Akhirnya, rencana kami untuk pergi ke psikiater pun batal. Tanggung juga mengingat waktu praktik dokter Maura yang sudah hampir habis. Ujung-ujungnya Mas Wira malah membawaku keliling-keliling.Tak ada percakapan sedikitpun selama di perjalanan. Aku sibuk dengan pikiranku sendiri, sementara Mas Wira sibuk ... menyetir.Setidaknya, itu yang kutangkap dari visualnya yang terlihat sedang serius mengemudi. Tak tahu isi dalamnya bagaimana, apakah sama seperti diriku yang juga sibuk berpikir. Memikirkan ucapannya yang tadi, hingga sampai sekarang pun masih terngiang-ngiang di telingaku."Sudah makan?" tanyanya."Sudah," ceplosku tiba-tiba saking hilangnya konsentrasi.Ah, mestinya kujawab belum, karena aku memang belum makan siang tadi. Bisa-bisanya mulutku ini memfitnah lambungku yang sudah kelaparan. Tiba-tiba,krruuuukk!"Eh!" Aku sontak memegangi perutku yang baru saja bernyanyi. Sementara Mas Wira tampak mengulum senyum ketika aku meliriknya. Sembari menggosok dagunya dengan tangan
Ketika akan memasuki pekarangan rumah, tak sengaja kami pun berpapasan dengan mobil milik papi yang terlihat baru saja keluar dari pintu pagar.Sontak, aku pun terkejut. Tumben? ada keperluan apa papi ke sini? "Mas, itu mobil Papi ya, kan?" Aku menunjuk mobil yang dikendarai oleh Pak Heru selaku ajudan papi tatkala melintasi mobil kami. Akan tetapi aku tak melihat keberadaan papi yang biasanya duduk di sebelahnya."Sepertinya iya," sahut Mas Wira singkat.Hatiku bertanya-tanya seiring dengan berlalunya mobil berwarna hitam itu hingga hilang dari pandangan.Sepertinya papi memang tidak ikut. Ah, mana mungkin juga papi mau ikut ke sini? memangnya aku terlalu istimewa, sampai-sampai papi rela datang ke sini demi mengunjungiku yang ia sebut sebagai anak nakal pencoreng nama baik keluarga? itu benar-benar mustahil. "Mas Wira dari mana aja, sih?" seru Priska sembari bergelayut manja di lengan Mas Wira, begitu kami turun dari mobil. Ya Tuhan, anak ini. Tidakkah dia melihat bahwa ada aku
"Mas, lepas!" tolakku sembari terus menekan dadanya. Entah kenapa aku merasa tidak suka diperlakukan seperti ini."Mas, tolong jangan begini. Apa maumu? bukankah kamu pernah bilang bahwa kamu paham jika aku belum siap melakukannya?" Aku terus berupaya mendorong tubuh kekarnya yang menindihku.Bukannya beringsut pergi, Mas Wira justru bertindak semakin menggila. Ia kini mencumbuku. Kedua tanganku dinaikkannya keatas. Membuatku sangat ketakutan dan tubuhku gemetar hebat. Trauma itu datang lagi."Kamu sudah sembuh Yessi. Walau bagaimana pun aku ini lelaki normal," bisiknya disela cumbuannya.Mas Wira menuntut haknya. Aku menggeleng pedih. Aku belum sembuh, Mas. Tidakkah kau bisa merasakan betapa gemetarnya tubuhku saat ini? Oh, Ya Tuhan, apakah kebanyakan lelaki seperti ini? hanya mementingkan egonya sendiri dan tak peduli dengan kondisi pasangannya sama sekali?Akhirnya, malam keramat itu pun terjadi. Aku melaluinya dengan penuh kepasrahan di sela desahan napasnya yang terdengar menggeb
Malam ini hujan turun sangat deras. Aku segera beranjak menuju ke jendela kamar dan mengintip keluar. Dahan-dahan pepohonan yang tumbuh di sekitar rumah tampak meliuk-liuk akibat terpaan angin yang cukup kencang.Sudah pukul 11 malam, namun Mas Wira belum juga pulang. Pikiranku mendadak cemas. Takut terjadi apa-apa dengannya. Sudah dua hari kepergian mama ke London guna mengantar Priska. Selama itu pula aku dengan Mas Wira belum bertegur sapa. Jika memang Mas Wira kecewa denganku, aku juga tak kalah kecewa dengannya. Akan tetapi, sehebat apapun rasa kecewaku terhadapnya, tak bisa kupungkiri jika aku pun mencemaskan kepulangannya.Dari tempatku berdiri, aku dapat melihat mobil Mas Wira yang baru saja memasuki halaman rumah. Kuhela napas sembari tersenyum lega. Senang rasanya jika orang yang kita tunggu kepulangannya, akhirnya tiba dengan selamat.Aku melangkah turun ke lantai bawah. Kami berpapasan di ruang tamu. Aku terkesiap begitu melihat wajah Mas Wira yang tampak kuyu dan pucat
