Share

Empat

Author: Mumtaza wafa
last update Last Updated: 2025-02-12 20:46:57

‘Kamu kb ’kan, Ta? Jangan hamil dulu. Kasihan nanti Jagad.'

‘Iya, Ma. Nanti Esta bilang sama Jagad.’

‘Ini buat kamu juga. Kalian masih pada kuliah, nanti kerepotan sendiri. Memangnya siapa yang mau ngurus anak kalian kalau pada sibuk? Mama udah tua, pengennya fokus ibadah.’

‘Kami bisa pakai babysitter, Ma.’

‘Siapa yang mau bayar, Esta? Jagad aja kerjanya masih begitu. Lagian kalian kalau dikasih tau ngeyel. Padahal Mama udah bilang sabar sampai kalian lulus kuliah, kalau begini kamu dan Jagad yang ribet.’

Aku masih ingat percakapanku dengan mertuaku beberapa tahun silam. Keberadaan Jagad di daycare sepertinya menepis semua anggapan teman kantorku yang mengatakan kalau Jagad belum menikah. Rasanya tidak mungkin lelaki itu datang ke sini tanpa tujuan yang jelas.

Yang pasti menjemput anak dari istri barunya, atau keponakannya?

Aku menggeleng-gelengkan kepala berusaha menepis nama Jagad dari pikiranku. Sejak kami bertemu lagi, otakku jadi korslet, hatiku tak tenang dan jantungku jedug-jedug tak karuan. Mungkin ini karena aku teringat kembali dengan masa lalu kami yang berakhir tak baik.

Setelah memastikan Jagad meninggalkan daycare dengan mobilnya, aku bergegas masuk ke dalam untuk segera menemui Aesha. Rupanya gadis itu sedang bercanda dengan teman-temannya. Aku mengetuk pintu, Aesha dan beberapa temannya menoleh.

Gadis itu tersenyum simpul. Seperti biasa, wajah dan senyum yang dimiliki Aesha sangat meneduhkan. Terkadang aku iri dengan kepribadiannya yang dewasa dan santun. Ucapannya selalu menangkan dan suaranya selembut sutra.

Sungguh, aku berharap Aesha berjodoh dengan lelaki yang tepat dan tidak akan mengalami hal yang sama sepertiku.

“Kamu baru datang, Ta? Raya udah nanyain kamu dari tadi,” kata Aesha menarik tanganku masuk ke dalam.

Kusodorkan paper bag berisi kue yang kubawa untuk gadis itu. Aesha tampak terkejut lalu menatapku sendu dengan senyum tipis. “Apa ini? Kamu repot-repot banget.”

“Nggak apa-apa. Anggap aja ini tanda terima kasih karena udah mau jagain Raya.”

“Bukan Raya aja yang aku jagain, Ta. Banyak anak lainnya, kok. Tapi, makasih, ya. Temen-temenku pasti senang dapat oleh-oleh dari kamu.”

Aku mengangguk, lalu menoleh mencari sosok Raya. Seolah paham dengan gerak-gerikku, Aesha menarik tanganku membawa ke sebuah ruangan seperti kamar tidur untuk anak-anak. Di sana, Raya sedang bermain sendiri karena beberapa temanya sudah dijemput oleh orang tua masing-masing.

“Raya pinter banget, Ta. Di antara anak-anak lainnya, dia yang paling anteng, nggak rewel," ucap Aesha takjub.

Aku tersenyum kecut. Raya mudah dicintai semua orang, tapi tidak denganku.

“Raya!” Aesha berseru memanggil gadis kecil itu.

Rayaa mengangkat kepalanya lalu loncat dari kursi begitu melihat.

“Tante!” seru Raya sembari memeluk kedua kaki jenjangku.

Aku tak membalas, malah menjauhkan tubuh kecil Raya dari sana. Hal itu menimbulkan tanya di wajah Aesha yang melihat interaksi kami. Aku tersenyum masam, lalu berjalan menjauhi Raya dan Aesha untuk membereskan barang-barang milik Raya.

“Ta, kenapa sikap kamu kayak gitu sama Raya?”

'Kan?

Aku sudah menduga sebelumnya, Aku pura-pura menulikan pendengaran. Aku juga punya banyak pertanyaan pada sahabatku itu tentang kedatangan Jagad ke tempat ini. Barang kali Aesha tahu alasannya. Tetapi, aku mengurungkan niat dan menelan kembali pertanyaan untuk disimpan sendiri.

Aku tak perlu se-kepo itu untuk mengetahui kehidupan pribadi mantan suamiku. Itu sama saja membuka luka lama yang sampai sekarang berusaha ku sembuhkan.

“Nggak apa-apa, Sha. Aku buru-buru mau pulang, jadi harus cepat beresin mainan dia. Besok aku titip Raya di sini lagi nggak apa-apa, 'kan?”

Aesha mengangguk pelan. "Nggak apa-apa. Kayaknya Raya juga harus sering-sering datang ke sini, Ta. Dia butuh sosialisasi dengan teman-temannya." Ucapan Aesha membuatku melirik Raya dengan ekor mata.

