Share

Ancaman

Andriana terdiam. Melihat kakaknya yang sedang menikmati sarapan paginya sembari bermain game. Kenapa bukan Mark yang dijodohkan? Ya mana mungkin dijodohkan dengan Daniel, pikiran Andriana kadang suka eror.

"Kalau Bunda masih hidup, perjodohan ini tidak akan pernah ada! Ayah pasti mencari jalan lain," gumamnya. Andriana beranjak dari tempat duduknya menuju ke kamarnya. 

"Andriana, kamu harus belajar tentang kehidupan yang kamu jalani saat ini. Di dunia ini tidak ada yang gratis, kita hidup sekarang bergantung sama kamu. Kalau kamu membatalkan pernikahan ini pasti kita bakal jatuh miskin dan Ayah menjadi bahan kesempatan mereka yang sedang korupsi. Apa kamu mau?" Mark menjelaskan kepada Andriana bagaimana setelahnya? Pasti mereka akan jatuh miskin.

"Aku tidak mau. Tapi, kenapa harus aku? Tidak ada cara lain, ya?" 

"Ini adalah pernikahan kontrak, kamu bebas buat peraturan apa saja dengan Daniel. Mungkin, Daniel akan melakukan hal yang sama." Mark memberikan arahan kepada Andriana yang pikirannya masih sempit. Mark jauh lebih dewasa dari Andriana meskipun mereka hanya beda satu tahun.

**

Daniel mengantongi ponselnya Andriana. Dia tidak berani membuka ataupun mengotak-atik ponsel itu meski sejak semalam ada yang menelfon. Daniel pikir itu adalah panggilan dari pacarnya Andriana. Sebenarnya dia sangat kepo tapi apalah daya itu privasi Andriana dan Daniel menghargai itu. Hari ini akan bertemu dengan gadis itu mengajaknya pergi ke suatu tempat.

Sesampainya di rumah calon istrinya. Daniel langsung melangkah masuk menemui Andriana yang mungkin sedang siap-siap. Ada Mark yang tengah duduk sendirian sembari bermain ponsel, ia pun menyapa calon Kakak iparnya.

"Tunggu sebentar, Tuan Daniel. Riana sedang bersiap-siap karena memang dia suka lama kalau berdandan." Mark memberitahu Daniel agar menunggu dulu. Andriana sudah satu jam di dalam kamar, entah apa yang gadis itu lakukan bahkan Mark ingin menghampiri anak itu dan menyeretnya keluar.

"Iya, santai saja. Panggil aku Daniel saja jangan ada tuannya karena sebentar lagi aku jadi Adik iparmu," ucap Daniel.

"Baiklah. Aku tinggal sebentar, ya." Mark meninggalkan Daniel sendirian di ruang tamu dengan segera ia menaiki tangga untuk menghampiri Riana.

Pintu terbuka. Mark langsung masuk dan ia melihat Andriana tergeletak di lantai pingsan serta hidungnya keluar darah. "Kamu mau menipuku?!" Mark langsung mencubit pipi Andriana yang menggemaskan itu. Sontak saja Adiknya terbangun.

"Kak, sakit!" Andriana terperanjat kaget. 

"Ada Daniel di bawah, kenapa dengan hidungmu berdarah?!"

"Hah? Aku hidungku berdarah lagi, ya?" Andriana memegangi hidungnya lalu membersihkan darah itu dengan tisu basah.

"Maksud kamu?"

"Akhir-akhir ini aku sering mimisan, Kak!" 

"Jadi kamu tadi pingsan atau memang ketiduran? Kalau sedang tidak enak badan, ya batalkan saja pertemuan hari ini," kata Mark. Khawatir dengan kondisi Adiknya yang akhir-akhir ini seringkali mimisan.

"Tidak perlu, Kak. Tadi memang ketiduran kok, buktinya sudah ganti baju dan hanya merapikan rambut saja kok!" Setelah itu, Andriana menyuruh Mark keluar menemani Daniel di ruang tamu sembari menunggunya keluar.

