Share

Bab 2: Aset Pertama Sang Ratu

Author: Murufu
last update Last Updated: 2025-10-08 07:57:41

Kepergian Delia meninggalkan keheningan yang memuaskan di dalam ruangan. Kemenangan kecil itu terasa manis, tetapi Rania tidak membiarkan dirinya menikmatinya terlalu lama. Konfrontasi tadi hanyalah sebuah gertakan yang berhasil, sebuah manuver psikologis yang didasarkan pada asumsi dan sedikit informasi. Itu tidak akan cukup untuk jangka panjang. Untuk memenangkan perang, seorang jenderal membutuhkan lebih dari sekadar gertakan; dia membutuhkan data, intelijen, dan mata-mata.

Dia membutuhkan timnya sendiri.

Pikirannya yang terbiasa memetakan struktur organisasi langsung bekerja. Dia membutuhkan seorang "analis junior", seseorang yang bisa bergerak di lapangan, mengumpulkan informasi tanpa menarik perhatian. Seseorang yang bisa menjadi mata dan telinganya di istana neraka ini.

Dia duduk di kursi kayunya yang keras, memejamkan mata, dan mulai menyisir database ingatan Aurelia. Dia membuang kandidat satu per satu seperti sedang menyeleksi setumpuk CV yang buruk. *Pelayan senior? Tidak, terlalu dekat dengan Delia, loyalitasnya diragukan.* *Para penjaga? Tidak, mereka melapor langsung ke istana utama, terlalu berisiko.* *Juru masak? Terlalu banyak bergosip.*

Lalu, sebuah gambar muncul. Seorang gadis muda kurus, dengan rambut cokelat kusam yang selalu diikat berantakan. Wajahnya selalu menunduk, bahunya bungkuk seolah mencoba membuat dirinya tidak terlihat. Namanya Elara. Dalam ingatan Aurelia, gadis ini nyaris tidak ada. Dia hanya bayangan di latar belakang, seringkali menjadi sasaran omelan Delia karena gerakannya yang canggung.

Namun, dari sudut pandang seorang manajer HRD, Elara adalah kandidat yang sempurna. *Pertama, dia berada di posisi terendah. Orang yang tidak punya apa-apa adalah yang paling mudah direkrut, karena mereka tidak akan kehilangan apa pun. Kedua, dia tidak terlihat. Orang-orang cenderung mengabaikannya, yang berarti dia bisa mendengar banyak hal. Ketiga, dia tertindas. Dia memiliki motif terpendam untuk membenci manajemen saat ini (Delia). Dia hanya butuh pemimpin baru untuk mengalihkan loyalitasnya.*

Keputusan telah dibuat. Rania berjalan ke tali lonceng di dekat tempat tidur dan menariknya sekali. Ini adalah sebuah panggilan, sebuah undangan wawancara kerja yang tidak biasa.

Beberapa menit kemudian, pintu berderit terbuka. Elara menyelinap masuk, persis seperti yang ada di ingatan Rania. Dia langsung bersujud, tubuhnya gemetar. "Yang... Yang Mulia memanggil saya? Apakah... apakah saya melakukan kesalahan?"

---

### **BAB 2 (REVISI) - BAGIAN 2 DARI 2**

Rania menatap gadis yang ketakutan itu. Dia tidak menyuruhnya berdiri. Dia ingin melihat seberapa dalam rasa takut itu tertanam.

"Aku tidak memanggilmu untuk menghukummu," kata Rania, suaranya tenang dan netral. "Aku memanggilmu untuk sebuah kesempatan. Tapi pertama-tama, jawab pertanyaanku. Apakah kau bisa membaca dan menulis?"

Pertanyaan itu membuat Elara mengangkat kepalanya sedikit karena terkejut. "B-bisa, Yang Mulia. Ayah saya seorang juru tulis di desa."

