdas. Jadi, apa keputusanmu? Tetap menjadi bayangan, atau mengambil risiko untuk mendapatkan masa depan?" Elara menatap wajah Permaisuri di hadapannya. Wajah itu masih sama cantiknya seperti biasa, tapi matanya... matanya berbeda. Ada perhitungan dingin dan fokus yang menakutkan di sana. Ini bukan tawaran dari seorang wanita bangsawan yang baik hati. Ini adalah proposal dari kekuatan baru yang sedang bangkit. Dengan napas gemetar, Elara kembali berlutut, kali ini bukan karena takut, melainkan karena keputusan. "Saya... saya akan mengambil risiko itu, Yang Mulia. Saya akan bekerja untuk Anda." "Keputusan yang sangat baik," kata Rania, tanpa senyum. "Wawancara selesai. Tugas pertamamu dimulai sekarang. Aku butuh akses ke kantor Pengurus Istana, Tuan Valerius. Aku butuh buku-buku keuangannya. Cari tahu di mana Delia menyembunyikan kunci duplikat kantor itu. Aku memberimu waktu sampai malam tiba." Rania mencondongkan tubuhnya sedikit. "Jangan gagal, Elara. Karyawan pertamaku tidak boleh gagal dalam tugas pertamanya." Elara mengangguk, wajahnya pucat namun matanya kini memancarkan percikan tekad yang baru. Dia membungkuk dalam-dalam lalu bergegas keluar ruangan, beban dari misi pertamanya kini terasa nyata di pundaknya."Kereta api tidak didesain untuk berenang, Rania. Ini hukum dasar. Besi tenggelam. Air masuk ke cerobong. Api mati. Kita mati." Finn mondar-mandir di depan cetak biru hologram yang baru saja kuproyeksikan di dinding bengkel stasiun. Wajahnya pucat, tangannya penuh oli. "Koreksi, Finn," kataku, memutar model 3D The Sovereign di udara dengan jari telunjukku. "Kereta api biasa tidak bisa berenang. Tapi The Sovereign bukan lagi kereta api. Dia adalah Amphibious Assault Vehicle." Aku menunjuk ke bagian roda kereta di hologram. "Kita akan mengganti roda besi ini dengan sistem Caterpillar Track (Rantai Tank) yang dilengkapi sirip pendorong. Ini memungkinkan kita bergerak di dasar laut yang berlumpur." Aku menunjuk ke cerobong asap. "Sistem pembakaran terbuka diganti dengan Sirkuit Hidro-Termal Tertutup. Kita tidak membuang uap ke luar. Kita mendinginkan uap itu menggunakan air laut dingin di luar dind
Di layar monitor ruang kendali The Sovereign, aku melihat mereka datang.Satu regu pengintai elit. 12 Orc dengan zirah baja hitam mengkilap, dipimpin oleh seorang Centurion (Komandan) yang tingginya hampir tiga meter. Mereka tidak membawa kapak kasar seperti Orc biasa. Mereka membawa senapan serbu otomatis dan mengenakan Visor Taktis yang menyala merah.[UNIT: ELITE SCOUT - ARES LEGION][OBJECTIVE: RECON & ELIMINATE][MORALE: 100% (FEARLESS)]Mereka bergerak dalam formasi taktis sempurna, menyusuri jalan raya utama Sektor Industri yang gelap dan berkabut."Mereka disiplin," komentar Darrius, yang sedang mengasah pedang Nightfall-nya di sudut ruangan. "Tidak ada suara langkah kaki. Mereka pembunuh profesional.""Mereka unit RTS (Real-Time Strategy)," koreksiku, mengetuk layar tablet. "Mereka diprogram untuk bertarung secara efisien. Mereka tidak takut mati, karena mereka tahu mereka bisa diproduksi ulang di pabrik."
