“Penjaga toko dan tukang bengkel, sementara sebagai guru, Kak Ridwan cocoknya memang dengan aku, calon bidan.”
Usai mengatakan itu, Olip meninggalkan Mika sendirian untuk pergi ke kamarnya.
Sementara itu, Mika masih kebingungan. Ia baru saja memproses kekasihnya selingkuh dengan adiknya sendiri, lalu ternyata kedua orang tuanya sendiri rupanya mendukung perselingkuhan itu.
Belum pulih dari dua hal tersebut, Noval, mantan kekasih adiknya, kini justru melamarnya tanpa mengatakan apa pun sebelumnya.
Kenapa semua jadi seperti ini? Apa maksud Noval melakukannya?
Apakah pria itu mau membalas Olip? Atau bagaimana?
“Ah, pusing,” keluh Mika, menghapus sisa air matanya dengan kasar. Perempuan itu menghela napas. "Kenapa semuanya bisa menjadi serumit ini? Apa maksud Noval dengan melakukan ini?"
Namun, tidak ada jawab untuk pertanyaannya. Bahkan hingga Mika terlelap larut, akibat memikirkan kemungkinan-kemungkinan mengapa Noval melamar dirinya, alih-alih Olip, pacarnya.
***
"Mika! Bangun!"
Teriakan sang ibu menyentakkan Mika dari tidur lelapnya. Karena terlalu sibuk memikirkan Noval, wanita itu bangun terlalu siang.
Pukul 6.
“Astaga, aku belum masak,” gumam Mika pada dirinya sendiri.
Wanita itu langsung bangkit berdiri dan keluar kamar. Namun, saat sudah di luar, rupanya sudah ada kejutan lain yang menantinya.
“Nah, ini tuan putrinya baru bangun.” Sang ibu mengomel disertai sindiran. Mungkin Mika akan baik-baik saja jika ibunya mengatakan itu langsung padanya, bukan pada Ridwan yang sedang duduk di ruang makan.
“Selamat pagi, Mika,” sapa Ridwan.
Mika yang masih terkejut, tidak dapat menyahut. Hal itu dimanfaatkan oleh ibunya lagi untuk kembali menambahi, “Mika memang begitu, Nak Ridwan. Suka bangun siang. Ibu dan Olip jadinya yang selalu menyiapkan sarapan dan beberes.”
Apa?
Mika tidak percaya dengan apa yang ia dengar. Bisa-bisanya di momen seperti ini, ibunya justru berbohong dan membual seperti itu.
Jelas-jelas, selama ini Mikalah yang mengerjakan semuanya. Sementara Olip, wanita yang sekarang sedang berakting memasak padahal tidak pernah masuk dapur itu, justru biasanya masih tidur jam segini.
Ah, tapi biarlah. Tidak ada gunanya menanggapi.
“Permisi,” ucap Mika. Ia berniat langsung ke kamar mandi saja karena sudah tidak perlu memasak.
Biar Olip kebingungan sendiri dengan segala jenis bumbu dapur itu.
Akan tetapi, sang ibu segera menghentikan langkahnya.
“Mika, mau ke mana kamu? Duduk dulu sini!” ujar ibu. “Ada yang mau dibicarakan dulu oleh Olip dan Nak Ridwan.”
“Ada apa?” Meskipun berusaha tidak peduli, tapi sebenarnya Mika penasaran.
Apakah itu alasannya Ridwan ada di sini pagi-pagi begini?
“Duduk dulu. Kamu ini, tidak sopan,” tegur sang ibu kembali, seperti senang mencari kesalahan Mika di hadapan mantan kekasihnya.
Namun, karena tidak mau ribut pagi-pagi, Mika menurut saja. Wanita itu kemudian duduk di kursi makan, sementara di saat yang sama, Olip datang dan menyajikan sarapan berupa nasi dan beberapa lauk.