*Bagus,* pikir Rania. *Melebihi kualifikasi minimum.*

"Pertanyaan kedua," lanjut Rania, matanya menatap tajam. "Apakah kau setia pada Puan Delia?"

Elara langsung pucat. Ini adalah pertanyaan jebakan. Jika dia bilang ya, Permaisuri mungkin akan marah. Jika dia bilang tidak, dan ternyata Permaisuri hanya mengujinya, Delia akan membuatnya hidup seperti di neraka.

Melihat keraguan gadis itu, Rania tahu dia telah menemukan orang yang tepat. "Jawab dengan jujur. Aku tidak tertarik dengan kepatuhan buta. Aku tertarik dengan kebenaran."

Setelah hening sesaat, Elara menjawab dengan suara bergetar namun tegas. "Saya... saya patuh pada perintahnya, Yang Mulia. Tapi saya tidak setia padanya."

Rania mengangguk puas. "Jawaban yang bagus. Berdirilah, Elara."

Elara bangkit dengan canggung. Rania memberi isyarat agar dia mendekat.

"Aku akan memberimu dua pilihan, Elara. Anggap ini wawancara kerja," kata Rania, nadanya kini beralih menjadi seorang manajer. "Pilihan A: Kau bisa terus bekerja seperti sekarang. Menunduk, tidak terlihat, dan sesekali menerima amukan Delia. Kau akan aman dalam ketidakberartianmu, sampai suatu hari nanti kau membuat kesalahan dan dikeluarkan dari istana."

Dia berhenti sejenak, membiarkan gambaran suram itu meresap.

"Pilihan B," lanjutnya, suaranya menurun menjadi bisikan konspiratif, "kau bekerja untukku. Pekerjaannya berbahaya. Kau akan menjadi mata dan telingaku. Kau akan melakukan tugas-tugas yang akan membuatmu gemetaran ketakutan. Jika kau tertangkap, aku mungkin tidak bisa menyelamatkanmu. Tapi jika kau berhasil, aku berjanji padamu, saat aku kembali memegang kekuasaanku, kau tidak akan lagi menjadi pelayan junior. Kau akan berdiri di sisiku."

Mata Elara membelalak, terperangkap antara teror dan secercah harapan yang mustahil. Bekerja untuk Permaisuri? Menjadi orang kepercayaannya? Itu adalah fantasi yang bahkan tidak berani ia impikan.

"Mengapa... mengapa saya, Yang Mulia?" bisiknya.

"Karena kau pintar, kau diremehkan, dan kau punya alasan untuk membenci keadaan saat ini," jawab Rania jujur. "Aku tidak butuh pelayan yang hanya bisa membawa nampan. Aku butuh aset yang cerdas. Jadi, apa keputusanmu? Tetap menjadi bayangan, atau mengambil risiko untuk mendapatkan masa depan?"

Elara menatap wajah Permaisuri di hadapannya. Wajah itu masih sama cantiknya seperti biasa, tapi matanya... matanya berbeda. Ada perhitungan dingin dan fokus yang menakutkan di sana. Ini bukan tawaran dari seorang wanita bangsawan yang baik hati. Ini adalah proposal dari kekuatan baru yang sedang bangkit.

Dengan napas gemetar, Elara kembali berlutut, kali ini bukan karena takut, melainkan karena keputusan.

"Saya... saya akan mengambil risiko itu, Yang Mulia. Saya akan bekerja untuk Anda."

"Keputusan yang sangat baik," kata Rania, tanpa senyum. "Wawancara selesai. Tugas pertamamu dimulai sekarang. Aku butuh akses ke kantor Pengurus Istana, Tuan Valerius. Aku butuh buku-buku keuangannya. Cari tahu di mana Delia menyembunyikan kunci duplikat kantor itu. Aku memberimu waktu sampai malam tiba."

Rania mencondongkan tubuhnya sedikit. "Jangan gagal, Elara. Karyawan pertamaku tidak boleh gagal dalam tugas pertamanya."