Asap rokok di The Velvet Room berwarna merah muda dan berbau seperti stroberi sintetis. Di sekeliling kami, monster glitch minum oli dari gelas martini, mengabaikan keberadaan dua manusia yang baru saja masuk ke sarang mereka. Vox, si Pria Kepala TV, mengocok kartunya dengan gaya teatrikal. "Informasi itu mahal, Yang Mulia Admin," suara Vox berderak statis. Layar wajahnya menampilkan simbol mata uang Dollar ($) yang berputar. "Kredit Datamu (AC) belum laku di sini. Aku butuh sesuatu yang lebih... substansial." "Aku bisa memperbaiki dead pixel di layar wajahmu," tawarku santai, duduk di kursi bar sambil menyilangkan kaki. "Aku lihat kau punya lag 0.5 detik di sistem motormu. Pasti menyebalkan saat mengocok kartu, kan?" Vox berhenti. Simbol Dollar di wajahnya berganti menjadi tanda seru (!). "Kau bisa memperbaiki kode legacy?" tanyanya, nada suaranya penuh harap. "Developer sialan itu membiarkanku nge-bug sejak
Matahari ungu di atas Ibukota Runtuh baru saja terbit, tapi antrean di depan Stasiun Menara Jam sudah mengular.Aroma sup tomat segar—tomat asli dari Laboratorium Bawah Tanah—menguap ke udara, membuat perut semua orang keroncongan. Itu adalah aroma kehidupan di tengah kota mati.Tapi ada keributan di barisan depan."Apa maksudmu emas ini tidak laku?!" teriak seorang prajurit Dwarf, membanting kantong kulit berisi koin emas Kekaisaran ke atas meja distribusi makanan. Koin-koin itu berguling, berkilauan, dan... sama sekali tidak berguna.Finn, yang bertugas menjaga panci sup, menghela napas lelah. "Grom, dengarkan aku. Kita tidak punya pedagang. Kita tidak bisa membeli bir atau baju zirah baru dengan emas itu. Di sini, emas cuma batu kuning yang berat.""Tapi ini upahku selama sepuluh tahun mengabdi pada Raja Thrain!" Grom marah, wajahnya memerah. "Kau bilang hartaku sampah?"Suasana memanas. Prajurit lain mulai memegang senjata me
Pintu masuk fasilitas Aethelgard Bioscience tidak terlihat seperti pintu. Itu terlihat seperti dinding beton kosong di stasiun kereta bawah tanah yang runtuh.Tapi bagiku, dengan mata Admin yang baru saja "dikalibrasi", aku melihat garis-garis sirkuit biru yang tersembunyi di balik lumut tembok."Di sini," tunjukku.Aku menempelkan Keycard biru yang kami temukan dari mayat Scavenger semalam.BEEP.Suara elektronik yang jernih terdengar—suara yang terlalu bersih untuk dunia yang sedang kiamat ini. Beton itu bergeser, mendesis saat segel udara (airlock) terbuka setelah ribuan tahun tertutup. Udara dingin berbau antiseptik dan tanah basah berhembus keluar."Baunya seperti... rumah sakit," komentar Solon, menutup hidungnya dengan lengan jubah."Baunya seperti laboratorium," koreksiku. "Dan laboratorium berarti sumber daya."Kami masuk. Aku, Darrius, Finn, dan lima prajurit Dwarf elit.Di dalam, lampu jalur
Malam pertama di "Zona Nol" tidak gelap gulita, dan itu masalahnya.Matahari buatan yang kuatur siang tadi memang sudah terbenam, tapi langit malam di atas Ibukota Runtuh tidak memiliki bintang yang stabil. Kadang ada flicker (kedipan) cahaya putih acak, seperti lampu neon raksasa yang hampir putus.Di alun-alun stasiun Menara Jam, api unggun besar menyala. Bukan dari kayu, tapi dari tumpukan kursi plastik kuno yang kami temukan di ruang tunggu. Plastik itu terbakar dengan warna hijau kimiawi dan bau yang aneh, tapi setidaknya memberikan kehangatan.Masalah terbesar kami bukan dingin. Tapi perut."Laporan logistik," kataku, duduk di atas peti amunisi sambil memijat kening.Finn membuka buku catatan kumalnya. Wajahnya muram."Populasi: 42 orang. Sisa ransum dari kereta: 15 kotak biskuit keras dan 4 jerigen air. Di luar zona aman, air sungai berasa seperti logam cair dan ikan-ikannya... well, ikan-ikannya berenang terbalik di udara







