"Berapa yang kamu inginkan? Seratus juta? Dua ratus juta?"
Reiner berkata datar, seolah tak menyadari bahwa ucapannya telah melukai harga diri Jasmine.
"Anggap saja sebagai uang tip dari saya."
Jasmine tersenyum pahit. “Aku tidak menjual tubuhku,” ucapnya lirih. Bahkan menatap wajah Reiner pun dengan tatapan penuh dengan kepahitan.
Mendengar ucapan Jasmine, Reiner menaikkan sebelah alisnya. "Memangnya tanggung jawab seperti apa yang kamu harapkan? Pernikahan?" Reiner menahan tawa sinis.
"Yang benar saja! Menikahi wanita sepertimu adalah hal terakhir yang akan saya lakukan."
Harga diri Jasmine terasa diinjak-injak. Demi Tuhan, dia bukan pelacur. Dia tidak membutuhkan uang itu.
Meski rentenir sedang mengejar-ngejarnya karena utang yang ditinggalkan sang kakak, Jasmine sama sekali tidak mau menerima uang dari pria berengsek ini. Itu sama saja mengakui dirinya wanita murahan.
"Jangan mempersulit urusan ini, Nona. Saya tidak punya waktu berurusan dengan gadis sepertimu."
Reiner melipat tangannya di depan dada. "Katakan berapa jumlah uangnya, mumpung saya sedang berbaik hati."
Tangan Jasmine mencengkeram selimut yang melilit tubuhnya kuat-kuat seraya menatap Reiner penuh kebencian.
Ada banyak kata-kata yang ingin dia lontarkan pada pria itu, tapi Jasmine tak ingin membuang-buang energinya yang kian menipis.
"Kamu sudah memperkosaku," desis Jasmine lirih.
Reiner tersenyum miring dengan tatapan tak lepas dari Jasmine. Tangannya meraih dagu gadis tersebut agar semakin mendongak padanya.
"Memperkosamu? Saya tidak mungkin lupa, bagaimana kamu sangat menikmati malam panas kita. Atau … perlu saya ingatkan lagi?"
Jasmine mematung. Bibirnya terkatup rapat, lidahnya terasa kelu hingga tak ada yang mampu ia ucapkan. Sepasang matanya berkaca-kaca menatap Reiner yang sedang mengambil sesuatu di dalam dompetnya.
"Saya tidak punya waktu lagi. Tapi saya tetap akan bertanggung jawab dalam bentuk imbalan,” ucap Reiner dengan nada dinginnya.
Reiner mengeluarkan kartu nama dari dompet, lalu meletakkannya di atas nakas. "Kalau sudah memutuskan jumlahnya, hubungi saya di nomor ini," pungkasnya sebelum benar-benar berlalu dari hadapan Jasmine.
**
Satu bulan kemudian.
Jasmine merasakan mual dan muntah di pagi yang cukup berlebihan. Ia tidak mungkin hamil, kan?
“Tidak mungkin. Aku tidak mungkin hamil anak pria gila itu,” lirih Jasmine dengan tangan yang gemetar sembari memegang perutnya.
Ia harus memastikan semuanya. Ia mengambil alat tes kehamilan yang sudah ia beli satu minggu yang lalu karena sudah menyadari setelah dua minggu ini ia sudah telat datang bulan.
Namun, bukan berarti dia berharap bahwa benih itu benar-benar tumbuh di dalam rahimnya.
Lima menit kemudian, dua garis biru muncul di alat tes kehamilan tersebut. Jasmine menggigit bibirnya kuat-kuat dan menahan air mata yang hendak keluar dari pipinya.
Rasanya seperti mimpi buruk yang harus ia terima ketika melihat hasil tersebut.
“Ini benar-benar tidak adil. Kenapa aku harus hamil anak pria itu?” ucapnya lirih.
Namun, ia tidak mungkin membesarkan anak ini sendirian. Dia butuh seorang suami dan pria itu harus bertanggungjawab!
