ログインCahaya lampu di gudang tua itu bergetar pelan, seperti nyawa terakhir dari ruangan yang sudah lama mati. Hujan di luar semakin deras, menimpa seng berkarat dan menimbulkan suara gaduh. Aroma logam bercampur dengan tanah lembap memenuhi udara.Elena berusaha melepaskan ikatan di tangannya, kulitnya sudah lecet, tapi ia terus berjuang. Napasnya terengah, tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin — tapi karena ketakutan yang sudah mencapai titik tertinggi. Leo berdiri hanya beberapa langkah darinya, matanya gelap, senyumnya dingin.“Kamu masih keras kepala, Lena,” katanya dengan nada datar. “Aku sudah memberimu kesempatan untuk bicara baik-baik. Tapi kamu selalu memilih membuatku marah.”Elena menatapnya penuh perlawanan. “Kamu tidak akan menang, Leo. Apa pun yang kamu lakukan hari ini… akan berakhir malam ini.”Leo tertawa kecil, suaranya rendah dan menggema. “Kamu pikir aku takut dengan suamimu yang sempurna itu? Dengan kekayaan dan pasukannya?” Ia berjalan mendekat, langkahnya pel
Bau logam dan lembap memenuhi udara. Ruangan itu sepi, hanya terdengar suara tetes air yang jatuh dari pipa tua di langit-langit. Lampu gantung di atas kepala berkedip pelan, seakan ikut berjuang untuk tetap hidup.Udara dingin menggigit kulit. Lantai semen yang basah memantulkan cahaya kekuningan yang redup, membentuk bayangan rapuh dari tubuh Elena yang duduk di kursi besi di tengah ruangan. Tangannya terikat erat di belakang punggung, pergelangannya memerah karena tali kasar yang terus menggesek kulitnya. Nafasnya berat, tersengal, sementara keringat dan darah yang mengering di pelipisnya menyatu dengan debu.Rambut panjangnya menjuntai berantakan, menutupi sebagian wajahnya yang kini tampak pucat di bawah cahaya lampu yang tak stabil. Ia tidak tahu sudah berapa lama berada di sana — jam, hari, atau mungkin minggu. Semua terasa kabur, bercampur menjadi satu kesatuan waktu yang tak berujung. Yang ia tahu hanya rasa nyeri yang datang dan pergi, nyeri yang merambat bukan hanya di t
Satu jam kemudian.Jakarta diguyur hujan deras. Lampu-lampu jalan berpendar buram di balik kaca mobil yang dipenuhi titik air.Gerald duduk di kursi belakang, ponsel di tangannya terus berdering. Lucas di depan sedang menelpon orang-orang kepercayaannya, menyebarkan perintah langsung dari Gerald Mahatma: Cari Elena. Gunakan semua sumber daya. Aku tidak peduli berapa biayanya.Gerald sendiri hanya diam, matanya menatap keluar jendela, tapi pikirannya berlari jauh. Tangannya menggenggam cincin pernikahan di jari manisnya. Ia menahan napas panjang, seolah mencoba bertahan dari kepanikan yang menelan seluruh tubuhnya.“Pak…” Lucas menoleh. “Saya sudah hubungi tim keamanan internal Maha Pictures, juga pihak keamanan apartemen. Semua disiagakan. Bahkan saya sudah kontak teman saya di kepolisian.”Gerald masih diam. Lalu, perlahan ia berkata, suaranya nyaris bergetar. “Kalau dia terluka, Lucas…” Ia berhenti sebentar, lalu menatap bawahannya dengan tatapan yang belum pernah terlihat sebelu
Langit Jakarta sore itu tampak mendung, awan kelabu menggantung berat di atas gedung-gedung tinggi. Hujan seperti menahan diri di udara, menunggu waktu untuk turun. Suasana di Atmaja Televisi pun sama suramnya — sibuk, tapi menegangkan tanpa alasan yang jelas.Elena baru saja menyelesaikan rapat dengan tim acara. Ia tampak sedikit lelah, namun tetap menjaga senyum. Beberapa kru menyapanya saat ia keluar dari ruang meeting lantai lima, dan Elena sempat melambaikan tangan dengan sopan.“El, mau gue bantu bawain dokumennya?” tanya Rani, sekretaris pribadinya.Elena menggeleng lembut. “Gak usah, Ran. Lo istirahat saja. Gue cuma mau turun ke lobby sebentar.”Rani mengangguk. “Oke, El.”Elena melangkah ke lift dengan tumpukan berkas di tangan. Pikirannya masih sibuk menimbang revisi rundown untuk acara mendatang. Ia bahkan tidak memperhatikan ketika seseorang mengenakan topi hitam dan masker wajah berdiri di dekat lift bersamanya — hanya sekadar mengira itu tamu kantor.Lift turun perlahan.
Udara di kota itu terasa hangat dan lembap, menyelimuti seluruh area hotel tempat Gerald menginap. Dari jendela kamar lantai dua belas, terlihat gemerlap lampu kota yang tak pernah benar-benar gelap. Tapi bagi Gerald, pemandangan itu tak memberi ketenangan apa pun.Ia duduk di tepi ranjang, menatap layar laptop yang penuh laporan produksi film. Di depannya, beberapa berkas terbuka, tapi matanya kosong — pikirannya tak sepenuhnya di sini.Sebuah pesan dari Elena muncul di layar ponsel.Elena: “Sudah selesai meeting-nya?”Elena: “Jangan lupa makan malam, ya.”Gerald tersenyum tipis, lalu mengetik cepat.Gerald: “Sudah. Aku mau makan habis ini. Kamu sudah makan, Sayang?”Tak lama, balasan muncul.Elena: “Sudah. Jangan khawatir.”Namun entah kenapa, Gerald tetap tidak bisa berhenti khawatir.Ia menatap layar ponsel itu lama, jari-jarinya mengetuk ringan meja.Biasanya, setiap kali Elena mengirim pesan, ada sedikit emoji atau tanda yang menunjukkan perasaannya — entah senyum, tanda hati, a
Udara sore di Jakarta perlahan berubah lembap. Hujan baru saja turun sebentar, meninggalkan aroma tanah basah yang lembut menembus jendela apartemen. Langit tampak pucat keabu-abuan, dan cahaya lampu kota mulai menyala satu per satu, menandakan datangnya malam yang tenang.Elena sedang di dapur, menyiapkan teh chamomile — minuman favorit Gerald setiap kali ia merasa tegang menjelang perjalanan jauh. Sementara dari arah ruang kerja, terdengar suara suaminya sedang berbicara dengan seseorang lewat telepon, suaranya berat dan tegas, khas Gerald ketika berbicara urusan bisnis.Tak lama kemudian, pintu ruang kerja terbuka. Gerald keluar, masih mengenakan kemeja biru tua yang bagian lengannya digulung sampai siku. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap memancarkan ketenangan yang hanya ia miliki.Elena menoleh sekilas, tersenyum kecil. “Sudah selesai rapat virtualnya?”Gerald mengangguk sambil duduk di kursi makan. “Ya, baru saja. Tapi… ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu.”Nada suaranya