“Kak, aku sudah bilang ke Kak Ridwan soal semalam,” ucap Olip dengan nada dan senyum manis. “Sungguh, nasib orang tidak ada yang tahu ya.”
“Iya. Selamat ya, Mik, atas rencana pernikahan kamu dan Noval.” Ridwan menyambung ucapan Olip. Pria itu mengatakannya dengan begitu enteng, ditambahi dengan senyum. Seakan Ridwan tidak pernah memohon pada Mika untuk mendengarkan penjelasannya dulu kemarin. “Mungkin memang jalan Tuhan begini.”
Pria berengsek.
Namun, itu mengingatkan Mika. Ia harus menemui Noval hari ini.
“Ya.” Mika bahkan tidak repot mengoreksi ucapan Ridwan soal rencana pernikahan, karena ingin mendengar penjelasan Noval terlebih dahulu. Lagi pula, ibunya juga pasti akan mengomel jika Mika langsung membantah, mengingat kemarin ayahnya juga menerima lamaran Noval. “Sudah? Kalau sudah aku pergi–”
“Buru-buru sekali, Kak.” Olip menyela. Wanita itu melingkarkan tangannya dengan mesra pada Ridwan. “Kami belum selesai. Kan, Kak Ridwan baru mengucapkan selamat saja.”
“Jangan bertele-tele,” sahut Mika dengan nada datar. “Langsung saja ke intinya.”
Olip tersenyum, tampaknya puas karena berpikir ia berhasil memanasi Mika dengan sikap manjanya pada Ridwan.
"Ini, Kak. Mengenai semalam." Olip kembali membuka suara. “Karena pernikahan Kak Mika dan Noval sudah masuk rencana, kami juga berniat akan mengikuti langkah kalian. Tidak baik menunda-nunda lagi. Selain karena kami sudah lama menginginkan itu, kami rasa ini waktunya juga sudah pas."
“Mengingat saking tidak sabarnya, kalian sampai berzina. Yah, tentu–”
“Mika! Jangan kurang ajar!” Bu Tuti langsung membentak Mika, membuat wanita itu langsung terdiam dengan tangan terkepal. “Kamu ini. Masa mengatai adik dan calon suaminya begitu.”
“Tidak apa-apa, Bu,” ucap Ridwan buru-buru. “Mungkin Mika masih sakit hati soal yang kemarin. Salah saya juga.”
Sepasang mata Mika terbelalak. Pria ini berani bicara demikian!?
“Aku–”
“Sudah-sudah,” sela sang ibu sebelum Mika bisa membalas. “Bukan salah Nak Ridwan. Memang Mika saja yang tidak dewasa.” Beliau menghela napas dan langsung melanjutkan, "Jadi. Apakah kalian mau menikah di hari yang sama?" tanya Bu Tuti kemudian.
Olip langsung menggeleng cepat. "Tidak dong, Bu. Masa kami harus menikah di hari yang sama?” balasnya, kemudian terkekeh kecil seakan itu hal yang paling konyol di dunia. “Kasihan Kak Mika nanti. Para tamu jadi bisa makin jelas melihat perbedaan pernikahan kami yang terlihat secara jelas."
"Lalu?" tanya Bu Tuti lagi.
"Itu, Bu. Kan, ada tuh tradisi kalau seorang kakak harus memberi uang ketika adiknya menikah,” jelas Olip. “Jadi, aku dan Kak Ridwan berencana untuk menikah tidak lama setelah Kak Mika menikah.”
“Saat itu kan pasti Kak Mika masih memiliki uang hasil hajatannya,” lanjut Olip lagi. “Jadi, daripada uangnya menganggur atau misal kelamaan jadinya Kak Mika tidak bisa bantu-bantu adiknya ini, lebih baik uang hajatan itu langsung diberikan pada kami karena kami menikah tidak lama setelah Kakak.”