"Mas, boleh aku tanya sesuatu?" tanyaku di suatu pagi tatkala Mas Wira sedang mengancingkan kemejanya."Boleh. Tanya aja," sahutnya mempersilakan."Emm ... itu ... punggung Mas Wira bekas kena luka apa?" tanyaku hati-hati."Oh ... ini. Biasalah, akibat sok jagoan," jawabnya santai."Maksudnya?" Alisku bertaut.Mas Wira tersenyum. "Kejadiannya sudah sangat lama. Sewaktu aku masih SMA. Sok-sok nyelametin cewek pas tawuran ya jadi gini lah.""Oh. Trus keadaan ceweknya gimana?" tanyaku."Untungnya tidak apa-apa. Dia selamat, dan aku bersyukur sekali mendengarnya. Meski setelahnya, lukaku yang jadi dobel. Di belakang juga di depan." Mas Wira menunjuk dadanya sendiri.Mungkin maksudnya hatinya juga turut merasakan kesakitan. Meski tak menanyakan apa penyebabnya, namun aku merasa jika Mas Wira sedang membicarakan wanita itu. Seorang wanita yang dicintainya sejak masih SMA. "Maksudnya, Mas menyelamatkan cewek yang Mas suka itu?" tanyaku seraya menelan ludah. Pahit.Ia mengangguk. Jemariku me
Dengan tubuh gemetaran, aku pun bergegas masuk ke dalam kamar. Pikiranku kosong, dan kedua telapak tanganku sangatlah dingin. Sepasang tungkai kakiku lemas tak bertenaga. Rasanya aku masih tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.Tak berapa lama, pintu didorong dari luar. Mas Wira masuk dengan terburu-buru."Yessi, anak kita sungguh kuat, ya—""Dia bukan anak kamu, Mas!" potongku cepat dengan suara bergetar.Mas Wira mendekatiku dan mencoba meraih tanganku, namun segera kutepis."Yessi, tidak semua yang kamu dengar tadi itu benar," ujarnya meyakinkanku."Tapi memang kebenarannya begitu, kan?" Aku membuang tatapan ke arah lain, tak berniat memandang wajahnya yang menghiba."Yessi—""Bodoh sekali aku berharap lebih pada sesuatu yang memang tidak pantas untuk diharapkan!" Lagi-lagi aku memotong tegas perkataannya. "Apa maksudmu?" tanyanya.Kuhela napas demi melonggarkan dada yang terasa amat sesak. Seiring bulir-bulir air mata yang kini mulai berjatuhan tanpa bisa kutahan lagi.
"Hufftt ...!" Aku mendengkus kuat-kuat, begitu membuka mata dan berhasil mengumpulkan kesadaran beberapa detik yang lalu, ternyata Tuhan masih memberikan cadangan nyawa untukku.Ya, aku masih hidup.Padahal akan lebih baik jika aku tiada saja. Entah apa maksud dari Sang Pemilik Nyawa membiarkanku tetap hidup hingga saat ini. Apakah Ia terlalu senang melihatku menderita?Apakah Ia senang karena tengah mempermainkanku?Pandanganku kemudian beralih ke sebelah kiri.Apakah dengan menarik selang infus yang menancap di tanganku, akan membuatku mati dengan seketika? Aku sudah bersiap untuk menariknya. Akan tetapi, pintu mendadak terbuka dan Mas Wira pun masuk ke dalam. Membuatku urung melakukannya.Seketika aku langsung memalingkan wajah. Rasanya tak sudi aku melihatnya setelah teringat akan pengakuannya yang membuatku tak sadarkan diri. Pengakuan cinta sekaligus kebej*tan yang telah dilakukannya, nyatanya berhasil membuatku melambung tinggi ke angkasa namun akhirnya terhempas saat itu juga
Setelah dua hari diopname, aku pun diperbolehkan pulang ke rumah. Tak ada pesan khusus dari dokter untukku. Beliau hanya menyarankan agar pikiranku jangan terlalu stres. Sungguh mustahil jika aku tidak stres. Masalahku yang bertubi-tubi seperti tak ada habisnya, sudah cukup memeras otakku. Apakah aku harus kembali ke psikiater lagi? Bosan rasanya jika harus menenggak obat penenang terus-terusan.Akan tetapi, jika tidak seperti itu bisa dipastikan sebentar lagi aku akan dirawat di RSJ.Dan selama dua hari aku menginap di rumah sakit, selama itu pula tak ada satu orang pun dari keluargaku atau keluarga suamiku yang datang menjengukku. Sedih? Tidak sama sekali.Keluargaku jelas tidak tahu jika aku sedang dirawat. Dan keluarga suamiku? Wah, tentu akan lebih baik jika mereka tidak datang. Aku tak pernah mengharapkan kedatangan mereka sama sekali. Dan syukurnya, Tuhan mengerti akan keinginanku.Beberapa saat kami hanya saling diam. Hingga mobil yang kami tumpangi melewati pondok tempat ber