Adik dan Kakak yang jarang sekali akur. Tetapi mereka memiliki ikatan batin yang kuat, mereka saling mengerti dan memahami keadaan satu sama lain. Meskipun mereka kekurangan kasih sayang, tapi keduanya tidak boleh saling masa bodoh. Mark, sangat menyayangi Adiknya. Perjodohan ini juga membuat dirinya sedih karena Andriana harus menikah dengan orang yang tidak mencintainya dan tidak pula dicintai oleh Andriana.

_

Berada di dalam mobil sambil memasang sabuk pengaman. Namun, Andriana agak kesulitan memasangnya tiba-tiba tangan kekar terulur membantu Riana memasangkan sabuk itu kemudian mereka saling menatap. Netra pekat, wajah tampan yang ada di hadapan Riana sungguh menakjubkan. Aroma tubuh lelaki itu menggoda.

"Jangan menatapku seperti itu," ucap Daniel membuat gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lain. Salah tingkah, akibat terpukau dengan ketampanan Daniel.

"Kamu juga terlalu lama di depanku," balasnya. Andriana mengalihkan pandangannya ke luar jendela, melihat kendaraan yang padat. Jalan raya sedang macet, bunyi klakson membuat bising mengusik kenyamanan telinga Andriana.

"Berisik sekali," gumamnya sambil mengambil earphone miliknya di dalam tas. Namun, tangan Daniel menahan tangannya kemudian mata gadis itu menatap Daniel kembali. "Kenapa?" Andriana bertanya diiringi nada malas.

"Apa kau tidak kehilangan ponsel? Kenapa tidak bertanya kepadaku, apa kamu tipe orang yang tidak peduli dengan benda penting seperti handphone ya?"

"Maksudnya? Ah, iya. Ponsel yang semalam mungkin ketinggalan di klub itu," ucapnya. Andriana baru ingat kalau ponselnya ketinggalan akibat mabuk semalam. Dia tidak kepikiran kalau Daniel yang menyimpan ponselnya.

"Ada di tanganku," sahut Daniel.

"Apanya?" 

"Handphone mu! Kamu terlalu ceroboh, bagaimana kalau orang jahat yang menemukan ponselmu. Dia akan membobol semua data dirimu!"

"Ponsel ini tidak terlalu penting."

Daniel menggelengkan kepalanya setelah memberikan ponsel kepada Andriana. Tidak ada reaksi apapun, gadis itu ternyata ceroboh dan tidak memikirkan kalau benda persegi panjang itu sangat mahal dan penting. 

"Kita mau pergi kemana?" Andriana mulai memecah keheningan yang sudah 30 menit hanya diam saja.

"Ke suatu tempat." Lelaki itu menjawab tanpa menoleh ke arah gadis itu.

"Sebenarnya, ada yang ingin aku katakan padamu. Hari ini, sampai pernikahan kita nanti jangan ada perasaan cinta di hatimu. Begitupun sebaliknya denganku," ucap Andriana. Memberanikan diri untuk mengatakan suatu hal yang penting.

"Tapi, aku sudah menyukaimu. Dari awal kita bertemu bahkan aku ingin memilikimu secepatnya, apa kamu tidak tertarik sedikitpun kepadaku?" Daniel berkata jujur. 

"Apa?! Mana mungkin kamu menyukaiku, kau terlihat sep--," ucapannya terhenti ketika Daniel mengecup bibirnya dengan tiba-tiba. Andriana tersentak kaget membalakkan matanya mencoba memberontak agar Daniel menghentikan perbuatannya. 

Kecupan itu berakhir. Daniel mengulas senyum tipis menatap Andriana terpaku akibat perbuatannya barusan. Wajah cantik itu membuat Daniel terpesona, kalau tumbuh rasa cinta sepertinya akan ia buang jauh-jauh rasa itu. "Bibirmu sangat sexy!" 

"Bajingan!" Andriana mengeluarkan kata-kata kasar.  

Namun lelaki itu tidak terima. Dia terlalu sensitif, kembali menatap gadis itu dengan tatapan sangar, Andriana mendadak terkejut melihat Daniel sepertinya marah. "Jangan terlalu kasar, kamu dan keluargamu bergantung kepada Ayahku. Jika kau melakukan hal yang membuatku marah, maka habislah keluargamu ditanganku!" Ancam Daniel dengan tatapan mengerikan. Setelah itu dia mendadak panik karena kelepasan marah membuat Andriana terdiam memandangnya.