"Pak Reiner, kamu mengingatku?" tanya Jasmine saat ia berhasil menghadang langkah kaki pria itu usai tiba di gedung yang tertera di kartu nama yang Reiner berikan padanya satu bulan yang lalu.
"Siapa kamu?" Reiner menatap Jasmine dengan tatapan datar.
Jasmine tertegun mendengar ucapan Reiner tadi. Apa segampang itu pria melupakan apa yang telah dia perbuat pada seorang wanita?
"Jasmine Permata. Dan ini... kartu nama yang kamu tinggalkan di dalam hotel, satu bulan yang lalu. Saat itu kamu menyuruhku menghubungimu untuk menagih tanggung jawab."
Reiner menaikkan sebelah alisnya. Sepertinya lelaki itu tengah berpikir beberapa saat.
"Ikut saya!" perintah Reiner dingin sambil berlalu begitu saja dari hadapan Jasmine.
"Jadi, berapa jumlah uang yang kamu butuhkan?" Reiner mengendurkan ikatan dasi setelah ia duduk di atas sofa ruangan kantornya. Sementara Jasmine tetap berdiri cukup jauh dari tempat Reiner duduk.
Sebelum memutuskan datang ke perusahaan ini, Jasmine telah menebalkan muka dan juga hatinya. Karena tahu akan mendapat penghinaan, maka dari itu Jasmine berusaha menyiapkan diri untuk tidak sakit hati.
Jasmine mengepalkan tangan, memberi kekuatan pada diri sendiri untuk berkata, "Nikahi aku."
"Kamu sudah gila?"
“Nad?” Sarah mengguncang tubuh Nadira yang tengah tertidur. “Nadira?!”“Hmm ... apaan sih, Sar?”“Heh! Lihat itu! Reiner sedang konferensi pers. Kamu tidak penasaran memangnya?”Mendengar nama Reiner, Nadira sontak terlonjak kaget kemudian duduk di samping Sarah. “Sejak kapan?”“Baru.”Nadira meraih remote TV dan meninggikan volume-nya agar bisa mendengar suara Reiner dengan jelas.“Apa istri Reiner benar-benar wanita penghibur, Nad?”Nadira mengedikkan bahu. “Reiner pernah bilang kalau perempuan itu memang bekerja di tempat karaoke. Tapi aku malas membahasnya.”“Cemburu nih?” goda Sarah.“Yeah ... kamu tahu hubunganku dengan Reiner dulu seperti apa. Wajar aku cemburu, ‘kan?”Sarah hanya menanggapi dengan kekehan kecil. Tapi jauh di dalam hati, Sarah tidak setuju dengan cemburunya Nadira. B
Jemari Jasmine memegangi ujung kemeja yang dikenakan Reiner, membuat pria itu tertegun melihatnya. Baru kali ini Jasmine menunjukkan kelemahannya dan ketakutannya di depan Reiner seperti ini.“Aku sudah dengar semuanya dari Mama.” Reiner memeluk Jasmine. “Kamu jangan takut ya. Ada aku yang akan melindungi kamu. Peneror itu cuma ingin membuat kamu takut, Jasmine. Mereka akan senang kalau kamu takut begini.”Jasmine mengangguk. Mendengarkan detak jantung Reiner yang berirama konstan, membuat Jasmine merasa nyaman dan tenang.Ya, seharusnya Jasmine tidak perlu takut. Ada Reiner di sampingnya. Perkara hidup atau mati, semua sudah digariskan.“Reiner, gimana tadi konferensi persnya? Lancar-lancar saja, ‘kan?” Jasmine mendongak menatap pria itu penuh tanya.Reiner mendecakkan lida
Siang itu Jasmine menghabiskan waktu di kebun bunga di belakang rumah. Dia berusaha untuk tidak menonton televisi, atau menyalakanInternet seperti kemarin. Jasmine perlu menenangkan diri.Selain di kebun bunga, Jasmine juga menghabiskan waktunya untuk membaca buku di perpustakaan. Baru setelah itu dia kembali kekamar untuk tidur siang sebelum ibu mertuanya datang.Ting!Ponsel Jasmine berdenting. Tangan Jasmine kemudian terjulur, mengambil ponselnya dari atas nakas.“Hm? Nomor siapa ini?” gumam Jasmine ketika dia mendapati nomor tidak dikenal yang mengiriminya pesan.Jasmine penasaran. Kemudian dibukanya pesan tersebut.[MATI SAJA KAMU! PEREMPUAN JALANG! MURAHAN! KAMU PANTAS MATI!]Tangan Jasmine yang memegangi ponsel mendadak gemetar usai membaca isi pesan tersebut.
