Jasmine menautkan jemari kedua tangannya yang entah sejak kapan menjadi terasa dingin. Ya, dia gugup sekarang.
Tapi Jasmine memberanikan diri untuk meletakkan selembar kertas di hadapan Reiner, yang berisi tentang keterangan kehamilannya.
"Aku hamil. Dan dia adalah anakmu. Aku ingin kamu bertanggung jawab untuk—"
BRAK!
Kalimat Jasmine seketika terhenti oleh gebrakan keras di atas meja. Ia sempat tersentak oleh suara yang ditimbulkan dari telapak tangan yang beradu dengan material kaca tersebut. Rahang Reiner tampak mengeras. Jelas pria itu sedang marah sekarang.
"Siapa kamu berani-beraninya memerintah saya untuk menikahimu? Dan apa tadi kamu bilang? Hamil?"
Terdengar kekehan meremehkan dari mulut Reiner, membuat sebagian hati Jasmine tiba-tiba terasa ngilu. Ah, seharusnya Jasmine tak boleh merasa sakit hati begini.
"Ya. Satu bulan yang lalu kamu melakukannya padaku. Aku tahu kamu tidak memakai pengaman malam itu. Aku tidak menstruasi lagi dan saat ini usia kehamilannya sudah tiga minggu. Dia adalah anakmu. Darah dagingmu."
Mendengar penjelasan itu, Reiner terlihat diam beberapa saat, seakan tengah memikirkan sesuatu. "Saat itu kamu bekerja di tempat karaoke di SkyClub. Benar?"
"Benar," Jasmine mengangguk. Sampai saat ini, ia masih bekerja di sana. Tapi... mengapa Reiner tiba-tiba membahas pekerjaannya?
Reiner tertawa sinis dan menatap Jasmine dengan tatapan jijik. "Kalau begitu, saya tidak percaya bahwa itu adalah anak saya. Bisa jadi yang tumbuh di dalam perutmu adalah benih pria lain. Gadis sepertimu tidak mungkin tidur hanya dengan satu pria, bukan?"
Sakit. Sangat sakit. Itulah yang Jasmine rasakan setelah mendengar penghinaan dari Reiner.
Hanya dia satu-satunya yang pernah menidurinya. Bagaimana ia berani menuding Jasmine seperti ini?
Mata Jasmine tiba-tiba terasa panas. Lelaki ini... sungguh tak berperasaan.
"Aku bukan wanita murahan seperti yang kamu pikirkan," seru Jasmine, wajahnya memerah. "Kamu adalah satu-satunya pria yang pernah meniduriku, bahkan lebih tepatnya, memperkosaku!"
Reiner mengetatkan rahangnya, tatapannya menusuk. "Melihat pekerjaanmu saat itu, saya rasa tidak akan ada yang percaya dengan apa yang kamu katakan. Di tempat seperti itu, tidak mungkin ada wanita yang bisa mempertahankan harga dirinya."
"Tapi kamu tahu!" desak Jasmine dengan putus asa. "Kamu tahu malam itu adalah yang pertama bagiku. Kamu merampasnya! Kamu mencuri sesuatu yang sudah kujaga mati-matian." Jasmine menggigit bibir gemetarnya, menahan air mata yang ingin mengalir.
Reiner tampak menutupi wajahnya dengan tangannya. Ia tahu gadis itu benar. Dia telah merampas keperawanannya pada malam itu. Dan bodohnya, Reiner bahkan lupa hal penting: tidak menggunakan pengaman.
Tapi, bisa saja Jasmine melakukan hal yang sama dengan pria lain setelah itu. Dan ia datang hanya untuk mengambil keuntungan darinya.
"Saya tidak akan pernah menikahimu. Tapi saya bisa memberimu uang yang cukup untuk menghidupi anak itu. Akan saya siapkan sege—"
"Papa tidak pernah mengajarkanmu untuk lari dari tanggung jawab, Reiner!"
Tubuh Reiner tegang mendadak. Itu suara ayahnya.
Tapi bagaimana bisa? Di mana dia sekarang? Wajahnya pucat saat kursi kerjanya tiba-tiba berputar.
Reiner baru sadar bahwa kursi itu membelakanginya sejak tadi. Bagaimana bisa sekretarisnya tidak memberitahunya bahwa sang ayah ada di ruangan ini?
Reiner bangkit, menghampiri ayahnya yang menatapnya dengan ekspresi marah yang sulit disembunyikan. Tidak hanya Reiner, Jasmine juga terkejut.
"Papa sudah pulang?"