Andriana terkekeh geli. "Ternyata benar dugaanku," gumamnya kemudian kembali mengawasi mobil-mobil yang padat. Kapan keluar dari mobil ini, Andriana ingin pergi dari hadapan lelaki itu tetapi pintu mobil sudah terkunci dan tak mungkin pula Daniel membiarkan Andriana kabur. "Dia menunjukkan sifat aslinya, belum menikah sudah berani mengancamku. Dia pikir, aku takut padanya! Ck, sama sekali tidak!" Batinnya mengumpat kesal. Perasaan hatinya benar-benar benci kepada Daniel.

"Kamu marah?" Daniel bertanya.

"Marah? Bukannya lebih baik aku diam daripada membuatmu marah." 

"Bukan begitu, aku tadi hanya bercanda saja!"

"Tuan Daniel yang tampan, dan mempesona. Lebih baik kau tunjukkan saja sifat aslimu itu! Jangan mengatakan kata-kata manis di depanku," celetuk gadis itu membuat Daniel merasa tersindir. 

Lelaki itu menyesalinya. Kelepasan marah karena sikap Andriana yang terlalu kasar dan frontal sekali.  Mengancam gadis itu mungkin menjadi lebih takut padanya, atau menuruti kata-katanya tapi Andriana sangat berbeda. Sama sekali tidak ada ekspresi takut ataupun meringsut panik. Akhirnya mereka kembali diam tanpa kata hanya fokus pada jalan yang sudah lancar tidak macet lagi.

***

Keesokan harinya.

Sepulang dari kuliah, gadis itu menuju ke parkiran melihat kekasihnya berada di depan mobilnya membuat Andriana mmutarkan bola matanya malas. "Ada apa?" tanya Andriana sedangkan Jeno langsung menekuk kedua lututnya sembari tangannya meraih tangan Andriana. 

"Aku mau kita kembali lagi. Aku mohon jangan tinggalkan aku Andriana," kata Jeno dengan sungguh-sungguh karena tidak bisa kehilangan Andriana. Mereka pacaran dari SMA sampai sekarang putus nyambung karena mereka berdua masih sama-sama egois. 

"Apa lagi? Bukannya kamu sendiri yang memintaku pergi. Jen, kamu sebagai lelaki harus bisa menjadi orang yang memiliki prinsip!" Andriana mencetus. 

"Prinsip ku sekarang adalah memilikimu selamanya, tidak akan meninggalkanmu atau melepaskan mu!" Sembari berdiri berhadapan dengan Andriana. Lalu cowok itu memeluk Andriana dengan erat. 

"Ingat dengan janjimu! Jangan pernah kamu melupakannya karena sekali lagi kau mengulanginya, aku tidak akan memaafkan mu!" 

Bagaimana bisa Andriana akan meninggalkan lelaki itu dengan mudah karena selama ini Jeno selalu ada untuknya, keluh kesahnya dan perasaannya yang tak pernah hilang. "Aku akan melakukan yang terbaik. Percayalah sayang," ujar Jeno dengan sungguh-sungguh demi untuk meyakinkan Andriana. 

"Baiklah. Kamu sudah berjanji kepada dirimu sendiri." Responnya tak 100% karena Jeno sering mengatakannya.

"Aku pikir kita akan pulang bersama," kata Jeno sambil membuka pintu untuk Andriana tapi gadis itu menolak.

"Sepertinya tidak bisa. Ayah selalu membuatku tertekan, nanti kalau ada waktu aku akan mengabari kamu." Andriana tidak mau Jeno tahu tentang masalah besar ini, dia belum siap menceritakannya kepada Jeno.

"Kalau begitu hati-hati," kata Jeno. 

Gadis itu masuk ke dalam mobilnya meninggalkan Jeno yang masih berdiri menatapnya. "Bye," pamit Andriana melambaikan tangan ke arah cowok itu diiringi senyum tipis yang terukir di bibirnya. Jeno adalah pacar Andriana. Mereka menjalin hubungan sudah hampir 3 tahun, Jeno pun satu kampus dengan Andriana.

"Hubungan kita akan berakhir, Jen! Aku tidak mau melibatkan kamu dalam masalah ini."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status