Saking terkejutnya dengan pemikiran sang adik, Mika sampai tidak bisa bicara.
Lelucon macam apa ini?
Dalam ruang tamu rumah Mika, kini duduk empat orang di sana. Noval, Mika, Pak Eko dan Olip. Ya. Olip. Perempuan itu datang untuk menemui Mika.Mika yang melihat penampilan Olip merasa terkejut. Dia meneliti penampilan adik tirinya itu dengan seksama. Tampak sangat berbeda dengan Olip yang dulu, yang modis dan penuh gaya.Olip saat ini terlihat sangat kucel. Bukan Olip yang ditemukan Pak Eko kemarin. Dia sudah membersihkan diri. Hanya saja, masih terlihat sangat berbeda dari biasanya."Kak Mika. Aku ke sini untyuk meminta maaf sama Kak Mika. Untuk semua yang aku lakukan. Semua kesalahan aku dan semua kesalahan Ibu," ujar Olip dengan kepala menunduk.Tentu saja dia tidak berani menatap Mika karena merasa tak pantas.Ada yang aneh dari kalimat Olip bagi Mika. Perempuan itu hanya mengatakan permintaan Maaf untuk dirinya dan ibunya.Tak ingin banyak tahu, Mika hanya mengangguk saja. "Iya. Aku harapo kamu tidak mengulanginya lagi."Olip segera menggeleng pelan. "Tidak akan, Kak. Tidak akan
Suara sirine polisi menggema di sebuah jembatan. Sebuah kasus baru saja terjadi di tempat itu di mana seorang istri membunuh suaminya sendiri. Penyelidikan pun masih berlanjut.Ya. Pemukulan yang dilakukan oleh Bu Tuti untuk melindungi putrinya Olip berakhir dengan Pak Purnomo ynag harus kehilangan nyawanya.Tempat itu pun kini tampak ramai oleh warga sekitar. Tak sedikit pula pengguna jalan yang berhenti hanya sekedar untuk melihat.Termasuk seorang pria paruh baya yang membonceng putrinya. Mereka baru saja dari pasar."Ada apa, Mas?" tanya Pak Eko pada salah satu pengendara yang berhenti."Ada pembunuhan, Pak. Katanya ada seorang istri yang membunuh suaminya. Dipukul pakai batu katanya," ujar pria itu."Astaga." Pak Eko menggeleng. Dia dan Miya mencoba mengintip dari sela-sela orang yang melihat juga.Dia bisa melihat sebuah kantung jenazah baru saja dikeluarkan oleh petugas. "Kira-kira apa masalahnya, ya? Kok sampai dibunuh begitu?" tanya Miya yang ikut penasaran juga."Kata warga
"Ayo! Ayo! Ayo cepat. Serang dia. Serang!" Pak Purnomo dan beberapa pria lainnya terus berteriak. Mereka kini sedang berdiri melingkari sebuah arena tarung ayam."Yeah!" Siraman itu menandakan kalau pertarungan sudah selesai. Sayangnya, usainya pertandingan itu berbarengan dengan wajah Kecewa yang terlihat pada Pak Purnomo."Akh. Nggak becus banget sih," Una pria itu. Dia pun harus menelan kesalahan dan harus kehilangan uangnya.Pak Purnomo mengambil ayamnya yang sudah kalah. Dia berjapan cepat sembari memegang kepala ayam yang sudah tampak lemas itu. "Dasar ayam si*l. Tanding gitu aja nggak bisa menang. Rugi aku kasih kamu makan," ujarnya sembari terus mencaci maki ayam itu. Belum lagi cara membawanya yang tidak manusiawi."Akh. Ayam tidak berguna!" teriaknya kesal sembari membanting ayam yang ada di tangannya. Tampak ayam itu yang kejang beberapa kali sampai akhirnya tidak bergerak sama sekali."Rasakan itu." Tak merasa bersalah sama sekali, pria itu langsung pergi meninggalkan ayam