Nicko, sang ayah, tidak menjawab basa-basi itu. Matanya meneliti Jasmine yang tertunduk, lalu menatap tajam Reiner.
"Apakah benar yang dikatakan gadis ini? Kamu tidur dengannya?"
Reiner tidak menjawab. Bagi Nicko, keheningan itu sudah cukup menjawab pertanyaannya.
Nicko meraih surat keterangan kehamilan Jasmine dari atas mejanya.
"Papa kecewa sama kamu," desis Nicko, suaranya penuh dengan campuran kekecewaan dan kepedihan.
Reiner menghela napas berat. Tak ada yang lebih menyakitkan baginya daripada mendengar kata-kata kecewa dari orangtuanya.
Selama ini, dia selalu berusaha menjaga agar tidak mengecewakan mereka. Namun, hari ini, segalanya telah berantakan.
"Maafkan aku, Pa. Tapi tentang anak itu, aku tidak yakin dia benar-benar anakku," Reiner bersikeras, mencoba menjaga kejelasan dalam kebingungannya.
"Kalian berdua melakukannya satu bulan lalu. Dan kamu adalah yang pertama baginya, bukan begitu?" Nicko menegaskan, matanya menatap tajam putranya.
Sekali lagi, Reiner memilih untuk diam. Nicko mengenal anaknya dengan baik. Lebih dari sekadar menjawab 'ya', Reiner memilih untuk menutup diri.
"Di dalam surat ini, usia kehamilannya tiga minggu. Melihat bagaimana dia menjaga dirinya, meskipun bekerja di klub, Papa tidak yakin dia akan tidur dengan pria lain dalam waktu singkat," Nicko menyimpulkan, suaranya tegar namun mempertimbangkan setiap kata.
"Jangan mudah percaya padanya, Pa!" desak Reiner mencoba membela diri.
"Kamu tahu posisimu sekarang, Reiner?" Nicko bertanya dengan tenang namun penuh penegasan.
"Pa, aku—" Reiner mencoba untuk membela diri
"Nikahi dia! Tanggung jawablah pada anak yang dia kandung," Nicko menyela dengan suara yang lebih pelan namun tak kalah tegas. "Kalau kamu masih ragu, kamu bisa melakukan tes DNA nanti.”
Reiner hendak membuka mulut untuk melanjutkan protesnya, namun ekspresi tegas sang ayah membuatnya menutup mulutnya kembali.
Terlepas dari segala perlawanan, ia tahu tak akan bisa melawan keputusan ayahnya.
"Baiklah, Pa. Aku akan menikahinya," ucap Reiner kemudian menatap datar wajah Jasmine seolah berkata, kali ini kamu menang. Tapi, tidak untuk ke depannya!
“Nad?” Sarah mengguncang tubuh Nadira yang tengah tertidur. “Nadira?!”“Hmm ... apaan sih, Sar?”“Heh! Lihat itu! Reiner sedang konferensi pers. Kamu tidak penasaran memangnya?”Mendengar nama Reiner, Nadira sontak terlonjak kaget kemudian duduk di samping Sarah. “Sejak kapan?”“Baru.”Nadira meraih remote TV dan meninggikan volume-nya agar bisa mendengar suara Reiner dengan jelas.“Apa istri Reiner benar-benar wanita penghibur, Nad?”Nadira mengedikkan bahu. “Reiner pernah bilang kalau perempuan itu memang bekerja di tempat karaoke. Tapi aku malas membahasnya.”“Cemburu nih?” goda Sarah.“Yeah ... kamu tahu hubunganku dengan Reiner dulu seperti apa. Wajar aku cemburu, ‘kan?”Sarah hanya menanggapi dengan kekehan kecil. Tapi jauh di dalam hati, Sarah tidak setuju dengan cemburunya Nadira. B
Jemari Jasmine memegangi ujung kemeja yang dikenakan Reiner, membuat pria itu tertegun melihatnya. Baru kali ini Jasmine menunjukkan kelemahannya dan ketakutannya di depan Reiner seperti ini.“Aku sudah dengar semuanya dari Mama.” Reiner memeluk Jasmine. “Kamu jangan takut ya. Ada aku yang akan melindungi kamu. Peneror itu cuma ingin membuat kamu takut, Jasmine. Mereka akan senang kalau kamu takut begini.”Jasmine mengangguk. Mendengarkan detak jantung Reiner yang berirama konstan, membuat Jasmine merasa nyaman dan tenang.Ya, seharusnya Jasmine tidak perlu takut. Ada Reiner di sampingnya. Perkara hidup atau mati, semua sudah digariskan.“Reiner, gimana tadi konferensi persnya? Lancar-lancar saja, ‘kan?” Jasmine mendongak menatap pria itu penuh tanya.Reiner mendecakkan lida
Siang itu Jasmine menghabiskan waktu di kebun bunga di belakang rumah. Dia berusaha untuk tidak menonton televisi, atau menyalakanInternet seperti kemarin. Jasmine perlu menenangkan diri.Selain di kebun bunga, Jasmine juga menghabiskan waktunya untuk membaca buku di perpustakaan. Baru setelah itu dia kembali kekamar untuk tidur siang sebelum ibu mertuanya datang.Ting!Ponsel Jasmine berdenting. Tangan Jasmine kemudian terjulur, mengambil ponselnya dari atas nakas.“Hm? Nomor siapa ini?” gumam Jasmine ketika dia mendapati nomor tidak dikenal yang mengiriminya pesan.Jasmine penasaran. Kemudian dibukanya pesan tersebut.[MATI SAJA KAMU! PEREMPUAN JALANG! MURAHAN! KAMU PANTAS MATI!]Tangan Jasmine yang memegangi ponsel mendadak gemetar usai membaca isi pesan tersebut.