Raya memang terlalu pendiam untuk batita seusianya. Harusnya dia masih senang menangis, merajuk dan tantrum. Tetapi Raya tidak, dia lebih senang bermain di luar. Tak pernah minta jajan dan mainan ketika diajak keluar oleh Mba Mentari.

Kupikir itu bagus karena banyak orang tua yang pusing dengan tingkah anak balitanya.

"Emang nggak boleh?"

"Takutnya sampai besar dia jadi anak introvert, Ta. Kasihan nggak bisa berbaur dengan lingkungan."

Aku menghela napas panjang, lalu mengangguk. Akan lebih baik seperti itu. Jangan sampai Raya cepat dekat dengan orang asing, apalagi dengan lelaki itu.

Setelah mengobrol, aku berpamitan. Raya juga terlibat lelah dengan menguap beberapa kali. Samar-samar aku mendengar beberapa teman Aesha mengobrol.

Bukan maksudku menguping, tapi suara mereka memang mirip dengan toa masjid yang terdengar ke segala penjuru.

"Masyaallah, ya. Calon suaminya Mbak Aesha ganteng banget. Cocok sama-sama cakep, pasti anak mereka nanti good looking."

'Calon suami Aesha tadi ke aini?' Aku bertanya-tanya dalam hati.

"Itu namanya sepadan. Cari jodoh memang harus dengan 4 aspek. Agamanya, nasabnya, hartanya dan keturunannya. Mereka udah pas, insyaallah jodoh dunia akhirat."

Kuputuskan segera pergi karena Aesha datang menegur mereka. Sejujurnya, aku juga penasaran siapa sosok lelaki yang beruntung itu. Aku iri dengan Aesha yang nasibnya lebih beruntung dariku.

Menikah di usia yang matang dan juga ilmu yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Tidak sepertiku yang menikah terburu-buru karena nafsu dunia.

Kutatap Raya yang menarik tanganku memberi kode kalau dia ingin segera pulang. Aku menggandeng Raya ke luar daycare menuju tempat parkir.

"Kamu lapar, Ray? Beli makan dulu, ya?"

Anak itu hanya mengangguk patuh seperti biasa. Kuangkat tubuh Raya naik ke atas motor, tak lupa aku memakai sabuk pengaman untuk Raya agar ketika dia mengantuk nanti tidak oleng dan terjatuh.

Baru saja aku hendak memutar motor, seorang mendekat ke arahku. Saat jarak kami tinggal dua meter, dia juga cukup terkejut melihatku. Tubuhku menegang, tanganku panas dingin, perutku mules.

"Esta? Kamu ngapain di sini?" tanyanya lalu memiringkan tubuh melirik Raya yang duduk di belakangku. "Dia ... siapa?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh sembilan

    “Hubungan kamu, itu yang akan menjalani kamu sendiri, Ta. Mbak nggak akan ikut campur, kalau kamu belum yakin, minta waktu lagi. Jangan sampai apa yang dulu udah terjadi, keulang lagi dan bikin kamu makin trauma.” Nasehat Mbak Mentari bisa kuterima dengan baik. Tak seperti biasanya yang menghakimi, kali ini benar-benar menyerahkan sepenuhnya padaku. Mas Auriga tentu saja sudah minta maaf berkali-kali padaku tentang sikap mamanya dan aku tak akan mempermasalahkannya lagi. Toh, itu mungkin hanya ketakutan seorang ibu saja. Selain sikapnya yang membahas masa laluku, mama Mas Auriga cukup baik, dia bahkan memberikan uang untuk Raya. Beliau juga cukup mengenal baik Mas Buana dan tahu kalau aku adiknya. Untuk urusanku dengan Jagad … kesalahpahaman kami mungkin sudah selesai, tapi belum jika soal Raya. Aku hanya butuh waktu sedikit lagi untuk mengatakan soal keberadaan Raya. Iya, aku butuh persiapan dan mental kalau-kalau nanti dia akan menolak

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh delapan

    Aku yakin jika Mama Sera melihat Raya, mungkin dia akan menyadari kalau Raya adalah cucunya, tapi aku akan berusaha untuk tidak mempertemukan mereka. Aku tidak ingin kemungkinan-kemungkinan buruk akan terjadi, misal, mereka menyalahkan aku karena menyembunyikan Raya. “Ta?” “Iya, Mas?” "Kamu nggak enak badan? Apa kita mampir makan dulu?" “Nggak, Mas. Aku nggak apa-apa, kok.” “Beneran? Kamu keliatan diem aja dari tadi. Kalau nggak enak badan kita tunda aja ketemu sama Mamanya, ya?” Aku menggeleng. Mas Auriga sudah effort sekali menjemputku dan Raya, dia bahkan masih memakai setelan kerjanya. Yang kutahu dari Mbak Mentari, Mas Auriga bekerja sebagai seorang engineer yang bekerja di salah satu perusahaan asing. Terkadang dia pergi ke luar kota untuk bekerja. “Aku baik-baik aja, Mas. Mungkin karena gugup jadi begini.” Mas Auriga tersenyum, lalu kembali m