Elara mengangguk, wajahnya pucat namun matanya kini memancarkan percikan tekad yang baru. Dia membungkuk dalam-dalam lalu bergegas keluar ruangan, beban dari misi pertamanya kini terasa nyata di pundaknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 9: Pisau Sang Auditor

    Fajar menyingsing di atas Istana Bunga Es, bukan membawa kehangatan, melainkan cahaya abu-abu dingin yang menyoroti kelelahan dan kekacauan dari malam yang panjang. Di balkon kantor darurat Rania, Delia berdiri dengan bahu merosot, napasnya masih terengah-engah. Di atas meja, tergeletak setumpuk tebal perkamen—laporan inventaris yang ditulis dengan tergesa-gesa, penuh dengan coretan dan noda tinta."Sudah... sudah selesai, Yang Mulia," kata Delia, suaranya serak. "Setiap paku. Setiap sendok. Semuanya." Dia telah menyelesaikan tugas yang mustahil itu, dan kini menunggu putusan dari sang Ratu Iblis di hadapannya.Rania melirik tumpukan laporan itu, lalu menatap Delia. Mata kepala pelayan itu merah, rambutnya berantakan, dan ada noda jelaga di pipinya. Dia tampak hancur, tetapi dia tidak patah. Dia telah menyelesaikan tugasnya."Kerja bagus, Manajer Operasional," kata Rania datar, menggunakan kembali gelar yang ia berikan. "Kau memenuhi target."Delia tampak terkejut. Dia jelas mengharap

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 8: Malam Panjang Penghitungan

    Perintah itu menggantung di udara aula yang dingin, terasa lebih berat daripada keheningan itu sendiri. Selama beberapa detik, tidak ada yang bergerak. Seratus pasang mata menatapku dari puncak tangga, lalu beralih ke Delia, yang wajahnya kini sepucat kain kafan.Menghitung ulang seluruh inventaris istana—secara manual—dalam waktu kurang dari dua belas jam bukanlah tugas yang sulit. Itu adalah tugas yang mustahil, dan semua orang di ruangan itu tahu. Itu adalah sebuah hukuman, sebuah pertunjukan kekuasaan yang dirancang untuk menghancurkan semangat mereka sebelum pekerjaan dimulai.Delia adalah yang pertama pulih dari keterkejutannya. Dia tahu dia tidak punya pilihan. Di hadapan seluruh staf yang selama ini ia tindas, ia membungkuk dalam-dalam, suaranya bergetar karena campuran antara ketakutan dan kebencian yang tertahan."Akan... akan saya laksanakan, Yang Mulia.""Bagus," jawabku, nadaku dingin dan tanpa emosi. "Rapat selesai. Kembali bekerja."Kerumunan itu bubar dalam kekacauan y

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 7: Rapat Umum Pemegang Proyek

    Perjalanan kembali ke Istana Bunga Es adalah kebalikan dari prosesi pemakaman beberapa jam yang lalu. Sepuluh Pengawal Kerajaan yang sama masih mengelilingiku dalam formasi kotak yang kaku, tetapi atmosfernya telah berubah secara fundamental. Keheningan mereka tidak lagi terasa mengancam, melainkan protektif.Kapten Pengawal berwajah bekas luka itu kini berjalan sedikit di depanku, bukan lagi sebagai seorang sipir, melainkan sebagai seorang pengawal kehormatan. Tatapannya lurus ke depan, memastikan jalan di depanku bersih. Saat kami berpapasan dengan para bangsawan dan pejabat di koridor, tatapan mereka tidak lagi berisi cemoohan. Kini yang kulihat adalah kebingungan, keterkejutan, dan secercah rasa takut yang baru.Berita menyebar lebih cepat daripada api di istana ini. Permaisuri Terbuang yang seharusnya dihukum, justru keluar dari Ruang Takhta dengan sebuah dekrit kekuasaan dari Kaisar sendiri. Aku tidak lagi dianggap sebagai mangsa; aku telah menjadi anomali, sebuah variabel tak d