Usai Reiner mandi dua puluh menit kemudian, keduanya makan malam bersama di meja makan. Baru setelah itu mereka masuk kembali ke kamar dengan posisi yang sudah siap tidur.Reiner membawa kepala Jasmine agar rebah di dadanya. “Jadi ceritakan sekarang, apa yang membuatmu menangis?” tanyanya sembari memijit pelan pinggang Jasmine.“Reiner ... kenapa kamu menyembunyikannya dariku?”“Maksudmu? Menyembunyikan apa?”“Rumor tentang kita.”Wajah Reiner mendadak berubah menegang. “Dari mana kamu tahu?”“Jadi itu alasannya kamu melarangku menonton televisi dan menggunakan internet?”Sungguh, Jasmine ingin marah karena Reiner memendam masalahnya sendirian. Tapi Jasmine tidak maukemarahannya membuat beban Reiner semakin bertambah.Reiner menghela napas panjang. Tidak ada gunanya lagi dia mengelak. Dia menghirup dalam-dalam aroma floral pada rambut Jasmine, lalu mengecup
Jasmine mengatur napas sembari mengelus perutnya. Sebesar apapun keinginannya untuk menangis dan menumpahkan semua emosinya, Jasmine berusaha tetap tenang. Walau akhirnya sia-sia.Ketika Jasmine sibuk dengan perasaannya, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan rumah. Lalu Evano turun dari sana dan segera mengetuk pintu, sebelum akhirnya menghampiri Jasmine yang tengah duduk di ruang tamu.“Jasmine kamu baik-baik saja?” Evano terlihat khawatir. Kemudian duduk di samping Jasmine.“Van? Ada apa?” Jasmine menyembunyikan kekalutannya dalam senyuman tipisnya. “Mau ketemu Reiner?”“Aku sengaja ke sini untuk menemui kamu. Dan memastikan keadaan kamu baik-baik saja.”“Apa ... kamu sudah tahu rumor yang sedang beredar sekarang?” Jasmine bertanya ragu. Dan diamnya Evano menjadi bukti bahwa pria itu sudah tahu segalanya.“Aku baik-baik saja,” kilah Jasmine, “tapi bagaimana de
Reiner menggerakkan ibu jarinya pada bibir Jasmine dengan memberi sedikit tekanan. “Dan wanita yang kubenci ini sudah membuatku gila. Aku mencandui tubuhnya, aku juga selalu rindu dan tersiksa setiap kali kita jauh.”“Reiner ….”“Ssstt!” Reiner merunduk, lalu melumat bibir Jasmine penuh kelembutan. Tidak lama. Tapi cukup membuat Jasmine terbuai. “Kamu sudah mengerti perasaanku sekarang?”Jasmine terdiam sesaat. Benarkah Reiner mencintainya? Dilihat dari sudut manapun rasanya hal itu sangat mustahil.Bagaimana bisa seorang Reiner jatuh cinta pada wanita seperti dirinya? Jasmine berpikir dengan keras, sepertinya cinta memang benar-benar membuat manusia kehilangan akal sehatnya. Seperti Reiner contohnya.Jasmine tidak ingin percaya, sungguh. Tapi mendengar pengakuan Reiner yang terdengar tulus, entah kenapa Jasmine langsung percaya pada pria ini.“Iya, aku mengerti,” ucap Jasmin