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh tujuh

    Jadi bukan Jagad?Aku menatap undangan di tangan dengan perasaan tak menentu. Lalu, yang aku lihat beberapa kejadian yang melibatkan Aesha dan Jagad itu apa? Aku benar-benar pusing dibuatnya.“Esta?”Aku menoleh dengan pelan ke arah Aesha yang menatapku penuh tanya. Tentu saja dia penasaran dengan ekspresiku yang menunjukkan keterkejutan. Aku harus bicara dengan Aesha nanti, tapi tidak di depan Liana dan Raisa.“Ta? Muka kamu kayak orang syok gitu, sih? Kamu nggak apa-apa?” tanya Liana yang melihatku dengan penuh menyelidik.Aku mengangguk pelan. Aku kembali melirik Aesha yang sedang digoda oleh teman-temanku. Jadi selama ini Aesha benar-benar tidak berbohong?Tarikan napas panjang lalu embusan napas yang ku keluarkan, nyatanya tak membuat dadaku lega. Banyak sekali pertanyaan yang seolah sedang menari-nari di dalam kepalaku.Tentang pernikahan Aesha, juga tentang Jagad. Kenapa Aesha tidak mengatakan padaku kalau dia men

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh enam

    Aku hanya bisa tersenyum kecil mendengar kata-katanya. Ada perasaan hangat yang merambat di dadaku, tapi juga sedikit rasa ragu. Jagad. Sosok yang selalu menghantuiku setiap kali aku berpikir tentang masa lalu dan masa depan Raya. Pikiran tentang Jagad muncul begitu saja. Aku jadi teringat kata-katanya waktu itu, bahwa mungkin dia nggak akan pernah bisa menerima Raya. Kalau benar begitu, apa aku harus terus berharap? Apa benar aku harus melupakan masa lalu dan menerima kehadiran orang lain dalam hidupku?Aku melirik Mas Auriga, yang sekarang tengah sibuk memperhatikan Raya. Dia selalu ada, selalu hadir untukku dan Raya. Tapi kenapa, sampai sekarang, aku masih merasa ada tembok yang menghalangiku untuk melangkah lebih jauh?“Ta?” suara Mas Auriga membuyarkan pikiranku.“Iya, Mas?”“Tawaranku masih belum berubah. Aku masih menunggu jawaban kamu.”Aku terdiam sejenak. Mas Buana benar, Mas Auriga adalah sosok yang baik, isianya yang

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh Lima

    Dia berdiri di sana, menatapku dengan wajah datar tanpa ekspresi. Seolah semua yang terjadi antara kami selama ini tidak meninggalkan bekas apa pun baginya. Hanya tatapan kosong, yang membuatku entah merasa lega atau malah semakin sesak. Senyum di wajahku perlahan menghilang, digantikan oleh helaan napas panjang yang keluar tanpa bisa kutahan.Jagad tidak bergerak mendekat, tidak mengatakan apa pun. Dia hanya berdiri di sana, seperti bayang-bayang masa lalu yang menolak hilang meski aku sudah mencoba sekuat tenaga untuk melupakannya. Rasanya ... perih. Aku mencoba menatap ke arah lain, memalingkan pandangan dari mantan suamiku itu. Tapi rasa itu tetap ada. Perasaan tentang betapa salahnya semuanya, betapa aku tidak pernah benar-benar bisa menghapusnya dari hidupku.Mala, yang mungkin menyadari perubahan di wajahku, langsung merangkulku lagi. "Kamu nggak apa-apa, Ta?"Aku hanya mengangguk kecil. "Iya, aku baik-baik aja."Tapi dalam hati,

  • Pernah Menyesal Menikah   Dua puluh Empat

    Jadi bukan Jagad yang akan menikahi Aesha? Tapi kalau bukan Jagad, kenapa aku selama ini merasa semuanya kebetulan?Di daycare, juga Jagad yang bertanya aku kenal Aesha atau tidak. Lalu, nama depan Jagad yang katanya sempat Aesha sebut dan menurut Raisha calon suami Aesha. Lalu saat kami bertemu di supermarket beberapa waktu yang lalu ketika kepulangan Mas Buana. Harusnya aku bertanya langsung saja dengan Aesha. Tetapi sejak selesai kajian beberapa waktu lalu, hubungan kami tidak terlalu bagus. Aesha jadi jarang me nimbrung di grup, mungkin juga sedang sibuk dengan persiapan pernikahannya. Aku terus memikirkan ini bahkan saat motorku berhenti di depan rumah. Pikiranku terpecah antara apa yang baru saja kudengar dan kenangan masa lalu yang masih terus membayangiku. Aku mematikan mesin dan berdiri sejenak, membiarkan embusan angin sore mengusap wajahku. Lalu, suara tawa kecil terdengar dari halaman depan.Aku menoleh dan menemu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status