Usai Reiner mandi dua puluh menit kemudian, keduanya makan malam bersama di meja makan. Baru setelah itu mereka masuk kembali ke kamar dengan posisi yang sudah siap tidur.Reiner membawa kepala Jasmine agar rebah di dadanya. “Jadi ceritakan sekarang, apa yang membuatmu menangis?” tanyanya sembari memijit pelan pinggang Jasmine.“Reiner ... kenapa kamu menyembunyikannya dariku?”“Maksudmu? Menyembunyikan apa?”“Rumor tentang kita.”Wajah Reiner mendadak berubah menegang. “Dari mana kamu tahu?”“Jadi itu alasannya kamu melarangku menonton televisi dan menggunakan internet?”Sungguh, Jasmine ingin marah karena Reiner memendam masalahnya sendirian. Tapi Jasmine tidak maukemarahannya membuat beban Reiner semakin bertambah.Reiner menghela napas panjang. Tidak ada gunanya lagi dia mengelak. Dia menghirup dalam-dalam aroma floral pada rambut Jasmine, lalu mengecup
Jasmine mengatur napas sembari mengelus perutnya. Sebesar apapun keinginannya untuk menangis dan menumpahkan semua emosinya, Jasmine berusaha tetap tenang. Walau akhirnya sia-sia.Ketika Jasmine sibuk dengan perasaannya, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan rumah. Lalu Evano turun dari sana dan segera mengetuk pintu, sebelum akhirnya menghampiri Jasmine yang tengah duduk di ruang tamu.“Jasmine kamu baik-baik saja?” Evano terlihat khawatir. Kemudian duduk di samping Jasmine.“Van? Ada apa?” Jasmine menyembunyikan kekalutannya dalam senyuman tipisnya. “Mau ketemu Reiner?”“Aku sengaja ke sini untuk menemui kamu. Dan memastikan keadaan kamu baik-baik saja.”“Apa ... kamu sudah tahu rumor yang sedang beredar sekarang?” Jasmine bertanya ragu. Dan diamnya Evano menjadi bukti bahwa pria itu sudah tahu segalanya.“Aku baik-baik saja,” kilah Jasmine, “tapi bagaimana de
Reiner menggerakkan ibu jarinya pada bibir Jasmine dengan memberi sedikit tekanan. “Dan wanita yang kubenci ini sudah membuatku gila. Aku mencandui tubuhnya, aku juga selalu rindu dan tersiksa setiap kali kita jauh.”“Reiner ….”“Ssstt!” Reiner merunduk, lalu melumat bibir Jasmine penuh kelembutan. Tidak lama. Tapi cukup membuat Jasmine terbuai. “Kamu sudah mengerti perasaanku sekarang?”Jasmine terdiam sesaat. Benarkah Reiner mencintainya? Dilihat dari sudut manapun rasanya hal itu sangat mustahil.Bagaimana bisa seorang Reiner jatuh cinta pada wanita seperti dirinya? Jasmine berpikir dengan keras, sepertinya cinta memang benar-benar membuat manusia kehilangan akal sehatnya. Seperti Reiner contohnya.Jasmine tidak ingin percaya, sungguh. Tapi mendengar pengakuan Reiner yang terdengar tulus, entah kenapa Jasmine langsung percaya pada pria ini.“Iya, aku mengerti,” ucap Jasmin