Motor milik Pak Eko berhenti di depan kediaman Mika. Keduanya menatap rumah kecil yang dulu ditinggali Pak Purnomo, banyak orang yang bekerja di sana."Rumahnya diperbaiki, Pak," ujar Miya.Pak Eko pun mengangguk. "Iya.""Apa mungkin diperbaiki lagi karena Kak Olip akan tinggal di sini lagi?" tanya Miya kemudian. Namun, dalam hatinya dia meragukan praduganya sendiri."Mana bapak tahu. Lebih baik kita tanyakan Mika langsung saja," ujar Pak Eko kemudian."Ya sudah ayo." Keduanya pun berjalan ke arah kediaman Mika. Mereka baru menyadari ada dua pria yang berdiri di depan rumah Mika."Siapa mereka?" tanya Miya pada bapaknya.Pak Eko berdecak. "Mana bapak tahu, Miya. Kita, kan sampainya sama-sama."Mereka semakin mendekati. "Siapa kalian?" tanya Pak Eko. Dia menatap kedua pria di hadapannya dengan memicing."Seharusnya kami yang menanyakan hal itu," ujar salah satu pria.Pak Eko merasa tidak suka. "Kami mertuanya adik Mika. Kalian siapa? Kenapa kalian berdiri di depan rumah Mika?" tanya Pa
Beberapa bupan berlalu. Tampak Olip berjalan di pinggir trotoar dengan langkah lesu. Perempuan itu terlihat sangat jauh berbeda dengan kali terakhir melihatnya. Tampak lusuh dan kurus, hanya terlihat perutnya yang membesar karena usia kandungan yang bertambah.Rambutnya yang acak-acakan juga beberapa noda di wajah membuat Olip terlihat seperti seorang pengemis, gelandangan. Dia menguap keningnya yang dipenuhi keringat."Aku lapar," ujarnya kemudian. Perempuan itu mengelus perutnya dan mengedarkan pandangan.Samoa akhirnya dia melihat tong sampah tak jauh dari keberadaannya. Olip mempercepat langkah agar dia bisa sampai pada tong sampah itu. Setelah di dekatnya, dia mulai mengorek-orek tempat sampah itu untuk mencari sesuatu yang bisa dimakan."Mana ya? Roti atau sisa nasi begitu untuk mengganjal perut." Olip terus mengorek tempat sampah di hadapannya.Jangan heran kalian melihat hal ini. Olip sudah melakukannya sejak lama. Semua ini karena Pak Purnomo, bapaknya tidak pernah memberikan
"Bapak ini apaan sih?" tanya Olip kesdal. Dia mencoba menarik tangannya yang sejak tadi ditarik oleh Pak Purnomo ketika dia menolak keluar dari rumah mertuanya.Olip mengentakkan kakinya kesal. "Ngapain coba narik aku tadi? Mereka udah ijinin aku tinggal di sana. Kok malah nggak boleh? Mereka yang punya rumah kok Bapak yang nggak ngebolehin?" Dia semakin kesal.Sedangkan Pak Purnomo sendiri juga ikut-ikutan kesal pada putrinya yang satu ini. "Heh! Itu bukan rumah kita," ujarnya dengan menunjuk ke arah rumah Pak Eko sebelumnya."Ya memang bukan rumah kalian. Setidaknya mereka itu mertua aku, mau merawat aku.""Kamu tega ninggalin kita?" tanya Pak Purnomo kemudian."Bapak sendiri tega lihat aku terlantar di jalanan. Aku ini sedang hamil loh," ujar Olip masih kekeh dengan pendapatnya."Heh! Kamu mau tinggal sama mertua kamu itu? Dia sudah pernah jahat sama kamu waktu dulu kamu tinggal di sana," ujar Bu Tuti mencoba mengingatkan bagaimana kelakuan Bu Lestari ketika Olip dulu tinggal di ru