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 6 : Laporan Kepada Direksi

    Keheningan yang ditinggalkan Lysander terasa berat dan dingin. Selama beberapa saat, satu-satunya suara di kantor pengurus yang pengap itu adalah isak tangis tertahan dari Elara, yang kini merosot di lantai, terlalu takut untuk berdiri. Rania sendiri tidak bergerak. Matanya terpaku pada ruang kosong tempat Lysander lenyap. Tangannya, yang beberapa saat lalu memegang buku catatan hitam yang menjadi kunci kemenangannya, kini terasa ringan dan kosong secara absurd. Senjatanya telah dicuri, tepat di depan matanya, oleh hantu yang tersenyum. Otaknya berpacu lebih cepat dari sebelumnya, mencoba memasukkan data yang mustahil ini ke dalam kerangka logis. Sihir itu nyata. Itu adalah fakta pertama yang harus ia terima. Entitas dengan kekuatan tak terukur ada di istana ini. Itu fakta kedua. Dan yang paling mengerikan, entitas itu mengetahui rahasianya. Fakta ketiga. "Yang Mulia..." rintih Elara, suaranya pecah. "Si-siapa itu? Hantu? Iblis?" Rania akhirnya bergerak. Dia berjongkok di depan El

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 5 : Pemain di Luar Papan Catur

    "Cordelia." Nama itu keluar dari bibir Rania dalam bisikan yang nyaris tak terdengar, namun terasa seperti guntur di keheningan kantor yang pengap. Udara di sekitarnya seolah membeku. Elara, yang berdiri di sampingnya, menatap dengan bingung dan takut pada perubahan ekspresi Permaisurinya. Bagi Elara, nama itu hanyalah nama seorang Selir yang kuat. Tapi bagi Rania, nama itu adalah kunci yang membuka ruang arsip berisi penderitaan Aurelia. Semua kepingan puzzle yang tadinya berserakan kini menyatu dengan presisi yang brutal. Senyum manis Cordelia yang palsu, hadiah-hadiah kecil yang seolah penuh perhatian, bisikan-bisikan simpati yang ternyata adalah racun. Semuanya adalah bagian dari sebuah kampanye penghancuran karakter yang panjang dan terencana. Aurelia yang asli pasti akan hancur, dilumpuhkan oleh rasa sakit pengkhianatan dari seseorang yang ia anggap teman. Tapi Rania tidak merasakan itu. Yang ia rasakan adalah sesuatu yang jauh lebih dingin dan lebih berbahaya: kejelasan. Kem

  • Permaisuri Gila! Kaisar Tak Bisa Melepaskanmu   Bab 4 : Bau Busuk di Atas Kertas

    Tengah malam tiba seperti kain beludru hitam yang membekap Istana Bunga Es. Keheningan begitu pekat hingga Rania bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang tenang dan terukur, kontras dengan napas Elara yang terdengar cepat dan gugup di sampingnya. Di bawah cahaya bulan yang pucat, mereka berdua tampak seperti bayangan yang terbuat dari kegelapan itu sendiri, mengenakan gaun paling gelap yang bisa mereka temukan. "Waktunya," bisik Rania. Suaranya nyaris tak terdengar, namun penuh dengan otoritas yang membuat Elara langsung mengangguk. Misi mereka dimulai. Bergerak menyusuri koridor yang dingin terasa seratus kali lebih berbahaya di malam hari. Setiap embusan angin terdengar seperti bisikan, setiap bayangan dari obor yang berkedip-kedip tampak seperti penjaga yang bersembunyi. Rania berjalan di depan, langkahnya ringan dan penuh perhitungan, mengandalkan denah mental yang telah ia bangun. Elara mengikuti di belakangnya, membawa lentera yang ditutup kain tebal, setiap derit papan la

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status